Soekarno - Hatta Setangkup Model Indonesia
Soekarno - Hatta
Setangkup Model Indonesia→ Kita perlu
mengetahui dua nama manusia Indonesia dari masa lampau yaitu, soekarno dan
Mohamad Hatta. Mereka memiliki posisi sentral dalam sejarah pergerakan
nasional. Kedua tokoh ini tidak tergolong sebagai pelopor maupun perintis awal gerakan nasional menentang penjajahan
Belanda. Jauh sebelum itu, di penghujung abad XIX atau awal abad XX, sudah tumbuh dan bersemi benih – benih kesadaran
nasional melalui pribadi –pribadi terkemuka garda depan seperti Raden Mas Tirto
Adi Suryo, Raden Ajeng Kartini, Sam Ratulangi dll, dan organisasi –
organisasi sosial-politik modern seperti
Sjarikat Dagang Islam (1906), Boedi Oertomo ( 1908), Indische Partij (1911), Sarikat Islam (1912),
Jong Java, Jong Islameten Bond, Jong Sumatraten, Jong Celebes, Indonesia Moeda,
dan organisasi – organisasi sejenis.
Organisasi-organisasi
tersebut yang lahir berkat meningkatnya kesadaran politik dan pemahaman
mendalam atas derita bangsa pada sebagian golongan bumiputera menandai babak
baru strategi perlawanan terhadap penguasa kolonial, meninggalkan pola-pola
sebelumnya yang lebih mengandalkan kekuatan fisik, senjata atau sentimen
golongan dan karena itu bersifat
sporadis serta gampang dipatahkan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Peralihan bentuk
perjuangan dalam bentuk perjuangan melalui penggalangan masa dan pengkaderan merupakan cikal-bakal
gerakan penanaman kesadaran nasional melalui sekat-sekat kesukuan, agama,
golongan, dan kelas dikalangan yang lebih luas. Benih-benih inilah yang kelak
menyuburkan aksi-aksi patriotisme baru yang tidak pernah dialami oleh
pemerintahan kolonial sebelumnya.
Dapatlah
dikatakan Soekarno-Hatta adalah “anak didik” terbaik organisasi-organisasi baru
tersebut. Tatkala menempuh pendidikan Hogere Burger School (HBS=sekolah
menengah belanda 5 tahun) di Surabaya, Soekarno adalah pendiri “Trikoro Dharmo”
(kemudian berubah menjadi Jong Java). Lebih dari itu, pada usia sangat belia (
sejak 15 tahun ), ia memperoleh pengalaman berguru secara langsung pada tokoh
utama, Sarikat Islam ( SI ), Raden Mas Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Ia
tinggal dan menetap di rumah Tjokroaminto. Melihat langsung kiprah dan sepak
terjang gurunya itu dalam menakhodai SI sekaligus bergaul dan bersentuhan akrab
dengan tokoh-tokoh sentral SI. Juga, persoalan-persoalan yang di hadapi
organisasi itu dalam menghadapi pembatas-pembatas oleh belanda.
Denyut
pergerakan dan perjuangan langsung bersenyawa dengan jiwa Soekarno muda dan di
kemudian hari menjadi titik balik dari seluruh impiannya dari hanya
bercita-cita menjadi segelintir golongan terpelajar Bumiputera yang memperoleh
pendidikan tinggi kolonial, dan karena itu mempunyai peluang tak terbatas
menjadi “Priyayi Besar” selanjutnya bermetamorfosa menjadi pemimpin garis depan
perjuangan bangsanya dengan segenap resiko yang mesti dihadapinya.
Hatta pun
demikian adanya. Sewaktu menempuh
pendudukan MULO ( Meer Uitgebreid Lager Onderwijs – setingkat sekolah
menengah pertama ) tahun 1917-1919, ia telah aktif dalam JSB (Jong Sumatranen
Bond= Perhimpunan Pemuda Sumatera ) sebagai sekretaris merangkap bendahara di
Padang. Kesadaran kebangsaannya mulai tumbuh, karena sering-nya ia menjadi
anggota dan pengurus aktif JSB menghadiri ceramah – ceramah dan pertemuan
–pertemuan politik yang diadakan tokoh –
tokoh lokal maupun Nasional. Pemupukan kesadaran Nasional melalui organisasi
dan realitas sosial sebagai negara yang penuh dengan fakta – fakta
diskriminatif di seluruh lapangan kehidupan agak-nya sangat berperanan dalam
menyemai tunas kebangsaan diri Hatta muda.
Soekarno - Hatta Setangkup Model Indonesia |
Persamaan
Gemblengan
Boleh jadi bukan
semata – mata faktor koinsidensi ( kebetulan) yang unik bahwa “jalan hidup “
Soekarno dan Mohamad Hatta hampir serupa satu sama lain. Pada usia yang amat
belia ( belasan tahun ), keduanya langsung menerima gemblengan dan melibatkan diri dalam
organisasi massa tanpa mengabaikan semangat menuntut ilmu. Keduanya termasuk
segelintir siswa cerdas yang didik guru-guru yang kebanyakan bangsa eropa dan
belajar disekolah-sekolah terbaik pada zamannya.
Barangkali
merupakan suatu kelebihan pula apabila kedua tokoh ini dan juga umumnya
generasi aktivis pengerak seangkatannya sepanjang hayat-nya adalah golongan
pelahap semua jenis buku – buku pengetahuan terutama filsafat, ekonomi,
politik, agama dan lain-lain. Koleksi buku kedua tokoh ini beragam, amat kaya
dan menunjukan minat yang demikian besar terhadap segenap ilmu pengetahuan.
Generasi pemula, para pendiri bangsa (the founding fathers ) dengan demikian,
selain terpelajar juga haus ilmu, “lapar buku” dan kemudian hal ini sangat
membantu memahami dan menguasai peta geopolitik, geoekonomi, geososial, di
seluruh dunia. Menjdi sangat beralasan manakala mereka lantas mereka tampil
bukan sekedar sebagai pemimpin yang pawai berpidato, akan tetapi juga memukau
sebagai penulis aktif di berbagai media.
Karangan –
karangan yang di tulis di usia muda sampai menjelang akhir hayat oleh Soekarna
dan Hattanya, tentunya sangat mengagumkan, orisinilitas dan kekuatan pemikiran,
kekayaan bahan pustaka, serta penguasaan tata dunia yang muncul pada
karya-karya kedua tokoh tersebut. Tidak mengherankan apabila hasil karya-karya
kedua tokoh tersebut tersebar diberbagai media lantas menjadi bahan rujukan
kader-kader partai, kaum terpelajar,
ahli-ahli asing, bahkan oleh lawan politik dan penjajahan sekalipun.
Selain lewat
karya tulis, keduanya juga merupakan pembicara yang menonjol, lawan debat yang
berkelas, dan seringkali tampil sebagai pemecah kebuntuan alias pembawa jalan
keluar (trouble shooter) pada rapat – rapat besar atau peristiwa-peristiwa penting.
Karya dan sepak
terjang yang kelak menegaskan posisi Soekarno di barisan terdepan pengerakan
Nasional tak pelak lagi adalah Indonesia Menggugat, sedangkan Hatta adalah
Indonesia Merdeka.
Indonesia
menggugat adalah judul pidato pembelaan (pledoi) Bung Karno tahun 1930 di depan
sidang pengadilan kolonial Belanda di Bandung. Tanggal 29 desember 1929 ia
bersama dengan tiga pemimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) yaitu Maskeon
Sumadiredja Gatot Mangkuprodja, dan Soepriadinata, di tangkap dan dijebloskan ke
penjara Sukamiskin, bandung dengan tuduhan menjadi otak penghasut pemberontakan
terhadap pemerintahan kolonial.
Pidato tersebut
benar-benar mengemparkan bukan hanya bagi kalangan pergerakan di Hindia-Belanda
saja, malahan mengundang simpati dan dukungan dari kalangan aktivis di negeri belanda maupun dunia internasional.
Dengan pidato yang terang-terangan dan berani menyebut tujuan PNI adalah
Kemerdekaan Indonesia tersebut, Soekarno secara pasti mengukuhkan diri, sebagai
tokoh sentral pergerakan nasional yang di segani lawan dan kawan. Ia langsung
menantang pasal-pasal hatzai artikelen (pasal
yang digunakan pemerintah kolonial untuk membungkam setiap gerakan yang di
pandang menggangu ketertiban umum) dan tidak bersembunyi terhadap
tuduhan-tuduhan subversif yang dilancarkan oleh pemerintah kolonial.
Dalam pidatonya, Bung Karno dengan lugas, tegas, jelas, memaparkan
kesengsaraan rakyat sejak zaman VOC menginjakan kaki di bumi Nusantara 1602
sampai dengan era Taman Paksa (culturstelsel) 1830-1870 dan politik pintu
terbuka (mulai 1905). Ia menyakini, pada waktunya kelak indonesia akan merdeka
dan tidak satu kekuatan pun yang mampu menghalanginya. Ia tidak hanya
menegaskan diri sebagai pemimpin partai dengan prinsip non kooperasi (menolak
kerjasama dengan pemerintahan penjajah) tanpa banding, akan tetapi sekaligus
membawa diri sebagai “penyambung lidah rakyat” dan pengemban amanat ibu
pertiwi. Nama Sukarno pun langsung berkibar di langit pergerakan Hindia-Belanda
dan menjadi ancaman serius, nyata, dan paling mengkhawatirkan pemerintah
belanda. Pidatonya yang sangat berapi-api, mengobarkan-ngobarkan semangat
nasionalisme, harga diri dan kejayaan bangsa di masa silam (Majapahit dan
Sriwijaya), serta di masa depan (Indonesia yang besar, Jaya, adil, makmur dan
sanggup memberi sumbangan bagi peradaban dunia), merupakan magma baru dalam
lapangan pengerak. Pidato itu kelak
dianjurkan sebagai referensi wajib bagi kader-kader baru partai (tidak terbatas
hanya kader PNI) yang telah membulatkan tekad, terjun ke kancah pergerakan
melawan penjajah.
Tanpa bermaksud mengurangi makna dan arti pidato atau tulisan-tulisan
Bung Karno lainnya, Indonesia menggugat dapat dinilai sebagai portofolio
otentik, pertama, lugas, dan terang-benderang mengungkap sikap dan ketokohan
Bung Karno. Berapa bagian dari pidato tersebut dinukilkan dalam bab tersebut.
Intisari dari pidato itu memberi gambaran bagaimana Bung Karno sepanjang
hayatnya bersikukuh melawan imperialisme (baik yang kuno Maupun modern), yang
menghisap, menindas, meminggirkan kaum Bumiputra. Ia juga bicara tentang
perlunya kemerdekaan sejati (berserikat,berkumpul, menyuarakakan pendapat, hak
untuk memperoleh pendidikan, kesejahteraan yang layak, dan keadilan). Ia tak
percaya kemerdekaan adalah pemberian, belaskasih, tapi harus di rebut. Soekarno
yakin Indonesia yang merdeka dan berdaulat, akan mampu dan dapat memberikan
sumbangan bagi peradaban dan perdamaian dunia.
Di kemudian hari, pidato ini akan menjadi referensi bagi para kader
organisasi massa dan partai politik. Bahkan Bung Hatta juga mewajibkan kader
PNI Baru (Pendidikan Nasional Indonesia) yang dipimpinnya sejak beliau pulang
dari belajar di belanda 1932, untuk mempelajari pidato Bung Karno ini.
Nun jauh di seberang, Hatta yang mulai memimpin Perhimpunan Indonesia
sebuah organisasi kaum terpelajar Bumiputra di belanda sejak 1926, juga tampil
di garis depan sebagai juru bicara dan aktivis pergerakan langsung di negara
penjajah bangsanya. Bung Hatta pun diperkarakan atas aktivitas dan
tulisan-tulisannya yang dinilai merongsong kewibawaan dan kekuasaan kolonial.
Seperti Bung Karno, Bung Hatta pun nyiapkan naskah pembelaan yang
disusunnya sendiri di penjara dan kemudian diberinya judul: Indonesia Vrij!
(Indonesia Merdeka). Tulisan Bung Hatta yang disampaikan ke hakim pengadilan
Den Haag, 9 Maret 1928 itu tidak kalah memukau dan memperoleh perhatian luas
dari publik Belanda Sendiri maupun khalayak Internasional.
Kedua karya kedua pemimpin besar bangsa ini boleh disebut saling
melengkapi dan saling menegaskan keinginan rakyat untuk lepas dari belenggu
penjajahan, dan penindasan dalam segala bentuknya, dari dulu hingga akhir
zaman.
Terimakasih sudah berkunjung❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤
Jangan lupa Share↧
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER