Kebudayaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia
Kebudayaan Hindu-Buddha dan Islam
di Indonesia
A. Perpaduan Antarbudaya di
Indonesia
Masuk dan berkembangnya pengaruh
luar seperti Hindu-Buddha dan Islam ternyata tidak meninggalkan tradisi dan
budaya lokal. Fase inilah yang dikenal dengan akulturasi.
1. Perpaduan Tradisi Lokal dan
Hindu-Buddha
Kamu tentu pernah mendengar suku
bangsa Tengger. Mereka adalah sekelompok penduduk yang tinggal dan menetap di Pegunungan
Tengger. Apabila diteliti mereka memiliki kebudayaan yang khas dan diyakini
merupakan keturunan orang-orang Majapahit. Setelah pengaruh Islam mulai masuk
Pulau Jawa (Demak) dan Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran, banyak
orang Majapahit yang menyingkir ke arah timur di kawasan Pegunungan Tengger dan
Bali.
Di tempat inilah mereka mengembangkan
kebudayaan sendiri. Orang Tengger tidak memiliki candi-candi sebagaimana
pemeluk agama Hindu-Buddha. Dalam melakukan upacara atau peribadatan, mereka
menggunakan poten, punden berundak atau danyang. Poten adalah sebidang lahan di
lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasadha. Sebagai tempat
pemujaan bagi masyarakat Hindu-Buddha, poten terbagi atas beberapa bangunan
yang meliputi tiga mandala.
Informasi Tambahan:
Poten
Sebagai tempat berlangsungnya upacara kasadha, Poten terdiri atas tiga mandala,
yaitu:
1.Jeroan atau mandala utama Mandala ini digunakan sebagai tempat
pemujaan persembahyangan. Terdiri atas beberapa bagian:
a.Padma berfungsi sebagai tempat pemujaan Tuhan bentuknya menyerupai
candi.
b.Bedawang Nala (kura-kura raksasa) yang sedikit naga, garuda, dan angsa
yang merupakan simbol mitologis.
c.Sekepat atau tiang empat untuk menyajikan sarana upacara.
d.Kori Agung candi Bentar sebagai tugu atau pintu gerbang penghubung.
2.Jaba Tengah atau mandala madya Mandala ini sebagai tempat persiapan
dan pengiring upacara. Terdiri atas beberapa bagian:
a.Kori Agung candi Bentar yang bentuknya menyerupai tugu dengan gelung
mahkota di kepala.
b.Bale kentungan atau bak kul-kul sebagai tempat kul-kul atau kentungan
dibunyikan selama upacara.
c.Bak Bengong atau pewarengan suci untuk mempersiapkan keperluan sesaji
upacara.
3.Jaba sisi atau mandala nista yaitu tempat peralihan dari luar ke
dalam
pura.
Tempat itulah yang menjadi
sentral pelaksanaan upacara Kasadha. Masyarakat Tengger berbondong-bondong
menuju puncak Gunung Bromo dengan membawa Ongkek (sesaji dari hasil pertanian)
untuk dilemparkan ke kawah Gunung Bromo.
2. Perpaduan Tradisi Lokal dan
Islam
Sebagian besar masyarakat
menjelang datangnya bulan suci Ramadan. Menjelang bulan puasa, mereka
mengadakan ritual yang bernuansa religius magis. Ritual ini biasanya dipusatkan
di tempat-tempat yang dikeramatkan terutama makam leluhur atau tokoh-tokoh
besar yang berperan di dalam penyebaran agama Islam di masa lampau. Misalnya tradisi
nyadran di makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Kabupaten Demak. Masyarakat dari
berbagai penjuru di Jawa berbondong-bondong berziarah ke makam pada
minggu-minggu akhir bulan Ruwah. Ritual tradisi serupa juga ditemukan di
berbagai makam yang ada di Jawa. Namun dalam perkembangan, tradisi ini juga
dilakukan oleh warga masyarakat di makam-makam orang tua atau sanak keluarganya.
Bahkan orang telah merantau jauh selama bertahun-tahun menyempatkan diri untuk
pulang untuk melaksanakan ritual tersebut.
Ritual ini sebetulnya tidak
berbeda jauh dengan ritual pada tradisi-tradisi lain yang ada di bulan-bulan
Jawa lainnya seperti Suranan, Syawalan atau Mauludan. Maksud pelaksanaan ritual
adalah memanjatkan doa kepada Tuhan agar diberi keselamatan dan kesejahteraan.
Mereka biasanya melengkapi ritual tersebut dengan menyediakan beragam sesaji
yang dipercaya masyarakat lokal setempat bisa dijadikan sarana mendekatkan diri
dengan Tuhan. Pada saat nyadran, mereka datang ke makam dengan membawa makanan dilanjutkan
memanjatkan doa-doa. Ada pula sebagian anggota masyarakat yang menganggap
tradisi nyadran sebagai sebuah keharusan. Bagi mereka, nyadranan bisa dianggap
sebagai upaya menyucikan diri sebelum melakukan ibadah puasa. Mereka lebih rela
tidak pulang pada saat Lebaran dibandingkan dengan harus meninggalkan tradisi
nyadran.
Masyarakat Jawa bisa memiliki
ikatan batin yang kuat dengan tradisi nyadranan karena tradisi ini sebetulnya
merupakan tradisi peninggalan kebudayaan pra-Islam. Masyarakat pra-Islam memang
memiliki kebiasaan untuk menghormati arwah nenek moyang dan memanjatkan doa
keselamatan bagi anggota keluarganya. Pada saat Islam mulai masuk, ritual ini
diubah oleh para wali dengan memasukkan muatan-muatan ajaran Islam. Para wali
secara lihai menggunakan tradisi lokal untuk menyebarluaskan ajaran agama
Islam. Dalam perkembangannya, tradisi ini diwariskan secara turun-temurun
bahkan masih bertahan hingga kini.
B. Kesusastraan Hindu-Buddha dan
Islam di Nusantara
Asal usul masuknya agama dan kebudayaan
Hindu-Buddha ke Indonesia. Berawal dari aktivitas perdagangan di antara kedua
negara, pengaruh India bisa masuk dan berkembang di Indonesia. Ada beragam
teori yang menganalisis masuknya pengaruh India itu. Siapa tokoh dan apa
pendapatnya tentu telah kamu ketahui dengan pasti. Namun, menurut J.L.A.
Brandes, sebelum kedatangan pengaruh India, masyarakat Indonesia telah mengenal
dan mempunyai sepuluh kepandaian, yaitu pengecoran logam, membuat figur manusia
dan hewan dari batu dan kayu, mengenal instrumen musik, mengenal ragam hias,
sistem barter, astronomi, navigasi, tradisi lisan, sistem irigasi, dan penataan
masyarakat.
Kesepuluh keahlian itu bisa kita
temukan peninggalan sejarahnya. Nah, setelah berinteraksi dengan bangsa India,
masyarakat Indonesia semakin diperkaya dengan kebudayaan India. Apa saja bentuk
kebudayaan India yang masuk ke Indonesia dan apa pengaruhnya bagi masyarakat.
1. Bahasa dan Sastra Periode
Hindu-Buddha
Adanya tradisi batu besar sudah
ada sejak zaman prasejarah. Batu-batu besar atau yang dikenal dengan megalitikum
telah digunakan oleh nenek moyang kita dalam berbagai keperluan upacara adat.
Dizaman sejarah, manusia sudah
mengenal tulisan dan manusia mulai menuliskan sejarahnya dibenda-benda
tertentu. Misalnya Aksara yang digunakan dalam prasasti Yupa adalah aksara
Pallawa yang berasal dari India. Aksara tersebut merupakan turunan dari aksara
Brahmi, yang menjadi cikal bakal semua aksara di India dan Asia Tenggara.
Silsilah aksara Nusantara
selengkapnya
sebagai berikut.
Sejak nenek moyang kita berinteraksi
dengan bangsa India, kita telah mengenal dan memakai aksara Pallawa dan bahasa
Sanskerta. Kamu bisa menganalisis apa manfaat keberadaan sebuah bahasa tulis bagi
suatu bangsa. Beragam peristiwa dan pengalaman yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari bisa didokumentasikan ke dalam berbagai bentuk media tulis. Melalui
prasasti di atas kita kini bisa menceritakan bagaimana kehidupan masyarakat
pada Kerajaan Kutai. Bahkan dalam tahap selanjutnya, aksara Pallawa itu
dikembangkan oleh para pujangga kita menjadi aksara Jawa Kuno, Bali Kuno, Sunda
Kuno, Lampung, Batak, dan Bugis.
Zaman sejarah bangsa kita dimulai
pada saat ditemukan prasasti Yupa di Kalimantan Timur. Dari analisis terhadap
prasasti itu, kita bisa menemukan informasi sejarah bahwa di Kalimantan Timur
telah berdiri sebuah kerajaan Hindu yang bernama Kutai. Rajanya yang terkenal
adalah Aswawarman. Meskipun tidak mencantumkan kapan pembuatannya, tetapi kita
bisa mendapatkan fakta bahwa kerajaan itu berdiri pada abad IV M dan merupakan
kerajaan Hindu pertama di Indonesia.
Selain prasasti Yupa, kita bisa
menemukan perkembangan tradisi tulis di Nusantara. Pada prasasti Canggal yang
ditemukan di Jawa bagian tengah telah menyebutkan angka tahun 652 Saka/732 M. Artinya
bahwa bangsa kita telah mulai mengenal dan menggunakan perhitungan tahun atau
sistem penanggalan yang sama dengan perhitungan tahun Saka di India. Dampaknya
adalah masyarakat mulai merekam beragam peristiwa penting secara lebih urut dan
kronologis. Mulai saat itu, kita bisa membaca dan memahami bagaimana sejarah
kehidupan masyarakat dan negara kerajaan tradisional di Indonesia pada periode
Hindu-Buddha.
Aksara yang terdapat pada
prasasti Kutai dan Ciaruteun identik dengan aksara yang terdapat pada sebuah
prasasti yang terdapat di Vietnam Utara. Aksara itu dikenal dengan Pallawa Awal Asia Tenggara. Aksara itu semakin
lama semakin berkembang lebih sistematis, hingga mencapai bentuk Pallawa Akhir sebagaimana yang bisa kita lihat dalam
prasasti-prasasti yang ditemukan di sekitar Sriwijaya (abad VII). Bentuk aksara
itu kembali mengalami perubahan karena adanya pergantian media tulis dari batu
ke lontar. Aksara ini dikenal dengan nama aksara Kawi Awal. Aksara inilah yang berkembang
menjadi bahasa sastra yang mendasari lahirnya beragam bentuk karya sastra.
Sejarah sastra Jawa tertua
berasal dari prasasti Sukobumi yang ditemukan di Pare, Kediri, Jawa Timur. Di
dalam prasasti yang bertarikh 25 Maret 804 M tersebut, karya sastra ditulis
dalam bentuk prosa atau gancaran dan
puisi atau kakawin dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno.
Info Tambahan:
Karya Sastra Kuno Berbentuk Prosa
Ada beragam contoh karya sastra Jawa Kuno yang berbentuk prosa, antara
lain sebagai berikut.
1.Candakarana adalah kamus atau ensiklopedi Jawa Kuno yang
ditulis pada abad VIII M.
2.Sang Hyang Kumahayanikan adalah karya sastra yang memuat
ajaran agama Buddha Mahayana dan susunan dewa dewi, dibuat pada masa Mpu Sendok
(929-947 M).
3.Kakawin Ramayana ditulis pada abad IX M atau 870, merupakan
syair pertama, terpanjang, dan terindah gaya bahasanya.
4.Uttarakanda merupakan tambahan (kitab ke-7) dari Kakawin
Ramayana.
5.Adiparwa adalah buku pertama (parwa) dari kisah Mahabharata.
6.Subhaparwa adalah buku kedua Mahabharata yang berisi
pengasingan Pandawa Lima.
7.Wirataparwa berisi
kisah pembuangan Pandawa selama 12 tahun di hutan.
8.Udyogaparwa adalah buku kelima Mahabharata yang berisi misi
Kresna untuk menengahi konflik Pandawa dan Kurawa.
9.Bhismaparwa adalah
bagian terpenting Mahabharata karena memuat Bhagawad Gita.
10.Kakawin Sutasoma mengajarkan toleransi antaragama Hindu-Syiwa
dan Buddha. Di dalam salah satu bagiannya terdapat ungkapan Bhinneka Tunggal
Ika yang menjadi semboyan nasional kita.
11.Brahmandapurana adalah
kitab yang memuat ajaran agama Hindu Syiwa, asal usul dunia, munculnya empat
kasta, tahapan para brahmana, dan lain-lain.
12.Kakawin Arjunawiwaha ditulis oleh Mpu Kanwa pada tahun
1019–1042 M, merupakan kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur.
13. Kakawin Bharatayudha menceritakan perang Pandawa dan Kurawa,
merupakan kakawin yang paling termasyhur.
14.Kakawin Kresnayana menceritakan pernikahan Prabu Kresna dan penculikan
calonnya yaitu Rukmini.
15.Kakawin Negarakertagama menceritakan keadaan Keraton
Majapahit di bawah Hayam Wuruk.
16.Kitab Kunjarakarna berdasarkan agama Buddha, menceritakan
raksasa yang bernama Kunjarakarna.
Karya sastra Hindu-Buddha itu
kini banyak yang disimpan di negeri Belanda, karena pada masa penjajahan dulu
Belanda berhasil membawa dan menyelamatkan beragam bentuk karya sastra yang ada
di berbagai kerajaan.
2. Bahasa dan Sastra Periode
Islam
Selain berasal dari agama dan
kebudayaan India, kebudayaan Indonesia juga diperkaya dengan agama dan
kebudayaan Arab (Islam). Masuk dan berkembangnya kebudayaan Islam di Indonesia antara
lain melalui proses islamisasi dengan cara perdagangan, perkawinan, kesenian,
ulama karismatik, sistem pendidikan (pesantren), dan tarekat. Dari berbagai
pengaruh asing (luar) yang masuk ke Indonesia, hanya Islam yang memiliki
jangkauan paling luas dan merata. Bukti kehadiran kebudayaan Islam bisa kita
temukan sejak Pasai hingga kawasan Papua.
Salah satu faktor yang
mempermudah masuknya kebudayaan Islam di Indonesia adalah kondisi sosial budaya
masyarakat yang paternalistik. Apabila anutan telah menerima bahasa Arab dan
agama Islam, maka dengan sendirinya masyarakat akan mengikutinya. Selain itu, agama
Islam sendiri tidak pernah menganggap masyarakat itu terdiri atas kelas-kelas
seperti halnya agama Hindu. Agama Islam bisa leluasa masuk ke dalam kehidupan rakyat
melalui berbagai cara. Dampaknya, agama dan kebudayaan Islam bisa langsung
diterima oleh rakyat. Pelan-pelan, pengaruh bahasa Arab pun masuk ke dalam kehidupan
sehari-hari rakyat dan mulai menggantikan peran aksara Pallawa, bahasa Sanskerta,
maupun Jawa Kuno.
Pengaruh itu paling mudah bisa
kita temukan pada nisan makam, ornamen masjid, kaligrafi, maupun beragam bentuk
karya sastra. Pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam, kita bisa menemukan
Hikayat Raja-Raja Pasai (Kerajaan
Samudera Pasai), Babad Demak (Kerajaan Demak), Babad Tanah Jawi (Kerajaan
Mataram), atau beragam bentuk karya suluk. Dari masa itu, kita pun bisa
mengenal tokoh-tokoh seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Raja Ali
Haji, Sunan Bonang, dan lain-lain. Karya-karya mereka menandai tingginya
semangat intelektual dan dalamnya pemahaman tentang ajaran agama Islam.
Demikian ulasan yang dapat saya sampaikan mengenai kebudayaan hindu-budha maupun islam di Indonesia, Terimakasih anda telah menyempatkan diri mengunjungi Blog saya!!!
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER