Masa Transisi 1966-1967
Masa Transisi 1966-1967
Lahirnya pemeritahan Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial politik di masa itu. Pasca penumpasan G 30 S PKI, pemerintah ternyata belum sepenuhnya berhasil melakukan penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut. Kondisi ini membuat situasi politik tidak stabil. Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Soekarno semakin menurun. Tanggal 25 Oktober 1965 para mahasiswa di Jakarta membentuk organisasi federasi yang dinamakan KAMI dengan anggota antara lain terdiri dari HMI, PMKRI, PMII, dan GMNI. Pimpinan KAMI berbentuk Presidium dengan ketua umum Zamroni (PMII).Pemuda dan mahasiswa memiliki peran penting dalam transisi pemerintahan yang terjadi pada masa ini. Tokoh-tokoh seperti Abdul Ghafur, Cosmas Batubara, Subhan ZE, Hari Tjan Silalahi dan Sulastomo menjadi penggerak aksi-aksi yang menuntut Soekarno agar segera menyelesaikan kemelut politik yang terjadi.
1. Aksi-Aksi Tritura
Naiknya Letnan Jenderal Soeharto
ke kursi kepresidenan tidak dapat dilepaskan dari peristiwa Gerakan 30
September 1965 atau G 30 S PKI. Ini merupakan peristiwa yang menjadi titik awal
berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno dan hilangnya kekuatan politik PKI dari
percaturan politik Indonesia.Peristiwa tersebut telah menimbulkan kemarahan
rakyat. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau, keadaan perekonomian
makin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah
melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan menyebabkan timbulnya keresahan
masyarakat.
Aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang
seadil-adilnya terhadap pelaku G30 S PKI semakin meningkat. Gerakan tersebut
dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemuda, mahasiswa dan pelajar (KAPPI,
KAMI, KAPI), kemudian muncul pula KABI (buruh), KASI (sarjana), KAWI (wanita),
KAGI (guru) dan lain-lain. Kesatuan-kesatuan aksi tersebut dengan gigih
menuntut penyelesaian politis yang terlibat G-30S/PKI, dan kemudian pada
tanggal 26 Oktober 1965 membulatkan barisan mereka dalam satu front, yaitu
Front Pancasila.
Setelah lahir barisan Front
Pancasila, gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI makin bertambah
meluas. Situasi yang menjurus ke arah konflik politik makin bertambah panas
oleh keadaan ekonomi yang semakin memburuk. Perasaan tidak puas terhadap
keadaan saat itu mendorong para pemuda dan mahasiswa mencetuskan Tri Tuntunan
Hati Nurani Rakyat yang lebih dikenal dengan sebutan Tritura (Tri Tuntutan
Rakyat).Pada 12 Januari 1966 dipelopori oleh KAMI dan KAPPI, kesatuan-kesatuan
aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR mengajukan tiga
buah tuntutan yaitu: (1) Pembubaran PKI, (2) Pembersihan kabinet dari
unsur-unsur G30S PKI, dan (3) Penurunan harga/perbaikan ekonomi.Tuntutan rakyat
banyak agar Presiden Soekarno membubarkan PKI ternyata tidak dipenuhi Presiden.
Untuk menenangkan rakyat Presiden Soekarno mengadakan perubahan Kabinet Dwikora
menjadi Kabinet 100 Menteri, yang ternyata belum juga memuaskan hati rakyat
karena di dalamnya masih bercokol tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa
G30S PKI.
Pada saat pelantikan Kabinet 100
Menteri pada tgl 24 Pebruari 1966, para mahasiswa, pelajar dan pemuda memenuhi
jalan-jalan menuju Istana Merdeka.Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa
sehingga menyebabkan bentrok antara pasukan Cakrabirawa dengan para demonstran
yang menyebabkan gugurnya mahasiswa Universitas Indonesia bernama Arief Rachman
Hakim. Sebagai akibat dari aksi itu keesokan harinya yaitu pada tanggal 25
Februari 1966 berdasarkan keputusan Panglima Komando Ganyang Malaysia (Kogam)
yaitu Presiden Soekarno sendiri, KAMI dibubarkan.
Insiden berdarah yang terjadi
ternyata menyebabkan makin parahnya krisis kepemimpinan nasional. Keputusan
membubarkan KAMI dibalas oleh mahasiswa Bandung dengan mengeluarkan “Ikrar
Keadilan dan Kebenaran” yang memprotes pembubaran KAMI dan mengajak rakyat
untuk meneruskan perjuangan. Perjuangan KAMI kemudian dilanjutkan dengan
munculnya masa Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), krisis nasional makin
tidak terkendalikan. Dalam pada itu mahasiswa membentuk Resimen Arief Rachman Hakim.
Melanjutkan aksi KAMI.
Protes terhadap pembubaran KAMI
juga dilakukan oleh Front Pancasila, dan meminta kepada pemerintah agar
meninjau kembali pembubaran KAMI. Dalam suasana yang demikian, pada 8 Maret
1966 para pelajar dan mahasiswa yang melakukan demonstrasi menyerbu dan
mengobrak–abrik gedung Departemen Luar Negeri, selain itu mereka juga membakar
kantor berita Republik Rakyat Cina (RRC), Hsin Hua. Aksi para demonstran
tersebut menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno. Pada hari itu juga Presiden
mengeluarkan perintah harian supaya agar seluruh komponen bangsa waspada
terhadap usaha-usaha “membelokkan jalannya revolusi kita ke kanan”, dan supaya
siap sedia untuk menghancurkan setiap usaha yang langsung maupun tidak langsung
bertujuan merongrong kepemimpinan, kewibawaan, atau kebijakan Presiden, serta
memperhebat “pengganyangan terhadap Nekolim serta proyek “British Malaysia”.
2. Surat Perintah Sebelas Maret
Untuk mengatasi krisis politik
yang memuncak, pada tanggal 11 Maret 1966 Soekarno mengadakan sidang kabinet.
Sidang ini ternyata diboikot oleh para demonstran yang tetap menuntut Presiden
Soekarno agar membubarkan PKI, dengan melakukan pengempesan ban-ban mobil pada
jalan-jalan yang menuju ke Istana.
Belum lama Presiden berpidato
dalam sidang, ia diberitahu oleh Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa bahwa di
luar istana terdapat pasukan tanpa tanda pengenal dengan seragamnya. Meskipun
ada jaminan dari Pangdam V/Jaya Amir Machmud, yang hadir waktu itu, bahwa
keadaan tetap aman, Presiden Soekarno tetap merasa khawatir dan segera
meninggalkan sidang. Tindakan itu diikuti oleh Waperdam I Dr.Subandrio dan
Waperdam III Dr.Chaerul Saleh yang bersama-sama dengan Presiden segera menuju
Bogor dengan helikopter. Sidang kemudian ditutup oleh Waperdam II Dr.J.
Leimena, yang kemudian menyusul ke Bogor dengan mobil.
Sementara itu, tiga orang perwira
tinggi TNI-AD, yaitu Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M Jusuf, dan Brigjen Amir
Machmud, yang juga mengikuti sidang paripurna kabinet, sepakat untuk menyusul
Presiden Soekarno ke Bogor.
Sebelum berangkat, ketiga perwira
tinggi itu minta ijin kepada atasannya yakni Menteri/Panglima Angkatan Darat
Jenderal Soeharto yang juga merangkap selaku panglima Kopkamtib. Pada waktu itu
Jenderal Soeharto sedang sakit, dan diharuskan beristirahat di rumah. Niat
ketiga perwira itu disetujuinya. Mayjen Basuki Rachmat menanyakan apakah ada
pesan khusus dari Jenderal Soeharto untuk Presiden Soekarno, Letjen Soeharto
menjawab: “sampaikan saja bahwa saya tetap pada kesanggupan saya. Beliau akan
mengerti”
Latar
belakang dari ucapan itu ialah bahwa sejak pertemuan mereka di Bogor pada
tanggal 2 Oktober 1965 setelah meletusnya pemberontakan G-30-S/PKI. Antara
Presiden Soekarno dengan Letjen Soeharto terjadi perbedaan pendapat mengenai
kunci bagi usaha meredakan pergolakan politik saat itu. Menurut Letjen
Soeharto, pergolakan rakyat tidak akan reda sebelum rasa keadilan rakyat
dipenuhi dan rasa ketakutan rakyat dihilangkan dengan jalan membubarkan PKI
yang telah melakukan pemberontakan. Sebaliknya Presiden Soekarno menyatakan
bahwa ia tidak mungkin membubarkan PKI karena hal itu bertentangan dengan
doktrin Nasakom yang telah dicanangkan ke seluruh dunia. Dalam
pertemuan-pertemuan selanjutnya perbedaan paham itu tetap muncul. Pada suatu
ketika Soeharto menyediakan diri untuk membubarkan PKI asal mendapat kebebasan
bertindak dari Presiden. Pesan Soeharto yang disampaikan kepada ketiga orang
perwira tinggi yang akan berangkat ke Bogor mengacu kepada kesanggupan
tersebut.
Di Istana Bogor ketiga perwira
tinggi mengadakan pembicaraan dengan Presiden yang didampingi oleh Dr.
Subandrio, Dr. J Leimena dan Dr. Chaerul Saleh. Sesuai dengan kesimpulan
pembicaraan, ketiga perwira tinggi tersebut bersama dengan komandan Resimen
Cakrabirawa, Brigjen Sabur, kemudian diperintahkan membuat konsep surat
perintah kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan
pemerintah. Setelah dibahas bersama, akhirnya Presiden Soekarno menandatangani
surat perintah yang kemudian terkenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret, atau
SP 11 Maret, atau Supersemar.
Ada beberapa faktor yang melatar belakangi lahirnya Supersemar,
diantaranya:
1. Situasi negara secara umum
dalam keadaan kacau dan genting
2. Untuk mengatasi situasi yang
tak menentu akibat pemberontakan G 30 S/PKI
3. Menyelamatkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia
4. Untuk memulihkan keadaan dan
wibawa pemerintah.
Supersemar berisi pemberian
mandat kepada Letjen. Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib
untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Dalam menjalankan tugas,
penerima mandat diharuskan melaporkan segala sesuatu kepada presiden. Mandat
itu kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Keluarnya
Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru.
Tindakan pertama yang dilakukan
oleh Soeharto keesokan harinya setelah menerima Surat Perintah tersebut adalah
membubarkan dan melarang PKI beserta organisasi massanya yang bernaung dan
berlindung ataupun seasas dengannya di seluruh Indonesia, terhitung sejak
tanggal 12 Maret 1966.
Pembubaran itu mendapat dukungan
dari rakyat, karena dengan demikian salah satu diantara Tritura telah
dilaksanan.Selain itu Letjen. Soeharto juga menyerukan kepada pelajar dan
mahasiswa untuk kembali ke sekolah. Tindakan berikutnya berdasarkan Supersemar
adalah dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang
penahanan 15 orang menteri yang diduga terkait dengan pemberontakan G-30-S PKI
ataupun dianggap memperlihatkan iktikad tidak baik dalam penyelesaian masalah
itu.
Demi lancarnya tugas pemerintah,
Letjen. Soeharto mengangkat lima orang menteri koordinator ad interim yang
menjadi Presidium Kabinet. Kelima orang tersebut ialah Sultan Hamengkubuwono
IX, Adam Malik. Dr Roeslan Abdulgani, Dr. K.H. Idham Chalid dan Dr. J. Leimena.
3. Dualisme Kepemimpinan Nasional
Memasuki tahun 1966 terlihat
gejala krisis kepemimpinan nasional yang mengarah pada dualisme kepemimpinan.
Disatu pihak Presiden Soekarno masih menjabat presiden, namun pamornya telah
kian merosot. Soekarno dianggap tidak aspiratif terhadap tuntutan masyarakat
yang mendesak agar PKI dibubarkan. Hal ini ditambah lagi dengan ditolaknya
pidato pertanggungjawabannya hingga dua kali oleh MPRS. Sementara itu Soeharto
setelah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Soekarno dan sehari
sesudahnya membubarkan PKI, namanya semakin populer.
Dalam pemerintahan yang masih
dipimpin oleh Soekarno, Soeharto sebagai pengemban Supersemar, diberi mandat
oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang diberi nama Kabinet Ampera.Meskipun
Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan
dan tugas harian dipegang oleh Soeharto. Kondisi seperti ini berakibat pada
munculnya “dualisme kepemimpinan nasional”, yaitu Soekarno sebagai pimpinan
pemerintahan sedangkan Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan. Presiden
Soekarno sudah tidak banyak melakukan tindakan-tindakan pemerintahan, sedangkan
sebaliknya Letjen. Soeharto banyak menjalankan tugas-tugas harian pemerintahan.
Adanya “Dualisme kepemimpinan nasional” ini akhirnya menimbulkan pertentangan
politik dalam masyarakat, yaitu mengarah pada munculnya pendukung Soekarno dan
pendukung Soeharto. Hal ini jelas membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam Sidang MPRS yang digelar
sejak akhir bulan Juni sampai awal Juli 1966 memutuskan menjadikan Supersemar
sebagai Ketetapan (Tap) MPRS. Dengan dijadikannya Supersemar sebagai Tap MPRS
secara hukum Supersemar tidak lagi bisa dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden
Soekarno. Bahkan sebaliknya secara hukum Soeharto mempunyai kedudukan yang sama
dengan Soekarno, yaitu Mandataris MPRS.
Dalam Sidang MPRS itu juga,
majelis mulai membatasi hak prerogatif Soekarno selaku Presiden. Secara
eksplisit dinyatakan bahwa gelar “Pemimpin Besar Revolusi” tidak lagi
mengandung kekuatan hukum. Presiden sendiri masih diizinkan untuk membacakan
pidato pertanggungjawabannya yang diberi judul “Nawaksara”.
Pada tanggal 22 Juni 1966,
presiden Soekarno menyampaikan pidato “Nawaksara” dalam persidangan MPRS.
“Nawa” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti sembilan, dan “Aksara”
berarti huruf atau istilah. Pidato itu memang berisi sembilan pokok persoalan
yang dianggap penting oleh presiden Soekarno selaku mandataris MPR. Isi pidato
tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya peristiwa berdarah yang
terjadi pada tanggal 30 September 1965. Pengabaian peristiwa yang mengakibatkan
gugurnya sejumlah jenderal angkatan darat itu tidak memuaskan anggota MPRS.
Melalui Keputusan Nomor 5/MPRS/1966, MPRS memutuskan untuk minta kepada
presiden agar melengkapi laporan pertanggung jawabannya, khususnya mengenai
sebab-sebab terjadinya peristiwa Gerakan 30 September beserta epilognya dan
masalah kemunduran ekonomi serta akhlak.
Pada tanggal 10 Januari 1967
Presiden menyampaikan surat kepada pimpinan MPRS yang berisi Pelengkap
Nawaksara. Dalam Pelnawaksara itu presiden mengemukakan bahwa mandataris MPRS
hanya mempertanggungjawabkan pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan
bukan hal-hal yang lain. Nawaksara baginya hanya sebagai progress reportyang ia
sampaikan secara sukarela. Ia juga menolak untuk seorang diri
mempertanggungjawabkan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September, kemerosotan
ekonomi, dan akhlak.
Sementara itu, sebuah kabinet
baru telah terbentuk dan diberi nama Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan
Rakyat). Kabinet tersebut diresmikan pada 28 Juli 1966. Kabinet ini mempunyai
tugas pokok untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. Program kabinet
tersebut antara lain adalah memperbaiki kehidupan rakyat, terutama di bidang
sandang dan pangan, dan melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan Ketetapan MPR
RI No. XI/MPRS/1966. Sesuai dengan UUD 1945, Presiden Soekarno adalah pemimpin
Kabinet.
Akan tetapi pelaksanaan pimpinan
pemerintahan dan tugas harian dilakukan oleh Presidium Kabinet yang diketuai
oleh Letnan Jenderal Soeharto.Sehubungan dengan permasalahan yang ditimbulkan
oleh “Pelengkap Nawaksara” dan bertambah gawatnya keadaan politik pada 9
Februari 1967 DPRGR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar
mengadakan Sidang Istimewa. Sementara itu usaha-usaha untuk menenangkan keadaan
berjalan terus. Untuk itu pimpinan ABRI mengadakan pendekatan pribadi kepada
Presiden Soekarno agar ia menyerahkan kekuasaan kepada pengemban ketetapan MPRS
RI No. IX/MPRS/1966, yaitu Jenderal Soeharto sebelum Sidang Umum MPRS. Hal ini
untuk mencegah perpecahan di kalangan rakyat dan untuk menyelamatkan lembaga
kepresidenan dan pribadi Presiden Soekarno.
Salah seorang sahabat Soekarno,
Mr. Hardi, menemui Presiden Soekarno dan memohon agar Presiden Soekarno membuka
prakarsa untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan negara, karena dualisme
kepemimpinan inilah yang menjadi sumber konflik politik yang tidak kunjung
berhenti. Mr. Hardi menyarankan agar Soekarno sebagai mandataris MPRS,
menyatakan non aktif di depan sidang Badan Pekerja MPRS dan menyetujui
pembubaran PKI.
Presiden Soekarno menyetujui
saran Mr. Hardi. Untuk itu disusunlah “Surat Penugasan mengenai Pimpinan
Pemerintahan Sehari-hari kepada Pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966.Kemudian,
Presiden menulis nota pribadi kepada Jenderal Soeharto. Pada 7 Februari 1967,
Mr. Hardi menemui Jenderal Soeharto dan menyerahkan konsep tersebut. Pada 8
Februari 1967, Soeharto membahas surat Presiden bersama keempat Panglima
Angkatan. Para panglima berkesimpulan bahwa draft surat tersebut tidak dapat
diterima karena bentuk surat penugasan tersebut tidak membantu menyelesaikan
situasi konflik.
Kesimpulan itu disampaikan
Soeharto kepada Presiden Soekarno pada 10 Februari 1967. Presiden menanyakan
kemungkinan mana yang terbaik. Soeharto mengajukan draft berisi pernyataan
bahwa Presiden berhalangan, atau menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban Surat
Perintah 11 Maret 1966. Pada awalnya Presiden Soekarno tidak berkenan dengan
usulan draft tersebut, namun kemudian sikap Presiden Soekarno melunak, ia
memerintahkan agar Soeharto beserta Panglima Angkatan berkumpul di Bogor pada
hari Minggu tanggal 19 Februari 1967, Presiden menyetujui draft yang dibuat,
dan pada tanggal 20 Februari draft surat itu telah ditandatangani oleh Presiden.
Ia meminta agar diumumkan pada hari Rabu tanggal 22 Februari 1967. Tepat pada
pukul 19.30, Presiden Soekarno membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya.
Pada tanggal 12 Maret 1967
Jenderal Soeharto dilantik menjadi pejabat Presiden Republik Indonesia oleh
Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution. Setelah setahun menjadi pejabat
presiden, Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 27
Maret 1968 dalam Sidang Umum V MPRS. Melalui Tap No. XLIV/MPRS/1968, Jenderal
Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden Republik Indonesia hingga terpilih
presiden oleh MPR hasil pemilu. Pengukuhan tersebut menandai berakhirnya
dualisme kepemimpinan nasional dan dimulainya pemerintahan Orde Baru.
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER