Indonesia Dalam Panggung Dunia
Pada 2 September 1948, sebagai Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Mohammad Hatta memberikan keterangan kepada Badan Pekerja KNIP tentang kedudukan politik Negara Indonesia saat itu RI menghadapi berbagai kesulitan yang tidak sedikit. Perundingan dengan Belanda yang dimediasi oleh Komisi Tiga Negara dari PBB terputus. Dari dalam negeri oposisi dari aksi Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dipimpin oleh Muso menghebat.
Untuk menangkis serangan-serangan
yang ditujukan kepada pemerintah RI, diadakan sidang BP KNIP. Mengenai
pertentangan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam perang dingin di masa
itu, fraksi FDR PKI dalam Badan Pekerja mendesak supaya RI memilih pihak Uni
Soviet. Terkait desakan tesebut, Hatta menyatakan bahwa politik RI tidak
memilih pro ini atau pro itu, melainkan memilih jalan sendiri untuk mencapai
kemerdekaan. Sejak keterangan Hatta tersebut politik luar negeri RI disebut
politik bebas dan aktif. Bebas artinya menentukan jalan sendiri, tidak
terpengaruh oleh pihak manapun juga; aktif artinya menuju perdamaian dunia dan
bersahabat dengan segala bangsa.
Dalam situasi dunia yang terbelah
dalam dua Blok, Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang saling berusaha memasukkan
negara-negara yang baru merdeka pasca Perang Dunia Kedua ke dalam bloknya
masing-masing, Indonesia telah mempunyai sikap yang tegas, sebagaimana
diungkapkan Hatta dalam pidatonya.
“...pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi
objek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus menjadi
subjek yang menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita
sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya...” (Bagian dari isi pidato Hatta. sumber: Sejarah Diplomasi RI dari Masa ke
Masa, Deplu, 2004).
Meskipun saat ini perang dingin
telah berakhir dan dunia tidak terbelah dalam dua blok, bukan berarti tantangan
bagi Indonesia berakhir juga. Kini mulai tampak kecenderungan kuat munculnya
Republik Rakyat Cina sebagai kekuatan yang dapat menghadapi Amerika Serikat dan
memungkinkan Indonesia dihadapkan pada pilihan atau mempengaruhi bebas aktif
kita. Oleh karena itu maka esensi pidato Hatta masih relevan untuk
mengantisipasi masalah-masalah yang ditimbulkan dari pertikaian kepentingan politik
antar bangsa.
A. Landasan Ideal dan Konstitusional Politik Luar Negeri Indonesia
Bebas Aktif
Politik luar negeri suatu negara
lahir ketika negara itu sudah dinyatakan sebagai suatu negara yang berdaulat.
Setiap entitas negara yang berdaulat memiliki kebijakan yang mengatur
hubungannya dengan dunia internasional, baik berupa negara maupun komunitas
internasional lainnya. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari politik luar
negeri yang dijalankan negara dan merupakan pencerminan dari kepentingan nasionalnya.
Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat juga menjalankan politik luar negeri
yang senantiasa berkembang disesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri dan
perubahan situasi internasional.
Landasan Ideal dalam pelaksanaan
politik luar negeri Indonesia adalah Pancasila yang merupakan dasar negara
Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dijadikan sebagai
pedoman, pijakan dalam melaksanakan politik luar negeri Indonesia. Mohammad
Hatta menyebutnya sebagai salah satu faktor yang membentuk politik luar negeri
Indonesia. Kelima sila yang termuat dalam Pancasila, berisi pedoman dasar bagi
pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan mencakup seluruh
sendi kehidupan manusia. Hatta lebih lanjut mengatakan, bahwa Pancasila
merupakan salah satu faktor objektif yang berpengaruh atas politik luar negeri
Indonesia. Hal ini karena Pancasila sebagai falsafah negara mengikat seluruh
bangsa Indonesia, sehingga golongan atau partai politik manapun yang berkuasa
di Indonesia tidak dapat menjalankan suatu politik negara yang menyimpang dari
Pancasila.
Sedangkan landasan konstitusional
dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 alinea pertama
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” dan alinea keempat”....dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial....”.
Tujuan politik luar negeri bebas
aktif adalah untuk mengabdi kepada tujuan nasional bangsa Indonesia yang
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang menyatakan:
“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan
sosial....”
Kemudian agar prinsip bebas aktif
dapat dioperasionalisasikan dalam politik luar negeri Indonesia, maka setiap
periode pemerintahan menetapkan landasan operasional politik luar negeri
Indonesia yang senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan nasional.
Sejak awal kemerdekaan hingga
masa Orde Lama, landasan operasional dari politik luar negeri Indonesia yang
bebas aktif sebagian besar dinyatakan melalui maklumat dan pidato-pidato
Presiden Soekarno. Beberapa saat setelah kemerdekaan, dikeluarkanlah Maklumat
Politik Pemerintah tanggal 1 November 1945 yang isinya adalah; politik damai dan
hidup berdampingan secara damai; tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri
negara lain; politik bertetangga baik dan kerjasama dengan semua negara di
bidang ekonomi, politik dan lain-lain; serta selalu mengacu pada piagam PBB
dalam melakukan hubungan dengan negara lain.
Selanjutnya pada masa Demokrasi
Terpimpin 1959-1965 landasan operasional politik luar negeri Indonesia adalah
berdasarkan UUD 1945 yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama,
pasal 11 dan pasal 13 ayat 1 dan 2 UUD 1945, Amanat Presiden yang berjudul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada 17 Agustus 1959 atau dikenal sebagai
“Manifesto Politik Republik Indonesia”.
Amanat Presiden itu sendiri
kemudian dijadikan sebagai Garis Besar Haluan Negara. Berkaitan dengan
kebijakan politik luar negeri, Manifesto tersebut memuat tujuan jangka panjang
dan tujuan jangka pendek, yaitu :
Tujuan djangka pendek jaitu melandjutkan perdjuangan anti imperialisme
ditambah dengan mempertahankan kepribadian Indonesia di tengah-tengah
tarikan-tarikan ke kanan dan ke kiri jang sekarang sedang berlaku kepada negara
kita dalam pergolakan dunia menudju kepada suatu imbangan baru. Sementara dalam
djangka pandjang di bidang luar negeri, Revolusi Indonesia bertudjuan
melenjapkan imperialisme di mana-mana, dan mentjapai dasar-dasar bagi
perdamaian dunia jang kekal dan abadi. Menurut Manipol, diplomasi jang sesuai
dengan fungsinja sebagai art jang berhubungan dengan tjara melaksanakannja
harus tidak mengenal kompromi, harus radikal dan revolusioner.
( Panitia Penulisan Sedjarah
Departemen Luar Negeri,, 1971 . Jakarta: Deplu, 1971, hlm.259)
Tujuan jangka pendek dan jangka
panjang tidak terlepas dari sejarah Indonesia, sebagai bangsa yang pernah
mengalami penjajahan. Walaupun Indonesia sudah merdeka, perjuangan untuk
melenyapkan imperialisme belum berakhir, sebab negara-negara yang dianggap
imperialis dan kolonialis (Barat), masih ada dan berusaha menanamkan
pengaruhnya. Indonesia berusaha pula menghindari dari keberpihakan pada dua
blok yang bersengketa dan masuk menjadi anggota Non Blok.
Pedoman Pelaksanaan Manifesto
Politik/Manipol Indonesia berdasarkan pada amanat Presiden tanggal 17 Agustus
1960 yang terkenal dengan nama “Djalanja Revolusi Kita”, yang menetapkan
penegasan mengenai cara-cara pelaksanaan Manipol di bidang politik luar negeri.
Politik luar negeri Indonesia tidak netral, tidak menjadi penonton dan tidak
tanpa prinsip. Politik bebas tidak sekedar “cuci tangan”, tidak sekedar
defensif, tapi aktif dan berprinsip serta berpendirian.
Manipol, Djarek (Djalanja
Revolusi Kita), merupakan embrio kelahiran serta doktrin baru, yaitu dunia
tidak terbagi dalam Blok Barat , Blok Timur dan Blok Asia Afrika/Blok ketiga.
Akan tetapi dunia terbagi menjadi dua Blok yang saling bertentangan yaitu New Emerging Forces /Nefos dan Old
Established Forces/Oldefos.
Nefos merupakan kekuatan-kekuatan baru yang sedang bangkit.
Sementara Oldefos merupakan kekuatan-kekuatan lama yang sudah mapan. Doktrin
Nefos dan Oldefos menjadi dasar politik luar negeri anti imperialis dan
kolonialis yang lebih militan. Soekarno mewujudkan gagasan Nefos dan Oldefos
itu dengan suatu strategi diplomasi yang agresif dan konfrontatif dengan
negara-negara Barat.
Pada masa Orde Baru, landasan
operasional politik luar negeri Indonesia kemudian semakin dipertegas dengan
beberapa peraturan formal, diantaranya adalah Ketetapan MPRS no. XII/ MPRS/1966
tanggal 5 Juli 1966 tentang penegasan kembali landasan kebijaksanaan politik
luar negeri Indonesia. TAP MPRS ini menyatakan bahwa sifat politik luar negeri
Indonesia adalah:
1. Bebas aktif, anti-imperialisme
dan kolonialisme dalam segala bentuk manifestasinya dan ikut serta melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
2. Mengabdi kepada kepentingan nasional
dan amanat penderitaan rakyat.
Selanjutnya landasan operasional
kebijakan politik luar negeri RI dipertegas lagi dalam Ketetapan MPR tanggal 22
Maret 1973, yang berisi:
1. Terus melaksanakan politik
luar negeri yang bebas aktif dengan mengabdikannya kepada kepentingan nasional,
khususnya pembangunan ekonomi;
2. Mengambil langkah-langkah
untuk memantapkan stabilitas wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya,
sehingga memungkinkan negara-negara di wilayah ini mampu mengurus masa depannya
sendiri melalui pembangunan ketahanan nasional masing-masing, serta memperkuat
wadah dan kerjasama antara negara anggota perhimpunan bangsa-bangsa Asia
Tenggara;
3. Mengembangkan kerjasama untuk
maksud-maksud damai dengan semua negara dan badan-badan internasional dan lebih
meningkatkan peranannya dalam membantu bangsa-bangsa yang sedang memperjuangkan
kemerdekaannya tanpa mengorbankan kepentingan dan kedaulatan nasional.
Ketetapan-ketetapan MPR era Orde
Baru dijabarkan dalam pola umum pembangunan jangka panjang dan pola umum pelita
dua hingga enam, pada intinya menyebutkan bahwa dalam bidang politik luar
negeri yang bebas dan aktif diusahakan agar Indonesia dapat terus meningkatkan
peranannya dalam memberikan sumbangannya untuk turut serta menciptakan
perdamaian dunia yang abadi, adil dan sejahtera. Namun demikan, menarik untuk
dicatat bahwa TAP MPR RI No. IV/MPR/1973 berbeda dengan TAP MPRS tahun 1966.
Perbedaan ini seiring dengan pergantian pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto,
sehingga konsep perjuangan Indonesia yang selalu didengung-dengungkan oleh
Soekarno sebagai anti-kolonialisme dan anti-imperialisme tidak lagi memunculkan
dalam TAP MPR tahun 1973 di atas. selain itu, sosok politik luar negeri
Indonesia juga lebih difokuskan pada upaya pembangunan bidang ekonomi dan
peningkatan kerjasama dengan dunia internasional.
Selanjutnya TAP MPR RI No.
IV/MPR/1978, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia juga telah diperluas,
yaitu ditujukan untuk kepentingan pembangunan di segala bidang. Realitas ini
berbeda dengan TAP-TAP MPR sebelumnya, yang pada umumnya hanya mencakup satu
aspek pembangunan saja, yaitu bidang ekonomi. Pada TAP MPR RI No. II/MPR/1983,
sasaran politik luar negeri Indonesia dijelaskan secara lebih spesifik dan
rinci. Perubahan ini menandakan bahwa Indonesia sudah mulai mengikuti dinamika
politik internasional yang berkembang saat itu.
Pasca-Orde Baru atau dikenal
dengan periode Reformasi yang dimulai dari masa pemerintahan B.J. Habibie
sampai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono secara substansif landasan
operasional politik luar negeri Indonesia dapat dilihat melalui: ketetapan MPR
No. IV/MPR/1999 tanggal 19 Oktober 1999 tentang garis-garis besar haluan negara
dalam rangka mewujudkan tujuan nasional periode 1999-2004. GBHN ini menekankan
pada faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya krisis ekonomi dan krisis
nasional pada 1997, yang kemudian dapat mengancam integrasi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Diantaranya adanya ketidakseimbangan dalam kehidupan
sosial, politik, dan ekonomi yang demokratis dan berkeadilan. Oleh karena itu,
GBHN juga menekankan perlunya upaya reformasi di berbagai bidang, khususnya
memberantas segala bentuk penyelewengan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme
serta kejahatan ekonomi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Selanjutnya ketetapan ini juga
menetapkan sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam pelaksanaan politik dan
hubungan luar negeri, yaitu:
1. menegaskan kembali pelaksanaan
politik bebas dan aktif menuju pencapaian tujuan nasional;
2. ikut serta di dalam perjanjian
internasional dan peningkatan kerja sama untuk kepentingan rakyat Indonesia;
3. memperbaiki performa,
penampilan diplomat Indonesia dalam rangka suksesnya pelaksanaan diplomasi
pro-aktif di semua bidang;
4. meningkatkan kualitas
diplomasi dalam rangka mencapai pemulihan ekonomi yang cepat melalui
intensifikasi kerja sama regional dan internasional
5. mengintensifkan kesiapan
Indonesia memasuki era perdagangan bebas;
6. memperluas perjanjian
ekstradisi dengan negara-negara tetangga;
7. mengintensifkan kerja sama
dengan negara-negara tetangga dalam kerangka ASEAN dengan tujuan memelihara
stabilitas dan kemakmuran di wilayah Asia Tenggara.
Ketetapan MPR diatas, secara
jelas menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif,
berorientasi untuk kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas
antarnegara berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa, menolak segala
bentuk penjajahan serta meningkatkan kemandirian bengsa dan kerjasama
internasional bagi kesejahteraan rakyat.
B. Politik Luar Negeri Bebas
Aktif dan Pelaksanaannya
1. Lahirnya Politik Luar Negeri
Bebas Aktif
Setelah proklamasi kemerdekaan
pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia belum memiliki rumusan yang jelas
mengenai bentuk politik luar negerinya. Akan tetapi pada masa tersebut politik
luar negeri Indonesia sudah memiliki landasan operasional yang jelas, yaitu
hanya mengonsentrasikan diri pada tiga sasaran utama yaitu; 1). Memperoleh
pengakuan internasional terhadap kemerdekaan RI, 2). Mempertahankan kemerdekaan
RI dari segala usaha Belanda untuk kembali bercokol di Indonesia, 3).
Mengusahakan serangkaian diplomasi untuk penyelesaian sengketa
Indonesia-Belanda melalui negosiasi dan akomodasi kepentingan, dengan
menggunakan bantuan negara ketiga dalam bentuk good officesataupun mediasi dan
juga menggunakan jalur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sesuai dengan sasaran utama
kebijakan politik luar negeri sebagaimana disebutdi atas, maka
Indonesia harus berusaha
memperkuat kekuatan diplomasinya dengan menarik simpati negara-negara lain.
Dalam perang dingin yang sedang
berkecamuk antara Blok Amerika (Barat) dengan Blok Uni Soviet (Timur) pada masa
awal berdirinya negara Indonesia, Indonesia memilih sikap tidak memihak kepada
salah satu blok yang ada. Hal ini untuk pertama kali diuraikan Syahrir, yang
pada waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri di dalam pidatonya pada Inter
Asian Relations Conference di New Delhi pada tanggal 23 Maret–2 April 1947.
Dalam pidatonya tersebut, Syahrir mengajak bangsa-bangsa Asia untuk bersatu
atas dasar kepentingan bersama demi tercapainya perdamaian dunia, yang hanya
bisa dicapai dengan cara hidup berdampingan secara damai antar bangsa serta
menguatkan ikatan antara bangsa ataupun ras yang ada di dunia. Dengan demikian
di dalam perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang memecah belah
persatuan, sikap tidak memihak adalah sikap yang paling tepat untuk menciptakan
perdamaian dunia atau paling tidak meredakan perang dingin tersebut.
Keinginan Indonesia pada awal
kemerdekaannya untuk tidak memihak dalam perang dingin tersebut selain untuk
meredakan ketegangan yang ada juga dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional
Indonesia saat itu, yaitu mencari dukungan dunia Internasional terhadap
perjuangan kemerdekaannya. Oleh karena itu, keterikatan pada salah satu kubu
(blok) yang ada belum tentu akan mendatangkan keuntungan bagi perjuangan
kemerdekaannya. Karena pada waktu itu negara-negara dari Blok Barat (Amerika)
masih ragu-ragu untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia menghadapi
Belanda yang juga termasuk salah satu dari Blok Barat. Di lain pihak, para
pemimpin Indonesia saat itu juga masih ragu-ragu dan belum dapat memastikan apa
tujuan sebenarnya dari dukungan-dukungan yang diberikan negara Blok Timur
terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia di forum PBB. Selain itu, Indonesia
pada saat itu disibukkan oleh usaha mendapatkan pengakuan atas kedaulatannya,
sehingga Indonesia harus berkonsentrasi pada masalah tersebut.
Secara resmi politik luar negeri
Indonesia baru mendapatkan bentuknya pada saat Wakil Presiden Mohammad Hatta
memberikan keterangannya kepada BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat) mengenai kedudukan politik Indonesia pada bulan September
1948, pada saat itu Hatta mengatakan bahwa:
“.........tetapi mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan
kemerdekaan bangsa dan negara kita, harus memilih antara pro-Rusia atau
pro-Amerika. Apakah tidak ada pendirian yang lain yang harus kita ambil dalam
mengejar cita-cita kita? Pemerintahan berpendapat bahwa pendirian yang harus
kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam pertarungan politik
Internasional, melainkan kita harus menjadi subyek yang berhak menentukan sikap
kita sendiri, berhak memperjuangkantujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka
seluruhnya.” ( Sumber: Sejarah Diplomasi RI dari Masa ke Masa, Deplu, 2004)
Dari pernyataan Mohammad Hatta
tersebut jelas terlihat bahwa Indonesia berkeinginan untuk tidak memihak salah
satu blok yang ada pada saat itu. Bahkan bercita-cita untuk menciptakan
perdamaian dunia yang abadi atau minimal meredakan perang dingin yang ada
dengan cara bersahabat dengan semua negara baik di Blok Barat maupun di Blok
Timur, karena hanya dengan cara demikian cita-cita perjuangan kemerdekaan
bangsa dan negara Indonesia dapat dicapai. Tetapi walaupun Indonesia memilih
untuk tidak memihak kepada salah satu blok yang ada, hal itu tidak berarti
Indonesia berniat untuk menciptakan blok baru. Karena itu menurut Hatta,
Indonesia juga tidak bersedia mengadakan atau ikut campur dengan suatu blok
ketiga yang dimaksud untuk mengimbangi kedua blok raksasa itu.
Sikap yang demikian inilah yang
kemudian menjadi dasar politik luar negeri Indonesia yang biasa disebut dengan
istilah Bebas Aktif, yang artinya dalam menjalankan politik luar negerinya
Indonesia tidak hanya tidak memihak tetapi juga “aktif“ dalam usaha memelihara
perdamaian dan meredakan pertentangan yang ada di antara dua blok tersebut
dengan cara “bebas“ mengadakan persahabatan dengan semua negara atas dasar
saling menghargai.Sejak Mohammad Hatta menyampaikan pidatonya berjudul
”Mendayung Antara Dua Karang” di depan Sidang BP KNIP pada bulan September
1948, Indonesia menganut politik luar negeri bebas-aktif yang dipahami sebagai
sikap dasar Indonesia yang menolak masuk dalam salah satu Blok negara-negara
superpower, menentang pembangunan pangkalan militer asing di dalam negeri,
serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara besar. Namun,
Indonesia tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya meredakan ketegangan
di dunia internasional (Pembukaan UUD 1945).
Politik luar negeri RI yang bebas
dan aktif itu dapat diartikan sebagai kebijaksanaan dan tindakan-tindakan yang
diambil atau sengaja tidak diambil oleh Pemerintah dalam hubungannya dengan
negara-negara asing atau organisasi-organisasi internasional dan regional yang
diarahakan untuk tercapainya tujuan nasional bangsa. Politik luar negeri bebas
aktif inilah yang kemudian menjadi prinsip dalam pelaksanaan politik luar
negeri Indonesia pada masa pemerintahan selanjutnya. Tentunya pelaksanaan
politik luar negeri bebas aktif ini juga disesuaikan dengan kepentingan dalam
negeri serta konstelasi politik internasional pada saat itu.
2. Politik Luar Negeri Indonesia
Masa Demokrasi Parlermenter 1950-1959
Prioritas utama politik luar
negeri dan diplomasi Indonesia pasca kemerdekaan hingga tahun 1950an lebih
ditujukan untuk menentang segala macam bentuk penjajahan di atas dunia,
termasuk juga untuk memperoleh pengakuan internasional atas proses dekolonisasi
yang belum selesai di Indonesia, dan menciptakan perdamaian dan ketertiban
dunia melalui politik bebas aktifnya. Usaha dekolonisasi yang dilakukan oleh
pihak Belanda dan Sekutu membuat Indonesia memberikan perhatian ekstra pada
bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang telah digapai dan diproklamasikan
pada 17 Agustus 1945. Indonesia dituntut untuk cerdas dalam menentukan strategi
agar kemerdekaan yang telah diraih tidak sia-sia.
Pada waktu itu Indonesia berusaha
keras untuk mendapatkan pengakuan dunia internasional dengan cara diplomasi.
Keberhasilan Indonesia mendapatkan pengakuan dunia internasional melalui meja
perundingan ini menjadi titik tolak dari perjuangan diplomasi Indonesia
mencapai kepentingannya. Betapa pada masa itu, kekuatan diplomasi Indonesia
disegani oleh negara-negara lain. Pada kondisi kemampuan militer dan ekonomi
yang kurang, Indonesia mampu meraih simpati publik internasional dan berhasil
mendapatkan pengakuan kedaulatan secara resmi melalui perundingan.Sejak
pertengahan tahun 1950 an, Indonesia telah memprakarsai dan mengambil sejumlah
kebijakan luar negeri yang sangat penting dan monumental, seperti, Konferensi
Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Konsep politik luar negeri Indonesia
yang bebas aktif merupakan gambaran dan usaha Indonesia untuk membantu
terwujudnya perdamaian dunia. Salah satu implementasinya adalah keikutsertaan
Indonesia dalam membentuk solidaritas bangsa-bangsa yang baru merdeka dalam
forum Gerakan Non-Blok (GNB) atau (Non-Aligned Movement/ NAM).
Forum ini merupakan refleksi atas
terbaginya dunia menjadi dua kekuatan besar, yakni Blok Barat (Amerika Serikat
) dan Blok Timur (Uni Soviet). Konsep politik luar negeri yang bebas aktif ini
berusaha membantu bangsa-bangsa di dunia yang belum terlepas dari belenggu
penjajahan.
3. Politik Luar Negeri Indonesia
Masa Soekarno (Demokrasi Terpimpin)
Pada masa Demokrasi Terpimpin
(1959-1965), politik luar negeri Indonesia bersifat high profile, flamboyan dan
heroik, yang diwarnai sikap anti-imperialisme dan kolonialisme serta bersifat
konfrontatif. Politik luar negeri Indonesia pada era ini, diabadikan pada
tujuan nasional Indonesia. Pada saat itu kepentingan nasional Indonesia adalah
pengakuan kedaulatan politik dan pembentukan identitas bangsa. Kepentingan nasional
itu diterjemahkan dalam suatu kebijakan luar negeri yang bertujuan untuk
mencari dukungan dan pengakuan terhadap kedaulatan Indonesia, dan untuk
menunjukan karakter yang dimiliki pada bangsa-bangsa lain di dunia
internasional.
Politik luar negeri Indonesia
pada masa ini juga bersifat revolusioner. Presiden Soekarno dalam era ini
berusaha sekuat tenaga untuk mempromosikan Indonesia ke dunia internasional
melalui slogan revolusi nasionalnya yakni Nasakom (nasionalis, agama dan
komunis) dimana elemen-elemen ini diharapkan dapat beraliansi untuk mengalahkan
Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Dari sini dapat dilihat adanya
pergeseran arah politik luar negeri Indonesia yakni condong ke Blok komunis,
baik secara domestik maupun internasional. Hal ini dilihat dengan adanya
kolaborasi politik antara Indonesia dengan China dan bagaimana Presiden
Soekarno mengijinkan berkembangnya Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia.
Alasan Soekarno mengijinkan perluasan PKI itu sendiri adalah agar komunis mampu
berasimilasi dengan revolusi Indonesia dan tidak merasa dianggap sebagai
kelompok luar .
Ketidaksukaan Presiden Soekarno
terhadap imperialisme juga dapat dilihat dari responnya terhadap keberadaan
Belanda di Irian Barat. Tindakan militer diambil untuk mengambil alih kembali
Irian Barat ketika diplomasi dianggap gagal. Dukungan Amerika Serikat yang
kemudian didapatkan Soekarno muncul sebagai akibat konfrontasi kedekatan
Jakarta dengan Moskow. Taktik konfrontatif ini kemudian digunakan kembali oleh
Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia akibat
pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap Indonesia pro terhadap
imperialisme Barat. Puncak ketegangan terjadi ketika Malaysia ditetapkan
sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB. Hal ini menyulut kemarahan
Indonesia. Hingga akhirnya pada 15 September 1965 Indonesia keluar dari PBB
karena Soekarno beranggapan bahwa PBB berpihak pada Blok Barat. Mundurnya
Indonesia dari PBB berujung pada terhambatnya pembangunan dan modernisasi Indonesia
karena menjauhnya Indonesia dari pergaulan Internasional.
Presiden Soekarno memperkenalkan
doktrin politik baru berkaitan dengan sikap konfrontasi penuhnya terhadap
imperialisme dan kolonialisme. Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi dalam
dua blok, yaitu “Oldefos” (Old
Established Forces) dan “Nefos” (NewEmerging
Forces). Soekarno menyatakan bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada
dasarnya akibat dari pertentangan antara kekuatan-kekuatan orde lama (Oldefos)
dan kekuatan-kekuatan yang baru bangkit atau negara-negara progresif (Nefos).
Imperialisme, kolonialisme, dan
neokolonialisme merupakan paham-paham yang dibawa dan dijalankan oleh
negara-negara kapitalis Barat. Dalam upayanya mengembangkan Nefos, Presiden
Soekarno melaksanakan Politk Mercusuar bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang
mampu menerangi jalan bagi Nefos di seluruh dunia. Salah satu tindakan usaha
penguatan eksistensi Indonesia dan Nefos juga dapat dilihat dari pembentukan
poros Jakarta – Peking yang membuat Indonesia semakin dekat dengan
negara-negara sosialis dan komunis seperti China.
Faktor dibentuknya poros ini
antara lain, pertama, karena konfrontasi dengan Malaysia menyebabkan Indonesia
membutuhkan bantuan militer dan logistik, mengingat Malaysia mendapat dukungan
penuh dari Inggris, Indonesia pun harus mencari kawan negara besar yang mau
mendukungnya dan bukan sekutu Inggris, salah satunya adalah China. Kedua,
Indonesia perlu untuk mencari negara yang mau membantunya dalam masalah dana
dengan persyaratan yang mudah, yakni negara China dan Uni Soviet. Politik luar negeri
pada masa Demokrasi Terpimpin juga ditandai dengan usaha keras Presiden
Soekarno membuat Indonesia semakin dikenal di dunia internasional melalui
beragam konferensi internasional yang diadakan maupun diikuti Indonesia. Tujuan
awal dari dikenalnya Indonesia adalah mencari dukungan atas usaha dan
perjuangan Indonesia merebut dan mempertahankan Irian Barat. Namun seiring
berjalannya waktu, status dan prestis menjadi faktor-faktor pendorong semakin
gencarnya Soekarno melaksanakan aktivitas politik luar negeri ini. Efek samping
dari kerasnya usaha ke luar Soekarno ini adalah ditinggalkannya masalah-masalah
domestik seperti masalah ekonomi.
Soekarno beranggapan bahwa
pertumbuhan ekonomi pada fase awal berdirinya suatu negara adalah hal yang
tidak terlalu penting. Beliau beranggapan bahwa pemusnahan pengaruh-pengaruh
asing baik itu dalam segi politik, ekonomi maupun budaya adalah hal-hal yang
harus diutamakan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi domestik. Soekarno
dengan gencar melancarkan politik luar negeri aktif namun tidak diimbangi
dengan kondisi perekonomian dalam negeri yang pada kenyatannya morat- marit
akibat inflasi yang terjadi secara terus-menerus, penghasilan negara merosot
sedangkan pengeluaran untuk proyek-proyek Politik Mercusuar seperti GANEFO (Games of The New Emerging Forces) dan
CONEFO (Conference of The New Emerging
Forces) terus membengkak. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu
penyebab krisis politik dan ekonomi Indonesia pada masa akhir pemerintahan
Demokrasi Terpimpin.
4. Politik Luar Negeri Indonesia
Pada Masa Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru terjadi
perubahan pada pola hubungan luar negeri Indonesia. dalam segala bidang. Pada
masa pemerintahan Soeharto, Indonesia lebih memfokuskan pada pembangunan sektor
ekonomi. Pembangunan ekonomi tidak dapat dilaksanakan secara baik, tanpa adanya
stabilitas politik keamanan dalam negeri maupun di tingkat regional. Pemikiran
inilah yang mendasari Presiden Soeharto mengambil beberapa langkah kebijakan
politik luar negeri (polugri), yaitu membangun hubungan yang baik dengan
pihak-pihak Barat dan “good neighbourhood policy” melalui Association South
East Asian nation (ASEAN). Titik berat pembangunan jangka panjang Indonesia
saat itu adalah pembangunan ekonomi, untuk mencapai struktur ekonomi yang
seimbang dan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, pada dasawarsa abad yang akan
datang. Tujuan utama politik luar negeri Soeharto pada awal penerapan New Order
(tatanan baru) adalah untuk memobilisasi sumber dana internasional demi
membantu rehabilitasi ekonomi negara dan pembangunan, serta untuk menjamin
lingkungan regional yang aman yang memudahkan Indonesia untuk berkonsentrasi
pada agenda domestiknya.
Berikut pernyataan Presiden
Soeharto mengenai politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.
“ Bagi Indonesia, politik luar negerinya yang berprinsip non-Blok tidak
identik dengan tidak adanya keterlibatan. Itulah alasannya mengapa Indonesia
lebih suka mengatakannya sebagai politik luar negeri yang bebas dan aktif
karena politik luar negeri kita tidak hampa, mati, atau tidak berjalan. Politik
luar negeri Indonesia adalah bebas di mana Indonesia bebas dari ikatan apapun
juga, baik itu dalam secara militer, politik ataupun secara ideologis bahwa
Indonesia benar-benar terbebas dari berbagai masalah atau peristiwa dengan
tidak adanya pengaruh dari pihak manapun, baik secara militer, politis, ataupun
secara ideologis.” (Kumpulan Pidato Presiden Soeharto, http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/speech)
Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, dalam bidang politik luar negeri, kebijakan politik luar negeri
Indonesia lebih menaruh perhatian khusus terhadap soal regionalisme. Para
pemimpin Indonesia menyadari pentingnya stabilitas regional akan dapat menjamin
keberhasilan rencana pembangunan Indonesia. Kebijakan luar negeri Indonesia
juga mempertahankan persahabatan dengan pihak Barat, memperkenalkan pintu
terbuka bagi investor asing, serta bantuan pinjaman. Presiden Soeharto juga
selalu menempatkan posisi Indonesia sebagai pemeran utama dalam pelaksanaan
kebijakan luar negerinya tersebut, seperti halnya pada masa pemerintahan
Presiden Soekarno.
Beberapa sikap Indonesia dalam
melaksanakan politik luar negerinya antara lain; menghentikan konfrontasi
dengan Malaysia. Upaya mengakhiri konfrontasi terhadap Malaysia dilakukan agar
Indonesia mendapatkan kembali kepercayaan dari Barat dan membangun kembali
ekonomi Indonesia melalui investasi dan bantuan dari pihak asing. Tindakan ini
juga dilakukan untuk menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia meninggalkan
kebijakan luar negerinya yang agresif. Konfrontasi berakhir setelah Adam Malik
yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri menandatangani
Perjanjian Bangkok pada tanggal 11 Agustus 1966 yang isinya mengakui Malaysia
sebagai suatu negara.
Selanjutnya Indonesia juga
terlibat aktif membentuk organisasi ASEAN bersama dengan Singapura, Malaysia,
Thailand dan Filipina. Dalam pembentukan ASEAN Indonesiamemainkan peranan utama
dalam pembentukan organisasi ASEAN. ASEAN merupakan wadah bagi politik luar
negeri Indonesia. Kerja sama ASEAN dipandang sebagai bagian terpenting dari
kebijakan luar negeri Indonesia. Ada kesamaan kepentingan nasional antara
negara-negara anggota ASEAN, yaitu pembangunan ekonomi dan sikap non komunis.
Dengan demikian, stabilitas
negara-negara anggota ASEAN bagi kepentingan nasional Indonesia sendiri
sangatlah penting. ASEAN dijadikan barometer utama pelaksanaan kerangka politik
luar negeri Indonesia. Berbagai kebutuhan masyarakat Indonesia coba
difasilitasi dan dicarikan solusinya dalam forum regional ini. Pemerintahan
Soeharto coba membangun Indonesia sebagai salah satu negara Industri baru di
kawasan Asia Tenggara, sehingga pernah disejajarkan dengan Korea Selatan,
Taiwan, dan Thailand sebagai macan-macan Asia baru. Di samping itu, politik
luar negeri Indonesia dalam forum ASEAN, juga untuk membentuk citra positif
Indonesia sebagai salah satu negara yang paling demokratis dan sangat layak
bagi investasi industri.
Presiden Soeharto memakai
Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) untuk memproyeksikan posisi kepemimpinan
Indonesia. Pada awalnya Indonesia tidak setuju dengan APEC. Kekhawatiran itu
didasarkan pada ketidakmampuan Indonesia menghadapi liberalisasi perdagangan.
Kekhawatiran lainnya adalah kehadiran APEC dapat mengikis kerjasama antara
negara-negara ASEAN.
Setelah berakhirnya Perang
Dingin, Indonesia mengubah pandangannya terhadap APEC. Faktor pendorongnya
antara lain adalah karena Indonesia menjadi ketua pertemuan APEC selanjutnya.
Keberhasilan Indonesia menjadi ketua pertemuan APEC dan juga keberhasilan
menjadi Ketua Gerakan Non Blok X pada tahun 1992, setidaknya memberikan
pengakuan bahwa Indonesia adalah salah satu pemimpin internasional.
Selain ASEAN, keterlibatan
Indonesia dalam membentuk kondisi perekonomian global yang stabil dan kondusif,
serta memaksimalkan kepentingan nasional, Indonesia juga masuk sebagai anggota
negara-negara produsen atau penghasil minyak dalam OPEC. OPEC menjadi barometer
pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia dalam hal stabilitas perekonomian
dunia.Kepemimpinan Soeharto secara umum mempunyai karakteristik yang berbeda
dengan pendahulunya. Diparuh pertama kepemimpinannya, dia cenderung adaptif dan
low profile.Dan pada paruh terakhir kepemimpinannya, sejak 1983, Soeharto
mengubah gaya kepemimpinannya menjadi high profile.
Gayanya tersebut mempengaruhi
pilihan-pilihan politik luar negerinya, yang pada kenyataannya tidak dapat
dilepaskan dari kondisi politik-ekonomi dan keamanan dalamnegeri Indonesia,
dengan nilai ingin menyejahterakan bangsa, Soeharto mengambil gaya represif (di
dalam negeri) dan akomodatif (di luar negeri).
5. Politik Luar Negeri Indonesia
Era Reformasi.
Orientasi politik luar negeri
Indonesia di awal reformasi masih sangat dipengaruhi oleh kondisi domestik
akibat krisis multidimensi akibat transisi pemerintahan. Perhatian utama
politik luar negeri Indonesia diarahkan pada upaya pemulihan kembali
kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia serta memulihkan perekonomian
nasional. Politik luar negeri Indonesia saat itu lebih banyak dipengaruhi oleh
perkembangan politik domestik daripada politik internasional.Pada masa awal
reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden B.J.Habibie, pemerintah
Habibie disibukkan dengan usaha memperbaiki citra Indonesia di kancah
internasional yang sempat terpuruk sebagai dampak krisis ekonomi di akhir era
Orde Baru dan kerusuhan pasca jajak pendapat di Timor-Timur. Lewat usaha
kerasnya, Presiden Habibie berhasil menarik simpati dari Dana Moneter
Internasional/International Monetary Funds(IMF) dan Bank Dunia untuk mencairkan
program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi.
Pada masa pemerintahan Presiden
Abdurahman Wahid, hubungan RI dengan negara-negara Barat mengalami sedikit masalah
setelah lepasnya Timor- Timur dari NKRI. Presiden Wahid memiliki cita-cita
mengembalikan citra Indonesia di mata internasional. Untuk itu beliau banyak
melakukan kunjungan kenegaraan ke luar negeri. Dalam setiap kunjungan luar
negeri yang ekstensif, selama masa pemerintahan yang singkat Presiden Wahid
secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam setiap pertemuannya dengan
setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain isu
Timor-Timur, adalah soal integritas tertorial Indonesia seperti kasus Aceh,
Papua dan isu perbaikan ekonomi.
Diplomasi di era pemerintahan
Abdurrahman Wahid dalam konteks kepentingan nasional selain mencari dukungan
pemulihan ekonomi, rangkaian kunjungan ke mancanegara diarahkan pula pada
upaya-upaya menarik dukungan mengatasi konflik domestik, mempertahankan
integritas teritorial Indonesia, dan hal yang tak kalah penting adalah
demokratisasi melalui proses peran militer agar kembali ke peran profesional.
Ancaman integrasi nasional di era Presiden Wahid menjadi kepentingan nasional
yang sangat mendesak dan diprioritaskan.Megawati dilantik menjadi Presiden
Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001. Pada awal pemerintahannya,
suasana politik dan keamanan menjadi sejuk dan kondusif. Walaupun ekonomi
Indonesia mengalami perbaikan, seperti nilai tukar rupiah yang agak stabil,
tetapi Indonesia pada masa pemerintahannya tetap saja tidak menunjukkan
perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lainnya.
Belajar dari pemerintahan
presiden yang sebelumnya, Presiden Megawati lebih memerhatikan dan
memertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan luar negeri dan diplomasi
seperti diamanatkan dalam UUD 1945. Presiden Megawati juga lebih
memprioritaskan diri untuk mengunjungi wilayah-wilayah konflik di Tanah Air
seperti Aceh, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan Selatan atau Timor Barat.
Pada era pemerintahan Megawati,
disintegrasi nasional masih menjadi ancaman bagi keutuhan teritorial. Selain
itu, pada masa pemerintahan Megawati juga terjadi serangkaian ledakan bom di
tanah air. Sehingga dapat dipahami, jika isu terorisme menjadi perhatian serius
bagi pemerintahan Megawati.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
dilantik menjadi Presiden ke-6 Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2004.
SBY merupakan Presiden Indonesia pertama yang dipilih melalui mekanisme
pemilihan umum secara langsung. SBY berhasil mengubah citra Indonesia dan
menarik investasi asing dengan menjalin berbagai kerjasama dengan banyak negara
pada masa pemerintahannya, antara lain dengan Jepang. Perubahan-perubahan
global pun dijadikannya sebagai peluang. Politik luar negeri Indonesia di masa
pemerintahan SBY diumpamakan dengan istilah ‘mengarungi lautan bergelombang’,
bahkan ‘menjembatani dua karang’. Hal tersebut dapat dilihat dengan berbagai
insiatif Indonesia untuk menjembatani pihak-pihak yang sedang bermasalah.
Indonesia tidak pandang bulu bergaul dengan negara manapun sejauh memberikan
manfaat bagi Indonesia.
Ciri politik luar negeri
Indonesia pada masa pemerintahan SBY, yaitu:
1. Terbentuknya kemitraan-kemitraan
strategis dengan negara-negara lain (Jepang, China, India, dll).
2. Terdapat kemampuan beradaptasi
Indonesia terhadap perubahan- perubahan domestik dan perubahan-perubahan yang
terjadi di luar negeri (internasional).
3. Bersifat pragmatis kreatif dan
oportunis, artinya Indonesia mencoba menjalin hubungan dengan siapa saja (baik
negara, organisasi internasional, ataupun perusahaan multinasional) yang
bersedia membantu Indonesia dan menguntungkan pihak Indonesia.
4. Konsep TRUST, yaitu membangun
kepercayaan terhadap dunia Internasional. Prinsip-prinsip dalam konsep TRUST
adalah unity, harmony, security, leadership, prosperity. Prinsip-prinsip dalam
konsep TRUST inilah yang menjadi sasaran politik luar negeri Indonesia di tahun
2008 dan selanjutnya.
C.Peran Indonesia Dalam Upaya
Menciptakan Perdamaian Dunia
1. Pelaksanaan Konferensi Asia
Afrika (KAA) 1955
Berakhirnya Perang Dunia II pada
bulan Agustus 1945, tidak berarti berakhir pula situasi permusuhan di antara
bangsa-bangsa di dunia dan tercipta perdamaian dan keamanan. Ternyata di
beberapa pelosok dunia, terutama di belahan bumi Asia Afrika, masih ada masalah
dan muncul masalah baru yang mengakibatkan permusuhan yang terus berlangsung,
bahkan pada tingkat perang terbuka, seperti di Jazirah Korea, Indo Cina,
Palestina, Afrika Selatan, Afrika Utara.
Masalah-masalah tersebut sebagian
disebabkan oleh lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan secara ideologi
maupun kepentingan, yaitu Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat dipimpin oleh
Amerika Serikat dan Blok Timur dipimpin oleh Uni Sovyet. Tiap-tiap blok
berusaha menarik negara-negara Asia dan Afrika agar menjadi pendukung mereka.
Hal ini mengakibatnkan tetap hidupnya dan bahkan tumbuhnya suasana permusuhan
yang terselubung diantara dua blok itu dan pendukungnya. Suasana permusuhan
tersebut dikenal dengan nama “Perang Dingin”.
Timbulnya pergolakan di dunia
disebabkan pula masih adanya penjajahan di bumi kita ini, terutama di belahan
Asia dan Afrika. Memang sebelum tahun 1945, pada umumnya dunia Asia dan Afrika
merupakan daerah jajahan bangsa Barat dalam aneka bentuk. Tetapi sejak tahun
1945, banyak di daerah Asia Afrika menjadi negara merdeka dan banyak pula yang
masih berjuang bagi kemerdekaan negara dan bangsa mereka seperti Aljazair,
Tunisia, dan Maroko di wilayah Afrika Utara; Vietnam di Indo Cina; dan di ujung
selatan Afrika.
Beberapa negara Asia Afrika yang
telah merdeka pun masih banyak yang menghadapi masalah-masalah sisa penjajahan
seperti Indonesia tentang Irian Barat, India dan Pakistan.Sementara itu
bangsa-bangsa di dunia, terutama bangsa-bangsa Asia Afrika, sedang dilanda
kekhawatiran akibat makin dikembangkannya senjata nuklir yang bisa memusnahkan
umat manusia. Situasi dalam negeri di beberapa Asia Afrika yang telah merdeka
pun masih terjadi konflik antar kelompok masyarakat sebagai akibat masa
penjajahan (politik divide et impera) dan perang dingin antara Blok dunia
tersebut. Walaupun pada masa itu telah ada badan internasional yaitu
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfungsimenanganimasalah-masalah dunia,
namun nyatanya badan ini belum berhasil menyelesaikan persoalan tersebut.
Sedangkan kenyataannya, akibat
yang ditimbulkan oleh masalah-masalah ini, sebagian besar diderita oleh
bangsa-bangsa di Asia Afrika. Keadaan itulah yang melatarbelakangi lahirnya
gagasan untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika. Pada awal tahun 1954, Perdana
Menteri Ceylon (Srilangka) Sir Jhon Kotelawala mengundang para Perdana Menteri
dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo),
dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud mengadakan suatu pertemuan informal di
negaranya.
Undangan tersebut diterima baik
oleh semua pimpinan pemerintah negara yang diundang. Pertemuan yang kemudian
disebut Konferensi Kolombo itu dilaksanakan pada tanggal 28 April sampai dengan
2 Mei 1954. Konferensi ini membicarakan masalah-masalah yang menjadi
kepentingan bersama.Yang menarik perhatian para peserta konferensi, diantaranya
pernyataan yang diajukan oleh Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo:
” Dimana sekarang kita berdiri, bangsa Asia sedang berada di
tengah-tengah persaingan dunia. Kita sekarang berada dipersimpangan jalan
sejatah umat manusia. Oleh karena itu kita Lima Perdana Menteri negara-negara
Asia bertemu disini untuk membicarakan masalah-masalah yang krusial yang sedang
dihadapi oleh masyarakat yang kita wakili. Ada beberapa hal yang mendorong
Indonesia mengajukan usulan untuk mengadakan pertemuan lain yang lebih luas,
antara negara-negara Afrika dan Asia .Saya percaya bahwa masalah-masalah itu
tidak terjadi hanya di negara-negara Asia yang terwakili disini, tetapi juga
sama pentingnya bagi negara-negara Afrika dan Asia lainnya”. (Ali
Sastroamidjojo, Tonggak-tonggak di Perjalananku, Kinta, 1974)
Pernyataan tersebut memberi arah
kepada lahirnya Konferensi Asia Afrika (KAA). Selanjutnya, soal perlunya
Konferensi Asia Afrika diadakan, diajukan pula oleh Indonesia dalam sidang
berikutnya. Usul itu akhirnya diterima oleh semua konferensi, walaupun masih
dalam suasana keraguan. Perdana Menteri Indonesia pergi ke Kolombo untuk
memenuhi undangan Perdana Menteri Srilangka dengan membawa bahan-bahan hasil
perumusan Pemerintah Indonesia . Bahan-bahan tersebut merupakan hasil rapat
dinas Kepala-kepala Perwakilan Indonesia di negara-negara Asia dan Afrika yang
dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Mr.Sunario. Rapat dinas tersebut diadakan di
Tugu (Bogor) pada tanggal 9 Sampai dengan 22 Maret 1954. Akhirnya, dalam
pernyataan bersama pada akhir Konferensi Kolombo, dinyatakan bahwa para Perdana
Menteri peserta konferensi membicarakan kehendak untuk mengadakan konferensi
negara-negara Asia Afrika dan menyetujui usul agar Perdana Menteri Indonesia
dapat menjajaki sampai dimana kemungkinannya mengadakan konferensi semacam itu.
Konferensi Kolombo telah
menugaskan Indonesia agar menjajaki kemungkinan untuk diadakannya Konferensi
Asia Afrika. Dalam rangka menunaikan tugas itu Pemerintah Indonesia melakukan
pendekatan melalui saluran diplomatik kepada 18 negara Asia Afrika. Maksudnya,
untuk mengetahui sejauh mana pendapat negara-negara tersebut terhadap ide
mengadakan konferensi tersebut. Ternyata pada umumnya negara-negara yang
dihubungi menyambut baik ide tersebut dan menyetujui Indonesia sebagai tuan
rumah pelaksanaan konferensi.
Atas undangan Perdana Menteri
Indonesia, para Perdana Menteri peserta Konferensi Kolombo (Birma/Myanmar,
Srilangka, India, Indonesia, dan Pakistan) mengadakan Konferensi di Bogor pada
tanggal 28 dan 29 Desember 1954, yang dikenal dengan sebutan Konferensi Panca
Negara. Konferensi ini membicarakan persiapan pelaksanaan Konferensi Asia
Afrika.Bogor berhasil merumuskan kesepakatan bahwa Konferensi Asia Afrika
diadakan atas penyelenggaraan bersama dan kelima negara peserta konferensi
tersebut menjadi negara sponsornya. Undangan kepada negara-negara peserta
disampaikan oleh Pemerintah Indonesia atas nama lima negara. Negara-negara yang
diundang disetujui berjumlah 25 negara, yaitu: Afganistan, Kamboja, Federasi
Afrika Tengah, Republik Rakyat Tiongkok (China), Mesir, Ethiopia, Pantai Emas
(Gold Coast), Iran, Irak, Jepang, Yordania, Laos, Libanon, Liberia, Libya,
Nepal, Filipina, Saudi Arabia, Sudan, Syria, Thailand (Muangthai), Turki,
Republik Demokrasi Vietnam (Vietnam Utara), Vietnam Selatan, dan Yaman. Waktu
Konferensi ditetapkan pada minggu terakhir April 1995.
Mengingat negara-negara yang akan
diundang mempunyai politik luar negeri serta sistem politik dan sosial yang
berbeda-beda. Konferensi Bogor menentukan bahwa menerima undangan untuk turut
dalam konferensi Asia Afrika tidak berarti bahwa negara peserta tersebut akan
berubah atau dianggap berubah pendiriannya mengenai status dari negara-negara
lain. Konferensi menjunjung tinggi pula asas bahwa bentuk pemerintahan atau
cara hidup sesuatu negara sekali-sekali tidak akan dapat dicampuri oleh negara
lain.
Maksud utama konferensi ialah
supaya negara-negara peserta menjadi lebih saling mengetahui pendirian mereka
masing-masingGedung Dana Pensiun dipersiapkan sebagai tempat sidang-sidang
Konferensi. Hotel Homann, Hotel Preanger, dan 12 (duabelas) hotel lainnya serta
perumahan perorangan dan pemerintah dipersiapkan pula sebagai tempat menginap
para tamu yang berjumlah 1300 orang. Dalam kesempatan memeriksa
persiapan-persiapan terakhir di Bandung pada tanggal 17 April 1955, Presiden RI
Soekarno meresmikan penggantian nama Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka,
Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwi Warna, dan sebagian Jalan Raya Timur
menjadi Jalan Asia Afrika. Penggantian nama tersebut dimaksudkan untuk lebih
menyemarakkan konferensi dan menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan
tujuan konferensi.
Pada tanggal 15 Januari 1955,
surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan kepada Kepala Pemerintahan 25
(dua puluh lima) negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara yang diundang
hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi Afrika Tengah
(Central African Federation), karena memang negara itu masih dikuasai oleh
orang-orang bekas penjajahnya. Sedangkan 24 (dua puluh empat) negara lainnya
menerima baik undangan itu, meskipun pada mulanya ada negara yang masih
ragu-ragu. Sebagian besar delegasi peserta konferensi tiba di Bandung lewat
Jakarta pada tanggal 16 April 1955.
Pada tanggal 18 April 1955
Konferensi Asia Afrika dilangsungkan di Gedung Merdeka Bandung. Konferensi
dimulai pada jam 09.00 WIB dengan pidato pembukaan oleh Presiden Republik
Indonesia Ir. Soekarno. Sidang-sidang selanjutnya dipimpin oleh Ketua
Konferensi Perdana Menteri RI Ali Sastroamidjojo.Konferensi Asia Afrika di
Bandung melahirkan suatu kesepakatan bersama yang merupakan pokok-pokok
tindakan dalam usaha menciptakan perdamaian dunia. Ada sepuluh pokok yang
dicetuskan dalam konferensi tersebut, maka itu disebut Dasasila Bandung.
Dasasila Bandung
1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan, serta asas-asas
kemanusian yang termuat dalam piagam PBB.
2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.
3. Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan persamaan semua bangsa
besar maupun kecil.
4. Tidak melakukan campur tangan dalam soal-soal dalam negara lain.
5. Menghormati hak-hak tiap bangsa untuk mempertahankan diri secara
sendirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan piagam PBB.
6. Tidak melakukan tekanan terhadap negara-negara lain.
7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi terhadap
integritas teritorial dan kemerdekaan negara lain.
8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai
seperti perundingan, persetujuan, dan lain-lain yang sesuai dengan piagam PBB.
9. Memajukan kerjasama untuk kepentingan bersama.
10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.
Dalam penutup komunike terakhir
dinyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika menganjurkan supaya kelima negara
penyelenggara mempertimbangkan untuk diadakan pertemuan berikutnya dari
konferensi ini, dengan meminta pendapat negara-negara peserta lainnya. Tetapi
usaha untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika kedua selalu mengalami hambatan
yang sulit diatasi. Tatkala usaha itu hampir terwujud (1964), tiba-tiba di
negara tuan rumah (Aljazair) terjadi pergantian pemerintahan, sehingga
konferensi itu tidak jadi. Konferensi Asia Afrika di Bandung, telah berhasil
menggalang persatuan dan kerja sama di antara negara-negara Asia dan Afrika,
baik dalam menghadapi masalah internasional maupun masalah regional. Konferensi
serupa bagi kalangan tertentu di Asia dan Afrika beberapa kali diadakan pula,
seperti Konferensi Wartawan Asia Afrika, Konferensi Islam Asia Afrika,
Konferensi Pengarang Asia Afrika, dan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika.
Konferensi Asia Afrika telah
membakar semangat dan menambah kekuatan moral para pejuang bangsa-bangsa Asia
Afrika yang pada masa itu tengah memperjuangkan kemerdekaan tanah air mereka,
sehingga kemudian lahirlah sejumlah negara merdeka di benua Asia dan Afrika.
Semua itu menandakan bahwa cita-cita dan semangat Dasa Sila Bandung semakin
merasuk kedalam tubuh bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Jiwa Bandung dengan Dasa
Silanya telah mengubah pandangan dunia tentang hubungan internasional. Bandung
telah melahirkan faham Dunia Ketiga atau “Non-Aligned” terhadap dunia
pertamanya Washington dan Dunia keduanya Moscow.
Dengan diselenggarakannya KAA di
Bandung, kota Bandung menjadi terkenal di seluruh dunia. Semangat perdamaian
yang dicetuskan di kota Bandung dijuluki “semangat Bandung” atau “Bandung
Spirit”. Untuk mengabadikan peristiwa sejarah yang penting itu jalan protokol
di kota Bandung yang terbentang di depan gedung Merdeka diberi nama Jalan Asia
Afrika.
2. Gerakan Non-Blok/ Non Align
Movement(NAM)
Gerakan Non-Blok (GNB) atau Non
Align Movement(NAM) adalah suatu gerakan yang dipelopori oleh negara-negara dunia
ketiga yang beranggotakan lebih dari 100 negara-negara yang berusaha
menjalankan kebijakan luar negeri yang tidak memihak dan tidak menganggap
dirinya beraliansi dengan Blok Barat atau Blok Timur. Gerakan Non Blok
merepresentasikan 55 persen penduduk dunia dan hampir 2/3 keanggotaan PBB.
Mayoritas negara-negara anggota GNB adalah negara-negara yang baru memperoleh
kemerdekaan setelah berakhirnya Perang Dunia II, dan secara geografis berada di
benua Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Setelah berakhirnya Perang Dunia
II, tepatnya di era 1950-an negara–negara di dunia terpolarisasi dalam dua
blok, yaitu Blok Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat dan Blok Timur di
bawah pimpinan Uni Soviet. Pada saat itu terjadi pertarungan yang sangat kuat
antara Blok Barat dan Timur, era ini dikenal sebagai era perang dingin (Cold
War) yang berlangsung sejak berakhirnya PD II hingga runtuhnya Uni Soviet pada
tahun 1989. Pertarungan antara Blok Barat dan Timur merupakan upaya untuk
memperluas sphere of dan sphere of influence. Dengan sasaran
utama perebutan penguasaan atas wilayah-wilayah potensial di seluruh dunia.
Dalam pertarungan perebutan
pengaruh ini, negara-negara dunia ketiga (di Asia, Afrika, Amerika Latin) yang
mayoritas sebagai negara yang baru merdeka dilihat sebagai wilayah yang sangat
menarik bagi kedua blok untuk menyebarkan pengaruhnya. Akibat persaingan kedua
blok tersebut, muncul beberapa konflik terutama di Asia, seperti Perang Korea,
dan Perang Vietnam. Dalam kondisi seperti ini, muncul kesadaran yang kuat dari
para pemimpin dunia ketiga saat itu untuk tidak terseret dalam persaingan
antara kedua blok tersebut.
Indonesia bisa dikatakan memiliki
peran yang sangat penting dalam proses kelahiran organisasi ini. Lahirnya
organisasi Gerakan Non Blok dilatar belakangi oleh kekhawatiran para pemimpin
negara-negara dunia ketiga terutama dari Asia dan Afrika terhadap munculnya
ketegangan dunia saat itu karena adanya persaingan antara Blok Barat dan Blok
Timur. Dengan dipelopori oleh lima pemimpin negara Indonesia, India, Pakistan,
Burma dan Srilangka. Terselenggaralah sebuah pertemuan pertama di Kolombo
(Srilangka) pada 28 April-2 Mei 1952, dilanjutkan dengan pertemuan di Istana
Bogor pada 29 Desember 1954. Dua konferensi diatas merupakan cikal bakal dari
terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika / KAA di Bandung pada 18 April-25 April
1955 yang dihadiri oleh wakil dari 29 negara Asia dan Afrika.
KAA di Bandung merupakan proses
awal lahirnya GNB. Tujuan KAA adalah mengidentifikasi dan mendalami masalah-masalah
dunia waktu itu dan berusaha memformulasikan kebijakan bersama negara-negara
yang baru merdeka tersebut pada tataran hubungan internasional. Sejak saat itu
proses pendirian GNB semakin mendekati kenyataan, dan proses ini tokoh-tokoh
yang memegang peran kunci sejak awal adalah Presiden Mesir Ghamal Abdul Naser,
Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden
Indonesia Soekarno, dan Presiden Yugoslavia Josep Broz Tito. Kelima tokoh ini
kemudian dikenal sebagai para pendiri GNB.
Adanya ketegangan dunia yang
semakin meningkat akibat persaingan antara Blok Barat dan Blok Timur, yang
dimulai dari pecahnya perang Vietnam, perang Korea, dan puncaknya krisis teluk
Babi di Kuba, yang hampir saja memicu Perang Dunia III, mendorong para pemimpin
negara-negara Dunia Ketiga untuk membentuk sebuah organisasi yang diharapkan
bisa berperan mengurangi ketegangan politik dunia internasional saat itu.
Pembentukan organisasi Gerakan Non Blok dicanangkan dalam Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) I di Beograd, Yugoslavia 1-6 September 1961 yang dihadiri oleh 25
negara dari Asia dan Afrika. Dalam KTT I tersebut, negara-negara pendiri GNB
berketetapan untuk mendirikan suatu gerakan dan bukan suatu organisasi untuk
menghindarkan diri dari implikasi birokratik dalam membangun upaya kerjasama
diantara mereka. Pada KTT I ini juga ditegaskan bahwa GNB tidak diarahkan pada
suatu peran pasif dalam politik internasional, tetapi untuk memformulasikan
posisi sendiri secara independen yang merefleksikan kepentingan negara-negara
anggotanya.
GNB menempati posisi khusus dalam
politik luar negeri Indonesia karena Indonesia sejak awal memiliki peran
sentral dalam pendirian GNB. KAA tahun 1955 yang diselenggararakan di Bandung
dan menghasilkan Dasa Sila Bandung yang menjadi prinsip-prinsip utama GNB,
merupakan bukti peran dan kontribusi penting Indonesia dalam mengawali
pendirian GNB. Tujuan GNB mencakup dua hal, yaitu tujuan ke dalam dan ke luar.
Tujuan kedalam yaitu mengusahakan kemajuan dan pengembangan ekonomi, sosial,
dan politik yang jauh tertinggal dari negara maju. Tujuan ke luar, yaitu
berusaha meredakan ketegangan antara Blok Barat dan Blok Timur menuju
perdamaian dan keamanan dunia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, negera-negara
Non Blok menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT). Pokok pembicaraan
utama adalah membahas persoalan-persoalan yang berhubungan dengan tujuan Non
Blok dan ikut mencari solusi terbaik terhadap peristiwa-peristiwa internasional
yang membahayakan perdamaian dan keamanan dunia.
Dalam perjalanan sejarahnya sejak
KTT I di Beograd tahun 1961, Gerakan Non Blok telah 16 kali menyelenggarakan
Konferensi Tingkat Tinggi, yang terakhir KTT XVI yang berlangsung di Teheran
pada Agustus 2012. Indonesia sebagai salah satu pendiri GNB pernah menjadi tuan
rumah penyelenggaraan KTT GNB yang ke X pada tahun 1992. KTT X ini
diselenggarakan di Jakarta, Indonesia pada September 1992 – 7 September 1992,
dipimpin oleh Soeharto. KTT ini menghasilkan “Pesan Jakarta” yang mengungkapkan
sikap GNB tentang berbagai masalah, seperti hak azasi manusia, demokrasi dan
kerjasama utara selatan dalam era pasca perang dingin. KTT ini dihadiri oleh
lebih dari 140 delegasi, 64 Kepala Negara. KTT ini juga dihadiri oleh Sekjen
PBB Boutros Boutros Ghali
3. Misi Pemeliharaan Perdamaian
Garuda
Dalam rangka ikut mewujudkan
perdamaian dunia, maka Indonesia memainkan sejumlah peran dalam percaturan
internasional. Peran yang cukup menonjol yang dimainkan oleh Indonesia adalah
dalam rangka membantu mewujudkan pemeliharaan perdamaian dan keamanan
internasional. Dalam hal ini Indonesia sudah cukup banyak pengirimkan Kontingen
Garuda (KONGA) ke luar negeri. Sampai tahun 2014 Indonesia telah mengirimkan
kontingen Garudanya sampai dengan kontingen Garuda yang ke duapuluh tiga (XXIII).
Pengiriman Misi Garuda yang
pertama kali dilakukan pada bulan Januari 1957. Pengiriman
Misi Garuda dilatarbelakangi
adanya konflik di Timur Tengah terkait masalah nasionalisasi Terusan Suez yang
dilakukan oleh Presiden Mesir Ghamal Abdul Nasser pada 26 Juli 1956. Sebagai
akibatnya, pertikaian menjadi meluas dan melibatkan negara-negara di luar
kawasan tersebut yang berkepentingan dalam masalah Suez. Pada bulan Oktober
1956, Inggris, Perancis dan Israel melancarkan serangan gabungan terhadap
Mesir. Situasi ini mengancam perdamaian dunia sehingga Dewan Keamanan PBB turun
tangan dan mendesak pihak-pihak yang bersengketa untuk berunding.
Dalam Sidang Umum PBB Menteri
Luar Kanada Lester B.Perason mengusulkan agar dibentuk suatu pasukan PBB untuk
memelihara perdamaian di Timur Tengah. Usul ini disetujui Sidang dan pada
tanggal 5 November 1956 Sekjen PBB membentuk sebuah komando PBB dengan nama
United Nations Emergency Forces(UNEF). Pada tanggal 8 November Indonesia
menyatakan kesediannya untuk turut serta menyumbangkan pasukan dalam
UNEF.Sebagai pelaksanaanya, pada 28 Desember 1956, dibentuk sebuah pasukan yang
berkuatan satu detasemen (550 orang) yang terdiri dari kesatuan-kesatuan
Teritorium IV/Diponegoro dan Teritorium V/Brawijaya. Kontingen Indonesia untuk
UNEF yang diberinama Pasukan Garuda ini diberangkatkan ke Timur Tengah pada
bulan Januari 1957.
Untuk kedua kalinya Indonesia
mengirimkan kontingen untuk diperbantukan kepada United Nations Operations for
the Congo(UNOC) sebanyak satu batalyon. Pengiriman pasukan ini terkait
munculnya konflik di Kongo
(Zaire sekarang). Konflik ini
muncul berhubungan dengan kemerdekaan Zaire pada bulan Juni 1960 dari Belgia
yang justru memicu pecahnya perang saudara. Untuk mencegah pertumpahan darah
yang lebih banyak, maka PBB membentuk Pasukan Perdamaian untuk Kongo, UNOC.
Pasukan kali ini di sebut “Garuda II” yang terdiri atas Batalyon 330/Siliwangi,
Detasemen Polisi Militer, dan Peleton KKO Angkatan Laut. Pasukan Garuda II
berangkat dari Jakarta tanggal 10 September 1960 dan menyelesaikan tugasnya
pada bulan Mei 1961. Tugas pasukan Garuda II di Kongo kemudian digantikan oleh
pasukan Garuda III yang bertugas dari bulan Desember 1962 sampai bulan Agustus
1964.
Peran aktif Indonesia dalam
menjaga perdamaian dunia terus berlanjut, ketika meletus perang saudara antara
Vietnam Utara dan Vietnam Selatan. Indonesia kembali diberikan kepercayaan oleh
PBB untuk mengirim pasukannya sebagai pasukan pemelihara perdamaian PBB. Untuk
menjaga stabilitas politik di kawasan Indocina yang terus bergolak akibat
perang saudara tersebut, PBB membentuk International Commission of Control and
Supervission (ICCS) sebagai hasil dari persetujuan internasional di Paris pada
tahun 1973. Komisi ini terdiri atas empat negara, yaitu Hongaria, Indonesia,
Kanada dan Polandia. Tugas ICCS adalah mengawasi pelanggaran yang dilakukan
kedua belah pihak yang bertikai.
Pasukan perdamaian Indonesia yang
dikirim ke Vietnam disebut sebagai Pasukan Garuda IV yang berkekuatan 290
pasukan, bertugas di Vietnam dari bulan Januari 1973, untuk kemudian diganti
dengan Pasukan Garuda V, dan kemudian pasukan Garuda VII. Pada tahun 1975
Pasukan Garuda VII ditarik dari Vietnam karena seluruh Vietnam jatuh ketangan
Vietcong (Vietnam Utara yang komunis).
Pada tahun 1973, ketika pecah
perang Arab-Israel ke 4, UNEF diaktifkan lagi dengan kurang lebih 7000 anggota
yang terdiri atas kesatuan-kesatuan Australia, Finlandia, Swedia, Irlandia,
Peru, Panam, Senegal, Ghana dan Indonesia. Kontingen Indonesia semula berfungsi
sebagai pasukan pengamanan dalam perundingan antara Mesir dan Israel. Tugas
pasukan Garuda VI berakhir 23 September 1974 untuk digantikan dengan Pasukan
Garuda VIII yang bertugas hingga tanggal 17 Februari 1975.
Sejak tahun 1975 hingga kini
dapat dicatat peran Indonesia dalam memelihara perdamaian dunia semakin
berperan aktif, ditandai dengan didirikannya Indonesian Peace Security
Centre(IPSC/Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia) pada tahun 2012, yang
didalamnya terdapat unit yang mengelola kesiapan pasukan yang akan dikirim
untuk menjaga perdamaian dunia (Standby Force).
4. Pembentukan ASEAN
ASEAN
Menjelang berakhirnya konfrontasi
Indonesia-Malaysia, beberapa pemimpin bangsa-bangsa Asia Tenggara semakin
merasakan perlunya membentuk suatu kerjasama regional untuk memperkuat
kedudukan dan kestabilan sosial ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Pada tanggal
5-8 Agustus di Bangkok dilangsungkan pertemuan antarmenteri luar negeri dari
lima negara, yakni Adam Malik (Indonesia), Tun Abdul Razak (Malaysia), S
Rajaratman (Singapura), Narciso Ramos (Filipina) dan tuan rumah Thanat Khoman
(Thailand). Pada 8 Agustus 1967 para menteri luar negeri tersebut
menandatangani suatu deklarasi yang dikenal sebagai Bangkok Declaration.
Deklarasi tersebut merupakan
persetujuan kesatuan tekad kelima negara tersebut untuk membentuk suatu
organisasi kerja sama regional yang disebut Association of South East Asian
Nations (ASEAN).
Menurut Deklarasi Bangkok, Tujuan
ASEAN adalah:
1. Mempercepat pertumbuhan
ekonomi, kemajuan sosial dan perkembangan kebudayaan di Asia Tenggara.
2. Memajukan stabilisasi dan
perdamaian regional Asia Tenggara.
3.Memajukan kerjasama aktif dan
saling membantu di negara- negara anggota dalam bidang ekonomi, sosial, budaya,
teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi.
4. Menyediakan bantuan satu sama
lain dalam bentuk fasilitas-fasilitas latihan dan penelitian.
5. Kerjasama yang lebih besar
dalam bidang pertanian, industri, perdagangan, pengangkutan, komunikasi serta
usaha peningkatan standar kehidupan rakyatnya.
6. Memajukan studi-studi masalah
Asia Tenggara.
7. Memelihara dan meningkatkan
kerjasama yang bermanfaat dengan organisasi-organisasi regional dan
internasional yang ada.
Dari tujuh pasal Deklarasi
Bangkok itu jelas, bahwa ASEAN merupakan organisasi kerjasama negara-negara
Asia Tenggara yang bersifat non politik dan non militer. Keterlibatan Indonesia
dalam ASEAN bukan merupakan suatu penyimpangan dari kebijakan politik bebas
aktif, karena ASEAN bukanlah suatu pakta militer seperti SEATO misalnya. ASEAN
sangat selaras dengan tujuan politik luar negeri Indonesia yang mengutamakan
pembangunan ekonomi dalam negeri, karena terbentuknya ASEAN adalah untuk
mempercepat pembangunan ekonomi, stabilitas sosial budaya, dan kesatuan
regional melalui usaha dengan semangat tanggungjawab bersama dan persahabatan
yang akan menjamin bebasnya kemerdekaan negara-negara anggotanya.
Kerjasama dalam bidang ekonomi
juga merupakan pilihan bersama para anggota ASEAN. Hal itu disadari karena
negara-negara ASEAN pada saat itu adalah negara-negara yang menginginkan
pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian kerja sama dalam bidang lain seperti
bidang politik dan militer tidak diabaikan. Indonesia dan Malaysia misalnya
melakukan kerja sama militer untuk meredam bahaya komunis di perbatasan kedua
negara di Kalimantan.
Malaysia dan Thailand melakukan
kerja sama militer di daerah perbatasannya untuk meredam bahaya komunis. Akan
tetapi Deklarasi Bangkok dengan tegas menyebutkan bahwa pangkalan militer asing
yang berada di negara anggota ASEAN
hanya bersifat sementara dan keberadaannya atas persetujuan negara yang
bersangkutan.Pada masa-masa awal berdirinya ASEAN telah mendapat berbagai
tantangan yang muncul dari masalah-masalah negara anggotanya sendiri. Seperti
masalah antara Malaysia dan Filipina menyangkut Sabah, sebuah wilayah di
Borneo/Kalimantan Utara. Kemudian persoalan hukuman mati dua orang anggota
marinir Indonesia di Singapura, kerusuhan rasialis di Malaysia, dan
permasalahan minoritas muslim di Thailand Selatan.
Akan tetapi, semua pihak yang
terlibat dalam permasalahan-permasalahan tersebut dapat meredam potensi konflik
yang muncul sehingga stabilitas kawasan dapat dipertahankan.Aktivitas ASEAN
dalam bidang politik yang menonjol adalah dengan dikeluarkannya Kuala Lumpur
Declarationpada 27 November 1971. Deklarasi tersebut merupakan pernyataan
kelima menteri Luar Negeri ASEAN yang menyatakan bahwa Asia Tenggara merupakan
zone of peace, freedom and neutrality(ZOPFAN)/Zona Bebas Netral, bebas dari
segala campur tangan pihak luar. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN yang
pertama di Bali pada 1976 masalah kawasan Asia Tenggara sebagai wilayah damai,
bebas dan netral telah berhasil dicantumkan dalam “Deklarasi Kesepakatan ASEAN”
dan diterima sebagai program kegiatan kerangka kerja sama ASEAN.
Selain menghadapi
permasalahan-permasalahan yang muncul dari negara-negara
anggotanya sendiri, seperti
potensi konflik yang telah dijelaskan sebelumnya. Tantangan ASEAN pada awal
berdirinya adalah masalah keraguan dari beberapa negara-negara anggotanya
sendiri. Singapura misalnya, menampakan sikap kurang antusias terhadap ASEAN,
sementara Filipina dan Thailand meragukan efektivitas ASEAN dalam melakukan
kerja sama kawasan. Hanya Indonesia dan Malaysia yang menunjukkan sikap serius
dan optimis terhadap keberhasilan ASEAN sejak organisasi tersebut didirikan.
Selain sikap meragukan yang
muncul dari beberapa negara anggotanya, tantangan lainnya adalah munculnya
citra kurang menguntungkan bagi ASEAN dari beberapa negara luar. RRC menuduh
bahwa ASEAN merupakan suatu proyek “pemerintah fasis Indonesia” yang berupaya
menggalang suatu kelompok kekuatan di kawasan Asia Tenggara yang menentang Cina
dan komunisme. RRC juga menuduh bahwa dalang dari kegiatan yang diprakarsai
oleh “pemerintah fasis Indonesia” tersebut adalah Amerika Serikat. Uni Soviet
tidak menunjukkan sikap penentangan, tetapi menganjurkan agar ASEAN digantikan
oleh sebuah lembaga keamanan bersama bangsa-bangsa Asia, yaitu Asian Collective
Security System. Citra kurang menguntungkan dari ASEAN juga muncul dari Jepang.
Jepang bahkan meramalkan ASEAN akan bubar dalam waktu yang singkat. Sikap dan
penilaian berbeda dari negara luar ASEAN muncul dari negara-negara Barat,
terutama Amerika Serikat. Mereka menyambut positif berdirinya ASEAN. Hal itu
dapat dipahami karena negara-negara Barat sangat menginginkan suatu kawasan
damai dan perkembangan ekonomi di kawasan tersebut untuk meredam bahaya
komunisme di Asia Tenggara.
Keraguan beberapa negara anggota
ASEAN sendiri dapat dimaklumi karena pada masa 1969-1974 dapat dikatakan
sebagai tahap konsolidasi ASEAN. Pada tahap tersebut secara perlahan rasa
solidaritas ASEAN terus menebal dan hal itu menumbuhkan keyakinan bahwa lemah
dan kuatnya ASEAN tergantung partisipasi negara-negara anggotanya. Pada
perjalanan selanjutnya ASEAN mulai menunjukkan sebagai kekuatan ekonomi yang
mendapat tempat di wilayah Pasifik dan kelompok ekonomi lainnya di dunia
seperti Masyarakat Ekonomi Eropa dan Jepang.
Bidang sosial dan budaya pun
menjadi perhatian ASEAN, melalui berbagai aktivitas budaya diupayakan untuk
memasyarakatkan ASEAN terutama untuk kalangan remaja, seniman, cendikiawan dan
berbagai kelompok masyarakat lainnya di negara-negara anggota. Untuk itu, ASEAN
pada 1972 telah membentuk suatu Panitia Tetap Sosial-Budaya.Perkembangan
organisasi ASEAN semakin menunjukkan perkembangan yang positif setelah dalam
KTT pertama di Bali pada 1976 dibentuk Sekretariat Tetap ASEAN yang
berkedudukan di Jakarta. Pada sidang tahunan Menteri Luar Negeri ASEAN di
Manila tanggal 7 Juni 1976, H.R. Dharsono (Sekretaris Jenderal Nasional ASEAN
Indonesia) ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal ASEAN yang pertama. Akan tetapi
karena persoalan politik dalam negeri Indonesia, H.R. Dharsono ditarik dari
jabatannya sebagai Sekretaris Jenderal ASEAN dan digantikan oleh Umarjadi
Njotowidjono.
Pada KTT ASEAN di Bali tahun 1977
telah memperkuat Deklarasi Kuala Lumpur dan telah berhasil menetapkan
prinsip-prinsip program kerja dalam usaha bersama untuk menciptakan stabilitas
politik, memperat kerjasama ekonomi, sosial dan budaya. KTT Bali telah berhasil
menetapkan cara-cara yang lebih kongkret dan terperinci dan usaha-usaha kerja
sama regional ASEAN. Tindak lanjut dari KTT di Bali tersebut adalah
dilakukannya sidang menteri-menteri ekonomi ASEAN di Kuala Lumpur pada 8-9
Maret 1977 untuk melaksanakan keputusan-keputusan KTT ASEAN di bidang kerjasama
ekonomi. Dalam sidang menteri-menteri ekonomi tersebut disetujui asas saling membantu
antarnegara ASEAN dalam bidang pangan dan energi, terutama dalam soal pengadaan
dan produksinya.
Secara kongkrit masing-masing
negara ASEAN membangun lima buah proyek bersama. Kerjasama yang dimaksud adalah
koordinasi antara satu dengan lainnya. Dalam bidang perdagangan telah
disepakati untuk mengambil langkah-langkah bersama guna mengadakan dialog
dengan negara-negara Australia, Kanada, Amerika Serikat, Jepang, negara-negara
Timur Tengah, Eropa Timur, Masyarakat Ekonomi Eropa dan berbagai kelompok
negara lainnya.
Kerjasama antar negara-negara di
kawasan Asia Tenggara merupakan suatu upaya kongkret Indonesia untuk
menciptakan stabilitas kawasan. Indonesia menyadari kenyataan bahwa kerjasama
regional itu tidak akan berhasil meningkatkan kemakmuran nasional dan regional
bangsa-bangsa di Asia Tenggara dengan sebaik-baiknya, jika tidak ada keamanan
dan stabilitas di kawasan tersebut. Itulah sebabnya Indonesia senantiasa
berusaha membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian dalam
masalah Indocina. Indonesia berpendapat bahwa penyelesaian Indocina secara
keseluruhan dan Vietnam khususnya sangat penting artinya dalam rangka
memelihara keamanan dan menciptakan stabilitas di Asia Tenggara.Indonesia
kemudian berinisiatif menyelenggarakan konferensi untuk menyelesaikan masalah
Kamboja dalam rangka mencegah semakin luasnya perang Vietnam. Atas inisiatif
Indonesia, diselenggarakan suatu konferensi di Jakarta pada 15-17 Mei 1970 yang
dihadiri oleh sebelas negara yaitu Indonesia, Malaysia, Laos, Vietnam Selatan,
Filipina, Jepang, Korea Selatan, Thailand, Singapura, Australia dan Selandia
Baru. Konferensi tersebut tidak membuahkan hasil secara kongkrit, tetapi telah
memberikan saran-saran bagi penyelesaian konflik.
Indonesia telah berupaya untuk menyumbangkan
jasa baiknya guna meredam potensi konflik dan konflik bersenjata di Asia
Tenggara.Indonesia berpandangan bahwa negara-negara di Asia Tenggara paling
berkepentingan dan bertanggungjawab terhadap pemeliharaan keamanan di
kawasannya. Oleh karena itu, bangsa-bangsa di Asia Tenggara harus mencegah dan
menghalau setiap campur tangan asing yang negatif dalam segala bentuk dan
manifestasinya.
Pada masa pemerintahan Soeharto,
Indonesia bisa dikatakan adalah pemimpin ASEAN, kebijakan-kebijakan ekonomi
ASEAN sangat tergantung dari cara Indonesia bersikap. Peran sebagai pemimpin
ASEAN sempat memudar saat terjadi krisis ekonomi karena Indonesia sedang
mengalami masalah ekonomi dalam negeri serta situasi politik dalam negeri yang
belum stabil dalam rangka menuju demokratisasi. Indonesia kembali berperan di
era pemerintahan
Presiden SBY. Melalui momentum
terpilihnya Indonesia sebagai Ketua ASEAN pada tahun 2011. Indonesia mulai
mengarahkan ASEAN untuk mencapai suatu komunitas ekonomi yang kokoh di tahun 2015.
Indonesia mengarahkan capaian implementasi Piagam ASEAN dan Cetak Biru
Komunitas ASEAN 2015.Sebagai ketua ASEAN tahun 2011, Indonesia menunjukan
kepemimpinan dalam mendorong tercapainya tiga prioritas. Pertama adalah
kemajuan yang signifikan dalam pencapaian komunitas ASEAN 2015. Kedua adalah
dipeliharanya kondisi kawasan Asia-Pasifik yang aman dan stabil. Serta yang
ketiga adalah menggulirkan visi ASEAN untuk sepuluh tahun mendatang sesuai tema
“ASEAN Community in a Global Community of Nations( www.embasy of Indonesia.org)
Proses lahirnya kebijakan politik
luar negeri Indonesia bebas aktif dan dinamikanya sejak kemerdekaan hingga masa
reformasi, serta peran aktif Indonesia dalam memelihara perdamaian dunia baik
di tingkat regional dan global. Peran tersebut sesuai dengan komitmen bangsa
sebagaimana tertuang dalam alinea ke empat UUD 1945, yang menekankan pentingnya
peran Indonesia dalam ikut serta mewujudkan perdamaian dunia yang berdasarkan
kemerdekaan dan perdamaian abadi.
KESIMPULAN
- Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia adalah bebas aktif. Bebas maksudnya tidak terikat pada Blok tertentu, sedangkan aktif berarti selalu ikut serta dalam upaya perdamaian dunia.
- Konsep bebas aktif lahir ketika dunia tengah berada dalam pengaruh dua Blok utama setelah selesainya Perang Dunia ke II, yaitu Blok Amerika Serikat dan Blok Uni Soviet.
- Keikutsertaan Indonesia dalam upaya perdamaian dunia antara lain tercermin dari pengiriman Pasukan Misi Perdamaian Garuda ke wilayah-wilayah konflik di dunia.
- Indonesia juga menjadi pelopor atau pendiri organisasi-organisasi antar bangsa seperti Gerakan Non Blok, ASEAN dan Konferensi Asia Afrika.
Sumber
Buku IPS
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER