Peran Indonesia Dalam Upaya Menciptakan Perdamaian Dunia
Perlu anda ketahui Indonesia termasuk negara yang berperan penting dalam menciptakan perdamaian dunia, maka dari itu alangkah baiknya kita tahu dan dapat memahami seperti apakah peranan negara Indonesia. Untuk lebih jelasnya anda bisa menyimak ulasan di bawah ini.
Peran Indonesia Dalam Upaya
Menciptakan Perdamaian Dunia
1. Pelaksanaan Konferensi Asia
Afrika (KAA) 1955
Berakhirnya Perang Dunia II pada
bulan Agustus 1945, tidak berarti berakhir pula situasi permusuhan di antara
bangsa-bangsa di dunia dan tercipta perdamaian dan keamanan. Ternyata di
beberapa pelosok dunia, terutama di belahan bumi Asia Afrika, masih ada masalah
dan muncul masalah baru yang mengakibatkan permusuhan yang terus berlangsung,
bahkan pada tingkat perang terbuka, seperti di Jazirah Korea, Indo Cina,
Palestina, Afrika Selatan, Afrika Utara.
Masalah-masalah tersebut sebagian
disebabkan oleh lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan secara ideologi
maupun kepentingan, yaitu Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat dipimpin oleh
Amerika Serikat dan Blok Timur dipimpin oleh Uni Sovyet. Tiap-tiap blok
berusaha menarik negara-negara Asia dan Afrika agar menjadi pendukung mereka.
Hal ini mengakibatnkan tetap hidupnya dan bahkan tumbuhnya suasana permusuhan
yang terselubung diantara dua blok itu dan pendukungnya. Suasana permusuhan
tersebut dikenal dengan nama “Perang Dingin”.
Timbulnya pergolakan di dunia
disebabkan pula masih adanya penjajahan di bumi kita ini, terutama di belahan
Asia dan Afrika. Memang sebelum tahun 1945, pada umumnya dunia Asia dan Afrika
merupakan daerah jajahan bangsa Barat dalam aneka bentuk. Tetapi sejak tahun
1945, banyak di daerah Asia Afrika menjadi negara merdeka dan banyak pula yang
masih berjuang bagi kemerdekaan negara dan bangsa mereka seperti Aljazair,
Tunisia, dan Maroko di wilayah Afrika Utara; Vietnam di Indo Cina; dan di ujung
selatan Afrika.
Beberapa negara Asia Afrika yang
telah merdeka pun masih banyak yang menghadapi masalah-masalah sisa penjajahan
seperti Indonesia tentang Irian Barat, India dan Pakistan.Sementara itu
bangsa-bangsa di dunia, terutama bangsa-bangsa Asia Afrika, sedang dilanda
kekhawatiran akibat makin dikembangkannya senjata nuklir yang bisa memusnahkan
umat manusia. Situasi dalam negeri di beberapa Asia Afrika yang telah merdeka
pun masih terjadi konflik antar kelompok masyarakat sebagai akibat masa
penjajahan (politik divide et impera) dan perang dingin antara Blok dunia
tersebut. Walaupun pada masa itu telah ada badan internasional yaitu
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfungsi menangani masalah-masalah dunia,
namun nyatanya badan ini belum berhasil menyelesaikan persoalan tersebut.
Sedangkan kenyataannya, akibat
yang ditimbulkan oleh masalah-masalah ini, sebagian besar diderita oleh
bangsa-bangsa di Asia Afrika. Keadaan itulah yang melatarbelakangi lahirnya
gagasan untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika. Pada awal tahun 1954, Perdana
Menteri Ceylon (Srilangka) Sir Jhon Kotelawala mengundang para Perdana Menteri
dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo),
dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud mengadakan suatu pertemuan informal di
negaranya.
Undangan tersebut diterima baik
oleh semua pimpinan pemerintah negara yang diundang. Pertemuan yang kemudian
disebut Konferensi Kolombo itu dilaksanakan pada tanggal 28 April sampai dengan
2 Mei 1954. Konferensi ini membicarakan masalah-masalah yang menjadi
kepentingan bersama.Yang menarik perhatian para peserta konferensi, diantaranya
pernyataan yang diajukan oleh Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo:
” Dimana sekarang kita berdiri, bangsa Asia sedang berada di
tengah-tengah persaingan dunia. Kita sekarang berada dipersimpangan jalan
sejatah umat manusia. Oleh karena itu kita Lima Perdana Menteri negara-negara
Asia bertemu disini untuk membicarakan masalah-masalah yang krusial yang sedang
dihadapi oleh masyarakat yang kita wakili. Ada beberapa hal yang mendorong
Indonesia mengajukan usulan untuk mengadakan pertemuan lain yang lebih luas,
antara negara-negara Afrika dan Asia .Saya percaya bahwa masalah-masalah itu
tidak terjadi hanya di negara-negara Asia yang terwakili disini, tetapi juga
sama pentingnya bagi negara-negara Afrika dan Asia lainnya”. (Ali
Sastroamidjojo, Tonggak-tonggak di Perjalananku, Kinta, 1974)
Pernyataan tersebut memberi arah
kepada lahirnya Konferensi Asia Afrika (KAA). Selanjutnya, soal perlunya
Konferensi Asia Afrika diadakan, diajukan pula oleh Indonesia dalam sidang
berikutnya. Usul itu akhirnya diterima oleh semua konferensi, walaupun masih
dalam suasana keraguan. Perdana Menteri Indonesia pergi ke Kolombo untuk
memenuhi undangan Perdana Menteri Srilangka dengan membawa bahan-bahan hasil
perumusan Pemerintah Indonesia . Bahan-bahan tersebut merupakan hasil rapat
dinas Kepala-kepala Perwakilan Indonesia di negara-negara Asia dan Afrika yang
dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Mr.Sunario. Rapat dinas tersebut diadakan di
Tugu (Bogor) pada tanggal 9 Sampai dengan 22 Maret 1954. Akhirnya, dalam
pernyataan bersama pada akhir Konferensi Kolombo, dinyatakan bahwa para Perdana
Menteri peserta konferensi membicarakan kehendak untuk mengadakan konferensi
negara-negara Asia Afrika dan menyetujui usul agar Perdana Menteri Indonesia
dapat menjajaki sampai dimana kemungkinannya mengadakan konferensi semacam itu.
Konferensi Kolombo telah
menugaskan Indonesia agar menjajaki kemungkinan untuk diadakannya Konferensi
Asia Afrika. Dalam rangka menunaikan tugas itu Pemerintah Indonesia melakukan
pendekatan melalui saluran diplomatik kepada 18 negara Asia Afrika. Maksudnya,
untuk mengetahui sejauh mana pendapat negara-negara tersebut terhadap ide
mengadakan konferensi tersebut. Ternyata pada umumnya negara-negara yang
dihubungi menyambut baik ide tersebut dan menyetujui Indonesia sebagai tuan
rumah pelaksanaan konferensi.
Atas undangan Perdana Menteri
Indonesia, para Perdana Menteri peserta Konferensi Kolombo (Birma/Myanmar,
Srilangka, India, Indonesia, dan Pakistan) mengadakan Konferensi di Bogor pada
tanggal 28 dan 29 Desember 1954, yang dikenal dengan sebutan Konferensi Panca
Negara. Konferensi ini membicarakan persiapan pelaksanaan Konferensi Asia
Afrika.Bogor berhasil merumuskan kesepakatan bahwa Konferensi Asia Afrika
diadakan atas penyelenggaraan bersama dan kelima negara peserta konferensi
tersebut menjadi negara sponsornya. Undangan kepada negara-negara peserta
disampaikan oleh Pemerintah Indonesia atas nama lima negara. Negara-negara yang
diundang disetujui berjumlah 25 negara, yaitu: Afganistan, Kamboja, Federasi
Afrika Tengah, Republik Rakyat Tiongkok (China), Mesir, Ethiopia, Pantai Emas
(Gold Coast), Iran, Irak, Jepang, Yordania, Laos, Libanon, Liberia, Libya,
Nepal, Filipina, Saudi Arabia, Sudan, Syria, Thailand (Muangthai), Turki,
Republik Demokrasi Vietnam (Vietnam Utara), Vietnam Selatan, dan Yaman. Waktu
Konferensi ditetapkan pada minggu terakhir April 1995.
Mengingat negara-negara yang akan
diundang mempunyai politik luar negeri serta sistem politik dan sosial yang
berbeda-beda. Konferensi Bogor menentukan bahwa menerima undangan untuk turut
dalam konferensi Asia Afrika tidak berarti bahwa negara peserta tersebut akan
berubah atau dianggap berubah pendiriannya mengenai status dari negara-negara
lain. Konferensi menjunjung tinggi pula asas bahwa bentuk pemerintahan atau
cara hidup sesuatu negara sekali-sekali tidak akan dapat dicampuri oleh negara
lain.
Maksud utama konferensi ialah
supaya negara-negara peserta menjadi lebih saling mengetahui pendirian mereka
masing-masingGedung Dana Pensiun dipersiapkan sebagai tempat sidang-sidang
Konferensi. Hotel Homann, Hotel Preanger, dan 12 (duabelas) hotel lainnya serta
perumahan perorangan dan pemerintah dipersiapkan pula sebagai tempat menginap
para tamu yang berjumlah 1300 orang. Dalam kesempatan memeriksa
persiapan-persiapan terakhir di Bandung pada tanggal 17 April 1955, Presiden RI
Soekarno meresmikan penggantian nama Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka,
Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwi Warna, dan sebagian Jalan Raya Timur
menjadi Jalan Asia Afrika. Penggantian nama tersebut dimaksudkan untuk lebih
menyemarakkan konferensi dan menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan
tujuan konferensi.
Pada tanggal 15 Januari 1955,
surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan kepada Kepala Pemerintahan 25
(dua puluh lima) negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara yang diundang
hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi Afrika Tengah
(Central African Federation), karena memang negara itu masih dikuasai oleh
orang-orang bekas penjajahnya. Sedangkan 24 (dua puluh empat) negara lainnya
menerima baik undangan itu, meskipun pada mulanya ada negara yang masih
ragu-ragu. Sebagian besar delegasi peserta konferensi tiba di Bandung lewat
Jakarta pada tanggal 16 April 1955.
Pada tanggal 18 April 1955
Konferensi Asia Afrika dilangsungkan di Gedung Merdeka Bandung. Konferensi
dimulai pada jam 09.00 WIB dengan pidato pembukaan oleh Presiden Republik
Indonesia Ir. Soekarno. Sidang-sidang selanjutnya dipimpin oleh Ketua
Konferensi Perdana Menteri RI Ali Sastroamidjojo.Konferensi Asia Afrika di
Bandung melahirkan suatu kesepakatan bersama yang merupakan pokok-pokok
tindakan dalam usaha menciptakan perdamaian dunia. Ada sepuluh pokok yang
dicetuskan dalam konferensi tersebut, maka itu disebut Dasasila Bandung.
Dasasila Bandung
1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan, serta asas-asas
kemanusian yang termuat dalam piagam PBB.
2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.
3. Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan persamaan semua bangsa
besar maupun kecil.
4. Tidak melakukan campur tangan dalam soal-soal dalam negara lain.
5. Menghormati hak-hak tiap bangsa untuk mempertahankan diri secara
sendirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan piagam PBB.
6. Tidak melakukan tekanan terhadap negara-negara lain.
7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi terhadap
integritas teritorial dan kemerdekaan negara lain.
8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai
seperti perundingan, persetujuan, dan lain-lain yang sesuai dengan piagam PBB.
9. Memajukan kerjasama untuk kepentingan bersama.
10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.
Dalam penutup komunike terakhir
dinyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika menganjurkan supaya kelima negara
penyelenggara mempertimbangkan untuk diadakan pertemuan berikutnya dari
konferensi ini, dengan meminta pendapat negara-negara peserta lainnya. Tetapi
usaha untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika kedua selalu mengalami hambatan
yang sulit diatasi. Tatkala usaha itu hampir terwujud (1964), tiba-tiba di
negara tuan rumah (Aljazair) terjadi pergantian pemerintahan, sehingga
konferensi itu tidak jadi. Konferensi Asia Afrika di Bandung, telah berhasil
menggalang persatuan dan kerja sama di antara negara-negara Asia dan Afrika,
baik dalam menghadapi masalah internasional maupun masalah regional. Konferensi
serupa bagi kalangan tertentu di Asia dan Afrika beberapa kali diadakan pula,
seperti Konferensi Wartawan Asia Afrika, Konferensi Islam Asia Afrika,
Konferensi Pengarang Asia Afrika, dan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika.
Konferensi Asia Afrika telah
membakar semangat dan menambah kekuatan moral para pejuang bangsa-bangsa Asia
Afrika yang pada masa itu tengah memperjuangkan kemerdekaan tanah air mereka,
sehingga kemudian lahirlah sejumlah negara merdeka di benua Asia dan Afrika.
Semua itu menandakan bahwa cita-cita dan semangat Dasa Sila Bandung semakin
merasuk kedalam tubuh bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Jiwa Bandung dengan Dasa
Silanya telah mengubah pandangan dunia tentang hubungan internasional. Bandung
telah melahirkan faham Dunia Ketiga atau “Non-Aligned” terhadap dunia
pertamanya Washington dan Dunia keduanya Moscow.
Dengan diselenggarakannya KAA di
Bandung, kota Bandung menjadi terkenal di seluruh dunia. Semangat perdamaian
yang dicetuskan di kota Bandung dijuluki “semangat Bandung” atau “Bandung
Spirit”. Untuk mengabadikan peristiwa sejarah yang penting itu jalan protokol
di kota Bandung yang terbentang di depan gedung Merdeka diberi nama Jalan Asia
Afrika.
2. Gerakan Non-Blok/ Non Align
Movement(NAM)
Gerakan Non-Blok (GNB) atau Non
Align Movement(NAM) adalah suatu gerakan yang dipelopori oleh negara-negara dunia
ketiga yang beranggotakan lebih dari 100 negara-negara yang berusaha
menjalankan kebijakan luar negeri yang tidak memihak dan tidak menganggap
dirinya beraliansi dengan Blok Barat atau Blok Timur. Gerakan Non Blok
merepresentasikan 55 persen penduduk dunia dan hampir 2/3 keanggotaan PBB.
Mayoritas negara-negara anggota GNB adalah negara-negara yang baru memperoleh
kemerdekaan setelah berakhirnya Perang Dunia II, dan secara geografis berada di
benua Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Setelah berakhirnya Perang Dunia
II, tepatnya di era 1950-an negara–negara di dunia terpolarisasi dalam dua
blok, yaitu Blok Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat dan Blok Timur di
bawah pimpinan Uni Soviet. Pada saat itu terjadi pertarungan yang sangat kuat
antara Blok Barat dan Timur, era ini dikenal sebagai era perang dingin (Cold
War) yang berlangsung sejak berakhirnya PD II hingga runtuhnya Uni Soviet pada
tahun 1989. Pertarungan antara Blok Barat dan Timur merupakan upaya untuk
memperluas sphere of dan sphere of influence. Dengan sasaran
utama perebutan penguasaan atas wilayah-wilayah potensial di seluruh dunia.
Dalam pertarungan perebutan
pengaruh ini, negara-negara dunia ketiga (di Asia, Afrika, Amerika Latin) yang
mayoritas sebagai negara yang baru merdeka dilihat sebagai wilayah yang sangat
menarik bagi kedua blok untuk menyebarkan pengaruhnya. Akibat persaingan kedua
blok tersebut, muncul beberapa konflik terutama di Asia, seperti Perang Korea,
dan Perang Vietnam. Dalam kondisi seperti ini, muncul kesadaran yang kuat dari
para pemimpin dunia ketiga saat itu untuk tidak terseret dalam persaingan
antara kedua blok tersebut.
Indonesia bisa dikatakan memiliki
peran yang sangat penting dalam proses kelahiran organisasi ini. Lahirnya
organisasi Gerakan Non Blok dilatar belakangi oleh kekhawatiran para pemimpin
negara-negara dunia ketiga terutama dari Asia dan Afrika terhadap munculnya
ketegangan dunia saat itu karena adanya persaingan antara Blok Barat dan Blok
Timur. Dengan dipelopori oleh lima pemimpin negara Indonesia, India, Pakistan,
Burma dan Srilangka. Terselenggaralah sebuah pertemuan pertama di Kolombo
(Srilangka) pada 28 April-2 Mei 1952, dilanjutkan dengan pertemuan di Istana
Bogor pada 29 Desember 1954. Dua konferensi diatas merupakan cikal bakal dari
terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika / KAA di Bandung pada 18 April-25 April
1955 yang dihadiri oleh wakil dari 29 negara Asia dan Afrika.
KAA di Bandung merupakan proses
awal lahirnya GNB. Tujuan KAA adalah mengidentifikasi dan mendalami masalah-masalah
dunia waktu itu dan berusaha memformulasikan kebijakan bersama negara-negara
yang baru merdeka tersebut pada tataran hubungan internasional. Sejak saat itu
proses pendirian GNB semakin mendekati kenyataan, dan proses ini tokoh-tokoh
yang memegang peran kunci sejak awal adalah Presiden Mesir Ghamal Abdul Naser,
Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden
Indonesia Soekarno, dan Presiden Yugoslavia Josep Broz Tito. Kelima tokoh ini
kemudian dikenal sebagai para pendiri GNB.
Adanya ketegangan dunia yang
semakin meningkat akibat persaingan antara Blok Barat dan Blok Timur, yang
dimulai dari pecahnya perang Vietnam, perang Korea, dan puncaknya krisis teluk
Babi di Kuba, yang hampir saja memicu Perang Dunia III, mendorong para pemimpin
negara-negara Dunia Ketiga untuk membentuk sebuah organisasi yang diharapkan
bisa berperan mengurangi ketegangan politik dunia internasional saat itu.
Pembentukan organisasi Gerakan Non Blok dicanangkan dalam Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) I di Beograd, Yugoslavia 1-6 September 1961 yang dihadiri oleh 25
negara dari Asia dan Afrika. Dalam KTT I tersebut, negara-negara pendiri GNB
berketetapan untuk mendirikan suatu gerakan dan bukan suatu organisasi untuk
menghindarkan diri dari implikasi birokratik dalam membangun upaya kerjasama
diantara mereka. Pada KTT I ini juga ditegaskan bahwa GNB tidak diarahkan pada
suatu peran pasif dalam politik internasional, tetapi untuk memformulasikan
posisi sendiri secara independen yang merefleksikan kepentingan negara-negara
anggotanya.
GNB menempati posisi khusus dalam
politik luar negeri Indonesia karena Indonesia sejak awal memiliki peran
sentral dalam pendirian GNB. KAA tahun 1955 yang diselenggararakan di Bandung
dan menghasilkan Dasa Sila Bandung yang menjadi prinsip-prinsip utama GNB,
merupakan bukti peran dan kontribusi penting Indonesia dalam mengawali
pendirian GNB. Tujuan GNB mencakup dua hal, yaitu tujuan ke dalam dan ke luar.
Tujuan kedalam yaitu mengusahakan kemajuan dan pengembangan ekonomi, sosial,
dan politik yang jauh tertinggal dari negara maju. Tujuan ke luar, yaitu
berusaha meredakan ketegangan antara Blok Barat dan Blok Timur menuju
perdamaian dan keamanan dunia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, negera-negara
Non Blok menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT). Pokok pembicaraan
utama adalah membahas persoalan-persoalan yang berhubungan dengan tujuan Non
Blok dan ikut mencari solusi terbaik terhadap peristiwa-peristiwa internasional
yang membahayakan perdamaian dan keamanan dunia.
Dalam perjalanan sejarahnya sejak
KTT I di Beograd tahun 1961, Gerakan Non Blok telah 16 kali menyelenggarakan
Konferensi Tingkat Tinggi, yang terakhir KTT XVI yang berlangsung di Teheran
pada Agustus 2012. Indonesia sebagai salah satu pendiri GNB pernah menjadi tuan
rumah penyelenggaraan KTT GNB yang ke X pada tahun 1992. KTT X ini
diselenggarakan di Jakarta, Indonesia pada September 1992 – 7 September 1992,
dipimpin oleh Soeharto. KTT ini menghasilkan “Pesan Jakarta” yang mengungkapkan
sikap GNB tentang berbagai masalah, seperti hak azasi manusia, demokrasi dan
kerjasama utara selatan dalam era pasca perang dingin. KTT ini dihadiri oleh
lebih dari 140 delegasi, 64 Kepala Negara. KTT ini juga dihadiri oleh Sekjen
PBB Boutros Boutros Ghali
3. Misi Pemeliharaan Perdamaian
Garuda
Dalam rangka ikut mewujudkan
perdamaian dunia, maka Indonesia memainkan sejumlah peran dalam percaturan
internasional. Peran yang cukup menonjol yang dimainkan oleh Indonesia adalah
dalam rangka membantu mewujudkan pemeliharaan perdamaian dan keamanan
internasional. Dalam hal ini Indonesia sudah cukup banyak pengirimkan Kontingen
Garuda (KONGA) ke luar negeri. Sampai tahun 2014 Indonesia telah mengirimkan
kontingen Garudanya sampai dengan kontingen Garuda yang ke duapuluh tiga (XXIII).
Pengiriman Misi Garuda yang
pertama kali dilakukan pada bulan Januari 1957. Pengiriman
Misi Garuda dilatarbelakangi
adanya konflik di Timur Tengah terkait masalah nasionalisasi Terusan Suez yang
dilakukan oleh Presiden Mesir Ghamal Abdul Nasser pada 26 Juli 1956. Sebagai
akibatnya, pertikaian menjadi meluas dan melibatkan negara-negara di luar
kawasan tersebut yang berkepentingan dalam masalah Suez. Pada bulan Oktober
1956, Inggris, Perancis dan Israel melancarkan serangan gabungan terhadap
Mesir. Situasi ini mengancam perdamaian dunia sehingga Dewan Keamanan PBB turun
tangan dan mendesak pihak-pihak yang bersengketa untuk berunding.
Dalam Sidang Umum PBB Menteri
Luar Kanada Lester B.Perason mengusulkan agar dibentuk suatu pasukan PBB untuk
memelihara perdamaian di Timur Tengah. Usul ini disetujui Sidang dan pada
tanggal 5 November 1956 Sekjen PBB membentuk sebuah komando PBB dengan nama
United Nations Emergency Forces(UNEF). Pada tanggal 8 November Indonesia
menyatakan kesediannya untuk turut serta menyumbangkan pasukan dalam
UNEF.Sebagai pelaksanaanya, pada 28 Desember 1956, dibentuk sebuah pasukan yang
berkuatan satu detasemen (550 orang) yang terdiri dari kesatuan-kesatuan
Teritorium IV/Diponegoro dan Teritorium V/Brawijaya. Kontingen Indonesia untuk
UNEF yang diberinama Pasukan Garuda ini diberangkatkan ke Timur Tengah pada
bulan Januari 1957.
Untuk kedua kalinya Indonesia
mengirimkan kontingen untuk diperbantukan kepada United Nations Operations for
the Congo(UNOC) sebanyak satu batalyon. Pengiriman pasukan ini terkait
munculnya konflik di Kongo
(Zaire sekarang). Konflik ini
muncul berhubungan dengan kemerdekaan Zaire pada bulan Juni 1960 dari Belgia
yang justru memicu pecahnya perang saudara. Untuk mencegah pertumpahan darah
yang lebih banyak, maka PBB membentuk Pasukan Perdamaian untuk Kongo, UNOC.
Pasukan kali ini di sebut “Garuda II” yang terdiri atas Batalyon 330/Siliwangi,
Detasemen Polisi Militer, dan Peleton KKO Angkatan Laut. Pasukan Garuda II
berangkat dari Jakarta tanggal 10 September 1960 dan menyelesaikan tugasnya
pada bulan Mei 1961. Tugas pasukan Garuda II di Kongo kemudian digantikan oleh
pasukan Garuda III yang bertugas dari bulan Desember 1962 sampai bulan Agustus
1964.
Peran aktif Indonesia dalam
menjaga perdamaian dunia terus berlanjut, ketika meletus perang saudara antara
Vietnam Utara dan Vietnam Selatan. Indonesia kembali diberikan kepercayaan oleh
PBB untuk mengirim pasukannya sebagai pasukan pemelihara perdamaian PBB. Untuk
menjaga stabilitas politik di kawasan Indocina yang terus bergolak akibat
perang saudara tersebut, PBB membentuk International Commission of Control and
Supervission (ICCS) sebagai hasil dari persetujuan internasional di Paris pada
tahun 1973. Komisi ini terdiri atas empat negara, yaitu Hongaria, Indonesia,
Kanada dan Polandia. Tugas ICCS adalah mengawasi pelanggaran yang dilakukan
kedua belah pihak yang bertikai.
Pasukan perdamaian Indonesia yang
dikirim ke Vietnam disebut sebagai Pasukan Garuda IV yang berkekuatan 290
pasukan, bertugas di Vietnam dari bulan Januari 1973, untuk kemudian diganti
dengan Pasukan Garuda V, dan kemudian pasukan Garuda VII. Pada tahun 1975
Pasukan Garuda VII ditarik dari Vietnam karena seluruh Vietnam jatuh ketangan
Vietcong (Vietnam Utara yang komunis).
Pada tahun 1973, ketika pecah
perang Arab-Israel ke 4, UNEF diaktifkan lagi dengan kurang lebih 7000 anggota
yang terdiri atas kesatuan-kesatuan Australia, Finlandia, Swedia, Irlandia,
Peru, Panam, Senegal, Ghana dan Indonesia. Kontingen Indonesia semula berfungsi
sebagai pasukan pengamanan dalam perundingan antara Mesir dan Israel. Tugas
pasukan Garuda VI berakhir 23 September 1974 untuk digantikan dengan Pasukan
Garuda VIII yang bertugas hingga tanggal 17 Februari 1975.
Sejak tahun 1975 hingga kini
dapat dicatat peran Indonesia dalam memelihara perdamaian dunia semakin
berperan aktif, ditandai dengan didirikannya Indonesian Peace Security
Centre(IPSC/Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia) pada tahun 2012, yang
didalamnya terdapat unit yang mengelola kesiapan pasukan yang akan dikirim
untuk menjaga perdamaian dunia (Standby Force).
4. Pembentukan ASEAN
ASEAN
Menjelang berakhirnya konfrontasi
Indonesia-Malaysia, beberapa pemimpin bangsa-bangsa Asia Tenggara semakin
merasakan perlunya membentuk suatu kerjasama regional untuk memperkuat
kedudukan dan kestabilan sosial ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Pada tanggal
5-8 Agustus di Bangkok dilangsungkan pertemuan antarmenteri luar negeri dari
lima negara, yakni Adam Malik (Indonesia), Tun Abdul Razak (Malaysia), S
Rajaratman (Singapura), Narciso Ramos (Filipina) dan tuan rumah Thanat Khoman
(Thailand). Pada 8 Agustus 1967 para menteri luar negeri tersebut
menandatangani suatu deklarasi yang dikenal sebagai Bangkok Declaration.
Deklarasi tersebut merupakan
persetujuan kesatuan tekad kelima negara tersebut untuk membentuk suatu
organisasi kerja sama regional yang disebut Association of South East Asian
Nations (ASEAN).
Menurut Deklarasi Bangkok, Tujuan
ASEAN adalah:
1. Mempercepat pertumbuhan
ekonomi, kemajuan sosial dan perkembangan kebudayaan di Asia Tenggara.
2. Memajukan stabilisasi dan
perdamaian regional Asia Tenggara.
3.Memajukan kerjasama aktif dan
saling membantu di negara- negara anggota dalam bidang ekonomi, sosial, budaya,
teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi.
4. Menyediakan bantuan satu sama
lain dalam bentuk fasilitas-fasilitas latihan dan penelitian.
5. Kerjasama yang lebih besar
dalam bidang pertanian, industri, perdagangan, pengangkutan, komunikasi serta
usaha peningkatan standar kehidupan rakyatnya.
6. Memajukan studi-studi masalah
Asia Tenggara.
7. Memelihara dan meningkatkan
kerjasama yang bermanfaat dengan organisasi-organisasi regional dan
internasional yang ada.
Dari tujuh pasal Deklarasi
Bangkok itu jelas, bahwa ASEAN merupakan organisasi kerjasama negara-negara
Asia Tenggara yang bersifat non politik dan non militer. Keterlibatan Indonesia
dalam ASEAN bukan merupakan suatu penyimpangan dari kebijakan politik bebas
aktif, karena ASEAN bukanlah suatu pakta militer seperti SEATO misalnya. ASEAN
sangat selaras dengan tujuan politik luar negeri Indonesia yang mengutamakan
pembangunan ekonomi dalam negeri, karena terbentuknya ASEAN adalah untuk
mempercepat pembangunan ekonomi, stabilitas sosial budaya, dan kesatuan
regional melalui usaha dengan semangat tanggungjawab bersama dan persahabatan
yang akan menjamin bebasnya kemerdekaan negara-negara anggotanya.
Kerjasama dalam bidang ekonomi
juga merupakan pilihan bersama para anggota ASEAN. Hal itu disadari karena
negara-negara ASEAN pada saat itu adalah negara-negara yang menginginkan
pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian kerja sama dalam bidang lain seperti
bidang politik dan militer tidak diabaikan. Indonesia dan Malaysia misalnya
melakukan kerja sama militer untuk meredam bahaya komunis di perbatasan kedua
negara di Kalimantan.
Malaysia dan Thailand melakukan
kerja sama militer di daerah perbatasannya untuk meredam bahaya komunis. Akan
tetapi Deklarasi Bangkok dengan tegas menyebutkan bahwa pangkalan militer asing
yang berada di negara anggota ASEAN
hanya bersifat sementara dan keberadaannya atas persetujuan negara yang
bersangkutan.Pada masa-masa awal berdirinya ASEAN telah mendapat berbagai
tantangan yang muncul dari masalah-masalah negara anggotanya sendiri. Seperti
masalah antara Malaysia dan Filipina menyangkut Sabah, sebuah wilayah di
Borneo/Kalimantan Utara. Kemudian persoalan hukuman mati dua orang anggota
marinir Indonesia di Singapura, kerusuhan rasialis di Malaysia, dan
permasalahan minoritas muslim di Thailand Selatan.
Akan tetapi, semua pihak yang
terlibat dalam permasalahan-permasalahan tersebut dapat meredam potensi konflik
yang muncul sehingga stabilitas kawasan dapat dipertahankan.Aktivitas ASEAN
dalam bidang politik yang menonjol adalah dengan dikeluarkannya Kuala Lumpur
Declarationpada 27 November 1971. Deklarasi tersebut merupakan pernyataan
kelima menteri Luar Negeri ASEAN yang menyatakan bahwa Asia Tenggara merupakan
zone of peace, freedom and neutrality(ZOPFAN)/Zona Bebas Netral, bebas dari
segala campur tangan pihak luar. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN yang
pertama di Bali pada 1976 masalah kawasan Asia Tenggara sebagai wilayah damai,
bebas dan netral telah berhasil dicantumkan dalam “Deklarasi Kesepakatan ASEAN”
dan diterima sebagai program kegiatan kerangka kerja sama ASEAN.
Selain menghadapi
permasalahan-permasalahan yang muncul dari negara-negara
anggotanya sendiri, seperti
potensi konflik yang telah dijelaskan sebelumnya. Tantangan ASEAN pada awal
berdirinya adalah masalah keraguan dari beberapa negara-negara anggotanya
sendiri. Singapura misalnya, menampakan sikap kurang antusias terhadap ASEAN,
sementara Filipina dan Thailand meragukan efektivitas ASEAN dalam melakukan
kerja sama kawasan. Hanya Indonesia dan Malaysia yang menunjukkan sikap serius
dan optimis terhadap keberhasilan ASEAN sejak organisasi tersebut didirikan.
Selain sikap meragukan yang
muncul dari beberapa negara anggotanya, tantangan lainnya adalah munculnya
citra kurang menguntungkan bagi ASEAN dari beberapa negara luar. RRC menuduh
bahwa ASEAN merupakan suatu proyek “pemerintah fasis Indonesia” yang berupaya
menggalang suatu kelompok kekuatan di kawasan Asia Tenggara yang menentang Cina
dan komunisme. RRC juga menuduh bahwa dalang dari kegiatan yang diprakarsai
oleh “pemerintah fasis Indonesia” tersebut adalah Amerika Serikat. Uni Soviet
tidak menunjukkan sikap penentangan, tetapi menganjurkan agar ASEAN digantikan
oleh sebuah lembaga keamanan bersama bangsa-bangsa Asia, yaitu Asian Collective
Security System. Citra kurang menguntungkan dari ASEAN juga muncul dari Jepang.
Jepang bahkan meramalkan ASEAN akan bubar dalam waktu yang singkat. Sikap dan
penilaian berbeda dari negara luar ASEAN muncul dari negara-negara Barat,
terutama Amerika Serikat. Mereka menyambut positif berdirinya ASEAN. Hal itu
dapat dipahami karena negara-negara Barat sangat menginginkan suatu kawasan
damai dan perkembangan ekonomi di kawasan tersebut untuk meredam bahaya
komunisme di Asia Tenggara.
Keraguan beberapa negara anggota
ASEAN sendiri dapat dimaklumi karena pada masa 1969-1974 dapat dikatakan
sebagai tahap konsolidasi ASEAN. Pada tahap tersebut secara perlahan rasa
solidaritas ASEAN terus menebal dan hal itu menumbuhkan keyakinan bahwa lemah
dan kuatnya ASEAN tergantung partisipasi negara-negara anggotanya. Pada
perjalanan selanjutnya ASEAN mulai menunjukkan sebagai kekuatan ekonomi yang
mendapat tempat di wilayah Pasifik dan kelompok ekonomi lainnya di dunia
seperti Masyarakat Ekonomi Eropa dan Jepang.
Bidang sosial dan budaya pun
menjadi perhatian ASEAN, melalui berbagai aktivitas budaya diupayakan untuk
memasyarakatkan ASEAN terutama untuk kalangan remaja, seniman, cendikiawan dan
berbagai kelompok masyarakat lainnya di negara-negara anggota. Untuk itu, ASEAN
pada 1972 telah membentuk suatu Panitia Tetap Sosial-Budaya.Perkembangan
organisasi ASEAN semakin menunjukkan perkembangan yang positif setelah dalam
KTT pertama di Bali pada 1976 dibentuk Sekretariat Tetap ASEAN yang
berkedudukan di Jakarta. Pada sidang tahunan Menteri Luar Negeri ASEAN di
Manila tanggal 7 Juni 1976, H.R. Dharsono (Sekretaris Jenderal Nasional ASEAN
Indonesia) ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal ASEAN yang pertama. Akan tetapi
karena persoalan politik dalam negeri Indonesia, H.R. Dharsono ditarik dari
jabatannya sebagai Sekretaris Jenderal ASEAN dan digantikan oleh Umarjadi
Njotowidjono.
Pada KTT ASEAN di Bali tahun 1977
telah memperkuat Deklarasi Kuala Lumpur dan telah berhasil menetapkan
prinsip-prinsip program kerja dalam usaha bersama untuk menciptakan stabilitas
politik, memperat kerjasama ekonomi, sosial dan budaya. KTT Bali telah berhasil
menetapkan cara-cara yang lebih kongkret dan terperinci dan usaha-usaha kerja
sama regional ASEAN. Tindak lanjut dari KTT di Bali tersebut adalah
dilakukannya sidang menteri-menteri ekonomi ASEAN di Kuala Lumpur pada 8-9
Maret 1977 untuk melaksanakan keputusan-keputusan KTT ASEAN di bidang kerjasama
ekonomi. Dalam sidang menteri-menteri ekonomi tersebut disetujui asas saling membantu
antarnegara ASEAN dalam bidang pangan dan energi, terutama dalam soal pengadaan
dan produksinya.
Secara kongkrit masing-masing
negara ASEAN membangun lima buah proyek bersama. Kerjasama yang dimaksud adalah
koordinasi antara satu dengan lainnya. Dalam bidang perdagangan telah
disepakati untuk mengambil langkah-langkah bersama guna mengadakan dialog
dengan negara-negara Australia, Kanada, Amerika Serikat, Jepang, negara-negara
Timur Tengah, Eropa Timur, Masyarakat Ekonomi Eropa dan berbagai kelompok
negara lainnya.
Kerjasama antar negara-negara di
kawasan Asia Tenggara merupakan suatu upaya kongkret Indonesia untuk
menciptakan stabilitas kawasan. Indonesia menyadari kenyataan bahwa kerjasama
regional itu tidak akan berhasil meningkatkan kemakmuran nasional dan regional
bangsa-bangsa di Asia Tenggara dengan sebaik-baiknya, jika tidak ada keamanan
dan stabilitas di kawasan tersebut. Itulah sebabnya Indonesia senantiasa
berusaha membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian dalam
masalah Indocina. Indonesia berpendapat bahwa penyelesaian Indocina secara
keseluruhan dan Vietnam khususnya sangat penting artinya dalam rangka
memelihara keamanan dan menciptakan stabilitas di Asia Tenggara.Indonesia
kemudian berinisiatif menyelenggarakan konferensi untuk menyelesaikan masalah
Kamboja dalam rangka mencegah semakin luasnya perang Vietnam. Atas inisiatif
Indonesia, diselenggarakan suatu konferensi di Jakarta pada 15-17 Mei 1970 yang
dihadiri oleh sebelas negara yaitu Indonesia, Malaysia, Laos, Vietnam Selatan,
Filipina, Jepang, Korea Selatan, Thailand, Singapura, Australia dan Selandia
Baru. Konferensi tersebut tidak membuahkan hasil secara kongkrit, tetapi telah
memberikan saran-saran bagi penyelesaian konflik.
Indonesia telah berupaya untuk menyumbangkan
jasa baiknya guna meredam potensi konflik dan konflik bersenjata di Asia
Tenggara.Indonesia berpandangan bahwa negara-negara di Asia Tenggara paling
berkepentingan dan bertanggungjawab terhadap pemeliharaan keamanan di
kawasannya. Oleh karena itu, bangsa-bangsa di Asia Tenggara harus mencegah dan
menghalau setiap campur tangan asing yang negatif dalam segala bentuk dan
manifestasinya.
Pada masa pemerintahan Soeharto,
Indonesia bisa dikatakan adalah pemimpin ASEAN, kebijakan-kebijakan ekonomi
ASEAN sangat tergantung dari cara Indonesia bersikap. Peran sebagai pemimpin
ASEAN sempat memudar saat terjadi krisis ekonomi karena Indonesia sedang
mengalami masalah ekonomi dalam negeri serta situasi politik dalam negeri yang
belum stabil dalam rangka menuju demokratisasi. Indonesia kembali berperan di
era pemerintahan
Presiden SBY. Melalui momentum
terpilihnya Indonesia sebagai Ketua ASEAN pada tahun 2011. Indonesia mulai
mengarahkan ASEAN untuk mencapai suatu komunitas ekonomi yang kokoh di tahun 2015.
Indonesia mengarahkan capaian implementasi Piagam ASEAN dan Cetak Biru
Komunitas ASEAN 2015.Sebagai ketua ASEAN tahun 2011, Indonesia menunjukan
kepemimpinan dalam mendorong tercapainya tiga prioritas. Pertama adalah
kemajuan yang signifikan dalam pencapaian komunitas ASEAN 2015. Kedua adalah
dipeliharanya kondisi kawasan Asia-Pasifik yang aman dan stabil. Serta yang
ketiga adalah menggulirkan visi ASEAN untuk sepuluh tahun mendatang sesuai tema
“ASEAN Community in a Global Community of Nations( www.embasy of Indonesia.org)
Proses lahirnya kebijakan politik
luar negeri Indonesia bebas aktif dan dinamikanya sejak kemerdekaan hingga masa
reformasi, serta peran aktif Indonesia dalam memelihara perdamaian dunia baik
di tingkat regional dan global. Peran tersebut sesuai dengan komitmen bangsa
sebagaimana tertuang dalam alinea ke empat UUD 1945, yang menekankan pentingnya
peran Indonesia dalam ikut serta mewujudkan perdamaian dunia yang berdasarkan
kemerdekaan dan perdamaian abadi.
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER