Dinamika Politik Masa Demokrasi Terpimpin
Dinamika Politik Masa Demokrasi
Terpimpin
1.Menuju Demokrasi Terpimpin
Kehidupan sosial politik
Indonesia pada masa Demokrasi Liberal (1950 hingga 1959) belum pernah mencapai kestabilan secara
nasional. Kabinet yang silih berganti membuat program kerja kabinet tidak dapat
dijalankan sebagaimana mestinya. Partai-partai politik saling bersaing dan
saling menjatuhkan. Mereka lebih mengutamakan kepentingan kelompok
masing-masing. Di sisi lain, Dewan Konstituante yang dibentuk melalui Pemilihan
Umum 1955 tidak berhasil menyelesaikan tugasnya menyusun UUD baru bagi Republik
Indonesia. Padahal Presiden Soekarno menaruh harapan besar terhadap Pemilu
1955, karena bisa dijadikan sarana untuk membangun demokrasi yang lebih baik.
Hal ini seperti yang diungkapkan Presiden Soekarno bahwa “era ‘demokrasi
raba-raba’ telah ditutup”. Namun pada kenyataanya, hal itu hanya sebuah angan
dan harapan Presiden Soekarno semata.
Kondisi tersebut membuat Presiden
Soekarno berkeinginan untuk mengubur partai-partai politik yang ada, setidaknya
menyederhanakan partai-partai politik yang ada dan membentuk kabinet yang
berintikan 4 partai yang menang dalam pemilihan umum 1955. Untuk mewujudkan
keinginannya tersebut, pada tanggal 21 Februari 1957, di hadapan para tokoh
politik dan tokoh militer menawarkan konsepsinya untuk menyelesaikan dan
mengatasi krisis-krisis kewibawaan pemerintah yang terlihat dari jatuh
bangunnya kabinet.
Presiden juga menekankan bahwa
Demokrasi Liberal yang dipakai saat itu merupakan demokrasi impor yang tidak
sesuai dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia. Untuk itu ia ingin mengganti
dengan suatu demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yaitu
Demokrasi Terpimpin.
Demokrasi Terpimpin sendiri
merupakan suatu sistem pemerintahan yang ditawarkan Presiden Soekarno pada
Februari 1957. Demokrasi Terpimpin juga merupakan suatu gagasan pembaruan
kehidupan politik, kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi. Gagasan Presiden
Soekarno ini dikenal sebagai Konsepsi Presiden 1957. Pokok-pokok pemikiran yang
terkandung dalam konsepsi tersebut, pertama,
dalam pembaruan struktur politik harus diberlakukan sistem demokrasi terpimpin
yang didukung oleh kekuatan-kekuatan yang mencerminkan aspirasi masyarakat
secara seimbang. Kedua, pembentukan
kabinet gotong royong berdasarkan imbangan kekuatan masyarakat yang terdiri
atas wakil partai-partai politik dan kekuatan golongan politik baru yang diberi
nama oleh Presiden Soekarno golongan fungsional atau golongan karya.
Upaya untuk menuju Demokrasi
Terpimpin telah dirintis oleh Presiden Soekarno sebelum dikeluarkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Langkah pertama adalah pembentukan Dewan Nasional pada 6
Mei 1957. Sejak saat itu Presiden Soekarno mencoba mengganti sistem demokrasi
parlementer yang membuat pemerintahan tidak stabil dengan demokrasi terpimpin.
Melalui panitia perumus Dewan Nasional, dibahas mengenai usulan kembali ke UUD
1945.
Presiden Soekarno
mengumumkan dekrit yang memuat
tiga hal pokok yaitu :
1. Menetapkan pembubaran
Konstituante.
2. Menetapkan UUD 1945 berlaku
bagi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia,
terhitung mulai tanggal penetapan
dekrit dan tidak berlakunya lagi
UUD Sementara (UUDS).
3.Pembentukan MPRS, yang terdiri
atas anggota DPR ditambah
dengan utusan-utusan dan golongan,
serta pembentukan Dewan
Pertimbangan Agung Sementara
(DPAS).
2. Peta Kekuatan Politik Nasional
Antara tahun 1960-1965, kekuatan
politik pada waktu itu terpusat di tangan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno
memegang seluruh kekuasaan negara dengan TNI AD dan PKI di sampingnya. TNI,
yang sejak kabinet Djuanda diberlakukan S.O.B. kemudian pemberontakan PRRI dan
Permesta pada tahun 1958, mulai memainkan peranan penting dalam bidang politik.
Dihidupkannya UUD 1945 merupakan
usulan dari TNI dan didukung penuh dalam pelaksanaannya. Menguatnya pengaruh
TNI AD, membuat Presiden Soekarno berusaha menekan pengaruh TNI AD, terutama
Nasution dengan dua taktik, yaitu Soekarno berusaha mendapat dukungan
partai-partai politik yang berpusat di Jawa terutama PKI dan merangkul
angkatan-angkatan bersenjata lainnya terutama angkatan udara.
Kekuatan politik baru lainnya
adalah PKI. PKI sebagai partai yang bangkit kembali pada tahun 1952 dari
puing-puing pemberontakan Madiun 1948. PKI kemudian muncul menjadi kekuatan baru
pada pemilihan umum 1955. Dengan menerima Penetapan Presiden No. 7 1959, partai
ini mendapat tempat dalam konstelasi politik baru. Kemudian dengan menyokong
gagasan Nasakom dari Presiden Soekarno, PKI dapat memperkuat kedudukannya.
Sejak saat itu PKI berusaha menyaingi TNI dengan memanfaatkan dukungan yang
diberikan oleh Soekarno untuk menekan pengaruh TNI AD.
3. Pembebasan Irian Barat
Salah satu isu politik luar
negeri yang terus menjadi pekerjaan rumah kabinet RI adalah masalah Irian
Barat. Wilayah ini telah menjadi bagian RI yang diproklamasikan sejak 17
Agustus 1945. Akan tetapi dalam perundingan KMB tahun 1950 masalah penyerahan
Irian Barat ditangguhkan satu tahun dan berhasil dicapai dalam suatu kompromi
pasal di Piagam Penyerahan Kedaulatan yang berbunyi:
“Mengingat kebulatan hati pihak-pihak yang bersangkutan hendak
mempertahankan asas supaya semua perselisihan yang mungkin ternyata kelak atau
timbul diselesaikan dengan jalan patut dan rukun, maka status quo Irian (Nieuw
Guinea) tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah
tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat masalah
kedaulatan Irian akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara Republik
Indonesia Serikat dan Kerajaan Nederland”.(Piagam Penyerahan Kedaulatan, dalam
Notosoetardjo, Dokumen-dokumen Konperensi Medja Bundar: Sebelum, Sesudah dan
Pembubarannya, Pustaka Endang, 1956)
Upaya yang dilakukan sesuai
dengan piagam penyerahan kedaulatan adalah melalui konferensi uni yang
dilakukan secara bergilir di Jakarta dan di Belanda. Namun upaya penyelesaian
secara bilateral ini telah mengalami kegagalan dan pemerintah kita mengajukan
permasalahan ini ke Sidang Majelis Umum PBB. Namun upaya-upaya diplomasi yang
dilakukan di forum PBB terus mengalami kegagalan. Indonesia pun kemudian
mengambil jalan diplomasi aktif dan efektif yang puncaknya dilakukannya
Konferensi Asia Afrika. Langkah ini cukup efektif dalam menggalang kekuatan
dalam menyokong perjuangan diplomasi Indonesia di tingkat internasional yang memaksa
Belanda melunakkan sikapnya dan mau berunding bilateral untuk menyelesaikan
permasalahan Irian.Karena jalan damai yang telah ditempuh selama satu dasa
warsa tidak berhasil mengembalikan Irian Barat, pemerintah Indonesia memutuskan
untuk menempuh jalan lain. Upaya ini telah dilakukan Indonesia sejak tahun
1957, jalan lain yang dilakukan adalah melancarkan aksi-aksi pembebasan Irian
Barat, dimulai pengambilalihan semua perusahaan milik Belanda di Indonesia oleh
kaum buruh. Untuk mencegah anarki, KSAD, Nasution, mengambil alih semua
perusahaan milik Belanda dan menyerahkannya kepada pemerintah.
Hubungan Indonesia semakin
memuncak ketegangan pada 17 Agusus 1960, ketika Indonesia akhirnya memutuskan
hubungan diplomatik dengan pemerintah kerajaan Belanda Presiden Soekarno dalam
pidatonya tanggal 30 September 1960 di depan Sidang Majelis Umum PBB menegaskan
kembali sikapnya tentang upaya mengembalikan Irian Barat ke pangkuan RI. Dalam
pidato yang berjudul Membangun Dunia Kembali, Soekarno menegaskan bahwa:
“Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami
telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan penuh
toleransi dan penuh harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan
perundingan-perundingan bilateral.... Harapan lenyap, kesabaran hilang; bahkan
toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan Belanda
tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.” (Sketsa
Perjalanan Bangsa Berdemokrasi, Depkominfo, 2005)
Pidato Presiden Soekarno itu,
membawa dampak kepada dibuka kembalinya perdebatan Irian Barat di PBB. Usulan
yang muncul dari perdebatan itu adalah agar pihak Belanda menyerahkan
kedaulatan Irian Barat kepada Republik Indonesia. Penyerahan ini dilakukan
melalui PBB dalam waktu dua tahun. Usulan ini datang dari wakil Amerika Serika
di PBB, Ellsworth Bungker. Usulan itu secara prinsip disetujui oleh Pemerintah
Indonesia namun dengan waktu yang lebih singkat. Sedangkan pemerintah Belanda
lebih menginginkan membentuk negara Papua terlebih dahulu. Keinginan pemerintah
Belanda ini disikapi Presiden Soekarno dengan “Politik Konfrontasi disertai
dengan uluran tangan. Palu godam disertai dengan ajakan bersahabat.
Setelah upaya merebut kembali
Irian Barat dengan diplomasi dan konfrontasi politik dan ekonomi tidak
berhasil, maka pemerintah RI menempuh cara lainnya melalui jalur konfrontasi
militer. Dalam rangka persiapan kekuatan militer untuk merebut kembali Irian
Barat, pemerintah RI mencari bantuan senjata ke luar negeri. Pada awalnya usaha
ini dilakukan kepada negara-negara Blok Barat, khususnya Amerika Serikat, namun
tidak membawa hasil yang memuaskan. Kemudian upaya ini dialihkan ke
negara-negara Blok Timur (komunis), terutama ke Uni Soviet.
Belanda mulai menyadari bahwa
jika Irian barat tidak diserahkan ke Indonesia secara damai, maka Indonesia
akan menempuh dengan kekuatan militer. Melihat perkembangan persiapan militer
Indonesia, Belanda mengajukan nota protes kepada PBB bahwa Indonesia akan
melakukan agresi. Belanda kemudian memperkuat kedudukannya di Irian Barat
dengan mendatangkan bantuan dengan mengerahkan kapal perangnya ke perairan
Irian, diantaranya adalah kapal induk Karel Doorman.
Perebutan kembali Irian Barat
merupakan suatu tuntutan konstitusi, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan
Indonesia, 17 Agustus 1945. Oleh karena itu, segala upaya telah dilakukan dan
didukung oleh semua kalangan baik kalangan politisi maupun militer. Oleh karena
itu, dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat, Presiden Soekarno, pada
tanggal 19 Desember 1961, di depan rapat raksasa di Yogyakarta, mengeluarkan
suatu komando untuk berkonfrontasi secara militer dengan Belanda yang disebut
dengan Tri Komando Rakyat (Trikora). Isi dari Trikora tersebut adalah :
1. Gagalkan pembentukan negara
boneka Papua buatan Belanda
2. Kibarkan Sang Merah Putih di
Irian Barat.
3. Bersiaplah untuk mobilisasi
umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Dengan dideklarasikannya Trikora
mulailah konfrontasi total terhadap Belanda di Papua. Langkah pertama yang
dilakukan oleh Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No 1 tahun
1962 tertanggal 2 Januari 1962 tentang pembentukan Komando Mandala Pembebasan
Irian Barat di bawah Komando Mayor Jenderal Soeharto.
Sebelum Komando Mandala menjalankan
fungsinya, unsur militer Indonesia dari kesatuan Motor Torpedo Boat, telah
melakukan penyusupan ke Irian Barat. Namun upaya ini diketahui oleh Belanda
sehinga terjadi pertempuran yang tidak seimbang di laut Aru antara kapal-kapal
boat Indonesia dengan kapal-kapal Belanda. Naas Kapal MTB Macan Tutul, berhasil
ditembak Belanda sehingga kapal terbakar dan tenggelam.
Peristiwa ini memakan korban
Komodor Yos Sudarso, Deputy KSAL dan Kapten Wiratno yang gugur bersamaan dengan
tenggelamnya MTB Macan Tutul.Pemerintah Belanda pada mulanya menganggap enteng
kekuatan militer di bawah Komando Mandala. Belanda menganggap bahwa pasukan
Indonesia tidak akan mampu melakukan infiltrasi ke wilayah Irian. Namun ketika
operasi infiltrasi Indonesia berhasil merebut dan menduduki kota Teminabuan,
Belanda terpaksa bersedia kembali untuk duduk berunding guna menyelesaikan
sengketa Irian. Tindakan Indonesia membuat para pendukung Belanda di PBB
menyadari bahwa tuntutan pimpinan Indonesai bukan suatu yang main-main.
Di sisi lain Pemerintah Amerika
Serikat juga menekan pemerintah Belanda untuk kembali berunding, agar Amerika
Serikat dan Uni Soviet tidak terseret dalam suatu konfrontasi langsung di
Pasifik Barat Daya. Amerika Serikat juga punya kepentingan dengan kebijakan politik
luar negerinya untuk membendung arus komunis di wilayah ini. Akhirnya pada
tanggal 15 Agustus 1962 ditanda-tangani perjanjian antara Pemerintah Indonesia
dengan Pemerintah Belanda di New York, hal ini dikenal sebagai Perjanjian New
York. Hal pokok dari isi perjanjian itu adalah penyerahan pemerintahan di Irian
dari pihak Belanda ke PBB. Untuk kepentingan ini kemudian dibentuklah United
Nation Temporary Excecutive Authority (UNTEA) yang kemudian akan menyerahkan
Irian Barat ke pemerintah Indonesia sebelum tanggal 1 Mei 1963. Berdasarkan
perjanjian New York, pemerintah Indonesia punya kewajiban untuk
menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat sebelum
akhir 1969 dengan ketentuan kedua belah pihak harus menerima apapun hasil dari
Pepera tersebut.
Tindak lanjut berikutnya adalah
pemulihan hubungan Indonesia Belanda yang dilakukan pada tahun 1963 dengan
membuka kembali kedutaan Belanda di Jakarta dan kedutaan Indonesia di Den
Haag.Sesuai dengan Perjanjian New York, pada tanggal 1 Mei 1963 secara resmi
dilakukan penyerahan kekuasan Pemerintah Irian Barat dari UNTEA kepada
Pemerintah Republik Indonesia di Kota Baru/Holandia/Jaya Pura. Kembali Irian ke
pangkuan RI berakhirlah perjuangan memperebutkan Irian Barat.Sebagai tindak
lanjut dari perjanjian New York, Pemerintah Indonesia melaksanakan tugas untuk
melaksankan Act Free Choice / Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Pemerinatah
Indonesia menjalankan dalam tiga tahap. Tiga tahapan ini sukses dijalankan oleh
pemerintah Indonesia dan hasil dari Pepera kemudian dibawa oleh Duta Besar
Ortis Sanz ke New York untuk dilaporkan ke Sidang Umum Dewan Keamanan PBB. Pada
tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB ke-24 menerima hasil Pepera yang
telah dilakukan Indonesia karena sudah sesuai dengan isi perjanjian New York.
Sejak saat itulah Indonesia secara de Jure dan de Facto memperoleh kembali
Irian Barat sebagai bagian dari NKRI.
4. Konfrontasi Terhadap Malaysia
Masalah Malaysia merupakan isu
yang menguntungkan PKI untuk mendapatkan tempat dalam kalangan pimpinan negara.
Masalah ini berawal dari munculnya keinginan Tengku Abdul Rahman dari
persekutuan Tanah Melayu dan Lee Kuan Yu dari Republik Singapura untuk
menyatukan kedua negara tersebut menjadi Federasi Malaysia. Rencana pembentukan
Federasi Malaysia mendapat tentangan dari Filipina dan Indonesia. Filipina
menentang karena memiliki keinginan atas wilayah Sabah di Kalimantan Utara.
Filipina menganggap bahwa wilayah Sabah secara historis adalah milik Sultan
Sulu.
Pemerintah Indonesia pada saat
itu menentang karena menurut Presiden Soekarno pembentukan Federasi Malaysia
merupakan sebagian dari rencana Inggris untuk mengamankan kekuasaanya di Asia
Tenggara. Pembentukan Federasi Malaysia dianggap sebagai proyek Neokolonialisme
Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia. Oleh karena itu, berdirinya
negara federasi Malaysia ditentang oleh pemerintah Indonesia.
Untuk meredakan ketegangan di
antara tiga negara tersebut kemudian diadakan Konferensi Maphilindo (Malaysia,
Philipina dan Indonesia) di Filipina pada tanggal 31 Juli-5 Agustus 1963.
Hasil-hasil pertemuan puncak itu memberikan kesan bahwa ketiga kepala
pemerintahan berusaha mengadakan penyelesaian secara damai dan sebaik-baiknya
mengenai rencana pembentukan Federasi Malaysia yang menjadi sumber sengketa.
Konferensi Maphilindo menghasilkan tiga dokumen penting, yaitu Deklarasi
Manila, Persetujuan Manila dan Komunike Bersama. Inti pokok dari tiga dokumen
tersebut adalah Indonesia dan Filipina menyambut baik pembentukan Federasi
Malaysia jika rakyat Kalimantan Utara menyetujui hal itu.
Mengenai pembentukan Federasi
Malaysia, ketiga kepala pemerintahan setuju untuk meminta Sekjen PBB untuk
melakukan pendekatan terhadap persoalan ini sehingga dapat diketahui keinginan
rakyat di daerah-daerah yang akan dimasukan ke dalam Federasi Malaysia.
Kemudian ketiga kepala pemerintahan tersebut meminta Sekjen PBB membetuk tim
penyelidik. Menindaklanjuti permohonan ketiga pimpinan pemerintahan tersebut,
Sekretaris Jenderal PBB membetuk tim penyelidik yang dipimpin oleh Lawrence
Michelmore. Tim tersebut memulai tugasnya di Malaysia pada tanggal 14 September
1963. Namun sebelum misi PBB menyelesaikan tugasnya dan melaporkan hasil
kerjanya, Federasi Malaysia diproklamasikan pada tanggal 16 September 1963.
Oleh karena itu, pemerintah RI menganggap proklamasi tersebut sebagai pelecehan
atas martabat PBB dan pelangggaran Komunike Bersama Manila, yang secara jelas
menyatakan bahwa penyelidikan kehendak rakyat Sabah dan Serawak harus terlebih
dahulu dilaksanakan sebelum Federasi Malaysia diproklamasikan.
Presiden Soekarno tidak dapat
menerima tindakan yang dilakukan oleh PM Tengku Abdul Rahman karena menganggap
referendum tidak dijalankan secara semestinya. Hal itu merupakan suatu
perwujudan dari “act of bad faith” dari Tengku Abdul Rahman. Aksi-aksi
demonstrasi menentang terjadi di Jakarta yang dibalas pula dengan aksi-aksi
demontrasi besar terhadap kedutaan RI di Kuala Lumpur, sehingga pada tanggal 17
September 1963, hubungan diplomatik Indonesia Malaysia diputuskan. Pemerintah
RI pada tanggal 21 September memutuskan pula hubungan ekonomi dengan Malaya,
Singapura, Serawak dan Sabah. Pada akhir tahun 1963 pemerintah RI menyatakan
dukungannya terhadap perjuangan rakyat Kalimantan Utara dalam melawan
Neokolonilisme Inggris.
Konflik di Asia Tenggara ini
menarik perhatian beberapa negara dan menghendaki penyelesaian pertikaian
secara damai. Pemerintah Amerika Serikat, Jepang dan Thailand berusaha
melakukan mediasi menyelesaikan masalah ini. Namun masalah pokok yang
menyebabkan sengketa dan memburuknya hubungan ketiga negara tersebut tetap
tidak terpecahkan, karena PM Federasi Malaysia, Tengku Abdul Rahman tidak
menghadiri forum pertemuan tiga negara. Upaya lainnya adalah melakukan
pertemuan menteri-menteri luar negeri Indonesia, Malaysia dan Filipina di
Bangkok. Namun pertemuan Bangkok yang dilakukan sampai dua kali tidak
menghasilkan satu keputusan yang positif, sehingga diplomasi mengalami
kemacetan. Ditengah kemacetan diplomasi itu pada 3 Mei 1964 Presiden Soekarno
mengucapkan Dwi Komando Rakyat (Dwi Kora) di hadapan apel besar sukarelawan.
“Kami perintahkan kepada dua puluh satu juta sukarelawan Indonesia yang
telah mencatatkan diri: perhebat ketahanan revolusi Indonesia dan bantuan
perjuangan revolusioner rakyat-rakyat Manila, Singapura, Sabah, Serawak dan
Brunai untuk membubarkan negara boneka Malaysia”. (Taufik Abdullah dan AB
Lapian, 2012)
Untuk menjalankan konfrontasi
Dwikora, Presiden Soekarno membentuk Komando Siaga dengan Marsekal Madya Oemar
Dani sebagai Panglimanya.Walaupun pemerintah Indonesia telah memutuskan
melakukan konfrontasi secara total, namun upaya penyelesaian diplomasi terus
dilakukan. Presiden RI menghadiri pertemuan puncak di Tokyo pada tanggal 20
Juni 1964. Ditengah berlangsungnya Konfrontasi Indonesia Malaysia, Malaysia
dicalonkan menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Kondisi ini
mendorong pemerintah Indonesia mengambil sikap menolak pencalonan Malaysia
sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Sikap Indonesia ini langsung
disampaikan Presiden Soekarno pada pidatonya tanggal 31 Desember 1964. Presiden
Seokarno menegaskan bahwa :
“Oleh karenanya, jikalau PBB sekarang, PBB yang belum diubah, yang
tidak lagi mencerminkan keadaan sekarang, jikalau PBB menerima Malaysia menjadi
anggota Dewan Keamanan, kita, Indonesia, akan keluar, kita akan meninggalkan
PBB sekarang”. (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012)
Dari pidato tersebut terlihat
bahwa keluarnya Indonesia dari PBB adalah karena masuknya Malaysia menjadi
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Ketika tanggal 7 Januari 1965 Malaysia
dinyatakan diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dengan
spontan Presiden Sokearno menyatakan “Indonesia keluar dari PBB”.Walaupun
Indonesia sudah keluar dari PBB, sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh
pemerintah Indonesia terkait sengketa Indonesia Malaysia dan perombakan PBB
tetap tidak tercapai. Karena dengan keluarnya Indonesai dari PBB, Indonesia
kehilangan satu forum yang dapat digunakan untuk mencapai penyelesaian
persengketaan dengan Malaysia secara damai.
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER