Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945
Kita sebagai orang Indonesia sebaiknya jangan sampai melupakan Proklamasi Kemerdekaan, yang selalu diperingati pada tanggal 17 Agustus, adalah sebuah peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia. Proklamasi, telah mengubah perjalanan sejarah, membangkitkan rakyat dalam semangat kebebasan. Merdeka dari segala bentuk penjajahan. Mari kita kembali mengingat catatan sejarah sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Perdebatan
Proklamasi,
ternyata didahului oleh perdebatan hebat antara golongan pemuda dengan golongan
tua. Baik golongan tua maupun golongan muda, sesungguhnya sama - sama
menginginkan secepatnya dilakukan Proklamasi Kemerdekaan dalam suasana
kekosongan kekuasaan dari tangan pemerintah Jepang. Hanya saja, mengenai cara
melaksanakan proklamasi itu terdapat perbedaan pendapat. Golongan tua,
sesuai dengan perhitungan politiknya, berpendapat bahwa Indonesia dapat merdeka
tanpa pertumpahan darah, jika tetap bekerjasama dengan Jepang.
Karena
itu, untuk memproklamasikan kemerdekaan, diperlukan suatu revolusi yang
terorganisir. Soekarno dan Hatta, dua tokoh golongan tua, bermaksud
membicarakan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dalam rapat Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dengan cara itu, pelaksanaan Proklamasi
Kemerdekaan tidak menyimpang dari ketentuan pemerintah Jepang. Sikap inilah
yang tidak disetujui oleh golongan pemuda. Mereka menganggap, bahwa PPKI adalah
badan buatan Jepang. Sebaliknya, golongan pemuda menghendaki terlaksananya
Proklamasi Kemerdekaan itu, dengan kekuatan sendiri. Lepas sama sekali
dari campur tangan pemerintah Jepang.
Perbedaan
pendapat ini, mengakibatkan penekanan - penekanan golongan pemuda kepada
golongan tua yang mendorong mereka melakukan
“aksi penculikan” terhadap diri Soekarno - Hatta (lihat Marwati Djoened
Poesponegoro, ed. 1984:77-81)
Tanggal
15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56
Jakarta, tempat kediaman Bung Karno, berlangsung perdebatan serius
antara sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan
sebagaimana dilukiskan Lasmidjah Hardi (1984:58); Ahmad Soebardjo (1978:85-87)
sebagai berikut:
" Sekarang
Bung, sekarang! malam ini juga kita kobarkan revolusi !"
kata Chaerul Saleh dengan meyakinkan Bung Karno bahwa ribuan
pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir
tentara Jepang. " Kita harus segera merebut
kekuasaan !" tukas Sukarni berapi-api. " Kami
sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !" seru mereka bersahutan.
Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan pernyataan; " Jika
Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga,
akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran
esok hari ."
Mendengar
kata-kata ancaman seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana
sambil berkata: " Ini batang leherku, seretlah saya ke
pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu
esok hari !". Hatta kemudian memperingatkan Wikana;
"... Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus
menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di
negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya
katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk
memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak memproklamasikan
kemerdekaan itu sendiri ?Mengapa meminta Soekarno untuk
melakukan hal itu ?"
Namun,
para pemuda terus mendesak; " apakah kita harus menunggu hingga
kemerdekaan itu diberikan kepada kita sebagai hadiah, walaupun Jepang
sendiri telah menyerah dan telah takluk dalam 'Perang
Sucinya '!". " Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang
memproklamasikan kemerdekaannya ? Mengapa bukan kita yang
menyatakan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa ?".
Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Soekarno berkata; "... kekuatan
yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan
kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau
perlihatkan kepada saya ? Mana bukti kekuatan yang
diperhitungkan itu ? Apa tindakan bagian keamananmu untuk
menyelamatkan perempuan dananak-anak ? Bagaimana cara
mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan ? Kita
tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan,
bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri ".
Demikian jawab Bung Karno dengan tenang.
Demikian jawab Bung Karno dengan tenang.
Para
pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan.
Namun, kedua tokoh itu pun, tetap pada pendiriannya semula. Setelah
berulangkali didesak oleh para pemuda, Bung Karno menjawab bahwa ia tidak
bisa memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan para tokoh lainnya.
Utusan pemuda mempersilahkan Bung Karno untuk berunding. Para tokoh yang hadir
pada waktu itu antara lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa
Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Tidak lama kemudian, Hatta
menyampaikan keputusan, bahwa usul para pemuda tidak dapat diterima
dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan timbulnya banyak
korban jiwa dan harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda nampak
tidak puas. Mereka mengambil kesimpulan yang menyimpang; menculik
Bung Karno dan Bung Hatta dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu
dari pengaruh Jepang.
Pukul
04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh
sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok. Aksi "penculikan" itu
sangat mengecewakan Bung Karno, sebagaimana dikemukakan Lasmidjah Hardi
(1984:60). Bung Karno marah dan kecewa, terutama karena para pemuda
tidak mau mendengarkan pertimbangannya yang sehat. Mereka menganggap
perbuatannya itu sebagai tindakan patriotik. Namun, melihat keadaan dan situasi
yang panas, Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak
para pemuda untuk dibawa ke tempat yang mereka tentukan. Fatmawati
istrinya, dan Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia ikut
sertakan.
Rengasdengklok
kota kecil dekat Karawang dipilih oleh para pemuda untuk
mengamankan Soekarno-Hatta dengan perhitungan militer; antara anggota PETA
(Pembela Tanah Air) Daidan Purwakarta dengan Daidan Jakarta
telah terjalin hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan bersama-sama. Di
samping itu, Rengasdengklok letaknya terpencil sekitar 15 km. dari
Kedunggede Karawang. Dengan demikian, deteksi dengan mudah dilakukan terhadap
setiap gerakan tentara Jepang yang mendekati Rengasdengklok, baik yang datang
dari arah Jakarta maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah.
Sehari
penuh, Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk
menekan mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari
segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak membuahkan hasil. Agaknya
keduanya memiliki wibawa yang cukup besar. Para pemuda yang membawanya ke
Rengasdengklok, segan untuk melakukan penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan
kawan-kawannya, hanya dapat mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi
secepatnya seperti yang telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta . Akan
tetapi, Soekarno-Hatta tidak mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap
berpegang teguh pada perhitungan dan rencana mereka sendiri. Di sebuah
pondok bambu berbentuk panggung di tengah persawahan
Rengasdengklok, siang itu terjadi perdebatan panas; " Revolusi
berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak
memulai revolusi malam ini, lalu ...". " Lalu
apa ?" teriak Bung Karno sambil beranjak dari kursinya, dengan
kemarahan yang menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak
atau berbicara.
Waktu
suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai
berbicara; " Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi
adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan
seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17 ".
" Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang
saja, atau tanggal 16 ?" tanya Sukarni. " Saya
seorang yang percaya pada mistik”. Saya tidak dapat menerangkan dengan
pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan
tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka
17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan
suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling
suci bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat
legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur'an diturunkan tanggal 17,
orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17
bukanlah buatan manusia ". Demikianlah antara lain dialog antara
Bung Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok sebagaimana ditulis Lasmidjah
Hardi (1984:61).
Sementara
itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan Wikana
dari golongan muda membicarakan kemerdekaan yang harus dilaksanakan
di Jakarta . Laksamana Tadashi Maeda, bersedia untuk menjamin keselamatan
mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari
pihak pemuda, hari itu juga mengantar Ahmad Soebardjo bersama sekretaris
pribadinya, Sudiro, ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta.
Rombongan penjemput tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad
Soebardjo memberikan jaminan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan
pada tanggal 17 Agustus 1945, selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan
jaminan itu, komandan kompi PETA setempat, Cudanco Soebeno,
bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta (Marwati
Djoened Poesponegoro, ed. 1984:82-83).
Merumuskan Teks Proklamasi
Rombongan
Soekarno-Hatta tiba di Jakarta sekitar pukul 23.00. Langsung menuju rumah
Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1, setelah lebih dahulu
menurunkan Fatmawati dan putranya di rumah Soekarno. Rumah Laksamada
Maeda, dipilih sebagai tempat penyusunan teks Proklamasi karena sikap
Maeda sendiri yang memberikan jaminan keselamatan pada Bung Karno dan
tokoh-tokoh lainnya. De Graff yang dikutip Soebardjo (1978:60-61) melukiskan
sikap Maeda seperti ini. Sikap dari Maeda tentunya memberi kesan aneh bagi
orang-orang Indonesia itu, karena perwira Angkatan Laut ini selalu berhubungan
dengan rakyat Indonesia.
Sebagai
seorang perwira Angkatan Laut yang telah melihat lebih banyak dunia ini dari
rata-rata seorang perwira Angkatan Darat , ia mempunyai pandangan yang lebih
tepat tentang keadaan dari orang-orang militer yang agak sempit
pikirannya. Ia dapat berbicara dalam beberapa bahasa. Ia adalah pejabat yang
bertanggungjawab atas Bukanfu di Batavia; kantor
pembelian Angkatan Laut di Indonesia. Ia tidak khusus membatasi diri hanya pada
tugas-tugas militernya saja, tetapi agar dirinya dapat terbiasa dengan
suasana di Jawa , ia membentuk suatu kantor penerangan bagi dirinya di tempat
yang sama yang pimpinannya dipercayakan kepada Soebardjo. Melalui kantor
inilah, yang menuntut biaya yang tidak sedikit baginya, ia
mendapatkan pengertian tentang masalah-masalah di Jawa lebih baik dari
yang didapatnya dari buletin-buletin resmi Angkatan Darat. Terlebih-lebih ia
memberanikan diri untuk mendirikan asrama-asrama bagi nasionalis-nasionalis
muda Indonesia . Pemimpin-pemimpin terkemuka, diperbantukan sebagai guru-guru
untuk mengajar di asrama itu. Doktrin-doktrin yang agak radikal
dipropagandakan. Lebih lincah dari orang-orang militer, ia berhasil mengambil
hati dari banyak nasionalis yang tahu pasti bahwa keluhan-keluhan dan
keberatan-keberatan mereka selalu bisa dinyatakan kepada Maeda. Sikap Maeda
seperti inilah yang memberikan keleluasaan kepada para tokoh nasionalis untuk
melakukan aktivitas yang maha penting bagi masa depan bangsanya.
Malam
itu, dari rumah Laksamana Maeda, Soekarno dan Hatta ditemani Laksamana Maeda
menemui Somobuco ( kepala pemerintahan umum ), Mayor
Jenderal Nishimura, untuk menjajagi sikapnya mengenai pelaksanaan Proklamasi
Kemerdekaan. Nishimura mengatakan bahwa karena Jepang sudah menyatakan
menyerah kepada Sekutu, maka berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak
diperbolehkan lagi mengubah status quo . Tentara Jepang
diharuskan tunduk kepada perintah tentara Sekutu. Berdasarkan garis kebi
jakan itu, Nishimura melarang Soekarno-Hatta mengadakan rapat PPKI dalam
rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerde kaan. Melihat kenyataan ini,
Soekarno-Hatta sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk
membicarakan soal kemerdekaan Indonesia dengan Jepang. Mereka hanya
berharap agar pihak Jepang tidak menghalang-ha langi pelaksanaan
proklamasi kemerdekaan oleh rakyat Indonesia sendiri ( Hatta, 1970:54-55 ).
Setelah
pertemuan itu, Soekarno dan Hatta kembali ke rumah Laksamana Maeda. Di
ruang makan rumah Laksamana Maeda itu dirumuskan teks proklamasi kemerdekaan.
Maeda, sebagai tuan rumah, mengundurkan diri ke kamar tidurnya
di lantai dua ketika peristiwa bersejarah itu berlangsung. Miyoshi,
orang kepercayaan Nishimura, bersama Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah menyaksikan
Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo membahas rumusan teks Proklamasi.
Sedangkan tokoh-tokoh lainnya, baik dari golongan tua maupun
dari golongan pemuda, menunggu di serambi muka.
Menurut
Soebardjo (1978:109) di ruang makan rumah Laksamana Maeda menjelang tengah
malam, rumusan teks Proklamasi yang akan dibacakan esok harinya
disusun. Soekarno menuliskan konsep proklamasi pada secarik kertas. Hatta
dan Ahmad Soebardjo menyumbangkan pikirannya secara lisan. Kalimat pertama dari
teks Proklamasi merupakan saran Ahmad Soebardjo yang diambil dari rumusan Dokuritsu
Junbi Cosakai , sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran
Mohammad Hatta. Hatta menganggap kalimat pertama hanyalah merupakan pernyataan
dari kemauan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri, menurut
pendapatnya perlu ditambahkan pernyataan mengenai pengalihan kekuasaan
(transfer of sovereignty). Maka dihasilkanlah rumusan terakhir
dari teks proklamasi itu.
Setelah
kelompok yang menyendiri di ruang makan itu selesai merumuskan teks
Proklamasi, kemudian mereka menuju serambi muka untuk menemui hadirin yang
berkumpul di ruangan itu. Saat itu, dinihari menjelang subuh. Jam
menunjukkan pukul 04.00, Soekarno mulai membuka pertemuan itu dengan membacakan
rumusan teks Proklamasi yang masih merupakan konsep. Soebardjo (1978:109-110) melukiskan
suasana ketika itu: “ Sementara teks Proklamasi ditik, kami
menggunakan kesempatan untuk mengambil makanan dan minuman dari
ruang dapur, yang telah disiapkan sebelumnya oleh tuan rumah kami
yang telah pergi ke kamar tidurnya di tingkat atas. Kami belum makan
apa-apa, ketika meninggalkan Rengasdengklok. Bulan itu adalah bulan suci
Ramadhan dan waktu hampir habis untuk makan sahur, makan terakhir sebelum
sembahyang subuh. Setelah kami terima kembali teks yang telah ditik, kami
semuanya menuju ke ruang besar di bagian depan rumah. Semua orang berdiri dan
tidak ada kursi di dalam ruangan. Saya bercampur dengan beberapa
anggota Panitia di tengah-tengah ruangan. Sukarni berdiri di samping
saya. Hatta berdiri mendampingi Sukarno menghadap para hadirin .
Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi tanggal 17 Agustus 1945, pada saat Soekarno
membuka pertemuan dini hari itu dengan beberapa patah kata.
"Keadaan
yang mendesak telah memaksa kita semua mempercepat pelaksanaan
Proklamasi Kemerdekaan. Rancangan teks telah siap dibacakan
di hadapan saudara-saudara dan saya harapkan benar bahwa
saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus
dan menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar menyingsing". Kepada
mereka yang hadir, Soekarno menyarankan agar bersama-sama
menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa
Indonesia . Saran itu diperkuat oleh Mohammad Hatta dengan mengambil
contoh pada "Declaration of Independence " Amerika
Serikat. Usul itu ditentang oleh pihak pemuda yang tidak setuju
kalau tokoh-tokoh golongan tua yang disebutnya
"budak-budak Jepang" turut menandatangani naskah proklamasi.
Sukarni mengusulkan agar penandatangan naskah proklamasi itu cukup
dua orang saja, yakni Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa
Indonesia . Usul Sukarni itu diterima oleh hadirin.
Naskah
yang sudah diketik oleh Sajuti Melik, segera ditandatangani
oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Persoalan timbul mengenai
bagaimana Proklamasi itu harus diumumkan kepada rakyat
di seluruh Indonesia , dan juga ke seluruh pelosok dunia.
Di mana dan dengan cara bagaimana hal ini harus diselenggarakan? Menurut
Soebardjo (1978:113), Sukarni kemudian memberitahukan bahwa rakyat
Jakarta dan sekitarnya, telah diserukan untuk datang berbondong-bondong
ke lapangan IKADA pada tanggal 17 Agustus untuk mendengarkan
Proklamasi Kemerdekaan. Akan tetapi Soekarno menolak saran
Sukarni. " Tidak ," kata Soekarno, " lebih
baik dilakukan di tempat kediaman saya di Pegangsaan Timur.
Pekarangan di depan rumah cukup luas untuk ratusan orang.
Untuk apa kita harus memancing-mancing insiden ? Lapangan
IKADA adalah lapangan umum. Suatu rapat umum, tanpa diatur sebelumnya
dengan penguasa-penguasa militer, mungkin akan menimbulkan salah faham. Suatu
bentrokan kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan
membubarkan rapat umum tersebut, mungkin akan terjadi. Karena itu, saya
minta saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56 sekitar pukul
10.00 pagi ." Demikianlah keputusan terakhir dari pertemuan itu.
Detik-Detik Proklamasi
Hari
Jumat di bulan Ramadhan, pukul 05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945
memancar di ufuk timur. Embun pagi masih menggelantung di tepian daun. Para
pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan
diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka,
telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia hari
itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul
10.00 pagi. Bung Hatta sempat berpesan kepada para pemuda yang
bekerja pada pers dan kantor-kantor berita, untuk memperbanyak naskah
proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia (Hatta, 1970:53).
Menjelang
pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup
sibuk. Wakil Walikota, Soewirjo, memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk
mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon dan beberapa
pengeras suara. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk
mempersiapkan satu tiang bendera. Karena situasi yang tegang, Suhud tidak
ingat bahwa di depan rumah Soekarno itu, masih ada dua tiang bendera dari besi
yang tidak digunakan. Malahan ia mencari sebatang bambu yang berada di
belakang rumah. Bambu itu dibersihkan dan diberi tali. Lalu
ditanam beberapa langkah saja dari teras rumah. Bendera yang dijahit
dengan tangan oleh Nyonya Fatmawati Soekarno sudah
disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak standar, karena kainnya
berukuran tidak sempurna. Memang, kain itu awalnya tidak disiapkan untuk
bendera.
Sementara
itu, rakyat yang telah mengetahui akan dilaksanakan Proklamasi
Kemerdekaan telah berkumpul. Rumah Soekarno telah dipadati oleh sejumlah massa
pemuda dan rakyat yang berbaris teratur. Beberapa orang tampak gelisah,
khawatir akan adanya pengacauan dari pihak Jepang. Matahari semakin tinggi,
Proklamasi belum juga dimulai. Waktu itu Soekarno terserang sakit,
malamnya panas dingin terus menerus dan baru tidur
setelah selesai merumuskan teks Proklamasi. Para undangan telah banyak
berdatangan, rakyat yang telah menunggu sejak pagi, mulai tidak
sabar lagi. Mereka yang diliputi suasana tegang berkeinginan keras agar
Proklamasi segera dilakukan. Para pemuda yang tidak sabar, mulai mendesak Bung
Karno untuk segera membacakan teks Proklamasi. Namun, Bung Karno tidak
mau membacakan teks Proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta. Lima menit
sebelum acara dimulai, Mohammad Hatta datang dengan pakaian putih-putih
dan langsung menuju kamar Soekarno. Sambil menyambut kedatangan Mohammad
Hatta, Bung Karno bangkit dari tempat tidurnya, lalu berpakaian. Ia
juga mengenakan stelan putih-putih. Kemudian keduanya menuju tempat
upacara.
Marwati
Djoened Poesponegoro (1984:92-94) melukiskan upacara pembacaan teks Proklamasi
itu. Upacara itu berlangsung sederhana saja. Tanpa protokol. Latief
Hendraningrat, salah seorang anggota PETA, segera memberi
aba-aba kepada seluruh barisan pemuda yang telah menunggu sejak pagi
untuk berdiri. Serentak semua berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief
kemudian mempersilahkan Soekarno dan Mohammad Hatta maju beberapa
langkah mendekati mikrofon. Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno
mengucapkan pidato pendahuluan singkat sebelum membacakan teks
proklamasi.
"Saudara-saudara
sekalian ! saya telah minta saudara hadir di sini, untuk
menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah
kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang
untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun.
Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada
turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam
jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di
dalam jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada
mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri.
Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita
benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita
di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil
nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami,
tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari
seluruh Indonesia , permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat,
bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara!
Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi
kami: PROKLAMASI; Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan
Indonesia . Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain,
diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta , 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta.
Demikianlah
saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi
yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat
ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka.
Negara Republik Indonesia merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah,
Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu".
(Koesnodiprojo, 1951).
Acara,
dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. Soekarno dan Hatta maju
beberapa langkah menuruni anak tangga terakhir dari serambi muka, lebih kurang
dua meter di depan tiang. Ketika S. K. Trimurti diminta maju untuk mengibarkan
bendera, dia menolak: " lebih baik seorang prajurit ,"
katanya. Tanpa ada yang menyuruh, Latief Hendraningrat yang berseragam PETA
berwarna hijau dekil maju ke dekat tiang bendera. S. Suhud mengambil
bendera dari atas baki yang telah disediakan dan
mengikatnya pada tali dibantu oleh Latief Hendraningrat.
Bendera
dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan
menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bendera dikerek dengan lambat
sekali, untuk menyesuaikan dengan irama lagu Indonesia Raya yang cukup panjang.
Seusai pengibaran bendera, dilanjutkan dengan pidato sambutan dari
Walikota Soewirjo dan dr. Muwardi.
Setelah
upacara pembacaan Proklamasi Kemerdekaan, Lasmidjah Hardi (1984:77)
mengemukakan bahwa ada sepasukan barisan pelopor yang berjumlah kurang
lebih 100 orang di bawah pimpinan S. Brata, memasuki halaman rumah
Soekarno. Mereka datang terlambat. Dengan suara lantang penuh kecewa S.
Brata meminta agar Bung Karno membacakan Proklamasi sekali lagi.
Mendengar teriakan itu Bung Karno tidak sampai hati,
ia keluar dari kamarnya. Di depan corong mikrofon ia
menjelaskan bahwa Proklamasi hanya diucapkan satu kali dan berlaku untuk
selama-lamanya. Mendengar keterangan itu Brata belum merasa puas,
ia meminta agar Bung Karno memberi amanat singkat. Kali ini permintaannya
dipenuhi. Selesai upacara itu rakyat masih belum mau beranjak, beberapa
anggota Barisan Pelopor masih duduk-duduk bergerombol di depan kamar Bung
Karno.
Tidak
lama setelah Bung Hatta pulang, menurut Lasmidjah Hardi (1984:79) datang tiga
orang pembesar Jepang. Mereka diperintahkan menunggu di ruang belakang,
tanpa diberi kursi. Sudiro sudah dapat menerka, untuk apa mereka datang.
Para anggota Barisan Pelopor mulai mengepungnya. Bung Karno sudah memakai
piyama ketika Sudiro masuk, sehingga terpaksa berpakaian
lagi. Kemudian terjadi dialog antara utusan Jepang dengan Bung Karno:
" Kami diutus oleh Gunseikan Kakka, datang kemari untuk
melarang Soekarno mengucapkan Proklamasi ." " Proklamasi
sudah saya ucapkan," jawab Bung Karno dengan tenang.
" Sudahkah ?" tanya utusan Jepang itu keheranan.
" Ya, sudah !" jawab Bung Karno. Di sekeliling
utusan Jepang itu, mata para pemuda melotot dan tangan mereka sudah
diletakkan di atas golok masing-masing. Melihat kondisi seperti itu,
orang-orang Jepang itu pun segera pamit. Sementara itu, Latief
Hendraningrat tercenung memikirkan kelalaiannya. Karena dicekam suasana tegang,
ia lupa menelpon Soetarto dari PFN untuk mendokumentasikan peristiwa itu.
Untung ada Frans Mendur dari IPPHOS yang plat filmnya tinggal tiga lembar (saat
itu belum ada rol film). Sehingga dari seluruh peristiwa bersejarah itu,
dokumentasinya hanya ada tiga; yakni sewaktu Bung Karno membacakan teks
Proklamasi, pada saat pengibaran bendera, dan sebagian
foto hadirin yang menyaksikan peristiwa itu.
Penutup
Peristiwa
besar bersejarah yang telah mengubah jalan sejarah bangsa
Indonesia itu berlangsung hanya satu jam, dengan penuh kehidmatan.
Sekalipun sangat sederhana, namun ia telah membawa perubahan yang
luar biasa dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia . “Gema
lonceng kemerdekaan” terdengar ke seluruh pelosok
Nusantara dan menyebar ke seantero dunia. Para pemuda, mahasiswa,
serta pegawai-pegawai bangsa Indonesia pada jawatan-jawatan perhubungan yang
penting giat bekerja menyiarkan isi proklamasi itu ke seluruh pelosok
negeri. Para wartawan Indonesia yang bekerja pada kantor berita Jepang Domei ,
sekalipun telah disegel oleh pemerintah Jepang, mereka berusaha
menyebarluaskan gema Proklamasi itu ke seluruh dunia.
Dirgahayu
Indonesiaku!
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Soebardjo (1978). Lahirnya Republik Indonesia .
Jakarta : Kinta.
Koesnodiprodjo
(1951). Himpunan Undang-Undang, Peraturan-Peraturan,
Penetapan-Penetapan Pemerintah Republik Indonesia 1945. Jakarta .
Lasmidjah
Hardi (1984). Samudera Merah Putih
19 September 1945 . Jilid 1. Jakarta : Pustaka Jaya.
Marwati Djoened
Poesponegoro et. al. ( 1984 ). Sejarah Nasional Indonesia .
Jilid 6. Jakarta :
Balai Pustaka.
Mohammad
Hatta (1970). Sekitar Proklamasi 17 Agustus
1945 . Jakarta : Tinta Mas.
Nugroho
Notosusanto (1976). Naskah Proklamasi
yang Otentik dan Rumusan Pancasila
yang Otentik. Jakarta : Pusat Sejarah ABRI.
Soekarno
(1963 ). Sarinah; Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan
Republik Indonesia . Jakarta : Panitia Penerbit Buku-Buku Karangan
Presiden Soekarno.
Terimakasih,
ada sudah menyempatkan membaca artikel saya tulis sedemikian rupa,
Salam,
sukses untuk kita semua, dan jangan lupakan sejarah!!!!!!
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER