Latar Belakang Munculnya Kolonialisme dan Imperialisme
Latar Belakang Munculnya Kolonialisme dan Imperialisme
1. Perubahan Besar di dalam Masyarakat Eropa
Kamu tentu pernah mendengar adanya paham rasionalisme di dalam masyarakat Eropa. Sebagai dampak dari semangat renaisans, maka banyak tokoh pemikir Eropa yang mengemukakan pendapat dan pengetahuannya. Renaisans adalah kebangkitan kembali jiwa manusia yang selama abad pertengahan diliputi mental inactivity. Saat itu orang ingin mengadakan pembaruan dalam segala hal dan ingin meninggalkan segala hal yang berbau kolot dan terbelakang serta menggantinya dengan hal-hal yang baru. Sedangkan rasionalisme bisa dipahami sebagai sebuah paham yang mengatakan bahwa sumber dari segala kebenaran adalah pikiran manusia. Salah satu tokoh penting dari periode ini adalah Rene Descartes yang mengatakan Cogito, ergo sum, artinya ”Saya berpikir, karena itu Saya ada.”
Mulai abad XVI, beragam ide dan paham atau pemikiran berkembang di Eropa. Masing-masing saling berkait satu sama lain menyebabkan perubahan penting di dalam masyarakat. Berikut ini kita identifikasi beberapa perubahan penting tersebut.
a. Merkantilisme
Secara historis merkantilisme adalah sebuah pemikiran ekonomi yang tumbuh dan berkembang mulai abad XVI sampai dengan XVIII. Pemikiran ini mengatakan bahwa kemakmuran suatu bangsa dapat bertambah dengan lebih banyak mengekspor dari pada mengimpor barang, sehingga neraca perdagangan menguntungkan bagi negara. Untuk itu, industri dalam negeri harus mendapat perlindungan, sementara ekspor harus diperbanyak dengan beragam fasilitas.
Ada beberapa pokok pikiran dari
merkantilisme yang bisa dideskripsikan. Pertama,
suatu negara atau raja akan makmur dan kuat apabila ekspor lebih besar dari
impor. Kedua, keuntungan yang
diperoleh dari selisih antara ekspor dan impor atau ekspor neto yang positif
tersebut diwujudkan dengan pemasukan logam mulia (emas dan perak) dari luar
negeri. Ketiga, saat itu logam mulia digunakan sebagai alat pembayaran
sehingga negara atau raja yang memiliki logam mulia yang banyak akan makmur,
kaya dan kuat.
Saat itu yang menerapkan
merkantilisme adalah Raja Karel V (Spanyol), Elizabeth (Inggris), Prinsmauritz
(Belanda), dan Louis XIV (Prancis). Merkantilisme yang diterapkan di Prancis dikembangkan
oleh Jean Baptiste Colbert sehingga dikenal dengan Colbertisme. Di Inggris,
pemerintah memberikan hak-hak monopoli kepada perusahaan dagang. Misalnya East
India Company (EIC) di Asia. Sedangkan di Belanda, pemerintah memberikan hak monopoli kepada Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC)
untuk menguasai perdagangan di kawasan Timur.
b. Revolusi Industri
Ada proses sejarah yang panjang
yang dahulu pernah terjadi di daratan Eropa. Saat itu terjadi perubahan yang
cepat di bidang ekonomi dari kegiatan ekonomi agraris yang tertutup (latifunda) ke ekonomi industri. Dengan
menggunakan mesin, bahan mentah
diolah menjadi bahan siap pakai. Inilah yang
mengubah secara revolusioner kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat Eropa. Secara ekstern, Revolusi Industri disebabkan berlangsungnya revolusi ilmu
pengetahuan yang ditandai munculnya serangkaian ilmuwan dan ditunjang dengan berdirinya lembaga-lembaga riset.
Secara internal, Revolusi
Industri disebabkan mantapnya keamanan dan politik, menguatnya wiraswasta, sumber
daya alam (batu bara) yang melimpah, munculnya paham ekonomi liberal,
terjadinya Revolusi Agraria, dan meningkatnya pelayaran perdagangan. Secara
umum, Revolusi Industri itu menyangkut perubahan teknologi, sosial ekonomi, dan
budaya yang terjadi pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX di daratan Eropa.
Saat itu terjadi penggantian kegiatan ekonomi yang berdasarkan manusia
(pekerja) dengan mesin dan industri. Pelopor Revolusi Industri adalah Inggris
yaitu dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt, dengan menggunakan batu
bara sebagai bahan bakar dan ditenagai oleh mesin. Perubahan dengan cepat terjadi
setelah peralatan mesin juga berkembang dengan pesat terutama mesin produksi.
Revolusi Industri yang terjadi di
Inggris memiliki tahap-tahap produksi sebagai berikut. Pertama,
dikenal dengan home industry atau domestic
System di mana produksi dikerjakan di dalam rumah pekerja dengan peralatan
sendiri. Kedua, tahap industri manufaktur dengan menggunakan lokasi
tertentu sebagai tempat bekerja
sekaligus sebagai tempat penjualan produksi. Biasanya dikerjakan oleh sepuluh orang. Ketiga,
dikenal dengan factory system atau
digunakannya tenaga mesin dengan jumlah pekerja yang banyak.
Permasalahan mulai muncul saat
industri berkembang secara besar-besaran tanpa didukung oleh lokasi pemasaran
yang memadai. Kamu tentu bisa menduga apa yang harus dikerjakan oleh
negara-negara industri tersebut. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan lokasi
baru sebagai tempat pemasaran bagi seluruh produknya. Ada beberapa dampak dari
revolusi industri antara lain munculnya industri besar-besaran, terbentuknya golongan
borjuis dan buruh, menguatnya arus urbanisasi, serta munculnya kapitalisme
modern.
c. Kapitalisme
Kapitalisme bisa dipahami sebagai
sebuah ideologi yang mengagungkan kapital atau modal milik perorangan atau mili
kelompok kecil masyarakat sebagai alat penggerak kesejahteraan manusia. Modal
di sini bisa meliputi kekayaan dalam segala jenisnya termasuk barang-barang
yang digunakan dalam produksi barang lainnya. Semua yang ada di dunia harus
dijadikan kapital perorangan atau kelompok kecil orang untuk memperoleh keutungan.
Caranya adalah dengan menerapkan sistem kerja upahan di mana buruh diperas,
ditindas, dan diisap oleh kaum kapitalis.
Tokoh utama kapitalisme adalah
Adam Smith yang mengemukakan teorinya The
Wealth of Nations. Isinya antara lain menyatakan bahwa kemakmuran
bangsa-bangsa akan tercapai melalui ekonomi persaingan bebas atau ekonomi yang
bebas dari campur tangan negara. Sistem kapitalisme mulai berkembang di Inggris
abad XVIII M dan meluas hingga kawasan Eropa Barat dan Amerika Utara. Ada tiga
prinsip dasar kapitalisme yaitu kebebasan individu, kepentingan diri, dan pasar
bebas. Dengan kebebasan individu maka manusia bebas berpikir, berkarya, dan berproduksi
untuk kepentingan kelangsungan hidupnya.
Jauh sebelum bangsa Barat datang,
Nusantara telah terlibat dalamperdagangan internasional. Ada dua jalur utama
perdagangan saat itu. Pertama, jalur
darat yang dikenal dengan Silk Road atau jalur sutra. Rute yang ditempuh antara lain daratan Cina, Asia Tengah,
Turkistan, hingga Laut Tengah. Kedua, jalur laut yang melalui Cina,
Selat Malaka, India, Teluk Persia,
sampai Laut Tengah. Komoditas yang diperdagangkan antara abad VII–XII M antara
lain rempah-rempah, kayu wangi, kapur
barus, dan kemenyan. Ada dua sentra perdagangan yang ada di Nusantara yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Keduanya memegang hegemoni perdagangan di kawasan Asia
Tenggara.
Sejak abad XV M bangsa-bangsa
Eropa memperluas wilayah penjelajahan ke berbagai belahan dunia hingga kawasan
Asia Tenggara. Penjelajahan dipelopori oleh bangsa Spanyol dan Portugis yang
kemudian diikuti oleh bangsa Belanda, Inggris, dan Prancis. Ada beberapa alasan
mengapa mereka menjalankan penjelajahan samudra. Selain jatuhnya
Konstantinopel, mereka juga diselimuti semangat reconquesta yaitu semangat menaklukkan kekuasaan Islam di mana pun
sentra Islam berada sebagai upaya pembalasan. Sebab lain penjelajahan adalah
kisah perjalanan Marco Polo ke dunia Timur, penemuan Copernicus dan Galileo,
serta penemuan kompas. Dari situlah bangsa-bangsa Eropa mampu mengeruk kekayaan
dan menemukan identitas diri dengan membentuk negara-negara nasional. Ukuran
negara yang kuat saat itu adalah negara yang memiliki wilayah kekuasaan paling
luas. Bisa dibayangkan apa yang terjadi berikutnya. Merkantilisme dan Revolusi
Industri mendorong bangsa-bangsa Barat untuk menerapkan kolonialisme dan
imperialisme untuk mendapatkan wilayah kekuasaan, bahan mentah, pendukung
industri, dan tempat pemasaran.
Penjajahan Bangsa Asing di
Indonesia
Posisi dan potensi yang dimiliki
bangsa Indonesia sejak dahulu telah menjadi pembicaraan bahkan incaran
bangsa-bangsa lain di dunia. Mengapa? Dari sisi kepentingan pelayaran dan
perdagangan dunia, segalanya bisa ditemukan di Indonesia. Jaringan perdagangan,
komoditas perdagangan, transportasi, dan sikap bangsa Indonesia, adalah
beberapa contoh kemudahan yang akan didapat oleh bangsa asing apabila
berinteraksi dengan bangsa Indonesia. Tidak aneh apabila bangsa-bangsa Barat
berlomba-lomba untuk datang ke Indonesia.
1. Perkembangan Masyarakat pada
Masa Penjajahan VOC
Salah satu faktor yang bisa
memancing kedatangan bangsa-bangsa Barat datang ke Indonesia adalah
rempah-rempah. Sejak zaman Hindu-Buddha, bangsa kita dikenal sebagai penghasil
utama rempah-rempah. Bangsa Belanda datang ke Indonesia pertama kali tahun 1596
di pelabuhan Banten. Semula, mereka hanya berdagang dengan pedagang-pedagang
kita di berbagai daerah. Dalam perkembangannya, mereka berniat menguasai dan
memonopoli perdagangan rempah-rempah. Usaha itu dilaksanakan dengan membentuk
VOC. Kamu tentu tahu apa saja tujuan dan hak yang dimiliki oleh persekutuan dagang
ini.
Dampak kehadiran VOC di Kepulauan
Nusantara pelan-pelan menyengsarakan kehidupan rakyat.
a. Kehidupan Ekonomi
Ada beberapa tindakan VOC yang
sangat merugikan rakyat. Untuk bisa memonopoli perdagangan rempah-rempah, VOC
tidak jarang menggunakan ancaman kekerasan terhadap penduduk dan orang-orang
non-Belanda yang berdagang di sekitar kawasan tersebut. Penduduk di Kepulauan
Banda yang terus menjual biji palanya kepada pedagang Inggris dibunuh oleh
pasukan Belanda.
Bahkan, penduduk di kepulauan
tersebut dipindah ke luar pulau dan diganti dengan para pembantu atau
budak-budak yang dipekerjakan di perkebunan. Dalam perkembangannya, para pedagang
VOC terus memperkuat kedudukan dengan membuat benteng pertahanan, intervensi ke
dalam kerajaan, dan memperbudak rakyat. Bahkan, mereka semakin memperluas
pengaruh dan kekuasaan hingga ke berbagai pulau di Nusantara. Pada tahun 1605,
armada VOC bersekutu dengan Hitu untuk menyerang kubu pertahanan Portugis di
Ambon. Imbalannya adalah VOC berhak sebagai pembeli tunggal rempah-rempah Hitu.
Perlahan-lahan, VOC berhasil membuka kantor dagang di Sulawesi Selatan dan menyerang
Banten, selanjutnya menjadikan Jayakarta sebagai pelabuhan dengan nama Batavia.
Kita tahu bahwa Banten adalah pusat penghasil lada terbesar di Indonesia bagian
barat. Dengan langkah itu, VOC berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah di
Indonesia Timur dan perdagangan lada di Indonesia bagian barat.
b. Kehidupan Politik
Jauh sebelum VOC datang di
Kepulauan Nusantara, kerajaan- kerajaan Islam menguasai jaringan perdagangan, seperti
peran Kerajaan Aceh, Banten, Demak, Gowa, Mataram, Ternate dan Tidore.
Masing-masing kerajaan memiliki wilayah kekuasaan hingga ke luar pulau. Namun,
setelah VOC datang di Banten abad XVI, peran dan kedudukan kerajaan-kerajaan
itu semakin hilang.
Awal mula intervensi VOC di dalam
kehidupan politik di Nusantara dimulai pada tahun 1601. Pieter Both berhasil
membujuk Pangeran Jakarta untuk membangun benteng pertahanan di Batavia.
Kontrak antara VOC dengan Pangeran Jakarta itu antara lain VOC diizinkan
membuat bangunan dari batu bata dan kayu di daerah pecinan. Sebagai gantinya, VOC membayar 1.200
real kepada Pangeran Jakarta. Dari situlah, VOC mengoperasikan seluruh
kepentingan politik ekonominya ke seluruh daerah di Nusantara.
Ada beberapa faktor yang
mempermudah VOC membangun imperiumnya di Nusantara. Selain telah menguasai
jaringan perdagangan lada, cengkih, dan rempah-rempah, VOC juga berhasil
memanfaatkan pergolakan yang terjadi di dalam kerajaan-kerajaan itu. Satu demi
satu: Makassar, Banten, dan Mataram jatuh ke tangan VOC. Apalagi ada
pihak-pihak kerajaan yang mau menerima bantuan dan kerja sama VOC.
Secara garis besar, berikut
kronologi bagaimana VOC masuk dan menaklukkan daerah-daerah di Nusantara.
1569 Armada Belanda datang di
Pelabuhan Banten.
1602 Pedagang Belanda mendirikan
kongsi dagang dengan nama VOC.
1605 VOC bersekutu dengan Hitu menyerang
Portugis dengan imbalan VOC memperoleh monopoli rempah.
1609 VOC membuat kantor dagang di
Sulawesi Selatan namun dihadang oleh Raja Gowa.
1610 Ambon dijadikan pusat
aktivitas VOC dengan dipimpin oleh seorang gubernur jenderal.
1619 J.P. Coen menyerang Banten
dan membangun Batavia sebagai pusat aktivitas.
1620 VOC membantai penduduk Banda
dan mengganti dengan para pendatang.
1630 Belanda mulai memegang
hegemoni perdagangan laut di Indonesia.
1637 Gubernur Jenderal VOC
(Antonio van Diemen) menyerang Ternate di Hoamoal.
1643 Arnold de Vlaming memaksa
Raja Ternate Mandarsyah untuk menandatangani perjanjian yang melarang penanaman
pohon cengkih di semua wilayah kecuali Ambon atau yang dikuasai VOC.
1656 Seluruh penduduk Ambon
dibuang dan VOC memusnahkan seluruh tanaman cengkih.
1660 Tiga puluh kapal armada VOC
menyerang Gowa dan terlibat perang dengan pasukan Gowa.
1667 Sultan Hasanuddin dipaksa
menandatangani Perjanjian dengan VOC.
1674 Wabah kelaparan merajalela
di Jawa dan kondisi rakyat semakin memprihatinkan.
1683 Keuangan VOC mulai kacau
karena korupsi (dari 23 kantor hanya 3 yang produktif).
1740 Sepuluh ribu orang Tionghoa
dibunuh oleh VOC.
1755 VOC menandatangani
Perjanjian Giyanti.
1800 VOC secara resmi dibubarkan.
Itulah kronologi singkat bagaimana
VOC meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan rakyat Indonesia. Ada beberapa fakta
yang bisa kita temukan. Pertama,
dengan hak istimewa yang dimilikinya VOC
mampu menguasai dan memonopoli produksi dan jaringan perdagangan rempah-rempah di Nusantara serta meraih keuntungan. Kedua, bandar-bandar pelabuhan dan kekuasaan kerajaan Islam jatuh ke tangan VOC. Ketiga, rakyat di Nusantara jatuh
ke dalam kehidupan yang memprihatinkan. Keempat,
raja-raja di Nusantara berusaha melawan dominasi dan monopoli asing dalam beragam bentuk. Kelima, karena korupsi dan manipulasi VOC mengalami kebangkrutan.
2. Penjajahan Pemerintahan Hindia
Belanda
Pada tanggal 1 Januari 1800, VOC
secara resmi dibubarkan dan seluruh hak serta kekuasaannya diambil alih oleh
pemerintah Belanda. Hanya saja, pemerintahan di Hindia Belanda bertanggung
jawab kepada negara induk di Belanda. Ini tentu berbeda dengan VOC yang berkuasa
untuk kepentingan kongsi dagangnya sendiri. Namun, pada waktu itu Belanda
mengalami kekalahan perang melawan Prancis dalam Perang Eropa. Seluruh wilayah
kekuasaan Belanda menjadi milik Prancis. Dampaknya juga bisa dirasakan di
Hindia Belanda.
Prancis menunjuk Herman Willem
Daendels untuk menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda pada tahun 1806. Mulai
tahun 1808, ia menjalankan pemerintahan dari Bogor secara diktator. Program
yang ia jalankan adalah memberantas ketidakefisienan, korupsi, dan segala
bentuk penyelewengan administrasi pemerintahan. Konsekuensinya adalah banyak
para penguasa lokal dan bangsawan yang hanya menjadi pegawai kolonial. Inilah
yang dimaksud dengan indirect rule
yaitu pemerintah menjalankan kekuasaannya dengan menggunakan para penguasa lokal.
Dampaknya adalah munculnya konflik berkepanjangan antara kumpeni dan kerajaan.
Di satu sisi kompeni ingin memaksakan kepentingannya tetapi di lain sisi para penguasa
kerajaan juga ingin menegakkan kedaulatannya.
a. Kehidupan Ekonomi
Menurut kaum liberal di Belanda,
kehidupan ekonomi rakyat Hindia Belanda semakin merosot karena sistem feodal
yang sangat mengekang aktivitas rakyat. Dirk van Hogendorp mengusulkan agar
kedudukan bupati dan penguasa ditata kembali, pemilikan tanah yang menjadi
sumber pemerasan dicabut dan dikembalikan kepada rakyat. Rakyat diberi tanah
untuk ditanami secara bebas, bebas memilih jenis tanaman dan melakukan pekerjaan.
Verplichte
leveranties (penyerahan wajib) diganti dengan pajak hasil bumi.
Gubernur Jenderal Daendels yang
antifeodalisme mulai mengurangi kekuasaaan dan hak-hak bupati serta mulai menghapuskan
wajib tanam dan wajib kerja. Pemerasan yang dilakukan oleh para bupati
dikurangi dan kebebasan berdagang diterapkan. Tetapi, ada beberapa hambatan
yang dihadapi oleh Daendels. Pertama,
para bupati masih memegang peranan di dalam perdagangan sebagai pedagang
perantara. Para bupati keberatan dengan pembaruan Daendels karena akan
kehilangan prosen kultur yaitu persentase tertentu dari harga tafsiran penyerahan
wajib dan kontingen yang dipungut dari rakyat. Kedua, kedudukan bupati dalam struktur feodal sangat kuat sehingga setiap
perubahan tidak akan berjalan tanpa adanya kerja sama dengan mereka. Ketiga, konsentarasi Daendels adalah
mempertahankan Jawa sebagai basis pertahanan di dalam menghadapi Inggris. Oleh
karena itu, beberapa daerah di luar Jawa ia lepaskan dengan pertimbangan lebih mementingkan
Jawa. Misalnya Bangka (1806), Banjarmasin, Ambon, Ternate, Tidore (1810), dan
lain-lain.
Salah satu program Daendels yang
fenomenal adalah pembuatan Grote Postweg (Jalan
Raya Pos) antara Anyer–Panarukan sejauh 1.000 km dalam waktu tidak kurang dari
satu tahun. Pembangunan jalan itu jelas sangat mendukung transportasi,
perkembangan perekonomian dan mobilitas sosial. Hanya saja caranya yang
menggunakan penguasa lokal untuk mengerahkan rakyat dinilai membahayakan
kedudukan Belanda.
Karena, penguasa atau rakyat yang
menolaknya akan dibunuh dan kepala-kepala mereka digantung di pucuk-pucuk
pepohonan di kiri kanan ruas jalan. Daendels memang dikenal kejam dan menakutkan.
b. Kehidupan Politik
Prinsip liberalisme dan
antifeodal yang menjiwai Daendels memengaruhi pula pola kebijakannya di tanah
jajahan. Ia sangat membatasi kekuasaan para raja terutama dalam mengangkat penguasa
daerah. Daendels melarang adanya jual beli jabatan. Beberapa kerajaan yang
menentangnya, ia likuidasi atau hapuskan seperti yang terjadi di Kesultanan
Banten. Para bupati dan penguasa lokal ia jadikan pegawai pemerintah Belanda.
Pada bulan Januari 1811, Daendels berhasil memaksakan perjanjian baru terhadap
Yogyakarta dan Surakarta. Isinya antara lain penghentian pembayaran uang sewa
Belanda kepada kedua sultan/sunan untuk wilayah-wilayah pantai utara.
Pada tahun 1811, Daendels
digantikan oleh Jan Willem Janssens. Tiga bulan setelah Hindia Belanda dipegang
oleh Janssens, puluhan kapal Inggris berlabuh di Batavia. Perang secara terbuka
antara Belanda dengan Inggris meletus pada tanggal 26 Agustus 1811. Inggris
berhasil merebut Batavia dan Belanda mundur ke Semarang. Akhirnya, pada tanggal
18 September 1811 Belanda menyerah Inggris di Salatiga. Dokumen penyerahan itu dikenal
dengan Perjanjian Tuntang. Salah satu isi pentingnya adalah Pulau Jawa, Madura,
dan semua kekuasaan Belanda di luar Jawa menjadi milik Inggris. Maka, mulai
saat itu Hindia Belanda jatuh ke tangan Inggris.
3. Penjajahan Inggris
Berbicara mengenai penjajahan
Inggris di Indonesia, kita tidak bisa melepaskan ingatan pada sosok Thomas
Stamford Raffles. Dia adalah letnan gubernur jenderal Jawa yang mendasarkan
kekuasaannya pada kebebasan dan persamaan manusia. Perhatiannya ditujukan pada
kesejahteraan penduduk asli sebagai tanggung jawab pemerintah. Oleh karena itu,
banyak kebijakannya yang cenderung tidak mengekspolitasi penduduk seperti para
penguasa Belanda.
a. Kehidupan Ekonomi
Salah satu kebijakannya yang
terkenal adalah landrente atau pajak tanah.
Kebijakan itu antara lain menarik pajak sebesar 2/5 dari hasil bumi yang
dimiliki seseorang. Pertimbangannya adalah bahwa semua tanah diyakini sebagai
milik pemerintah Inggris dan rakyat hanyalah penyewa. Besarnya pajak itu
ditentukan oleh kesuburan tanah rakyat dan bisa dibayar dengan uang atau hasil bumi
lainnya seperti padi. Selain itu ia juga meletakkan dasar-dasar bagi
perkembangan perekonomian, sistem uang, dan menjadikan desa sebagai pusat
administrasi.
Ternyata, pelaksanaan landrente mengalami kesulitan karena adanya penolakan
dari para bangsawan. Kita tahu bahwa para bangsawan adalah pemilik tanah yang
telah berlangsung secara turun-temurun. Para bangsawan merasa dirugikan apabila
kebijakan itu benar-benar dilaksanakan oleh Raffles. Apalagi rakyat belum siap
dengan monetisasi yang hendak diterapkan untuk menggantikan sistem inatura atau
sistem tradisional yang telah lama dikenal rakyat. Secara garis besar,
kebijakan landrente yang dijalankan
oleh Raffles gagal men- datangkan keuntungan bagi Inggris.
Kehidupan ekonomi penduduk sangat
dipengaruhi oleh struktur feodal yang bercirikan bendara (para raja, bangsawan, dan
keluarganya) dan abdi (rakyat). Secara tradisional, rakyat harus menyerahkan
upeti kepada para bangsawan keraton. Selain itu rakyat harus membersihkan
keraton, mencarikan rumput untuk kuda-kuda kerajaan, dan melakukan penjagaan. Hubungan
bendara dan abdi jelas sangat memberatkan rakyat. Apalagi penguasa dan
pengusaha kolonial juga mempunyai tuntutan yang tidak dikenal di dalam ikatan
atau kontrak. Bagi rakyat ini sangat memberatkan karena mereka tidak hanya
menghasilkan untuk dikonsumsi sendiri tetapi juga memproduksi untuk kepentingan
penguasa kolonial, lokal, dan pengusaha.
b. Kehidupan Politik
Kebijakan politik yang diterapkan
Raffles di Hindia Belanda banyak dipengaruhi teori liberalisme. Inggris sukses
menerapkannya di India. Pada tahun 1812, Raffles mengadakan pembaruan sistem
pengadilan dengan sistem juri seperti di Inggris dan menata kehidupan politik
pemerintahan di Jawa. Raffles membagi Jawa ke dalam delapan belas keresidenan
dan mengurangi kekuasaan kekuasaan para bupati. Kesultanan Banten dihapuskan,
sementara itu kedaulatan Kesultanan Cirebon diserahkan kepada Inggris. Raffles
berhasil mendekati dan memengaruhi beberapa daerah atau kerajaan untuk bekerja
sama dengan Inggris. Misalnya, mengasingkan Sultan Hamengku Buwono II ke Pinang
dan menggantikannya dengan Hamengku Buwono III dari Yogyakarta (1811). Selain
itu, untuk memperlemah Kesultanan Yogyakarta, Raffles menyerahkan sebagian
wilayah kepada Pangeran Natakusuma. Raffles juga memperkecil wilayah Kesunanan
Surakarta.
Kesulitan mulai dihadapi oleh
Raffles setelah Lord Minto meninggal dunia pada bulan Juni 1814. Bahkan, meski
tidak terbukti, ia dituduh telah melakukan korupsi. Kekuasaan Inggris atas
Hindia Belanda semakin lemah setelah negara-negara yang melawan Napoleon
membuat perjanjian untuk mendirikan kerajaan Belanda yang baru. Akhirnya, pada
tanggal 13 Agustus 1814 Inggris menyetujui bahwa semua harta dan kekuasaannya
di Hindia Belanda dikembalikan kepada Belanda. Keputusan ini diperkuat dengan Kongres
Wina pada tahun 1815 yang menyebutkan bahwa Inggris harus mengembalikan Jawa
dan kekuasaan Hindia Belanda lainnya kepada Belanda sebagai bagian dari persetujuan
yang mengakhiri Perang Napoleon. Serah terima kekuasaan dilaksanakan antara Letnan
Gubernur John Fendall (Inggris) kepada Tiga Komisaris Belanda (Cornelis Elout,
Buijskes, dan van der Capellen) pada bulan Agustus 1816. Raffles pun kembali ke
Inggris dan Hindia Belanda kembali jatuh ke dalam kekuasaan negeri Belanda.
4. Penjajahan Belanda
Saat Hindia Belanda dipegang oleh
tiga komisaris jenderal, kondisi keuangannya sangat merosot. Selain
kebangkrutan VOC, juga karena adanya pengeluaran yang besar untuk menghadapi
Perang Diponegoro dan Perang Padri. Permasalahan yang dihadapi Belanda semakin
rumit setelah Belgia yang menjadi saka guru industrinya memisahkan diri pada
tahun 1830. Tugas untuk mengatasi kesulitan perekonomian Belanda itu diberikan
kepada Johannes van den Bosch. Ia diangkat menjadi gubernur jenderal Hindia
Belanda dengan target untuk meningkatkan penerimaan negara dan mengatasi
masalah keuangan. Salah satu kebijakannya yang terkenal adalah sistem tanam
yang kemudian dikenal dengan tanam paksa (cultuurstelsel).
Daendels mewajibkan rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk hasil pertanian (inatura)
seperti kopi, tebu, dan nila. Sasarannya adalah Hindia Belanda bisa
mengekspornya ke Belanda untuk kemudian dijual ke Amerika.
Inti sari konsep Daendels adalah
menjadikan tanah jajahan sebagai tempat mengambil keuntungan bagi negeri induk.
Konsep itu didasarkan atas dua konsep yaitu wajib atau paksa dan monopoli. Prinsip
pertama pernah diterapkan VOC dalam bentuk verplichte
leveranties (penyerahan wajib) yang dikembangkan Daendels menjadi Preanger-Stelsel . Penerapan sistem ini
sangat membutuhkan perantara yang
berasal dari penguasa tradisional di daerah dan organisasi desa. Prinsip kedua diterapkan dengan
memberikan hak monopoli kepada Nederlandsche
Handels Maatschappij untuk mengurusi produksi pengangkutan dan perdagangan hasil
ekspor Jawa.
a. Kehidupan Ekonomi
Apabila cultuurstelsel itu
dilaksanakan dengan baik sesuai konsep, tidak terlalu membebani kehidupan rakyat.
Tetapi dalam praktiknya banyak terjadi penyimpangan. Mengapa? van den Bosch
menawarkan iming-iming atau perangsang bahwa para bupati, pegawai Belanda, dan
kapala desa akan mendapatkan culture
procenten yaitu bagian dari tanaman yang disetor sebagai bonus selain
pendapatan yang biasa diterima. Sesuai ketentuan cultuurstelsel, rakyat diharuskan menyediakan sebagian tanahnya
untuk ditanami tanaman ekspor, luasnya tidak lebih dari 1/5, waktu pemeliharaan
tanaman tidak lebih dari masa tanam padi, tanah tersebut bebas pajak, sisa hasil
bumi di luar pajak diberikan kepada petani, dan gagal panen ditanggung pemerintah.
Ketentuan ini dengan mudah dilanggar karena adanya culture procenten dan desakan kepentingan penguasa kolonial.
Selain harus kerja rodi, petani
juga kehilangan tanah-tanah suburnya, membayar gagal panen, dan kehilangan
sumber daya yang bisa memberinya penghasilan. Pada masa ini kehidupan rakyat
diliputi suasana penderitaan dan kesengsaraan. Wabah kelaparan pun menjangkiti
rakyat Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849). Sebaliknya, para
bupati dan aparat lokal bisa memperoleh bonus untuk memperkaya diri. Mereka
yang semestinya menjadi perantara kebijakan berubah menjadi bagian dari
penguasa yang menekan dan memaksa rakyat. Tidak aneh apabila para bupati juga
berperan sebagai mandor.
b. Kehidupan Politik
Kehidupan politik di Hindia
Belanda pada periode sistem tanam paksa adalah membuat kebijakan yang bisa
menyelamatkan krisis yang melanda negeri Belanda. Para bupati dan bangsawan diberi
kekuasaan yang lebih untuk bisa membantu program pemerintah. Para bupati
tersebut semakin berkuasa karena juga mempunyai kepentingan pribadi untuk
mendapatkan keuntungan yang lebih. Kebijakan tersebut menyebabkan jumlah
pegawai kolonial bertambah banyak. Peran bupati yang tidak lebih dari sekadar
mandor pemerintah itu ternyata justru mengurangi wibawanya di mata rakyat dan
struktur di bawahnya.
Organisasi desa yang semula
mempunyai ikatan yang kuat berubah menjadi kepanjangan tangan pemerintah
kolonial. Karena, dari desalah seluruh pungutan pemerintah dari masyarakat bisa
dilaksanakan. Penetrasi kekuasaan kolonial ke dalam organisasi desa sebetulnya
membawa perubahan tetapi di sisi yang lain juga memperkuat kekuasaan
tradisional dari kepala desa. Dampaknya adalah rakyat menghadapi dua bentuk
penjajahan yaitu dari pemerintah kolonial dan dari penguasa lokal sejak raja,
bupati/adipati, hingga bekel/kepala desa.
Mobilisasi yang dilaksanakan oleh
pemerintah kolonial itu ternyata efektif untuk mengeruk keuntungan dan
merekonstruksi perekonomian Belanda. Hanya saja, penyimpangan yang terjadi di
dalam pelaksanaan cultuurstelsel itu juga membawa reaksi dari berbagai
kalangan. Kecaman datang dari oposisi kolonial yang dipelopori oleh van Hoevell
dan disusul oleh Douwes Dekker. Fakta menyebutkan bahwa pelaksanaan cultuurstelsel jelas mengeksploitasi
penduduk pribumi baik tenaga maupun tanahnya. Tanah-tanah yang semula milik
pribadi harus lepas ke tangan swasta agar bisa ditanami.
Dampak dari munculnya kecaman itu
adalah dihapuskannya secara bertahap beberapa jenis tanaman seperti nila, teh,
dan kayu manis pada tahun 1865. Tanaman tersebut memang kurang memberi
keuntungan pada pemerintah kolonial. Namun, secara berturut-turut beberapa
tanaman juga mulai dihapus seperti tembakau (1866), tebu (1884), dan kopi
(1916). Cultuurstelsel mulai dihapus karena berhasil menutup defisit
dan meningkatkan kemakmuran bangsa
Belanda.
Meskipun menyisakan penderitaan
bagi rakyat, namun cultuurstelsel juga
meninggalkan beragam prasarana yang bermanfaat bagi rakyat. Selain mengenalkan
beragam jenis tanaman baru, pemerintah kolonial juga telah membangun jaringan transportasi
kereta api, komunikasi, dan prasarana perkotaan. Kota-kota yang telah berdiri
sejak abad XIX tidak hanya menjadi pusat perdagangan tetapi juga pemerintahan
dengan segala kemudahan dan pelayanan. Beragam kekuatan sosial, politik, dan kebudayaan
yang ada di kota memancing adanya urbanisasi dan perubahan sosial.
Kehidupan rakyat mulai sedikit
diperhatikan setelah kelompok etis Belanda mengusulkan perbaikan kehidupan. Hal
ini mereka tempuh setelah melihat keuntungan yang diraih Belanda dan
penderitaan yang dialami rakyat. Tidak aneh apabila pada akhir abad XIX mulai
bermunculan sekolah untuk rakyat. Meskipun semula hanya untuk memenuhi kepentingan
pemerintah (birokrasi dan perkebunan) serta swasta kolonial, namun dalam jangka
panjang hal itu memperluas terjadinya mobilitas sosial. Banyak siswa yang
berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang bertemu di kota-kota besar untuk
mengikuti pendidikan kolonial.
Sistem pendidikan yang diadakan
pemerintah kolonial itu ternyata justru melahirkan kelompok elite baru yaitu
bangsawan terdidik pada awal abad XX. Kelompok inilah yang menjadi peletak
dasar kebangkitan nasional. Melalui sekolah-sekolah seperti OSVIA dan STOVIA,
para pelajar bisa mengenal bahasa Belanda dan membuka wawasan mengenai beragam
masalah kebangsaan. Kesadaran untuk hidup berbangsa pun mulai masuk ke dalam
dada para pelajar. Benih nasionalisme yang mulai tumbuh lalu diaktualisasikan
dalam bentuk organisasi pergerakan. Pada masa inilah, identitas keindonesiaan
mulai terbentuk dan menggantikan ikatan-ikatan tradisional.
5. Penjajahan Jepang
Pada masa awal abad XX,
pemerintah kolonial Belanda mulai kehilangan cara di dalam mengendalikan
pergerakan nasional di Indonesia. Beragam organisasi pergerakan dengan berbagai
corak dan latar belakang tumbuh subur di berbagai daerah. Para pemimpin bangsa
tetap tidak patah semangat meskipun harus keluar masuk penjara. Seiring dengan
itu, Jepang semakin leluasa memperluas wilayah kekuasaannya dalam Perang Asia
Timur Raya. Ekspansi Jepang yang didasari semangat Hakko Ichiu dengan cepat merambah Asia
Tenggara dan masuk ke Indonesia. Pada tanggal 8 Maret 1942, Ter Porteen
(Panglima Tentara Hindia Belanda) harus menyerah tanpa syarat kepada bala
tentara Jepang di Kalijati. Maka, mulailah periode pendudukan Jepang di
Indonesia. Bagaimana kehidupan masyarakat pada masa pendudukan Jepang, berikut
deskripsi singkatnya.
a. Kehidupan Ekonomi
Kehidupan ekonomi rakyat
ditujukan pada kepentingan Perang Jepang. Seluruh sumber daya alam dan bahan
mentah yang dimiliki rakyat diambil oleh Jepang untuk mendukung perang. Pemerintah
pendudukan Jepang mengambil kebijakan di bidang ekonomi dengan ciri-ciri
sebagai berikut. Pertama, kegiatan perekonomian
dan pemanfaatan seluruh potensi rakyat diarahkan untuk mendukung kegiatan
industri perang Jepang. Kedua, kegiatan
ekonomi tidak luput dari pengawasan ketat pemerintah Jepang. Bahkan pemerintah
memberi sanksi bagi pelanggarnya. Ketiga,
pemerintah selain menerapkan ekonomi perang juga menjalankan sistem autarki.
Kegiatan ekonomi yang berlangsung digunakan
untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Keempat,
untuk mempercepat tersedianya beragam
kebutuhan bagi perang, Jepang membentuk
Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa) dan Nagyo Kumiai (koperasi pertanian). Kelima, kebijakan perekonomian Jepang
tersebut menyebabkan sulitnya pemenuhan kebutuhan pangan rakyat dan tidak
adanya sandang yang layak dipakai oleh rakyat.
Kehidupan rakyat pada masa
pendudukan Jepang sungguh sangat menyedihkan. Lahan-lahan pertanian
dieksploitasi sehingga menimbulkan krisis bahan pangan, krisis ekonomi, sumber
daya alam, dan tingginya angka kematian. Hal itu diperparah dengan pengerahan
tenaga kerja rakyat dalam bentuk kinrohoshi
atau kerja bakti dan romusha atau
kerja paksa. Pengerahan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan Jepang akan
pembuatan kubu-kubu pertahanan, lapangan terbang, gudang bawah tanah, jalan
raya, dan jembatan. Proyek itu tidak hanya berada di Indonesia tetapi juga
Birma, Muangthai, Vietnam, dan Malaysia. Dampaknya adalah ribuan orang terbunuh
sementara para gadis dijadikan jughun
ianfu atau wanita penghibur. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi
rakyat Indonesia pada waktu itu. Coba tanyakan kepada kakek atau nenekmu.
b. Kehidupan Politik
Kehidupan politik rakyat dengan
cepat berubah pada masa pendudukan Jepang. Begitu menduduki Indonesia,
pemerintah Jepang langsung melarang seluruh aktivitas politik. Bahkan seluruh
organisasi politik yang sempat eksis pada masa penjajahan Belanda dibubarkan
melalui Undang-Undang Nomor 2 Tanggal 8 September 1942. Perjuangan untuk meraih
kemerdekaan bangsa yang sempat diperjuangkan melalui beragam organisasi
pergerakan, sempat lumpuh dan kehilangan daya dobrak. Satu-satunya organisasi
yang diperbolehkan tetap berdiri adalah MIAI. Sebaliknya, dalam rangka
menancapkan kekuasaannya di Indonesia Jepang telah membuat propaganda dalam
bentuk Gerakan 3A. Gerakan ini untuk memobilisasi
tenaga rakyat dalam Perang Asia Timur Raya. Namun, propaganda Jepang ini tidak
berhasil karena tidak terlibatnya para pemimpin perjuangan bangsa Indonesia.
Kegagalan Jepang di dalam
memobilisasi rakyat tersebut membuat Jepang mengambil simpati dengan jalan
mendekati para pemimpin Indonesia untuk dijadikan pemimpin informal. Jepang sengaja
membuat organisasi Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang dipimpin oleh para
pemimpin Indonesia untuk bisa meraih dukungan rakyat. Dalam perkembangannya,
organisasi ini justru menjadi sarana pendidikan politik bagi rakyat. Kasus yang
sama juga terjadi pada pembentukan PETA, Kempetai, dan badan-badan semimiliter
Jepang. Semua secara efektif bisa mempersiapkan mental bangsa Indonesia menuju
kemerdekaan. Para pemuda yang terdidik di dalam lembaga-lembaga Jepang ini
kelak menjadi pemimpin bangsa. Meskipun berlangsung singkat dibandingkan dengan
masa penjajahan Barat di Indonesia, namun penderitaan rakyat pada masa
pendudukan Jepang jauh lebih parah. Seluruh potensi dan sumber daya yang
dimiliki rakyat dieksploitasi demi kepentingan Perang Jepang. Seluruh bahan
pangan dan sandang dibawa ke Jepang, hasil-hasil tambang dikuras dan seluruh
tenaga potensial dikerahkan untuk kepentingan Jepang. Tidak aneh apabila
pakaian rakyat compang-camping bahkan terbuat dari karung goni atau getah
karet. Meskipun begitu, periode pendudukan Jepang memberikan pengalaman yang
berharga bagi bangsa untuk mempersiapkan kemerdekaan. Karena, dengan memilih
strategi kerja sama dengan Jepang melalui berbagai lembaga dan organisasi bentukannya,
para pemimpin bisa secara tidak langsung memimpin bangsa.
Demikian, Ulasan yang dapat saya sampaikan terkait tentang "Latar Belakang Munculnya Kolonialisme dan Imperialisme", dan kurang lebihnya mohon maaf, semoga bermanfaat, serta terimakasih sudah berkunjung diblog saya!!!
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER