Babad Karangsambung
KAJIAN
ILMIAH SEJARAH LOKAL CUPLIKAN KONFLIK KEBUMEN
(Telaah atas Babad Karangsambung)
Salah satu kawasan perbukitan di pucuk utara Kebumen yang kini menjadi lokasi Geowisata LIPI Karangsambung
Kebumen adalah salah satu daerah tingkat kabupaten yang terletak di daerah garis pesisir selatan Pulau Jawa memiliki cerita tentang konflik dualisme kepemimpinan memerebutkan tampuk kepemimpinan bupati pada era 1800-an. Kebumen sebagai wilayah agraris sempat beberapa kali menjadi lumbung logistik pemasok makanan Kerajaan Mataram ketika menyerang VOC di Batavia masih berupa kongsi dagang dan belum diambil alih oleh Pemerintah Kerajaan Belanda saat Sultan Agung Anyakrakusuma menjadi penguasa Mataram, pada tahun 1800-an dipimpin oleh Bupati yang masih dibawah kepemimpinan Kraton Kasunanan Surakarta yakni Arung Binang IV. Pada saat itu Arung Binang IV dibantu jabatan patih oleh Kolopaking V. Konflik dualisme kepemimpinan dimulai ketika Kolopaking V menyelundupkan 300 pucuk senjata api yang dikirim ke Ki Lurah Tanurekso yang disinyalir oleh Bupati Arung Binang IV untuk melakukan pemberontakan kepadanya dan Belanda selanjutnya Kompeni− yang mengadakan kongsi di Kebumen. Hal ini dapat kita tafsirkan sebagai suatu hal yang wajar dimana pada faktanya Arung Binang IV sebagai utusan Kraton Surakarta lebih memiliki kedekatan dengan Kompeni walaupun dalam beberapa halaman di bagian belakang Babad Karangsambung dikatakan bahwa Arung Binang hanya apik laire dengan Kompeni− sehingga mendorong Kolopaking V untuk melakukan hal semacam itu, mengingat pula konflik yang telah diwariskan leluhurnya, turun temurun persaingan kepemimpinan. Pada Babad Karangsambung dituliskan bahwa Arung Binang adalah pendatang sedangkan Kolopaking adalah orang Kebumen asli. Paling tidak trah Kolopaking merasa kalah saing dengan trah Arung Binang yang notabene hanya pendatang tetapi kemudian merebut kursi bupati. Bibit persaingan akan selalu muncul jika salah satu trah masih tetap ada −dahulu menurut penuturan pengarang babad dikatakan bahwa babad ini sempat dilarang ditulis dan di edarkan sementara babonnya disita menunjukkan ketidak senangan trah Arung Binang dengan trah Kolopaking. Nampaknya kalau dalam kajian politik sekarang ada pihak selaku Pemerintah dan ada pihak lawan sebagai Oposisi. Penyelundupan senapan tersebut membuat kekurang percayaan Kompeni kepada pemerintahan Bupati Arung Binang IV karena dinilai bahwa ia tidak tegas kepada perilaku pembangkangan Kolopaking V. Dalam hal ini tentunya Kompeni merasa terancam eksistensinya di Kebumen. Bisa jadi usaha penyelundupan tadi sebagai langkah awal mengurangi keterlibatan Kompeni dalam kancah perpolitikan lokal di Kebumen. Gawatnya lagi apabila timbul pembrontakan-pembrontakan seperti yang pernah dilakukan oleh leluhur Kolopaking V yang mampu membuat Kompeni untuk sedikit tidak menganggap remeh trah Kolopaking. Sebagai daerah bawahan (mancanagara) Kraton Surakarta maka Susuhunan Surakarta merasa perlu memberikan solusi atas konflik internal ditubuh kepemimpinan Kadipaten Kebumen.
Dalam
Babad Karangsambung, dituliskan bahwa solusi untuk mengatasi keadaan genting
diatas, diadakan musyawarah yang
dilakukan pada tahun 1849. Musyawarah ini membahas siapa yang paling pantas dan
berhak menduduki tahta Bupati Kebumen. Hasilnya Kolopaking V didukung oleh
banyak punggawa kadipaten. Sementara itu Arung Binang IV hanya didukung oleh
beberapa orang termasuk Ki Demang Martokondo. Disini kita tangkap suatu
tafsiran sejarah bahwasanya banyak punggawa kadipaten yang lebih condong untuk menyatakan
keberpihakannya pada Kolopaking V –mungkin saja suasana psikhis punggawa
kadipaten sama dengan pemikiran pengarang babad bahwa Kolopaking adalah orang
asli Kebumen dan Arung Binang adalah pendatang sehingga ikatan primordial
daerah (fanatik regional) lebih kuat pada Kolopaking atau melihat pada realita
bahwa Arung Binang lebih condong pada Kompeni−. Pelak menjadi tamparan bagi
Arung Binang IV yang dari segi kekuatan bisa dikatakan lebih unggul dengan
dibantu Kompeni dibanding dengan Kolopaking V yang hanya didukung oleh kekuatan
masa di Kadipaten Kebumen. Diceritakan bahwa, terjadi kericuhan dan penyerangan
oleh kubu Arung Binang IV yang dibantu Kumpeni untuk menghancurkan koalisi
Kolopaking V. Alun-alun Kebumen menjadi arena pertempuran. Dalam pertempuran
tersebut, Kolopaking V terdesak sehingga mundur ke arah Utara menuju rumah Ki
Lurah Tanurekso untuk bersembunyi. Suatu kemakluman karena pertemuan saat itu
tidak direncanakan adanya baku hantam sehingga jelas pastinya dari kubu
Kolopaking V kurang persiapan, terlebih dengan kenyataan koalisi Arung Binang
IV dibantu Kompeni yang dari segi piranti perang lebih maju. Terlihat bahwa
sudah ada hubungan antara Kolopaking V dengan Ki Tanurekso. Bisa saja memang
Kolopaking V telah menghimpun kekuatan di rumah Tanurekso karena secara logika
tidak mungkin seorang Kolopaking V yang dari segi kedudukan lebih tinggi
derajatnya dari pada Tanurekso yang hanya demang, kemudian meminta perlindungan
di rumahnya. Nampaknya jika tidak ada kekuatan di rumah Tanurekso, sangat
mustahil Kolopaking V menuju ke utara, mungkin bukan pilihan yang tepat
dibanding nyabrang kali Luk Ulo ke arah barat. Sungai mungkin saja bisa
menghambat mobilitas koalisi Arung Binang IV, tetapi opsi tersebut tidak
dipergunakannya dan lebih memilih mundur ke utara. Bisa saja basis Kolopaking V
adalah daerah utara Kebumen –kenyataannya dia bisa menghimpun kekuatan besar
setelah memusatkan kegiatannya di Panjer Gunung. Diceritakan dalam Babad
Karangsambung bahwa perjalanan Kolopaking V ke arah utara terhadang oleh medan
perbukitan Gunung Malang Kencana. Dengan keris saktinya Kolopaking V memancung
pucuk Gunung Malang sehingga menjadi pogog
atau putus pucuknya sampai sekarang bukit tersebut disebut dengan Gunung Pogog. Tentunya tidak dapat kita telan mentah-mentah hal ini. Bisa saja
maknanya adalah kias tetapi bisa pula sebagai alat legitimasi yang dibuat oleh
pengarang Babad ini yang merupakan salah satu keturunannya. Bukit atau gunung
sebagai simbol keluhuran, kesucian dan kehormatan –makam kuno biasanya sering
ditempatkan di atas perbukitan sebagai simbol kedekatannya dengan yang kuasa,
sedangkan puncak sebagai mahkota. Artinya bahwa gunung tersebut telah
kehilangan mahkotanya, kehilangan keluhuran dan kehormatan. Nampaknya makna
kias demikian sebagai manifest sindiran kepada Arung Binang IV atas
kedekatannya dengan Kompeni. Penulis ingin menonjolkan bahwa perbuatan Arung
Binang IV yang akrab dengan Kompeni telah membutakan dan menghilangkan
kehormatannya sebagai penguasa lokal bahkan dengan membunuh saudaranya
sekalipun sesama pribumi Jawa. Barangkali penulis berusaha mengatakan bahwa
Arung Binang IV tidak memahami arti falsafah Jawa, sedulur kuwi tega warase aja tega myang larane, tega larane aja tega
patine.
Pada
malam harinya Kumpeni yang dibantu utusan bupati Arung Binang IV bernama Ki
Demang Martokondo berusaha menyusul rombongan Kolopaking V ke rumah Ki
Tanurekso. Namun gerakan rombongan Kompeni itu diketahui penduduk daerah
tersebut yang sedang berjaga-jaga atau Kemit.
Sehingga mereka langsung membunyikan kentongan tanda bahaya dengan nada atau
irama titir/nitir. Kawasan tersebut
kemudian hari disebut dengan Kemitir. Kubu Kolopaking V yang mengetahui hal
tersebut melarikan diri berpindah ke arah utara. Daerah persembunyian yang ditinggal
tadi kemudian disebut dengan Tanuraksan. Rombongan Kumpeni kemudian
mengurungkan niatnya dan kembali ke pendopo Kadipaten (kanjengan) Kebumen. Dari
pemberitaan Babad Karangsambung ini, kita lihat sedikit taktik atau strategi
penyerangan yang dimainkan kubu Kolopaking V maupun kubu gabungan Kompeni
beserta Prajurit Kadipaten. Mungkin saja dengan melihat kenyataan kekuatan kubu
Kolopaking V di daerah-daerah utara rumah Ki Tanurekso− maka kubu Kompeni dan
Arung Binang akan lebih memperhitungkan prosentase kemungkinan dapat unggul.
Kubu tersebut ternyata melakukan penyerangan pada malam hari. Bisa lebih
diperhitungkan kemungkinan kemenangan dalam penyerangan yang dilakukan pada
kondisi malam hari. Walaupun dari segi kekuatan lebih banyak tetapi apabila diserang
pada kondisi yang tidak siap –malam hari− maka akan sangat kecil kemungkinan
menangnya. Paling hanya bisa bertahan dan sudah pasti akan mengurangi terhadap
kekuatan awal. Sehingga lebih mudah dipatahkan untuk kemudiannya.
Diceritakan
dalam babad tersebut ketika keesokan harinya, pengejaran kembali dilakukan yang
dipimpin sendiri oleh Arung Binang IV dan terjadi pertempuran dengan kubu
Kolopaking V di daerah Kaligending. Nampaknya dengan keterlibatan langsung
pasukan koalisi di bawah komando Arung Binang IV, kita sedikit bisa menafsirkan
bahwa Arung Binang IV sudah geram dan tidak menganggap remeh kraman atau
pembrontakan Kolopaking V. Walaupun tidak diceritakan secara eksplisit, bisa
saja pada penyerangan malam hari sebelumnya, kubu koalisi Kompeni mengalami
kekalahan. Sehingga paling tidak menjadikan Arung Binang IV merasa harus turun
tangan serta melakukan pengejaran sebelum kubu lawan berkembang menjadi lebih
besar lagi. Dalam pertempuran di Kaligending itu, satu demi satu punggawa
bawahan Arung Binang IV mulai diincar dan berguguran. Setidaknya Kolopaking V
tahu dan faham betul cara merongrong kekuatan musuh. Dengan terbunuhnya
orang-orang pribumi kepercayaan Arung Binang IV, nantinya keturunan Joko
Sangkrib ini akan meminta bantuan orang-orang Kompeni untuk lebih memperkuat
pasukannya. Hal ini tentunya akan membuat masyarakat tidak senang. Dan merubah
keberpihakannya pada Arung Binang IV menjadi kepada Kolopaking V. Hal ini
ternyata benar. Nantinya ketika Kolopaking V bermarkas di Panjer Gunung, ada
banyak masyarakat sukarelawan dari Desa Clapar masuk Kecamatan Karanggayam
sekarang− yang kemudian menggabungkan diri dengan Kolopaking V dipimpin
langsung oleh leluhur penulis babad ini yakni Raden Mas Dipodrono. Diceritakan
dalam Babad Karangsambung tersebut, Demang Martokondo sebagai antek dari Bupati
Arung Binang IV terbunuh dan dilarikan menggunakan kuda ke arah selatan dengan
tujuan kembali ke Kadipaten melewati sebelah barat Gunung Pogog, namun mayat yang sudah mulai membengkak tadi jatuh diperjalanan.
Tempat itu kemudian disebut dengan Mertokondo. Mayatnya yang sudah seperti
Bugel potongan pohon kayu− kemudian dikubur agak keselatan. Makam tersebut
kemudian disebut dengan Astana Bugel. Kini jalan sepanjang Mertokondo sampai
Kaligending −ditepi kali Luk Ulo− banyak ditemui makam kuno yaitu makam
prajurit Arung Binang dan Kolopaking yang gugur dalam pertempuran. Kenyataan
situs makam Bugel kini memang ada di sebelah barat Dukuh Jetis masuk wilayah
Desa Kutosari, dan kini dijadikan makam umum . Dan nama Mertokondo tempat
jatuhnya mayat Ki Martokondo memang mewujudkan sebuah perempatan dimana
jalan-jalan tersebut adalah jalan arteri −utama− yang kemungkinan sudah sejak
zaman dahulu keberadaannya. Ke arah
utara menyusuri tepi Luk Ulo menuju Panjer Gunung atau daerah Kecamatan
Karangsambung sekarang. Sementara ke arah selatan –jika lurus langsung menuju
kampung belakang Masjid Agung meliputi Jetis, Kauman dan sekitarnya− dan
sedikit berbelok ke arah timur langsung menuju pusat pemerintahan sistem macapatan
yakni Alun-alun, Kanjengan, Masjid Agung dan sedikit ke arah timur adalah
Pasar. Mengingat posisinya yang strategis itu maka tidak mengherankan jika
kemudian hari, jalan kecil yang membentuk perempatan Mertokondo tadi diperbesar
–jalan HM Sarbini sekarang− serta dibuatkan jembatan permanen di Sungai Luk Ulo
yang diberi nama Tembana jembatan ini dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda
sehingga tidak mengherankan jika arsitektur jembatannya sangat mirip dengan
jembatan-jembatan di Eropa yakni struktur lengkung di bagian bawah jembatan−.
Sudah selayaknya Pemerintah Kabupaten Kebumen sekarang hendaknya memperhatikan
terhadap keberlangsungan dan kelestarian situs-situs tersebut sebagai kawasan
cagar budaya ditengah berkembanganya Pasar Mertokondo, pemakaman umum Bugel,
dan lalu lintas kendaraan di atas jembatan Tembana.
Selanjutnya
menurut babad tersebut sebagai batas kekuasaan Kolopaking V yang saat itu
bermarkas di Panjer Gunung adalah Selaranda situs Geologi Watu Randa−. Prajurit
Kebumen dibawah pimpinan Kumpeni dengan kekuatan 1500 orang menghancurkan
markas di Panjer Gunung. Dugaan Kolopaking V benar bahwa paling tidak Arung
Binang IV akan meminta sokongan kekuatan yang lebih besar dari Kompeni. Melihat
kenyataan tersebut tentunya Kolopaking V tidak akan menghadapi mentah-mentah
kekuatan kubu Arung Binang IV. Diceritakan Kolopaking V mundur ke arah utara
dan beristirahat dibawah Pohon Tanjung yang besar dan rimbun dan dibuat
pesanggrahan tempat istirahat sementara daerah tersebut kini disebut Dukuh
Pesanggrahan yang masuk wilayah Desa Karangsambung. Kisah ini dapat kita
tafsirkan bahwa Kolopaking V memang tidak melakukan penyerangan secara berarti.
Dan memilih untuk beristirahat. Ini berarti bahwa Kolopaking V memang sedang
berusaha menghimpun tenaga –hakekat istirahat adalah menghimpun
tenaga/kekuatan−. Pohon dijadikan tempat berteduh bisa menimbulkan makna kias
bahwa Kolopaking V memang sedang berusaha mencari keadilan dengan melakukan
propagandanya kepada mayarakat atau para pemukanya di wilayah-wilayah utara.
Kegiatan ini berlangsung selama beberapa tahun, sehingga pada tahun-tahun
tersebut bisa dikatakan suasana sedikit lebih anyem, anyes lan tentrem sesuai
hakekat orang yang berteduh karena tidak ada pertempuran yang berarti tidak
diceritakan di dalam babad berarti dianggap bukan suatu peristiwa yang penting
ataupun tidak memiliki keterkaitan dengan tokoh yang diunggulkan dalam babad−.
Selang beberapa tahun kemudian yakni pada tahun 1865, ditempat itu −Pesanggrahan−
Kolopaking V didatangi para pengikut baru yakni Tumenggung Kertodrono dari
Sigaluh yang sudah lama membuka dan membangun daerah di seberang Kali/Sungai
Luk Ulo bernama Desa Binangun. Datang pula Raden Mas Dipodrono dan Ki
Suradiwangsa dari Desa Clapar untuk bergabung melawan Kompeni. Rencana perang
ketiga orang tersebut bersama Tumenggung Kolopaking V disatukan dan disambung
satu rencana dengan rencana yang lain sehingga sebagai peringatan daerah
tersebut diberi nama Desa Karangsambung. Ini menyatakan propaganda dan usaha
Kolopaking V untuk menghimpun kekuatan di wilayah-wilayah utara memang
berhasil. Dan tidak akan gentar lagi melawan koalisi Kompeni beserta Arung
Binang IV dan kemungkinan unggul dalam pertempuran bisa diharapkan.
Memahami
bahwa kekuatan Kolopaking V bersama koalisinya
semakin besar, yang tentunya akan mempersulit dikalahkannya, serta
pertimbangan atas kondisi geografis Panjer Gunung –wilayah Kecamatan
Karangsambung sekarang yang berupa perbukitan dan pegunungan pastinya akan
mempersulit mobilitas/pergerakan pasukan apalagi Kompeni, maka Arung Binang IV
menilai untuk perlunya kesegeraan untuk menggempur Karangsambung. Ibarat mumpung
taksih wujud plethiking geni prayoga siniram toya. Maka selang beberapa
waktu ahirnya meletus pertempuran antara kubu Kolopaking V dan Arung Binang IV
yang dibantu pasukan Kompeni. Dalam pertempuran tersebut Mayor Verbrug,
pimpinan Kompeni serta beberapa lainnya yakni Kapiten Arons, Kapiten Huster dan
Letnan Flissinger tewas. Diceritakan dalam Babad Karangsambung tersebut bahwa
Arung Binang IV keluar dari semak-semak tempat persembunyiannya sambil
men-jinjing atau mambawa tombak keramat warisan leluhurnya Joko Sangkrip yang
bernama Kyai Naracabala pemberian istrinya yakni ratu jin di Bulupitu. Arung
Binang IV mengaku yang telah membunuh pimpinan-pimpinan Kompeni tadi
berdasarkan luka bekas tusukan sejata yang berubah gosong di dada mayat-mayat
pimpinan Kompeni tadi serta tidak keluarnya darah dari luka tersebut. Konon
tombak Kyai Naracabala mempunyai kemampuan menghisap darah lawan. Inilah yang
dimaksudkan di depan bahwasanya Tumenggung Arung Binang IV hanya apik laire
dengan Kompeni. Terlepas dari benar atau tidaknya pemberitaan ini, nampaknya
kita jumpai suatu fakta bahwasanya telah terjadi semacam penghianatan dari
tubuh pasukan kubu Arung Binang IV propaganda Kolopaking V ternyata sampai ke
intern pasukan musuh. Sangat tidak mudah
menjangkau pimpinan-pimpinan Kompeni yang dilindungi anak buahnya. Diibaratkan
akan menangkap induk Harimau pasti akan menjumpai dulu anak-anaknya.
Kenyataannya 4 pimpinan Kompeni tewas dalam pertempuran, ini menunjukkan
pembunuhnya dengan sangat mudah menjangkau 4 petinggi pasukan Kompeni tadi.
Jika bukan orang intern pasti akan sangat sulit. Maka melihat kenyataan
kalahnya pasukan koalisi Kompeni dan Arung Binang IV dengan gugurnya
pimpinan-pimpinan mereka, Bupati Arung Binang IV dan Kompeni kemudian
mengadakan negosiasi perdamaian dengan kubu Kolopaking V di Panjer Gunung.
Bupati Kebumen, Arung Binang IV didampingi Mayor Magilis mengadakan
perundingan. Selama perundingan mayor Magilis selalu menyebut-nyebut kata bani are yang tidak dimengerti
maksudnya. Sebagai pengingat tempat tersebut disebut Desa Baniara yang masuk
dalam wilayah Kecamatan Karangsambung.
Pada tahun 1870 didapati
kesepakatan Kolopaking V sanggup berhenti berperang dan tidak masuk kembali ke
dalam struktur Birokrasi/Kepemerintahan Kabupaten Kebumen apabila kedua anaknya
lelaki dijadikan bupati pemegang wilayah. Disini nampaknya Kolopaking V sedikit
lebih mawas diri dengan sikap ksatrianya bahwa ia merasa tidak diberi mandat
oleh Kraton Kasunanan Surakarta sebagai Adipati –walaupun Kraton hanya sebagai
simbol karena hakekatnya Kompenilah yang berdaulat dan berkuasa atas semua
keputusan Kraton−. Atau memang ia tidak minat lagi menduduki jabatan Adipati
seperti leluhurnya dahulu –Ki Bagus Badranala dan anak turunnya−, dan meminta
haknya diberikan kepada anak-anaknya serta peperangan yang sudah dilalui lebih
termotif hanya untuk melawan Kompeni seperti halnya ayahnya, Kolopaking IV yang
merupakan senopati perang laskar Diponegaran. Hasil perundingan tersebut
disetujui Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia pada tahun 1875. Tahun
1878 Putra Kolopaking V yang bernama Ki Atmodipuro diangkat menjadi Bupati
Banjarnegara bergelar Kanjeng Raden Tumenggung Jayanegara I menggantikan Bupati
Raden Arya Dipodiningrat. Sedang yang bernama Ki Sukadis diangkat menjadi
Bupati Karanganyar –bukan Karanganyar timur Solo tetapi Karanganyar yang
sekarang masuk wilayah Kabupaten Kebumen sebagai Kecamatan Karanganyar−
bergelar Kanjeng Raden Tumenggung Kertonegoro menggantikan Bupati Kanjeng Raden
Tumenggung Jayadiningrat.
Bupati Karanganyar tersebut, K.R.T Kertonegoro, kemudian digantikan oleh anaknya bernama Kanjeng Raden Tumenggung Tirtokusumo. Terhitung tanggal 1 Januari 1936 berdasarkan keputusan Residen Hindia Belanda untuk wilayah Kedu, Kabupaten Karanganyar dihapus dan dijadikan satu dengan Kebumen. Tanggal tersebut itulah yang diperingati sebagai hari lahir Kabupaten Kebumen. Bupati K.R.T Tirtokusumo dipindah menjadi Bupati Demak. Beliau menulis sejarah leluhur-leluhurnya menjadi semacam catatan –tetapi bukan Babad Karangsambung ini.
Bupati Karanganyar tersebut, K.R.T Kertonegoro, kemudian digantikan oleh anaknya bernama Kanjeng Raden Tumenggung Tirtokusumo. Terhitung tanggal 1 Januari 1936 berdasarkan keputusan Residen Hindia Belanda untuk wilayah Kedu, Kabupaten Karanganyar dihapus dan dijadikan satu dengan Kebumen. Tanggal tersebut itulah yang diperingati sebagai hari lahir Kabupaten Kebumen. Bupati K.R.T Tirtokusumo dipindah menjadi Bupati Demak. Beliau menulis sejarah leluhur-leluhurnya menjadi semacam catatan –tetapi bukan Babad Karangsambung ini.
Semua
paparan diatas hanya didasarkan atas telaah Babad Karangsambung. Kiranya perlu
diadakan crosscing atau pencocokan dengan sumber lain berkaitan dengan
peristiwa diatas. Babad sebagai wujud Historiografi lokal tentunya kadar
ilmiahnya sebagai sumber Sejarah banyak diragukan oleh para ahli sejarah,
selain itu juga karena subyektifitasnya sangat dominan, tetapi tidak kemudian
kita tinggalkan begitu saja, diabaikan dari pengkajian sejarah. Telaah ilmiah
terhadap teks babad ternyata menarik karena menyajikan kisah yang dramatis, romantis bahkan teladan
yang patut kita contoh.
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER