Kebudayaan Nusantara Pada Masa Penjajahan
A. Ragam Corak Sastra Hindia
Penjajahan Barat yang ada di
Indonesia ternyata tidak hanya berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi, dan
politik saja. Selain memengaruhi pola dan corak kehidupan bangsa Indonesia, bangsa
kolonial juga memengaruhi kehidupan kesusastraan Indonesia. Ragam kesusastraan
mereka sangat berbeda dengan kesusastraan yang berkembang di Indonesia
sebelumnya.
1. Karya Sastra Hindia Belanda
Karya sastra itu sebetulnya
merupakan cerita masyarakat tentang kehidupannya pada sebuah waktu. Oleh karena
itu, beragam pemikiran dan kebudayaan yang ada pada saat itu bisa dibaca dari karya
sastranya. Warna dan corak karya sastra banyak dipengaruhi oleh dinamika
kehidupannya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan paham-paham yang ada di masyarakat
itu mempercepat perkembanga kesusastraan. Demikian pula dengan karya sastra
Indonesia. Interaksinya dengan bangsa Barat mampu membuat perkembangan kesusastraan
Indonesia semakin lengkap dan beragam. Karya sastra yang dianggap khas
Indonesia antara lain berupa mite, legenda, dan hikayat. Ketiga bentuk karya
sastra itu telah berkembang di berbagai daerah dari waktu ke waktu jauh sebelum
kedatangan bangsa Barat. Coba buka kembali ingatanmu tentang pembelajaran sebelumnya
mengenai kesusastraan Hindu-Buddha dan Islam. Nah, setelah berinteraksi dengan
kebudayaan Barat, kita kemudian mengenal bentuk-bentuk prosa baru seperti roman
dan novel.
Pada masa penjajahan dikenal
adanya sastra Hindia yaitu beragam bentuk prosa dan puisi dengan tema
keindonesiaan tetapi ditulis dalam bahasa Belanda. Bentuk karya sastra pada
masa itu antara lain kisah perjalanan, kenangan, novel, dan riwayat hidup. Ada
beberapa sastrawan Belanda yang terkenal seperti Nicolaus de Graff yang menulis
kehidupan di atas kapal yang melayari Nusantara dan Rijklof van Goens (duta
besar VOC tahun 1648 dan 1654) yang melaporkan kehidupan Kerajaan Mataram.
Sementara itu, Francois Valentijn menulis delapan jilid buku Oud en Nieuw Oost-Indien atau Hindia Timur
Dulu dan Kini tahun 1724 dan 1726.
Karya sastra berupa novel Belanda
terbit pertama tahun 1617 dengan menggunakan bahasa Melayu dan beraksara Latin.
Semula ditulis secara bersambung di surat kabar berbahasa Belanda di kota- kota
besar di Jawa. Namun, setelah VOC mendirikan percetakan sendiri, sastra dalam
bentuk novel berkembang dengan cepat. Mulai abad XX novel sudah memiliki
pembaca tetap terutama dari kalangan perempuan yang ada di perkotaan. Pada
tahun 1930 jumlah penduduk Indonesia yang sudah bisa membaca dalam bahasa
Belanda ada 180.000 orang.
Pada masa penjajahan Belanda di
Indonesia berkembang pula karya sastra yang berisi protes sosial. Kamu tentu
ingat dengan nama E.F.E. Douwes Dekker. Dialah yang menulis novel Max
Havelaar yang ditulis tahun 1860 di Belanda. Sastra ini mengkritik
kebijakan kolonial yang diterapkan kepada penduduk Bumiputra. Karya sastra
serupa antara lain Kraspoekoel atau Pukulan
Keras, yaitu sebuah naskah drama karya Willem van Hogendrop. Karya ini mengutuk
perlakuan keras terhadap para budak di Hindia Belanda. Novel-novel lain adalah Tropic Fever, Rubber, dan Coolie (tentang kehidupan perkebunan di pantai
timur Sumatra), Indische huwelijken (Pernikahan
Hindia), Een huwelijk Indie (Pernikahan
di Hindia), Hoe hij raad van Indie werd (Bagaimana Ia menjadi Penasihat
Hindia), Uit de suiker in de tabak (Dari
Gula ke Tembakau).
Selain karya sastra di atas,
masih banyak karya sastra yang yang terbit pada masa Hindia Belanda. Misalnya
karya sastrawan dan penulis Indonesia yang ditulis dengan menggunakan bahasa
Belanda seperti autobiografi P.A.A. Djajadiningrat dan novel Buiten het gareel (Di Luar Jalur) karya
Suwarsih Djojopoespito. Atau karya-karya Edgar Du Perron dan Tjali Robinson
yang berjudul Piekerans van een straarslijper (Pikiran Seorang
Gelandangan).
2. Paham Baru dalam Sastra
Indonesia
Seiring dengan masuknya
kesusastraan Barat (Belanda) ke Indonesia, maka banyak aliran-aliran
kesusastraan yang memengaruhi perkembangan kesusastraan di Indonesia. Banyak
penulis roman yang terpengaruh oleh penulis-penulis Belanda. Mereka banyak
menyadur dan menerjemahkan karya sastra roman dari Prancis melalui terjemahan-terjemahan
bahasa Belanda. Istilah roman sendiri memang berasal dari Prancis yaitu sebuah bentuk
karangan dalam bahasa Roman atau bahasa sehari-hari di negeri itu. Tidak lama
kemudian, artinya berubah menjadi sebuah cerita, hikayat atau kisah tentang
pengalaman para kesatria. Setelah tahun 1400-an berkembang roman bucolik yaitu
roman pedesaan, terutama cerita gembala dan roman jenaka. Mulai tahun 1605
terbit karangan prosa yang berisi nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan roman percintaan
mulai berkembang abad XVIII. Pada abad XIX terjadi perubahan besar di
masyarakat Eropa. Kemajuan perkembangan pikiran dan paham manusia makin memuncak.
Roman pun mulai terpengaruh adanya beragam ideologi besar seperti nasionalisme,
Marxisme, kapitalisme, individualisme dan lain-lain. Di dalam bidang seni
muncul slogan l’art pour l’art atau
seni untuk seni dan terpencil dari kehidupan masyarakat.
Dasar-dasar masyarakat Barat
adalah individualisme dan materialisme. Salah satu penyebabnya adalah mereka
harus menaklukkan alam, mempertahankan dan mempergunakan kekuatan, menyempurnakan
akal dan mementingkan keselamatan tubuh dan jasmani. Paham-paham inilah yang
mendasari perkembangan kebudayaan Barat. Selanjutnya mulai abad XX, paham-paham
tersebut masuk dan memengaruhi kebudayaan Indonesia.
B. Kebudayaan pada Masa
Penjajahan
Masuknya pengaruh asing ke
Indonesia membawa dampak yang besar bagi kehidupan bangsa Indonesia. Dampak
masuknya pengaruh itu bisa dilihat dari sisi negatif dan positif. Fakta sejarah
menyebutkan bahwa kita telah dieksploitasi sehingga kita hidup dalam
penderitaan dan kesengsaraan. Kamu bisa menyebutkan bagaimana para penjajah memperlakukan
bangsa Indonesia dan mengeruk kekayaan alamnya. Meskipun begitu, kita juga
melihat bagaimana bangsa-bangsa asing itu memperkenalkan beragam pengetahuan
dan kebudayaan kepada kita. Setidaknya kita bisa menyebut dua model kebudayaan yang
datang pada periode itu ke Indonesia yaitu kebudayaan
Barat yang dibawa Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris serta kebudayaan Timur yang dibawa Jepang.
Jauh sebelum bangsa Barat datang
membawa kebudayaan ke Indonesia, kita telah memiliki kebudayaan yang tinggi dan
termasyhur. Kebudayaan itu berasal dari pengaruh Hindu–Buddha yang datang dari
India dan kebudayaan Islam yang datang dari Arab. Kamu tentu bisa menyebutkan
dengan mudah apa saja contoh kebudayaan dari kedua periode tersebut. Setelah
bangsa Barat datang, kebudayaan Indonesia semakin beragam. Kebudayaan Portugis
yang masih tersisa hingga kini antara lain dalam pemberian nama orang seperti de Pereira, de Fretes, nama hari seperti
Minggu yang berasal dari kata ”San
Domingo”, dan kesenian keroncong Morisco.
Informasi
Tambahan:
De Mardijkers
Sebutan De Mardijkers atau Portugis Hitam adalah
sebutan untuk bekas anggota tentara Portugis dan keturunan Portugis di Batavia
yang dibebaskan dari tawanan Belanda. Dalam perkembangannya, mereka ditempatkan
di Kampung Tugu setelah memeluk Protestan dan dibangunkan sebuah gereja tahun
1661. Pada masa Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker, 23 kepala keluarga (150
jiwa) dari mereka dibebaskan dari tawanan perang dengan syarat harus melepaskan
agama Katolik dan berpindah ke Protestan. Setelah hidup bebas dan tidak menjadi
tawanan, mereka pun bisa menjadi serdadu VOC kembali. Setidaknya ada enam kompi
Mardijkers (1.200 orang) di dinas ketentaraan VOC tahun 1777. Tugas mereka
adalah menjaga rumah-rumah permukiman Belanda di kota. Merunut kehidupan
komunitas De Mardijkers di atas, tidak
sedikit orang meyakini bahwa dari sebutan itulah kita mengenal kata ”Merdeka”
yang berarti bebas. Benarkah? Yang jelas, hingga kini kita masih bisa melihat sisa-sisa
peninggalan kebudayaan Portugis di Kampung Tugu.
Kebudayaan
Barat lain yang
datang ke Indonesia
adalah berasal dari Belanda.
Lamanya masa penjajahan
Belanda dan efektifnya kekuasaan kolonial di Indonesia
menyebabkan kebudayaan Barat bisa masuk dan berkembang di Indonesia. Kebudayaan
itu bisa dilihat dari dua sisi, yaitu
sisi kebahasaan dan
kesusastraan.
1.Perkembangan Bahasa dan Sastra pada Masa Kolonial Barat
Kolonialisme
yang dikembangkan Belanda
banyak melahirkan masyarakat baru
yang bercirikan masyarakat
kota. Kehidupan masyarakat kota
antara lain bergerak di bidang jasa dan perdagangan beserta dengan
prasarana dan infrastrukturnya. Untuk
memenuhi kebutuhan akan pegawai, pemerintah kolonial juga mendirikan
banyak sekolah dan lembaga pendidikan yang menggunakan bahasa perantara
bahasa Belanda. Interaksi
dan integrasi warga
pada masyarakat kolonial pun
tidak bisa dihindarkan.
Apalagi didukung dengan industri penerbitan
khususnya persuratkabaran. Sistem
surat kabar telah dimulai sejak zaman permukiman orang Belanda di
Batavia tahun 1659
dan mencapai puncak
pada masa kapitalisme mendominasi
Hindia Belanda. Surat kabar yang pertama adalah
Bataviasch Courant yang
terbit secara terbatas
untuk permukiman elite Belanda di Batavia. Selanjutnya, industri
penerbitan berkembang pesat seiring
munculnya banyak masyarakat
perkotaan dan berdampak pada perkembangan bahasa Belanda, bahasa Melayu,
dan nasionalisme. Banyak para sastrawan Indonesia yang menuangkan gagasan dan
idenya ke dalam beragam media terbitan. Tulang
punggung berkembangnya kebudayaan
Belanda di Indonesia adalah
digunakannya bahasa Belanda.
Bahasa ini semula hanya digunakan secara elite dan
terbatas pada masyarakat Belanda dan
keturunannya saja sejak
zaman VOC. Pada
tahun 1778, berdiri perpustakaan Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen. Perpustakaan
ini banyak bergerak
di bidang koleksi naskah dan
karya tulis tentang
budaya dan ilmu
pengetahuan di Indonesia. Lalu,
pada tahun 1839,
berdiri percetakan buku
yang dipelopori oleh Cijveer
& Company. Percetakan
ini berubah nama menjadi Cijveer & Knollaert. Dengan menggunakan penerbitan pulalah para
misionaris dan zending menyebarluaskan agama Kristen, antara lain melalui
pembuatan Alkitab dan beragam bentuk pamflet.
Orang-orang Eropa
dan Cina peranakan
juga terlibat di dalam
perkembangan bahasa dan
sastra pada masa kolonial. Pada
akhir abad XIX,
mereka mendirikan penerbitan dan
percetakan yang menghasilkan sekitar 3.000 judul buku,
pamflet, dan terbitan
lainnya dalam bahasa Melayu Tionghoa atau Melayu pasar.
Mulai abad XX, dunia penerbitan dan percetakan
digunakan oleh para
tokoh pergerakan untuk menuangkan ide dan gagasannya tentang
nasionalisme. Tokoh itu
antara lain R.M.A.A.
Kusumo Utojo, Pangeran Achmad Djajadiningrat, PAA. Kusumojudo, R.M.
Sutomo, dan R.A.A. Tirtokusumo. Kecenderungan ini menyebabkan pemerintah pada
tanggal 14 September 1908 membentuk Commissie voor
de Inlandsche School
en Volkslectuur yang diketuai
oleh G.A.J. Hazeu.
Melalui komisi ini berkembang beragam bentuk karya sastra.
Penerbitan berbagai buku cerita
melalui komisi tersebut dimulai tahun 1910 misalnya buku Dongeng Tjarijosipoen Tijang Sepoeh. Pengarang
C.M. Pleyte tahun 1911, menulis Pariboga Salawe Dongeng Soenda dalam bahasa
Sunda. Buku-buku lain dalam bahasa Melayu ditulis oleh R.M. Tirto Adi Soerjo
yang menulis Njai Permana tahun 1912, Si Bedjo Joernalis Berontak dan Student
Hidjo yang ditulis oleh Mas Marco Kartodikromo tahun 1919, dan Semaun yang
menulis Hikajat Kadiroen tahun 1924.
Kebanyakan tema yang ditulis adalah percintaan, kawin paksa dan politik
sosialis. Selain buku-buku tersebut, masih banyak karya sastra yang termuat di
dalam beragam surat kabar.
Pada tahun 1917 Komisi Bacaan
Rakyat berubah namanya menjadi Balai Pustaka, namun tetap memperlakukan sensor
yang ketat terhadap naskah yang akan diterbitkan. Salah satu bentuk sensor itu antara
lain didasarkan pada Nota Rinkes yang intinya melarang karya sastra bermuatan
politik apalagi antipemerintah, menyinggung adat dan melanggar susila. Meskipun
begitu, para pengarang dan sastrawanIndonesia tidak pernah menyurutkan sikapnya
untuk berpikir kritis.Justru pada periode ini lahir pengarang-pengarang besar
dan sastrawan besar kita. Mereka antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, Muhammad
Yamin, Rustam Effendi, Sanusi Pane. Karya sastra yang lahir antara lain Siti
Nurbaya karya Marah Rusli dan Salah Asuhan karya Abdul Muis, Azab dan Sengsara karya
Merari Siregar, Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana, dan Atheis karya
Achdiat Kartamihardja. Pada perkembangan selanjutnya, karya sastra yang muncul
sudah banyak diwarnai oleh pemikiran pergerakan nasional meskipun secara samar
dan dibungkus dalam beragam simbolisasi.
Karya sastra pada periode Balai
Pustaka juga ada yang berbentuk puisi atau sajak. Kerangka berpikir
sastrawannya melingkupi karya sastranya. Pada saat itu, pengertian nasionalisme
belum muncul dan sastrawannya masih tergantung pada etnisitasnya. Misalnya
karya Muh. Yamin pada tahun 1921 yang berjudul Bahasa, Bangsa berikut ini (Ajip
Rosidi, 1969: 20).
Selagi kecil berusia muda
Tidur si anak di pangkuan bunda
Ibu bernyanyi, lagu dan dendang
Memuji si anak banyaknya sedang
Berbuai sayang malam dan siang
Buaian tergantung di tanah moyang
Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka, sertakan rayu
Perasaan serikat menjadi padu
Dalam bahasanya permai merdu
Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya
Bernafas kita pemanjangkan nyawa
Dalam bahasa sambungan jiwa
Di mana Sumatra di situ bangsa
Di mana Perca di sana bahasa
Andalasku sayang jana bejana
Sejakkan kecil muda teruna
Sampai mati berkalang tanah
Lupa ke bahasa tidak kan pernah
Ingat Pemuda, Sumatra malang
Tiada bahasa, bangsa pun hilang
Muh. Yamin memerlukan waktu
delapan tahun untuk mempunyai kesadaran tentang nasionalisme Indonesia. Karena,
karya-karyanya delapan tahun kemudian telah menunjukkan kesadaran tanah airnya
bukan Sumatra (Andalas) tetapi Indonesia dan bahasa Melayu bukan hanya milik
bangsa Sumatra. Kesadaran inilah yang mewarnai munculnya era pergerakan
nasional. Pada masa ini, kombinasi antara sastra dan nasionalisme sangat
mewarnai karya sastra yang muncul.
Bahasa Indonesia mendapat
dorongan kuat setelah seluruh elemen pergerakan nasional mencapai kesepakatan untuk
menemukan identitas nasional dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan dan sastra Indonesia berkembang semakin
cepat. Pada bulan Juli tahun 1930, para pemikir Sumpah Pemuda menerbitkan
majalah Pujangga Baru.
Majalah ini digunakan sebagai
media pendorong dinamika dan mengungkapkan citra keagungan kebudayaan Indonesia.
Tokoh utama majalah ini antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, Armyn Pane, Amir
Hamzah, Sanusi Pane, Ki Hajar Dewantoro, dan Hoessein Djajadiningrat. Bahkan
melalui media ini, kita bisa membaca para pemikir bangsa mengenai kebudayaan Indonesia,
yang dikenal dengan Polemik Kebudayaan. Perjuangan untuk menempatkan bahasa Indonesia
secara terhormat juga pernah dilakukan oleh M.H. Thamrin (Fraksi Nasional
Volksraad) tanggal 12 Juli 1938.
Karya sastra yang muncul pada
periode ini antara lain Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana dan
lakon Sandyakala ning Majapahit karya Sanusi Pane. Karya lain berupa sajak,
seperti contoh sajak Nasib Tanah Airku karya Asmara Hadi. Selain itu, ada karya
sastra dari pengarang wanita. Meskipun tidak tergolong banyak, namun munculnya
perempuan di dunia kesusastraan pada masa penjajahan, jelas merupakan fenomena
sendiri. Berikut sastrawan perempuan kita dan karyanya.
1.Sariamin alias Selasih atau
Seleguri Karya Sastranya yaitu; Kalau Tak Untung (roman) & Pengaruh Keadaan
(roman)
2.Fatimah H. Delais Karya
Sastranya yaitu; Kehilangan Mustika (roman)
3.Adlin Affandi Karya Sastranya
yaitu; Gadis Modern (sandiwara)
4.Saadah Aliro Karya Sastranya
yaitu; Pembalasannya (sandiwara), Taman Penghibur Hati (cerpen), Angin Timur
Angin Barat (terjemahan)
5.Maria Amin Karya Sastranya
yaitu; Sajak
Majalah Pujangga Baru dengan
demikian bukan hanya sebagai media sastra saja tetapi juga merupakan media
tempat pengungkapan idealisme sastrawan dan pujangga kita tentang nasionalisme
dan kebudayaan Indonesia. Keberadaan majalah yang demikian fenomenal itu
kemudian menyebabkan munculnya sebutan Angkatan
Sastra Pujangga Baru.
2.Perkembangan Bahasa dan Sastra
pada Masa Pendudukan Jepang
Perkembangan kebudayaan
masyarakat di Nusantara pada masapendudukan Jepang banyak diwarnai oleh dua
kutub kepentingan. Di satu sisi Jepang berkeinginan untuk bisa memobilisasi
rakyat demi kepentingan perangnya, di sisi yang lain perjuangan untuk meraih kemerdekaan
telah sampai pada tingkat yang matang. Kedatangan bala tentara Jepang memang
sudah lama ditunggu oleh rakyat terutama masyarakat Jawa. Hal ini karena
beredarnya ramalan Jayabaya yang menyebutkan
bahwa kemerdekaan rakyat akan tercapai bila telah datang orang-orang yang
bertubuh kerdil, berkulit kuning dari utara dan lamanya seumur jagung. Nuansa
itulah yang mendominasi perkembangan kebudayaan pada masa Jepang. Politik
bahasa yang dikembangkan oleh pemerintah pendudukan Jepang dimulai dengan
melarang segala pemakaian bahasa Belanda. Tujuannya adalah untuk menampilkan
kesan negatif kebudayaan Barat di mata rakyat, sehingga rakyat antipati
terhadap Belanda. Dampaknya adalah penggunaan bahasa Indonesia semakin luas di
kalangan rakyat karena bahasa Jepang belum banyak diketahui rakyat. Hal ini
tentu berlawanan dengan politik kolonial Belanda yang melarang segala yang berbau
Indonesia.
Pada tanggal 20 Oktober 1943,
Kantor Pengajaran Jepang di Jawa mendirikan sebuah komisi untuk mengembangkan bahasa
Indonesia. Komisi ini selain didukung oleh tokoh-tokoh sastrawan juga terdiri
atas politisi terkemuka seperti Soekarno, Hatta, Agus Salim, dan Ki Hajar
Dewantoro. Komisi ini berhasil menentukan 7.000 istilah dan mengganti nama-nama
kota peninggalan Belanda seperti Batavia menjadi Jakarta, Mr. Cornelis
(Jatinegara), dan Buitenzorg (Bogor). Karya berupa sajak pada periode ini bisa
dibaca dari karya Rosihan Anwar yang berjudul Kisah di Waktu Pagi berikut ini
(H.B. Jassin, 1967: 155).
Seperti perjurit memeras daya
Pagi dan senja tiada beda
Senantiasa berjalan di lebuh raya
Bertujuan nyata hingga saatnya
Bangsa bersemayam di Puncak nan Jaya
Akupun ingin seperti mereka
Di lapang kerjaku berbaktikan daya
Guna kemenangan segala kita
Berkobarnya Perang Pasifik juga
mengilhami sastrawan kita untuk membuat karya sastra. Misalnya roman Taufan di Atas Asia karya El Hakim.
Karya sastra pada masa Jepang memiliki peran yang besar di dalam menggelorakan
semangat bangsa untuk meraih kemerdekaan.
Demikian Uraian Yang bisa Paparkan, Semoga bermanfaat untuk kita semua!!
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER