Bukit Jrangking merupakan Patilasan dari Ki Sodewo
Ki Sodewo adalah Pahlawan Mataram yang terlupakan.
Dalam dinasti Mataram, dikenal beberapa tokoh sebagai Pahlawan Nasional, antara lain Sultan Agung, Pangeran Diponegoro dan Pangeran Sambernyowo. Dari sekian banyak raja, ratu, pangeran dan tokoh-tokoh Mataram mungkin sebetulnya terdapat banyak cerita kepahlawanan yang belum terungkap. Penyebab utamanya bisa karena dokumen sejarah pendukung yang kurang sehingga membuat orang-orang tidak tahu akan sejarah yang sebenarnya. Sebagian besar kisah kepahlawanan hanya beredar dari mulut ke mulut. Lain halnya tokoh yang rajin menulis seperti Raden Mas Said (Pangeran Sambernyowo) misalnya yang mendokumentasikan sendiri perjuangannya melalui tulisan-tulisannya supaya mempermudah dan membantu orang-orang untuk mendapatkan informasi tentang sejarah tersebut . Oleh karenanya ajaran Pangeran Sambernyowo mengenai Tri Dharma ( handarbeni, hangrungkepi, mulat sarira hangrosowani) menjadi populer. Cukup sulit membedakan mana yang merupakan fakta sejarah obyektif dan mana yang subyektif atau bahkan sekedar dongeng. Belum banyak masyarakat yang tahu kisah kepahlawanan ki Sodewo, Putra kandung Pangeran Diponegoro yang berjuang pada masa Perang Diponegoro atau yang dikenal Belanda sebagai Perang Jawa. Hanya sedikit penduduk di sekitar kota Wates yang tahu lokasi makam tubuh Ki Sodewo.
Gambar ini Hanya Ilustrasi saja |
Bahkan makam ini tidak terletak di
Taman Makam Pahlawan Giripeni yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari
pemakaman umum Sideman, tempat dimana Ki Sodewo dimakamkan. Sungguh ironis bagi
Ki Sodewo yang asli 1000% seorang pahlawan. Dan mungkin tinggal tersisa sangat
sedikit orang yang tahu bahwa di daerah Jrangking, pada saat itu disaksikan
Opsir Cox De Slanger, opsir-opsir Belanda yang bersiaga, beberapa bangsawan
yang berpihak kompeni, Ki Wreksodiwiryo, para pendekar bayaran. Beberapa
Ulama/Kyai serta rakyat petani pendukung Ki Sodewo juga dihadirkan dengan paksa
supaya menyaksikan eksekusi pahlawannya agar tidak ada lagi muncul pembela
rakyat petani dan berani melawan kompeni Belanda yang berkuasa di Wates.
Kekuatan batin sosok Ki Sodewo melalui tubuh tanpa kepala bangkit dan mampu
menyerang kaki tangan kompeni Belanda yang hendak menyeret tubuhnya untuk di
buang ke gunung Jrangking. Sehingga kalang kabut menghadapi tubuh tanpa kepala
itu bisa menyerang kesana kemari. Maka gerombolan kaki tangan Belanda silih
berganti tewas terkena Kyai Gothang Sengkelat. Mengakibatkan pihak kompeni yang
menyaksikan menjadi terkejut dan ketakutan, begitu pula beberapa bangsawan yang
ikut kompeni Belanda. Pasukan serdadu kompeni bersiaga dengan Bayonet, setelah
mendengar aba-aba dari Opsir Cox De Slanger dengan perintah serang !, maka
tubuh tanpa kepala Ki Sodewo dihujani peluru tambakan dari barisan serdadu kompeni.
Dekat pemandian Clereng Kulon Progo ada daerah bernama Gunung Songgo yang merupakan petilasan tempat disangganya kepala Ki Sodewo dengan bambu. Belanda sengaja memisahkan kepala dari makam tubuhnya karena menurut cerita apabila kepala dan tubuh Ki Sodewo masih menyatu Belanda khawatir Ki Sodewo bisa hidup kembali karena kesaktiannya yang luar biasa. Ki Sodewo terlahir di wilayah Madiun pada tahun 1810, bernama Bagus Singlon. Putera Pangeran Diponegoro dengan R. Ayu Citrowati (dari Madiun) ini pada masa kecilnya dititipkan pada seorang kyai bernama Ki Tembi di Madiun. Hal ini untuk menghindari penangkapan yang dilakukan Belanda terhadap anak turun Pangeran Diponegoro. Ketika berumur 15 tahun pada tahun 1825 setelah mulai mengenal asal usul dan jati dirinya, Bagus Singlon mencari ayahnya. Bersama dengan Ki Tembi, Bagus Singlon menuju Tegal Rejo, Goa Selarong dan route perjuangan Diponegoro lainnya. Sambil menunggu saat perjumpaan dengan ayahandanya, Bagus Singlon tinggal bersama Kyai Gothak di daerah Panjatan Kulon Progo. Bagus Singlon rajin menempa ilmu kanuragan dari Kyai Gothak maupun para guru lain. Bahkan Bagus Singlon belajar ilmu Pancasona sampai ke daerah Bagelen. Dengan bantuan telik sandi, Bagus Singlon akhirnya berjumpa dengan ayahandanya Pangeran Diponegoro. Oleh ayahandanya Bagus Singlon diberi julukan Ki Sodewo karena kesaktian dan kehebatannya dalam bertempur. Nama itu berasal dari kata Laksono Dewo (bagaikan dewa), dewa yang maha sakti dalam berperang. Ki Sodewo lalu membantu pertempuran bersama para pengikut Diponegoro. Salah satu bukti kedidayaan Ki Sodewo adalah kemampuannya membunuh Jendral Van De Cohlir, salah satu jendral andalan Jendral Van De Kock, panglima perang Hindia Belanda. Ki Sodewo membangun persaudaraan dengan tokoh-tokoh seperti Kyai Gothak dan Kyai Josuto untuk mendapatkan bala tentara. Sebuah benteng pertahanan dibangun di wilayah dusun Bosol. Benteng tersebut terbuat dari pohon bambu ori yang ditanam di sepanjang sungai serang di wilayah dusun Bosol. Wilayah tersebut lalu terkenal dengan Jeron Dabag (dalam dabag atau benteng). Bersama pengikutnya yang disebut Laskar Sodewo dia melakukan perlawanan secara gerilya melawan Belanda. Rute gerilya yang pernah dilewati Ki Sodewo antara lain Panjatan, Milir, Beji, Sentolo, Pengasih, Brosot, Lendah, Nanggulan, Kalibawang, Bagelen dan Wates. Bagi rakyat Kulon progo pada masa itu Ki Sodewo adalah pahlawan, namun Belanda melakukan propaganda bahwa Ki Sodewo adalah pemimpin gerombolan perampok. Salah satunya tercatat dalam sejarah kabupaten Purworejo bahwa Ki Sodewo adalah sekutu penjahat bernama Amat Sleman pada tahun 1838 yang merupakan musuh dari Bupati Cakranegoro yang pro Belanda.
Dekat pemandian Clereng Kulon Progo ada daerah bernama Gunung Songgo yang merupakan petilasan tempat disangganya kepala Ki Sodewo dengan bambu. Belanda sengaja memisahkan kepala dari makam tubuhnya karena menurut cerita apabila kepala dan tubuh Ki Sodewo masih menyatu Belanda khawatir Ki Sodewo bisa hidup kembali karena kesaktiannya yang luar biasa. Ki Sodewo terlahir di wilayah Madiun pada tahun 1810, bernama Bagus Singlon. Putera Pangeran Diponegoro dengan R. Ayu Citrowati (dari Madiun) ini pada masa kecilnya dititipkan pada seorang kyai bernama Ki Tembi di Madiun. Hal ini untuk menghindari penangkapan yang dilakukan Belanda terhadap anak turun Pangeran Diponegoro. Ketika berumur 15 tahun pada tahun 1825 setelah mulai mengenal asal usul dan jati dirinya, Bagus Singlon mencari ayahnya. Bersama dengan Ki Tembi, Bagus Singlon menuju Tegal Rejo, Goa Selarong dan route perjuangan Diponegoro lainnya. Sambil menunggu saat perjumpaan dengan ayahandanya, Bagus Singlon tinggal bersama Kyai Gothak di daerah Panjatan Kulon Progo. Bagus Singlon rajin menempa ilmu kanuragan dari Kyai Gothak maupun para guru lain. Bahkan Bagus Singlon belajar ilmu Pancasona sampai ke daerah Bagelen. Dengan bantuan telik sandi, Bagus Singlon akhirnya berjumpa dengan ayahandanya Pangeran Diponegoro. Oleh ayahandanya Bagus Singlon diberi julukan Ki Sodewo karena kesaktian dan kehebatannya dalam bertempur. Nama itu berasal dari kata Laksono Dewo (bagaikan dewa), dewa yang maha sakti dalam berperang. Ki Sodewo lalu membantu pertempuran bersama para pengikut Diponegoro. Salah satu bukti kedidayaan Ki Sodewo adalah kemampuannya membunuh Jendral Van De Cohlir, salah satu jendral andalan Jendral Van De Kock, panglima perang Hindia Belanda. Ki Sodewo membangun persaudaraan dengan tokoh-tokoh seperti Kyai Gothak dan Kyai Josuto untuk mendapatkan bala tentara. Sebuah benteng pertahanan dibangun di wilayah dusun Bosol. Benteng tersebut terbuat dari pohon bambu ori yang ditanam di sepanjang sungai serang di wilayah dusun Bosol. Wilayah tersebut lalu terkenal dengan Jeron Dabag (dalam dabag atau benteng). Bersama pengikutnya yang disebut Laskar Sodewo dia melakukan perlawanan secara gerilya melawan Belanda. Rute gerilya yang pernah dilewati Ki Sodewo antara lain Panjatan, Milir, Beji, Sentolo, Pengasih, Brosot, Lendah, Nanggulan, Kalibawang, Bagelen dan Wates. Bagi rakyat Kulon progo pada masa itu Ki Sodewo adalah pahlawan, namun Belanda melakukan propaganda bahwa Ki Sodewo adalah pemimpin gerombolan perampok. Salah satunya tercatat dalam sejarah kabupaten Purworejo bahwa Ki Sodewo adalah sekutu penjahat bernama Amat Sleman pada tahun 1838 yang merupakan musuh dari Bupati Cakranegoro yang pro Belanda.
Darah Biru
Darah yang mengalir dalam diri Bagus Singlon memang penuh dengan kisah yang mewarnai babad para raja di tanah Jawa mulai abad 12 dari masa kerajaan Singasari sampai dengan ayahandanya Diponegoro. Menurut sejarah, Mahisa Wongateleng, salah satu anak dari Ken Dedes dan Ken Arok-lah yang menurunkan raja-raja penerus Singasari, Raja-raja Majapahit, Raja-raja Demak sampai Raja-Raja Mataram. Dari Raden Wijaya , Tribuwana Tunggadewi, Brawijaya, Ki Ageng Selo, Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Senopati, Hamengku Buwono I, Hamengku Buwono II, Hamengkubuwono III adalah para simbah dan leluhur Ki Sodewo.
Mungkin sangat sedikit literature tentang Ibu Bagus Singlon, R. Ay. Citrowati yang menurunkan Bagus Singlon sebagai hasil pernikahan dengan Pangeran Diponegoro. Hanya sedikit diceritakan bahwa Ibu Bagus Singlon, turut dibunuh Belanda pada masa perjuangan. Sehingga Bagus Singlon dititipkan kepada Ki Tembi di Madiun. Kematian Ibunya dan semangat para simbah dan leluhur Bagus Singlonlah mungkin yang membakar jiwa kepahlawanan Bagus Singlon dalam membantu Pangeran Diponegoro mempertahankan martabat keluarga dan bangsanya.
Darah yang mengalir dalam diri Bagus Singlon memang penuh dengan kisah yang mewarnai babad para raja di tanah Jawa mulai abad 12 dari masa kerajaan Singasari sampai dengan ayahandanya Diponegoro. Menurut sejarah, Mahisa Wongateleng, salah satu anak dari Ken Dedes dan Ken Arok-lah yang menurunkan raja-raja penerus Singasari, Raja-raja Majapahit, Raja-raja Demak sampai Raja-Raja Mataram. Dari Raden Wijaya , Tribuwana Tunggadewi, Brawijaya, Ki Ageng Selo, Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Senopati, Hamengku Buwono I, Hamengku Buwono II, Hamengkubuwono III adalah para simbah dan leluhur Ki Sodewo.
Mungkin sangat sedikit literature tentang Ibu Bagus Singlon, R. Ay. Citrowati yang menurunkan Bagus Singlon sebagai hasil pernikahan dengan Pangeran Diponegoro. Hanya sedikit diceritakan bahwa Ibu Bagus Singlon, turut dibunuh Belanda pada masa perjuangan. Sehingga Bagus Singlon dititipkan kepada Ki Tembi di Madiun. Kematian Ibunya dan semangat para simbah dan leluhur Bagus Singlonlah mungkin yang membakar jiwa kepahlawanan Bagus Singlon dalam membantu Pangeran Diponegoro mempertahankan martabat keluarga dan bangsanya.
Makam Seorang Pahlawan ?
Seperti diceritakan turun-temurun keluarga trah Ki Sodewo maupun buku dongeng rakyat Kulon Progo, kesaktian ilmu ‘pancasona bumi’ Ki Sodewo mampu membuatnya hidup kembali meskipun terbunuh selama raganya masih menyentuh bumi. Perjuangan Ki Sodewo berakhir ketika dikhianati, yaitu ketika rahasia kesaktiannya dibocorkan oleh adik seperguruan di Bagelen. Karena khawatir akan kesaktian Ki Sodewo, Belanda kemudian memenggal kepala Ki Sodewo dan kemudian tubuh dan kepalanya dimakamkan secara terpisah.
Makam tubuh Ki Sodewo berada di kota Wates. Namun pada saat Kota Wates dibangun, makam tersebut sempat dipindahkan. Pada saat hendak dipindahkan terdapat kendala ketika tidak seorangpun mampu memindahkan makam tersebut. Sehingga dicarilah keturunan Ki Sodewo untuk dimintai tolong memindahkan makam. Akhirnya salah satu keturunan Ki Sodewo yang bernama Mentoirono mampu memindahkannya ke makam Sideman.
Adapun petilasan makam kepala Ki Sodewo saat ini sungguh memprihatinkan. Menurut cerita turun temurun pada zaman Belanda kepala Ki Sodewo tidak dikebumikan namun disangga dengan bambu-bambu di atas perbukitan, yang kemudian dinamakan Gunung Songgo. Saat ini terdapat 2 versi cerita mengenai makam kepala Ki Sodewo. Versi pertama menyebutkan setelah dirasa aman kemudian Belanda memindahkan makam kepala tersebut menyatu dengan tubuhnya. Versi lainnya menyebutkan kepala telah dimakamkan di lokasi Gunung Songgo tersebut dengan hanya ditandai dengan beberapa buah batu bata. Sungguh memprihatinkan untuk ukuran seorang Putra Diponegoro yang ikut berjuang menjaga martabat Mataram.
Versi lain, setelah keadaan aman beberapa pendukung Ki Sodewo menukar tubuh yg dimakamkan dan mengambil kepalanya untuk disatukan, Ki Sodewo hidup lagi. lalu lari ke timur membawa anak perempuannya. menyamar dan mengabdi pada bupati Magetan yang pro Belanda. sejak ada Ki Sodewo yang mengenalkan dirinya sebagai Ki Dekso para perampok yg menguasai wilayah itu tak lagi mengganggu wilayah Magetan. saat puteri nya beranjak dewasa sang bupati ingin mengambilnya menjadi selir namun karena Ki Dekso tidak menyetujui ia di penjarakan dan hendak diserahkan pada belanda. dengan berpura2 setuju dan hendak mempersiapkan puterinya untuk diserahkan Ki Dekso bisa kabur lalu menjemput dan membawa puterinya kabur pula. saat itu bupati telah memanggil pasukan belanda untuk mengejar Ki Sodewo. Ki Sodewo yg berjakan kaki bersama puterinya tak bisa cepat dan terkejar di dekat perbatasan desa Temboro dalam jarak belasan langkah si penembak sudah siap dengan senapannya di belakang Ki Dekso alias KI Sodewo. Ki Sodewo telah putus asa untuk bertahan mengambil sebatang tebu dari dekat situ, wilayah Temboro dipenuhi kebun tebu. saat Ki Dekso menoleh si penembak melihat wajahnya yg sangat dikenalnya tak lain adalah Ki Sodewo yang pernah dirobohkannya dengan peluru emas lalu dipenggal kepalanya di depan matanya. bahkan sebelum2nya ia juga pernah menembak jatuh orang yg ada di depannya itu, ia tahu benar kehebatan Ki Sodewo . serta merta ia dan pasukannya mengurungkan niatnya lalu balik kanan lari. Orang-orang sekitar mengira tebu yg dibawa Ki Dekso itulah yg membuat pengejarnya lari dikatakan tebu itu menyala seperti tombak sakti yang siap menyerang. sejak para pengejar kembali ke barat pencarian Ki Sodewo diteruskan beberapa penyerbuan ke desa-desa wilayah Magetan dilakukan lagi.
Seperti diceritakan turun-temurun keluarga trah Ki Sodewo maupun buku dongeng rakyat Kulon Progo, kesaktian ilmu ‘pancasona bumi’ Ki Sodewo mampu membuatnya hidup kembali meskipun terbunuh selama raganya masih menyentuh bumi. Perjuangan Ki Sodewo berakhir ketika dikhianati, yaitu ketika rahasia kesaktiannya dibocorkan oleh adik seperguruan di Bagelen. Karena khawatir akan kesaktian Ki Sodewo, Belanda kemudian memenggal kepala Ki Sodewo dan kemudian tubuh dan kepalanya dimakamkan secara terpisah.
Makam tubuh Ki Sodewo berada di kota Wates. Namun pada saat Kota Wates dibangun, makam tersebut sempat dipindahkan. Pada saat hendak dipindahkan terdapat kendala ketika tidak seorangpun mampu memindahkan makam tersebut. Sehingga dicarilah keturunan Ki Sodewo untuk dimintai tolong memindahkan makam. Akhirnya salah satu keturunan Ki Sodewo yang bernama Mentoirono mampu memindahkannya ke makam Sideman.
Adapun petilasan makam kepala Ki Sodewo saat ini sungguh memprihatinkan. Menurut cerita turun temurun pada zaman Belanda kepala Ki Sodewo tidak dikebumikan namun disangga dengan bambu-bambu di atas perbukitan, yang kemudian dinamakan Gunung Songgo. Saat ini terdapat 2 versi cerita mengenai makam kepala Ki Sodewo. Versi pertama menyebutkan setelah dirasa aman kemudian Belanda memindahkan makam kepala tersebut menyatu dengan tubuhnya. Versi lainnya menyebutkan kepala telah dimakamkan di lokasi Gunung Songgo tersebut dengan hanya ditandai dengan beberapa buah batu bata. Sungguh memprihatinkan untuk ukuran seorang Putra Diponegoro yang ikut berjuang menjaga martabat Mataram.
Versi lain, setelah keadaan aman beberapa pendukung Ki Sodewo menukar tubuh yg dimakamkan dan mengambil kepalanya untuk disatukan, Ki Sodewo hidup lagi. lalu lari ke timur membawa anak perempuannya. menyamar dan mengabdi pada bupati Magetan yang pro Belanda. sejak ada Ki Sodewo yang mengenalkan dirinya sebagai Ki Dekso para perampok yg menguasai wilayah itu tak lagi mengganggu wilayah Magetan. saat puteri nya beranjak dewasa sang bupati ingin mengambilnya menjadi selir namun karena Ki Dekso tidak menyetujui ia di penjarakan dan hendak diserahkan pada belanda. dengan berpura2 setuju dan hendak mempersiapkan puterinya untuk diserahkan Ki Dekso bisa kabur lalu menjemput dan membawa puterinya kabur pula. saat itu bupati telah memanggil pasukan belanda untuk mengejar Ki Sodewo. Ki Sodewo yg berjakan kaki bersama puterinya tak bisa cepat dan terkejar di dekat perbatasan desa Temboro dalam jarak belasan langkah si penembak sudah siap dengan senapannya di belakang Ki Dekso alias KI Sodewo. Ki Sodewo telah putus asa untuk bertahan mengambil sebatang tebu dari dekat situ, wilayah Temboro dipenuhi kebun tebu. saat Ki Dekso menoleh si penembak melihat wajahnya yg sangat dikenalnya tak lain adalah Ki Sodewo yang pernah dirobohkannya dengan peluru emas lalu dipenggal kepalanya di depan matanya. bahkan sebelum2nya ia juga pernah menembak jatuh orang yg ada di depannya itu, ia tahu benar kehebatan Ki Sodewo . serta merta ia dan pasukannya mengurungkan niatnya lalu balik kanan lari. Orang-orang sekitar mengira tebu yg dibawa Ki Dekso itulah yg membuat pengejarnya lari dikatakan tebu itu menyala seperti tombak sakti yang siap menyerang. sejak para pengejar kembali ke barat pencarian Ki Sodewo diteruskan beberapa penyerbuan ke desa-desa wilayah Magetan dilakukan lagi.
Orang-orang di lingkungan kabupaten
Magetan saat itu banyak keliru menyebut keberadaan Ki Sodewo yang mengaku
sebagai Ki Dekso sering diucapkan Jekso, mbah Jekso, orang mengira di Magetan
ada seorang jaksa di jaman itu. ( oleh - keturunan mbah Dekso di Timur )
Sumber;
Sumber;
https://id.wikipedia.org/wiki/Raden_Mas_Sodewo
Ringkasan Sarasilahipun Raden Mas Sodewo, Kaserat
R.Ki Sarwanto Hadi, BA
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER