Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia
Perkembangan Hindu & Buddha di India membawa akibat maupun pengaruh yang luar biasa pada kehidupan Internasional, khususnya Asia Selatan & Tengah (Tibet, Nepal, Bangladesh, Sri Lanka), Asia Timur (Jepang, Cina, Korea, Taiwan), & Asia Tenggara. Indonesia merupakan daerah yang terpengaruh oleh agama & budaya Hindu-Buddha.
Pengaruh agama & kebudayaan Hindu maupun Buddha terhadap
kehidupan masyarakat Indonesia zaman dahulu begitu kental & hingga kini
masih terasa. Hal ini terlihat dari berbagai macam peninggalan bersejarah
bercorak Hindu-Buddha. Pengaruh dari Hindu dapat kita lihat di Bali, yang sebagian
besar masyarakatnya pemeluk Hindu. Pengaruh Buddha dapat terlihat pada
kemegahan Candi Borobudur di Jawa Tengah.
A. PROSES MASUK DAN MENYEBARNYA AGAMA HINDU-BUDDHA DI
INDONESIA
Pengaruh Hindu & Buddha datang ke Indonesia hampir
bersamaan. Secara garis besar dapat
diketahui melalui, pengaruh terhadap beberapa kerajaan besar yang pernah
berdiri di Indonesia, dari mulai Kutai yang menguasai sebagian Kalimantan
sampai Majapahit yang mampu menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia &
luar negeri. Sebelum bersinggungan dengan Hindu-Buddha, masyarakat Indonesia
dahulunya menganut kepercayaan tradisional berupa penghormatan terhadap roh
leluhur & kekuatan alam semesta dan benda-benda tertentu (animisme dan
dinamisme). Karena pengaruh Hindu-Buddha membuat kepercayaan animisme-dinamisme
beralih kepada dewa-dewi pengatur alam. Masyarakat Indonesia pun mulai
menyembah dewa-dewi yang sama dengan yang di India.
Awalnya, agama Buddha lebih dulu berkembang di Indonesia. Di Indonesia (juga Thailand, Kamboja, Vietnam,
Myanmar, Laos) aliran Hinayanalah yang
berkembang, sedangkan aliran Mahayana lebih berkembang di Cina, Korea, Taiwan,
dan Jepang. Perkembangan Buddha awal di Indonesia dibuktikan oleh temuan patung
Buddha dari abad ke-2 M di Sikendeng, Sulawesi Selatan. Contoh lainnya adalah
Kerajaan Sriwijaya yang telah ada pada abad ke-6 M di Sumatera. Perkembangan
Buddha yang pesat di Asia Tenggara pada awal abad masehi disebabkan oleh
faktor-faktor politis.
Ketika itu agama Buddha sedang mencapai masa keemasannya di
Asia, terutama di India dan Cina. Banyak kerajaaan yang menjadikan Buddha
sebagai agama resmi negara, selain Hindu. Namun kemudian, agama Buddha
kehilangan kejayaaan dikarenakan sejumlah kerajaan Buddhis mengalami
keruntuhannya. Sebaliknya, Hindulah yang kemudian menjadi agama resmi
kerajaan-kerajaan yang bersangkutan.
Di Indonesia, kerajaan bercorak Hindu lebih berkembang daripada
yang Buddha. Pada perkembangannya, bahkan muncul agama “baru” atau agama
sinkretis, yakni perpaduan dari Hindu Siwa dengan Buddha. Agama Siwa-Buddha mulai
berkembang pesat pada masa Singasari di
Jawa Timur, masa orang-orang Jawa telah menciptakan karya seni dan arsitektur
di mana unsur Jawa lebih ditonjolkan daripada unsur India. Disebutkan dalam
kitab-kitab dan pada bangunan candi-candi bahwa raja-raja Singasari seperti
Kertanegara dan Wisnuwardhana adalah penganut agama baru ini. Adapun proses dan
waktu kapan masuknya agama Hindu dan Buddha ke Indonesia sampai sekarang masih
menjadi perdebatan di antara para sejarawan. Setidaknya terdapat empat
pendapat, yang masing-masing pendapat sesungguhnya saling menguatkan. Adapun
pendapat-pendapat tentang masuknya Hindu-Buddha ke Indonesia adalah sebagai
berikut:
(1) Teori Brahmana, mengatakan bahwa yang membawa agama
Hindu ke Indonesia adalah orang-orang Hindu berkasta brahmana. Para brahmana
yang datang ke Indonesia merupakan tamu undangan dari raja-raja penganut agama
tradisonal di Indonesia. Ketika tiba di Indonesia, para brahmana ini akhirnya
ikut menyebarkan agama Hindu di Indonesia. Ilmuan yang mengusung teori ini
adalah Van Leur.
(2) Teori Waisya, mengatakan bahwa yang telah berhasil mendatangkan
Hindu ke Indonesia adalah kasta waisya, terutama para pedagang. Para pedagang
banyak memiliki relasi yang kuat dengan para raja yang terdapat di kerajaan
Nusantara. Agar bisnis mereka di Indonesia lancar, mereka sebagai pedagang
asing tentunya harus membuat para penguasa pribumi senang, dengan cara
dihadiahi barang-barang dagangan. Dengan demikian, para pedagang asing ini
mendapat perlindungan dari raja setempat. Di tengah-tengah kegiatan perdagangan
itulah, para pedagang tersebut menyebarkan budaya dan agama Hindu ke
tengah-tengah masyarakat Indonesia. Ilmuwan yang mencetuskan teori ini adalah
N.J. Krom.
.
(3) Teori Ksatria, mengatakan bahwa proses kedatangan agama
Hindu ke Indonesia dilangsungkan oleh para ksatria, yakni golongan bangsawan
dan prajurit perang. Menurut teori ini, kedatangan para ksatria ke Indonesia
disebabkan oleh persoalan politik yang terus berlangsung di India sehingga
mengakibatkan beberapa pihak yang kalah dalam peperangan tersebut terdesak, dan
para ksatria yang kalah akhirnya mencari tempat lain sebagai pelarian, salah
satunya ke wilayah Indonesia. Ilmuan yang mengusung teori ini adalah C.C. Berg
danMookerji.
(4) Teori Arus Balik,
mengatakan bahwa yang telah berperan dalam menyebarkan Hindu di Indonesia
adalah orang Indonesia sendiri. Mereka adalah orang yang pernah berkunjung ke
India untuk mempelajari agama Hindu dan Buddha. Di pengembaraan mereka
mendirikan sebuah organisasi yang sering disebut sanggha. Setelah kembali di
Indonesia, akhirnya mereka menyebarkan kembali ajaran yang telah mereka
dapatkan di India. Pendapat ini dikemukakan oleh F. D . K . Bosch.
Kedatangan brahmana dari India maupun lokal dipergunakan
pula oleh sebagian golongan pedagang pribumi atau kepala suku yang ingin
kedudukan dan tingkat sosialnya meningkat. Melalui persetujuan kaum brahmana,
mereka dinobatkan menjadi penguasa secara politis (raja). Para penguasa baru
ini lalu belajar konsep dewa-raja (devaraja) agar kekuasaannya semakin kuat.
Dengan demikian, baik secara ekonomi, sosial, dan politik, golongan pedagang
atau pemimpin suku tersebut menjadi lebih terhormat karena kekuasaannya pun
bertambah luas. Setelah menjadi raja, mereka mempersenjatai dirinya dengan
pengikut-pengikutnya yang setia untuk dijadikan tentara agar keamanannya terjamin.
Dalam memperluas wilayah pun, mereka lebih leluasa dan percaya diri.
Setelah sebuah kerajaan didirikan, sistem feodal pun
berlaku. Feodalisme adalah “sistem sosial atau politik yang memberikan
kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan” (KBBI, 2002). Dengan demikian,
raja adalah yang menentukan ke arah mana kerajaan akan bergulir. Praktik
feodalisme ini cukup berkembang pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha,
terutama di Jawa. Pengkastaan dalam masyarakat membuat hubungan feodalistik
semakin menguat. Feodalisme menjamin stabilitas politik yang dibutuhkan seorang
raja untuk keberlangsungan kerajaannya.
Sistem kasta ini membagi masyarakat dalam beberapa tingkatan
sosial, yakni:
(1) Brahmana yang berperan sebagai penasehat raja dan
pendidik agama.
(2) Ksatria yang terdiri atas penyelenggara dan penata
pemerintahan serta pembela kerajaan (raja, pembantu raja, tentara).
(3) Waisya yang berperan sebagai pedagang, pengrajin,
petani, nelayan, dan pelaku seni.
(4) Sudra yang terdiri atas pekerja rendah, buruh, budak,
pembantu.
Sementara itu, dalam kerajaan Buddhis pengkastaan tak
terlalu berperan karena ajaran Buddha tidak mengenal pengkastaan. Dalam hal
ini, masyarakat Buddhis lebih demokratis dan egalitis. Maka dari itu, sistem
feodal lebih berkembang di kerajaan-kerajaan bercorak Hindu. Dalam menentukan
kebijakan, raja dibantu oleh kaum pandita (pendeta) dan brahmana sebagai
penasehat spiritual dan duniawi. Merekalah kelompok yang mengetahui isi kitab
suci yang ditulis dalam Sansekerta. Akibatnya, masyarakat awam tak mungkin
mengetahui isi kitab suci tanpa perantara brahmana. Mereka memiliki hak mutlak
dalam mengatur sebuah upacara agama, seperti peringatan hari-hari suci,
pengangkatan raja, peresmian piagam atau prasasti, atau pernikahan golongan bangsawan.
Mereka pula yang merintis pembangunan sekolah-sekolah dan asrama-asrama dalam
masyarakat Buddha. Kedudukan mereka dapat disamakan dengan kalangan ulama dan
cendikiawan zaman sekarang.
B. BUKTI-BUKTI PROSES INDIANISASI DI INDONESIA
1. Berita Luar Negeri
Kronik-kronik Tiongkok pada masa Dinasti Han, Dinasti Sung,
Dinasti Yuan dan Dinasti Ming menyebutkan bahwa sejak awal Masehi telah terjadi
hubungan dagang antara Cina dan Indonesia. Salah satu buktinya adalah
ditemukannya artefak-artefak berupa keramik Cina di Indonesia. Fa-Hien, seorang
rahib Buddha dari Cina yang terdampar di To lo mo (maksudnya Kerajaan Taruma
atau Tarumanegara di Jawa Barat) selama 5 bulan, dalam perjalanannya dari India
ke Cina, menulis apa-apa yang dilihatnya. Fa-Hien terkesan dengan keterampilan
para pedagang di To lo mo dalam menawarkan dagangannya, terutama beras dan kayu
jati. Sementara itu, I-Tsing, peziarah dan rahib Buddha yang juga dari Cina,
menuliskan kesan tentang Sriwijaya sebagai salah satu pusat Buddhisme di Asia,
abad ke-7 M yang dapat disejajarkan dengan India dan Cina. Di Sriwijaya itulah
para calon rahib dan rahib Cina maupun pribumi, belajar bahasa Sansekerta dan
Pali sebelum berangkat ke India.Seorang ahli geografi Yunani, Claudius
Ptolomeus, memberitakan bahwa kapal-kapal dari Aleksandria di Laut Mediterania
(Mesir) berlayar melalui Teluk Persia ke bandar-bandar Baybaza di Cambay, India
dan Majuri di Kochin, India Selatan. Dari daerah ini kapal-kapal melanjutkan
pelayaran mereka ke bandar-bandar di pantai timur India sampai ke kepulauan
Aurea Chersonnesus. Di kepulauan itu, kapal-kapal singgah di Barousae, Sinda,
Sabadiba, dan Iabadium. Aurea Chersonnesus merupakan pengucapan Yunani untuk
Kepulauan Indonesia, sedangkan Barousae adalah Baros, sebuah bandar dagang kuno
di pantai barat Sumatera. Sementara itu, Sinda adalah ejaan lain untuk Sunda,
Sabadiba adalah Svarnadwipa (Sumatera), dan Iabadium adalah Javadwipa (Jawa).
Indonesia juga disebutkan dalam petunjuk pelayaran laut dari Yunani (Erythraea)
bersama 27 mancanegara lainnya.
Kitab Ramayana karya Valmiki dari India abad ke-3 SM juga
secara tidak langsung menyebutkan tentang Indonesia.
Diceritakan bahwa setelah Sita (Dewi Sinta) diculik oleh
Ravana (Rahwana) Raja Lanka (Alengka), Hanuman (Hanoman) atas perintah Rama
mencari Sita hingga ke Javadwipa. Meski bukan kejadian nyata, Ramayana telah
menginformasikan bahwa penulisnya setidaknya telah mengenal nama Jawa (terlepas
dari apa ia pernah pergi sendiri ke Jawa atau hanya mengenal namanya dari
pelaut India yang pernah pergi ke Jawa). Yang jelas, dari kitab tersebut kita
dapat menyimpulkan bahwa Pulau Jawa merupakan tempat strategis dalam dunia
perdagangan pada masanya.
Di samping Ramayana, Piagam Nalanda (berasal dari Benggala,
India sebelah timur) menyebutkan bahwa Sriwijaya memiliki dua pelabuhan penting
di Selat Malaka sebagai pintu gerbang memasuki bandar-bandar lain di Indonesia.
Kedua bandar itu berada di Sumatera dan Semenanjung Malaka, yakni bandar Katana
di Ligor, dan berperan sebagai bandar transit. Kedua bandar itu merupakan pusat
perdagangan tambang, emas, timah, hasil hutan, dan perkebunan lada, kayu
gaharu, dan kelembak.
Para saudagar dan ahli geografi Arab juga telah menulis tentang
keberadan Indonesia sejak abad ke-6 M. Mereka menyebut kerajaan bernama Zabaq atau
Sribuza untuk Sriwijaya. Raihan Al Beruni, yang menulis sebuah buku tentang
India, menyebutkan bahwa Zabaq terletak di sebuah pulau yang bernama Suwarndib,
yang berarti “Pulau Emas“. Berita Arab lainnya menyebut Sribuza sebagai tempat
yang banyak menghasilkan kayu wangi.
Kronik-kronik dari Indocina juga menunjukkan bahwa jalur
perdagangan antara Indonesia, India, Cina, dan juga Indocina (Vietnam, Kamboja,
Siam atau Thailand, dan wilayah Asia Tenggara lainnya) telah ramai sejak awal masehi.
Hubungan perdagangan tersebut menjadi perintis hubungan yang lebih jauh:
politik, agama, dan kebudayaan. Kronik Vietnam dari abad ke-8 M mencatat
serangan dari Jawa dan “Pulau-pulau Selatan“ yang dilakukan pasukan Syailendra
dari Sriwijaya terhadap pusat kerajaan maritim Kerajaan Chenla di Vyadhapura,
Kamboja. Berita tersebut diperkuat oleh catatan dari Champa pada abad ke-8 M,
yang mencatat bahwa pasukan Jawa telah menghancurkan kuil-kuil dan berkuasa di
sebagian wilayah Kampuchea (Kamboja). Bukti lainnya adalah prasasti di Nakhon
Si Thammarat, Thailand, dari abad ke-8 M. Prasasti itu mengumumkan telah
dibangunnya sejumlah biara Buddha oleh raja Sriwijaya. Laporan serupa terdapat
dalam sebuah prasasti di Kra, sebelah selatan Thailand, dari abad ke-8 M. Prasasti
itu melaporkan Raja Sriwijaya mendirikan sejumlah bangunan suci Buddha dalam
rangka merayakan kemenangan Sriwijaya menaklukkan Semenanjung Melayu.
2. Sumber Dalam Negeri
Sementara itu, berita-berita dalam negeri berasal dari
prasasti (batu tulis) dan yupa. Yupa-yupa yang ditemukan di Kutai, Kalimantan
Timur, prasasti-prasasti Tarumanagara di Jawa Barat, Prasasti Canggal zaman
Mataram Kuno di Jawa Tengah dan Prasasti Dinoyo di Jawa Timur, ditulis dalam
bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Selain itu, bangunan-bangunan benda-benda
purbakala, seperti candi, arca, serta sistem tulisan dalam kitab-kitab kakawin
juga memperlihatkan pengaruh Hindu-Buddha.
C.PENGARUH HINDU-BUDDHA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT INDONESIA
Kebudayaan merupakan wujud dari peradaban manusia, sebagai
hasil akal-budi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik primer,
sekunder, atau tersier. Wujud kebudayaan ini cukup beragam, mencakup wilayah
bahasa, adat-istiadat, seni (rupa, sastra, arsitektur), ilmu pengetahuan, dan
teknologi. Dan setiap kebudayaan yang lebih maju pasti mendominasi kebudayaan
yang berada di bawahnya. Begitu pula kebudayaan India yang dengan mudah
diterima masyarakat Indonesia.
Pengaruh Hindu dan Buddha terhadap kehidupan masyarakat
Indonesia dalam bidang kebudayaan, berbarengan dengan datangnya pengaruh dalam
bidang agama itu sendiri. Pengaruh tersebut dapat berwujud fisik dan nonfisik.
Hasil kebudayaan pada masa Hindu-Buddha di Indonesia yang berwujud fisik di
antaranya: arca atau patung, candi (kuil), makara, istana, kitab, stupa, tugu
yupa, prasasti, lempengan tembaga, senjata perang, dan lain-lain. Sedangkan
peninggalan kebudayaan yang bersifat nonfisik di antaranya: bahasa, upacara
keagamaan, seni tari, dan karya sastra. Wilayah India yang cukup banyak memberikan
pengaruhnya terhadap Indonesia adalah India Selatan, kawasan yang didiami
bangsa Dravida. Ini terbukti dari penemuan candi-candi di India yang hampir
menyerupai candi-candi yang ada di Indonesia.
Begitu pula jenis aksara yang banyak ditemui pada prasasti
di Indonesia, adalah jenis huruf Pallawa yang digunakan oleh orang-orang India
selatan. Meskipun budaya India berpengaruh besar, akan tetapi masyarakat
Indonesia tidak serta-merta meniru begitu saja kebudayaan tersebut. Dengan
kearifan lokal masyarakat Indonesia, budaya dari India diterima melalui proses
penyaringan (filtrasi) yang natural. Bila dirasakan cocok maka elemen budaya
tersebut akan diambil dan dipadukan dengan budaya setempat, dan bila tak cocok
maka budaya itu dilepaskan. Proses akulturasi budaya ini dapat dilihat pada
model arsitektur, misalnya, punden berundak (budaya asli Indonesia) pada Candi
Sukuh di Jawa Tengah; atau pada dinding-dinding Candi Prambanan yang memuat
relief tentang kisah pewayangan yang memuat tokoh Punakawan; yang dalam relief
manapun di India takkan ditemui.
1. Praktik Peribadatan
Pengaruh Hindu-Buddha terhadap aktifitas keagamaan di Indonesia
tercermin hingga kini. Kalian dapat merasakannya kini di Bali, pulau yang
mayoritas penduduknya penganut Hindu. Kehidupan sosial, seni, dan budaya mereka
cukup kental dipengaruhi tradisi Hindu. Jenazah seseorang yang telah meninggal
biasanya dibakar, lalu abunya ditaburkan ke laut agar “bersatu” kembali dengan
alam. Upacara yang disebut ngaben ini memang tidak diterapkan kepada semua umat
Bali-Hindu, hanya orang yang mampu secara ekonomi yang melakukan ritual
pembakaran mayat (biasa golongan brahmana, bangsawan, dan pedagang kaya).
Selain Bali, masyarakat di kaki Bukit Tengger di Malang, Jawa Timur, pun masih
menjalani keyakinan Hindu. Meski sebagian besar masyarakat Indonesia kini bukan
penganut Hindu dan Buddha, namun dalam
menjalankan praktik keagamaannya masih
terdapat unsur-unsur Hindu-Buddha. Bahkan ketika agama Islam dan Kristen makin
menguat, pengaruh tersebut tak hilang malah terjaga dan lestari. Beberapa
wilayah yang sebelum kedatangan Islam dikuasi oleh Hindu secara kuat, biasanya
tidak mampu dihilangkan begitu saja aspek-aspek dari agama sebelumnya tersebut,
melainkan malah agama barulah (Islam dan Kristen) mengadopsi beberapa unsur
kepercayaan sebelumnya. Gejala ini terlihat dari munculnya beberapa ritual yang
merupakan perpaduan antara Hindu-Buddha, Islam, bahkan animisme-dinamisme.
Contohnya: ritual Gerebeg Maulud yang setiap tahun diadakan di Yogyakarta, kepercayaan
terhadap kuburan yang mampu memberikan rejeki dan pertolongan, kepercayaan
terhadap roh-roh, kekuatan alam dan benda keramat seperti keris, patung,
cincin, atau gunung.
Ketika Islam masuk ke Indonesia, kebudayaan Hindu-Buddha
telah cukup kuat dan mustahil dapat dihilangkan. Yang terjadi kemudian adalah
akulturasi antara kedua agama tersebut. Kita bisa melihatnya pada acara
kelahiran bayi, tahlilan bagi orang meninggal, dan nadran (ziarah). Acara-acara
berperiode seperti tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, tujuh bulanan
merupakan praktik kepercayaan yang tak terdapat dalam ajaran Islam atau
Kristen. Perbedaan antara unsur-unsur agama yang berbeda dan bahkan cenderung
bertolak belakang itu, bukanlah halangan bagi masyarakat Indonesia untuk
menerima dan menyerap ajaran agama baru. Melalui kearifan lokal (local genius)
masyarakat Indonesia, agama yang asalnya dari luar (Hindu, Buddha, Islam,
Kristen) pada akhirnya diterima sebagai sesuatu yang tidak “asing” lagi. Bila unsur
agama tersebut dirasakan cocok dan tak menimbulkan pertentangan dalam
masyarakat, maka ia akan disaring terlebih dahulu lalu diambil untuk kemudian
dipadukan dengan budaya yang lama; dan bila tak cocok maka unsur tersebut akan
dibuang. Dengan demikian, yang lahir adalah agama sinkretisme, yaitu perpaduan
antardua unsur agama dan kebudayaan yang berbeda sehingga menghasilkan praktik
agama dan kebudayaan baru tanpa mempertentangkan perbedaan tersebut, malah
mempertemukan persamaan antarkeduanya. Jelaslah, dari dulu bangsa Indonesia
telah mengenal keragaman agama dan budaya (pluralisme) tanpa harus bertengkar.
2. Sistem Pendidikan
Sriwijaya merupakan kerajaan pertama di Indonesia yang telah
menaruh perhatian terhadap dunia pendidikan, khususnya pendidikan Buddha.
Aktifitas pendidikan ini diadakan melalui kerjasama dengan kerajaan-kerajaan di
India. Hubungan bilateral dalam bidang pendidikan ini dibuktikan melalui
Prasasti Nalanda dan catatan I-Tsing.
Berdasarkan keterangan Prasasti Nalanda yang berada di
Nalanda, India Selatan, terdapat banyak pelajar dari Sriwijaya yang memperdalam
ilmu pengetahuan. Catatan I-Tsing menyebutkan, Sriwijaya merupakan pusat agama
Buddha yang cocok sebagai tempat para calon rahib untuk menyiapkan diri belajar
Buddha dan tata bahasa Sansekerta sebelum berangkat ke India. Di Sriwijaya,
menurut I-Tsing, terdapat guru Buddha yang terkenal, yaitu
Sakyakerti yang menulis buku undang-undang berjudul
Hastadandasastra. Buku tersebut oleh I-Tsing dialihbahasakan ke dalam bahasa
Cina. Selain Sakyakerti, terdapat pula rahib Buddha ternama di Sriwijaya, yaitu
Wajraboddhi yang berasal dari India Selatan, dan Dharmakerti. Menurut seorang
penjelajah Buddha dari Tibet bernama Atica, Dharmakerti memiliki tiga orang
murid yang terpandang, yaitu Canti, Sri Janamitra, dan Ratnakirti. Atica sempat
beberapa lama tinggal di Sriwijaya karena ingin menuntut ilmu Buddha. Ketika
itu, agama Buddha klasik hampir lenyap disebabkan aliran Tantra dan agama Islam
mulai berkembang di India, sehingga ia memilih pergi ke Sriwijaya untuk belajar
agama.
Pada masa berikutnya, hampir di setiap kerajaan terdapat
asrama-asrama (mandala) sebagai tempat untuk belajar ilmu keagamaan. Asrama ini
biasanya terletak di sekitar komplek candi. Selain belajar ilmu agama, para
calon rahib dan biksu belajar pula filsafat, ketatanegaraan, dan kebatinan.
Bahkan istilah guru yang digunakan oleh masyarakat Indonesia sekarang berasal
dari bahasa Sansekerta, yang artinya “kaum cendikia”.
3. Bahasa dan Sistem Aksara
Bahasa merupakan unsur budaya yang pertama kali diperkenalkan
bangsa India kepada masyarakat Indonesia. Bahasalah yang digunakan untuk
menjalin komunikasi dalam proses perdagangan antar ke dua pihak, tentunya masih
dalam taraf lisan. Bahasa yang dipraktikkan pun adalah bahwa Pali, bukan
Sansekerta karena kaum pedagang mustahil menggunakan bahasa kitab tersebut.
Bahasa Pali atau Pallawa merupakan aksara turunan dari aksara Brahmi yang
dipakai di India selatan dan mengalami kejayaan pada masa Dinasti Pallawa
(sekitar Madras, Teluk Benggali) abad ke-4 dan 5 Masehi. Aksara Brahmi juga
menurunkan aksara-aksara lain di wilayah India, yaitu Gupta, Siddhamatrka,
Pranagari, dan Dewanagari. Aksara Pallawa sendiri kemudian menyebar ke Asia
Tenggara, termasuk Indonesia, dan tertulis pada prasasti-prasasti berbahasa
Melayu Kuno zaman Sriwijaya. Istilah pallawa pertama kali dipakai oleh arkeolog
Belanda, N.J. Krom; sarjana lain menyebutnya aksara grantha.
Praktik bahasa Sansekerta pertama kali di Indonesia bisa di lacak
pada yupa-yupa peninggalan Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Huruf yang
dipakai adalah Pallawa. Dikatakan bahwa di kerajaan tersebut terdapat seorang
raja bernama Kudungga, memiliki anak yang bernama Aswawarman, dan juga memiliki
cucu Mulawarman.
Menurut para ahli bahasa, Kudungga dipastikan merupakan nama
asli Indonesia, sedangkan Aswawarman dan Mulawarman sudah menggunakan bahasa
India. Penggantian nama tersebut biasanya ditandai dengan upacara keagamaan.
Pengaruh agama Hindu dalam aspek bahasa akhirnya menjadi formal dengan
munculnya bahasa Jawa dan Melayu Kuno serta bahasa-bahasa daerah lainnya di
Indonesia yang banyak sekali menyerap bahasa Sansekerta. Beberapa karya sastra
Jawa ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dengan cara mengonversikan atau menambahkan
(menggubah) karya sastra yang dibuat di India. Selain Sansekerta, bahasa Pali,
Tamil, dan Urdu atau Hindustani (digunakan di Pakistan dan sebagain India) pun
memperkayai kosakata penduduk Indonesia. Namun, pada perkembangannya
Sansekertalah bahasa yang paling berpengaruh dan dipakai hingga kini oleh orang
Indonesia. Bahasa Sansekerta merupakan bahasa tulisan. Bahasa ini tertulis
dalam prasasti, yupa, kitab suci, kitab undang-undang (hukum), karya sastra.
Maka dari kata-katanya dapat lebih abadi dan dipertahankan. Pengaruh tersebut
kemudian dilanjutkan dengan proses penyerapan bunyi. Kadang kita tidak
menyadari bahwa bahasa yang kita gunakan tersebut merupakan serapan dari bahasa
Sansakerta. Perubahan bunyi pada serapan ini terjadi karena logat dan dialek
setiap suku-bangsa berbeda. Makna awalnya pun sebagian telah mengalami
perubahan: ada yang meluas dan ada yang menyempit. Namun, adapula beberapa kata
yang maknanya belum bergeser, contohnya: tirta berarti air; eka, dwi, tri berarti
satu, dua, tiga; kala berarti waktu atau bisa juga bencana.
Berikut ini kata-kata Indonesia serapan dari kata-kata Sansekerta:
(a) sayembara, dari silambara
(b) bentara, dari avantara
(c) harta, dari artha
(d) istimewa, dari astam eva
(e) durhaka, dari drohaka
(f) gembala, dari gopala
(g) karena, dari karana
(h) bahagia, dari bhagya
(i) manusia, dari manusya
10. senantiasa, dari nityasa
(Sumber: menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI)
Mengenai perkembangan aksara, di Indonesia terdapat beberapa
jenis aksara yang merupakan turunan dari aksara Pallawa. Di Jawa ada aksara
Kawi, aksara Kawi ini pada perkembangan selanjutnya menurunkan aksara
Hanacaraka atau Ajisaka yang digunakan untuk bahasa Jawa, Sunda, dan Bali.
Adapula prasasti zaman Mataram di Jawa Tengah bagian selatan yang menggunakan
aksara Pranagari yang umurnya lebih tua dari aksara Dewanagari. Sementara itu,
di wilayah Sumatera Utara (dengan dialek Toba, Dairi, Karo, Mandailing, dan
Simalungun) ada aksara Batak, sedangkan di daerah Kerinci, Lampung, Pasemah,
Serawai, dan Rejang terdapat aksara Rencong. Sementara itu, di daerah Sulawesi
bagian selatan ada aksara Bugis dan Makassar.
Dari perkembangan aksara-aksara turunan Pallawa, kita dapat
memperkirakan wilayah mana saja di Indonesia yang pengaruh budaya Indianya
lebih kental, yakni Jawa, Sumatera, dan sebagian Sulawesi. Sedangkan
daerah-daerah lainnya di Indonesia tak begitu dipengaruhi budaya India, bahkan
ada daerah yang sama sekali tak tersentuh budaya Hindu-Buddhanya. Mengenai
aksara Hanacaraka, terdapat sebuah legenda yang berkaitan dengan nama Ajisaka.
Ajisaka merupakan cerita rakyat yang berkembang secara lisan, terutama hidup di
masyarakat Jawa dan Bali. Tokoh, Ajisaka, berkaitan dengan bangsa Saka dari India
barat laut. Sebagian masyarakat Jawa percaya bahwa Ajisaka dahulu pernah hidup
di Jawa dan berasal dari India. Mereka juga percaya bahwa Ajisakalah yang
menciptakan aksara Jawa dan kalender Saka.
4. Seni Arsitektur dan Teknologi
Sebelum unsur-unsur Hindu-Buddha masuk, masyarakat Indonesia
telah mengenal teknologi membuat bangunan dari batu pada masa Megalitikum.
Mereka telah pandai membangun menhir, sarkofagus, peti (kuburan) kubur, patung
sederhana, dan benda-benda dari batu lainnya. Setelah berkenalan dengan seni
arsitektur Hindu-Buddha, mereka kemudian mengadopsi teknologinya. Jadilah
candi, stupa, keraton, makara yang memiliki seni hias (relief) dan
arsitekturnya yang lebih beraneka.
Info Tambahan;
Alkisah, Ajisaka datang dari
negeri Atas Angin ke Jawa, yang ketika itu Jawa tengah dikuasai raksasa buas
bernama Dewatacengkar. Tiap hari ia minta disediakan seorang pemuda untuk
disantap. Ketika semua pemuda telah habis disantap, datanglah Ajisaka bersama
dua orang pengiringnya. Setelah mendengar keluhan rakyat, Ajisaka bersedia
dijadikan santapan raksasa Dewatacengkar. Sebelum berangkat menemui sang
raksasa, Ajisaka menyimpan keris pusakanya di suatu tempat dan menyuruh salah
seorang pengikutnya untuk menjaga keris tersebut. Ia berpesan agar tak seorang
pun boleh mengambil keris tersebut, kecuali Ajisaka sendiri. Kepada
Dewatacengkar, Ajisaka bersedia menjadi santapan asal raksasa tersebut mau
menghadiahi Ajisaka tanah selebar ikat kepala yang dipakainya. Setelah raksasa
menyanggupi, Ajisaka melepaskan ikat kepalanya lalu meletakkannya di atas
tanah. Tak diduga, ikat kepala itu ternyata melebar dan terus melebar sehingga
Dewatacengkar harus menyingkir dan terus mundur ke selatan hingga jatuh ke
jurang di pantai selatan Jawa. Raja raksasa itu pun mati, Ajisaka kemudian
menjadi raja.Setelah menjadi raja, Ajisaka teringat akan kerisnya, lalu ia
mengutus salah seorang pengiringnya untuk mengambil keris. Setelah sampai di
tempat penyimpanan keris, si penjaga, menolak menyerahkan keris karena telah
berjanji bahwa Ajisakalah yang boleh mengambil, bukan pengiringnya. Terjadilah
perkelahian antara dua pengiring Ajisaka tersebut hingga keduanya tewas. Mereka
mati dalam rangka yang sama: menuruti perintah majikannya. Tragedi itu membuat
Ajisaka bersedih. Untuk memperingati dan mengenang kedua pengiring setianya
itu, ia menciptakan 20 buah aksara, yang kini dikenal sebagai huruf Jawa,
yaitu: ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga,
ba, tha, nga. Bila dibaca beruturan maka akan terbentuk kalimat yang artinya:
ada utusan (hana caraka), terjadi
perselisihan (data sawala), sama sama
sakti (padha jayanya), tewas keduanya
(maga bathanga).
a. Candi
Candi berasal dari frase candika graha yang berarti kediaman
Betari Durga. Durga ini disembah terutama oleh umat Buddha.
Dalam dunia pewayangan di Indonesia, Durga merupakan istri Dewa Siwa yang
dikutuk dari berwajah cantik menjadi raksasa. Yang pertama mendirikan candi di
India diduga adalah umat Buddhis. Ini terlihat dari temuan candi tertua di sana
yang dibangun pada abad ke-3 SM. Pada perkembangan berikutnya, candi pun didrikan
oleh umat Hindu. Awalnya, candi didirikan sebagai tempat penyimpanan abu hasil pembakaran jenazah raja. Karena itu, di
candi yang disebut pripih sering ditemukan sebuah wadah penyimpanan abu
jenazah.
Di atas abu jenazah tersebut terpampang arca raja
bersangkutan. Disimpan pula patung dewa tertentu, biasanya dewa ini dipuja oleh
almarhum yang bersangkutan. Pada dinding-dinding candi biasanya terdapat
deretan relief yang mengisahkan cerita-cerita Mahabharata atau Ramayana atau
kisah sastra lainnya. Pada candi Buddhis biasanya terdapat relief seputar
kehidupan Siddharta. Fungsi candi selanjutnya berkembang menjadi tempat sembahyang
(berasal dari frase “sembah hyang”) untuk dewa-dewi. Jawa adalah tempat yang
paling banyak terdapat candi, disusul oleh Sumatera. Ini menandakan bahwa
perkembangan agama dan kebudayaan Hindu-Buddha berlangsung lebih pesat di Jawa,
terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pusat-pusat pemerintahan pada
masanya. Berdasarkan arsitektur dan tempat dibangunnya, candi-candi di
Indonesia dapat dibagi atas: candi yang terletak di Jawa Tengah (bagian selatan
dan utara), Jawa Timur, dan lain-lainnya seperti di Sumatera, Bali, dan Jawa
Barat.
Bentuk candi-candi di Jawa Tengah di bagian selatan berbeda
dengan yang ada di bagian utara. Namun demikian, secara umum (Soetarno, 2003)
candi-candi yang ada di kedua wilayah tersebut memiliki kesamaan, yaitu:
(1) Bentuk bangunan tampak lebih gemuk, terbuat dari batu
andesit.
(2) Atapnya berbentuk undak-undakan dan puncaknya berbentuk
stupa atau ratna.
(3) Pada pintu dan relung terdapat hiasan bermotif makara.
(4) Reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya bercorak
naturalis (dua dimensi).
(5)Letak candi utama terletak di tengah-tengah halaman komplek
candi muka candi menghadap ke arah timur.
1) Candi-candi di Jawa Tengah Bagian Selatan
Candi-candi Jawa Tengah bagian selatan menggambarkan susunan
masyarakat yang feodalistik dengan raja sebagai pusat dunia. Candi-candi yang
ukurannya lebih kecil mengitari candi utama yang lebih besar.
a) Komplek Candi Roro Jonggrang (Prambanan)
Di sekitar Candi Prambanan ini banyak terdapat candi-candi
kecil dan tiga candi induk. Komplek candi ini didirikan atas perintah Rak i
Pikatan dan selesai semasa pemerintahan Raja Daksa dari Mataram.Candi Prambanan
merupakan candi Hindu karena nama candi-candinya memakai nama dewa-dewa Hindu.
Komplek candi ini didirikan di kaki Gunung Merapi.
b) Candi Kalasan
Candi Kalasan bercorak Mahayana, tingginya 6 meter dengan
stupa 52 buah. Candi ini didirikan pada 778 M atas perintah Raka i Panangkaran
sebagai persembahan kepada Dewi Tara. Panangkaran sendiri beragama Hindu-Siwa,
namun karena ketika itu yang berkuasa atas Mataram adalah Dinasti Syailendra
maka agama Buddha pun berkembang pesat di Mataram. Pada Prasasti Kalasan yang
ditulis dalam bentuk puisi berbahasa Sansekerta dan huruf Pranagari, disebutkan
bahwa para rahib Buddha meminta izin kepada Raja Panangkaran untuk mendirikan
tempat suci untuk Dewi Tara. Raja mengabulkannya dan menghadiahkan Desa Kalasan
kepada para rahib. Dewi Tara sendiri adalah dewi kasih-sayang dan pelindung
bagi umat Buddha.
Info Tambahan;
Ada legenda di balik pembangunan
Prambanan ini. Menurut cerita rakyat, konon ketika itu ada Raja Boko, seorang
raja raksasa yang bertempat di desa Prambanan, yang memiliki puteri cantik
bernama Roro Jongrang. Singkat cerita, Bandung Bondowoso, seorang ksatria dari
Kerajaan Pengging berhasil mengalahkan Raja Boko dan segera melamar Jonggrang.
Roro Jonggrang menerima lamaran tersebut, asal Bondowoso mampu membuat seribu
candi dalam semalam. Bondowoso menyanggupi permintaan itu. Dengan bantuan dari
makhluk halus, ia mampu mewujudkan keinginan sang gadis. Namun, sebelum candi
yang terbuat genap berjumlah 1.000 buah, Roro Jonggrang dengan dibantu rakyat
Prambanan segera membunyikan alu dan lesung. Setelah alu dan lesung berbunyi,
ayam jantan berkokok. Ini dimaksudkan untuk menipu Bondowoso agar dikira hari
telah pagi dan Bondowoso pun terpaksa berhenti bekerja, padahal sudah 999 buah
candi tercipta, tinggal satu buah lagi yang belum jadi. Namun, ia mengetahui
bahwa Roro Jonggrang telah berlaku licik, ia pun marah dan mengutuk Roro
Jonggrang menjadi patung sebagai penggenap jumlah patung menjadi 1.000 buah.
Dalam sekejap Roro Jonggrang berubah menjadi patung. Cerita ini tentunya tak
pernah terjadi, melainkan hanya legenda orang-orang di sekitar Prambanan. Dan
sebetulnya, jumlah candi di Prambanan ini tak mencapai seribu, melainkan hanya
250 buah. Patung Batari Durga Mahisa Suramardhani di dalam Candi Siwa, oleh
masyarakat setempat dipercaya sebagai penjelmaan Roro Jonggrang.
c) Candi Borobudur
Candi Borobudur, tingginya mencapai 42 meter, juga merupakan
candi Mahayana, terletak di Magelang, utara Yogyakarta. “Borobudur” berasal
dari kata“bara” dan “budur”. Bara berasal dari kata wihara atau biara dari Sansekerta
yang berarti kuil atau asrama. Sedangkan budurdiperkirakan berasal dari kata
beduhur yang artinya “di atas”. Jadi, Borobudur dapat diartikan sebagai biara
yang ada di atas bukit. Candi ini didirikan sekitar tahun 800-an M atas
perintah raja-raja Mataram dari Dinasti Syailendra.
Bentuk dasar candi ini adalah punden berundak-undak, namun
disesuaikan dengan filosofi Buddha Mahayana. Borobudur bersusun tiga tingkat,
yaitu kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu dengan relief sepanjang 4 km dan
arca Buddha berjumlah lebih dari 500 buah. Pada seluruh dinding Borobudur,
terdapat sebelas seri relief yang memuat kurang-lebih dari 1.460 buah adegan.
Relief-relief tersebut memuat berbagai kisah: cerita Buddha,
surga dan neraka, dan kisah-kisah dari kitab yang terkenal seperti cerita
Karmawibhangga. Namun, sebagian relief lain masih belum dapat diartikan
ceritanya. Di atas puncak Borobudur ini terdapat sebuah stupa yang paling
besar. Di setiap stupa terdapat patung Buddha dalam berbagai posisi.
d) Candi Mendut
Candi Mendut terletak 2 km arah selatan dari Candi Borobudur,
juga merupakan candi Buddha dan didirikan raja Mataram pertama dari Dinasti
Syailendra, Raja Indra. Dengan demikian, usianya lebih tua dari Borobudur. Di
dalam candi terdapat tiga patung Sang Buddha. Masing-masing adalah patung
Buddha Cakyamurti yang duduk bersila dan bersikap sedang berkotbah; patung
Awalokiteswara, yaitu Boddhi satwa penolong manusia; dan patung Maitreya, yaitu
Boddhisatwa pembebas manusia di alam akhirat. Awalokiteswara atau Avalokiteshvara
adalah patung Buddha dengan amithaba di mahkotanya yang melambangkan dharma, sedangkan
Padmapani atau Vajrapani merupakan patung Buddha yang memegang bunga terati
merah di tangannya sebagai lambang sangha. Pada dinding candi terdapat relief cerita
fabel (cerita dunia binatang).
e) Candi Pawon
Candi ini berada di antara Borobudur dan Mendut, juga
bercorak Buddha, diperkirakan berasal dari masa yang sama dengan Borobudur-Mendut.
Posisi Candi Pawon sejajar dengan letak Borobudur dan Mendut. Bahan dasar candi
ini adalah batu andesit. Tubuh candi dihiasi ukiran pohon kalpataru yang
dipahat dengan sangat halus. Namun, patung-patung di dalamnya sudah hilang
entah ke mana. Di atas pintu masuk, terdapat hiasan bermotif kalamakara, yaitu
relief berupa makhluk surga, singa, pohon, dan sukur-sulur bunga teratai.
Seluruh badan candi dihiasi dagoba-dagoba.
f) Komplek Candi Sewu
Komplek Candi Sewu didirikan oleh Raja Indra dari Dinasti
Syailendra, merupakan candi Buddha juga, terletak di utara Candi Prambanan, di
tapal batas Yogyakarta-Surakarta dan selesai dibangun kira-kira tahun 1098 M.
Candi Sewu masih berkaitan dengan Candi Prambanan. Sebagian dari 1.000 candi
yang diminta Roro Jonggrang adalah candi-candi yang ada di Sewu. Namun,
pendapat tersebut meragukan mengingat Prambanan adalah candi Hindu sedangkan
Sewu adalah candi Buddha. Walaupun disebut Candi Sewu namun jumlah candi yang
ada tidak mencapai seribu, melainkan hanya 241, terdiri dari satu candi induk,
dikelilingi oleh 240 candi perwara (candi kecil) yang tersusun atas empat
baris. Pada pintu masuk candi terdapat dua buah arca Dwarapala, yakni arca
raksasa yang duduk menjaga pintu dan memegang gada.
g) Komplek Candi Plaosan
Komplek Candi Plaosan berlokasi di Desa Plaosan, Klaten. Komplek
candi ini terdiri atas Plaosan Lor (Utara) dan Plaosan Kidul ( Selatan ).
Kelompok candi utara bentuknya lebih besar dari yang ada di
selatan. Berbeda dengan kebanyakan candi yang ada di Jawa Tengah, Candi Plaosan
ini menghadap ke barat. Komplek ini didirikan atas perintah Raja Mataram, Raka
i Pikatan yang Hindu dan Pramodawardhani (Sri Kaluhunan), istri Raka i Pikatan
yang beragama Buddha dari Dinasti Syailendra. Komplek bagian utara terbagi atas
dua halaman dan pada setiap halaman terdapat candi induk. Kedua halaman
tersebut dikelilingi oleh tembok dalam dan luar yang jaraknya agak berjauhan.
Pada halaman antara kedua tembok keliling itu terdapat 58 candi perwara dan 128
stupa. Tinggi stupanya lebih dari 7 meter.
h) Candi Sukuh
Candi Sukuh merupakan candi Siwa peninggalan Majapahit,
terletak di lereng Gunung Lawu, Karanganyar. Pada candi ini terlihat corak Jawa
asli yang mendominasi daripada corak Hindu. Relief candi ini sangat sederhana
dibanding candi-candi lainnya, tampak kasar, dan terkesan dibuat oleh orang
desa yang bukan ahli pahat profesional. Candi ini berbentuk punden
berundak-undak. Dengan demikian, dapat ditarik simpulan: meski agama
Hindu-Buddha memengaruhi kehidupan, namun masyarakat setempat masih menjungjung
tinggi roh nenek-moyang.
Relief candi ini sangat sederhana dibanding candi-candi
lainnya, tampak kasar, dan terkesan dibuat oleh orang desa yang bukan ahli
pahat profesional. Candi ini berbentuk punden berundak-undak. Dengan demikian,
dapat ditarik simpulan: meski agama Hindu-Buddha memengaruhi kehidupan, namun
masyarakat setempat masih menjungjung tinggi roh nenek-moyang. Candi ini
memiliki patung dan pahatan berupa lingga (alat kelamin pria) yang berhadapan
dengan yoni (alat kelamin perempuan). Inilah candi yang paling erotis yang
pernah ada di Jawa. Namun, pembuatan lingga-yoni ini bukan dimaksudkan sebagai
seni pornografis, melainkan melambangkan kesuburan, kemakmuran serta cenderung
mistis. Di sisi kanan candi terdapat relief pasangan wanita-pria yang
menggendong bayi. Candi ini menggambarkan proses persatuan wanita-pria hingga
kelahiran manusia. Di samping relief kesuburan, ada pula relief dan tugu tentang
pewayangan, seperti kelahiran Bima, anak kedua Pandawa; Bima sedang membunuh
raksasa Kalantaka; cerita Sudamala yang mengisahkan Sadewa bungsu Pandawa yang
diikat oleh Dewi Durga di sebatang pohon.
i) Candi Sajiwan
Candi Sajiwan terletak di selatan Prambanan, merupakan candi
Buddha, didirikan sebagai tempat pendarmaan Rakryan Sanjiwana. Sanjiwana
merupakan nama lain dari Sri Pramodawardhani, anak Samaratungga yang menikah
dengan Raka i Pikatan Raja Mataram. Candi ini sekarang tinggal pondasinya saja.
j) Candi Lumbung
Candi Lumbung terletak di selatan Candi Sewu namun bentuknya
lebih kecil, bercorak Buddha. Candi ini terdiri atas candi pusat yang
dikelilingi enam belas candi berbentuk persegi empat. Atapnya kini telah
runtuh.
k) Candi Sari
Candi Sari disebut juga Candi Bendah, merupakan candi
Buddha, lokasinya tak jauh dari Candi Kalasan; dibangun bersamaan dengan Candi
Kalasan, terlihat dari arsitekturnya yang tak jauh beda. Di depan pintu masuk
terdapat dua raksasa (Dwarapala) yang memegang gada dan ular sebagai penjaga
candi. Candi Sari ini merupakan wihara dengan panjang 17,32 m dan lebar 10 m.
2) Candi-candi di Jawa Tengah bagian utara
Corak candi Jawa Tengah bagian utara mengambarkan susunan
masyarakat demokratis. Kedemokratisan ini terlihat dari tak ada candi yang
mencolok melebihi candi lainnya.
a) Komplek Candi Dieng
Komplek Candi Dieng berdiri di dataran tingggi Dieng, Wonosobo,
dibangun oleh Wangsa Sanjaya dari Mataram pada abad ke-8 hingga ke-9 M.
Candi-candi yang ada di komplek ini bercorak Hindu dan merupakan tempat ziarah
raja-raja Mataram. Nama-nama candi yang terdapat di komplek ini semuanya
diambil dari dunia pewayangan, seperti Puntadewa, Bima, Arjuna, Gatotkaca,
Semar, Sumbadra, dan Srikandi.
b) Komplek Candi Gedong Songo
Komplek ini terletak di lereng Gunung Ungaran, Ambarawa,
didirikan pada abad ke-7 sampai ke-8 M oleh Sanjaya sebagai penghormatan
terhadap Dewa Trimurti umat Hindu, khususnya Siwa. Candi-candi di komplek ini
berjumlah sembilan ( songo dalam bahasa Jawa ). Bangunan ini termasuk candi
tertua yang ada di Jawa.
c) Candi Canggal
Candi Canggal ini ditemukan di daerah Sleman dan didirikan
semasa pemerintah Raja Sanjaya dari Mataram. Pada candi inilah terdapat
Prasasti Canggal yang menceritakan asal-usul Dinasti Sanjaya.
3) Candi-candi di Jawa Timur
Corak candi di Jawa Timur menggambarkan susunan masyarakat
federal, di mana raja berdiri di belakang mempersatukan wilayah-wilayah di
bawahnya. Dalam corak ini, candi utama ada di latar belakang bangunan-bangunan
candi yang lebih kecil. Secara garis besar, ciri-ciri candi yang terdapat di
Jawa Timur adalah:
(a) Bentuk bangunan ramping.
(b) Atapnya bertingkat-tingkat dan puncaknya berbentuk kubus.
(c) Makara (patung atau relief yang berwujud binatang “campuran”)
tidak ada dan pintu relung hanya ada ambangnya saja yang diberi kepala Batara
Kala.
(d) Reliefnya timbul sedikit dan bersifat simbolis,
menyerupai karakter wayang kulit (satu dimensi).
(e) Candi (utama) terletak di bagian belakang komplek.
(f) Kebanyakan menghadap ke arah barat dan terbuat dari
bata. Berikut ini nama-nama candi yang terletak di Jawa Timur.
a) Candi Badut
Candi Badut merupakan candi Hindu, terletak di Desa Dinoyo, sebelah
barat-laut Malang. Di Desa Dinoyo ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 760
M, berhuruf Kawi dan bahasa Sansekerta. Prasasti Dinoyo ini menceritakan bahwa
pada abad ke-8 M ada sebuah kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan (sekarang Desa
Kanjuron) di Jawa Timur. Rajanya bernama Dewa Singha, berputerakan Limwa.
Limwaini lalu menggantikan ayahnya menjadi raja dengan nama Gajahyana.
Gajahyana kemudian mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk Dewa Agastya. Patung
Agastya ini dahulu terbuat dari kayu cendana, kemudian diganti dengan arca dari
batu hitam. Peresmian arca tersebut dilakukan pada tahun 760 dan dipimpin oleh
sejumlah pendeta Hindu. Pada saat itu Raja Gajahyana menghadiahi para pendeta
sebidang tanah, binatang lembu, sejumlah budak atau pekerja, dan segala keperluan
untuk upaca keagamaan. Ia memerintah agar didirikan sejumlah bangunan asrama
untuk keperluan kaum brahmana dan tamu. Diperkirakan, bangunan asrama tersebut
salah satunya adalah Candi Badut ini. Namun, dalam candi ini tak terdapat arca
Agastya, melainkan sebuah lingga. Mungkin sekali lingga ini sebagai lambang
Agastya, yang memang selalu digambarkan sebagai Siwa dalam wujud sebagai Batara
Guru.
b) Candi Kidal
Candi Kidal letaknya 7 km sebelah tenggara Candi Jago,
antara Malang dan Tumpang. Candi ini mulanya sebagai tempat penyimpanan abu
jenazah Anusapati Raja Singasari. Di dalamnya terdapat arca Anusapati dalam
wujud Dewa Siwa. Bangunan ini mulai berfungsi sebagai tempat pemujaan dewa
sekitar tahun 1248 M. Candi ini terbuat dari batu alam. Pada candi Hindu
setinggi 12,5 m ini terdapat pahatan cerita Garuda yang mencuri amarta, yaitu
“air kehidupan”.
c) Candi Jago
Candi Jago ( Negarakretagama menyebutnya Candi Jajaghu) merupakan
candi Siwa-Buddha (agama percampuran), disebut juga Candi Tumpang karena
terletak di Desa Tumpang, sebelah timur Malang. Candi ini dibangun oleh Raja
Kertanegara dari Singasari sebagai penghormatan terhadap Wisnuwardhana,
ayahnya. Arsitekturnya bersusun tiga (berundak) dengan tubuh candi terletak di
bagian belakang kaki candi. Candi Jago dihiasi ornamen sangat mewah serta
gambar timbul (relief) yang melukiskan cerita-cerita binatang, cerita
Kunjarakanda, Arjuna, dan Kresna. Karakter tokoh-tokohnya yang tercetak di
reliefnya: berbadan bungkuk, berkepala besar; dikelilingi bunga-bungaan dan
tumbuh-tumbuhan; sikap kaki, bahu dan lengan yang tak biasa, menimbulkan kesan
seperti wayang. Pada gambar timbul tersebut, sering terdapat lukisan pekarangan
rumah dengan balai; seperti yang masih terdapat di Bali dewasa ini, yakni teras
(bertingkat) dari batu. Di atas teras terdapat empat tiang dengan sebuah atap
di atasnya. Antara teras dan atap terdapat lantai tempat duduk dari kayu.
d) Candi Jawi (Jajawa)
Dalam Negarakretagama, candi ini disebut Candi Jajawa dan
dibuat oleh pada masa Kertanegara. Pada tahun 1331 candi ini pernah tersambar
petir. Candi ini tingginya 24 m, bercorak Siwa-Buddha. Selain patung badan
Siwa, ditemukan pula arca Ardanari, Brahma, Ganesha, Durga, dan Lembu Nandi. Di
candi ini Kertanegara disucikan sebagai tiga bentuk arca yang berbeda. Pertama
sebagai Siwa sekaligus Buddha dalam bentuk Bhairawa sebagai lambang
nirmanakaya; dalam bentuk Ardhanari sebagai lambang sambhogakaya, dan dalam
bentuk Jina sebagai lambang dharmakaya.
e) Candi Singasari
Candi Singasari merupakan candi Siwa yang besar dan tinggi,
berada 10 km dari Malang, di sekitar ibukota Singasari dahulu. Candi ini
merupakan tempat pendarmaan Kertanegara yang digambarkan sebagai Bhairawa
(Kertanegara juga disucikan sebagai Siwa dan Buddha di Candi Jawi). Bagian atas
candi melambangkan puncak Mahameru, kediaman para dewa dalam mitologi Hindu.
Candi ini dibuat pada masa Hayam Wuruk Majapahit. Pintu candi ini berhiaskan
patung Kala (Dwarapala). Pada pintu dan tangga tidak terdapat lagi makara,
hanya motif yang serapa garis-garis dan salur-salur bunga. Pengaruhnya gaya
Candi Singasari terlihat sekali pada patung Bhairawa di Sungai Langsat,
Bukittinggi di kerajaan Minangkabau, Sumatera. Patung Ken Dedes di candi Singasari
ini digambarkan sebagai Dewi Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan.
f) Komplek Candi Panataran
Komplek Candi Panataran terletak 11 km dari Blitar, tepatnya
di Desa Panataran, Kecamatan Nglegok. Komplek ini didirikan sejak pemerintahan
Kediri, lalu banyak mengalami renovasi semasa pemerintahan Majapahit. Bangunan
utama (Candi Panataran) selesai semasa pemerintahan Hayam Wuruk. Komplek ini
semula dikelilingi tembok dengan gerbang masuk di sisi barat namun kini tinggal
sisa-sisanya, antara lain dua buah arca Dwarapala, yaitu arca raksasa penjaga
pintu candi. Luas kompleks percandian 180 m x 60 m, terbagi dalam tiga halaman.
Pada halaman paling barat terdapat tiga bangunan utama, yaitu yang ada di sudut
barat laut, sebuah teras memanjang dari utara ke selatan (di Bali disebut ”Bale
Agung”); bangunan ke-2 adalah sebuah teras lain biasa disebut Serambi teras”
terdapat di tengah halaman dan berpahatkan angka 1297 Saka (1375 M); bangunan
utama ke-3 ialah sebuah candi indah yang biasa disebut ”Candi Angka Tahun”, karena
di atas pintu masuk terdapat pahatan angka 1291 Saka (1369 Masehi). Candi utama
ini yang dikenal sebagai Candi Panataran, terdiri atas tiga tingkat. Pada
dinding tingkat pertama candi utama ini terpahat relief Ramayana: adegan
Hanoman datang ke Alengka sebagai utusan Rama hingga tewasnya Kumbakarna, adik
Raja Alengka, Rahwana. Pada tingkat kedua terdapat relief kisah Kresnayana,
cerita Kresna muda mendapatkan Rukmini, calon istrinya.
g) Candi Rimbi
Candi ini terletak di Desa Pulosari, Jombang, merupakan
candi Hindu peninggalan Majapahit abad ke-14. Di dalamnya terdapat arca Parwati
yang diwujudkan sebagai Tribuwana Tunggadewi, ratu Majapahit yang memerintah
tahun 1328-1350. Arca ini kini disimpan di Museum Pusat di Jakarta.
h) Candi Bajang Ratu
Candi ini sebetulnya merupakan gapura yang terbuat dari
batubata di daerah Trowulan, bekas ibukota Majapahit. Jadi bukan tempat abu
jenazah raja atau tempat pendarmaan. Gapura Bajang Ratu ini berukiran dari atas
sampai bawah. Jenis gapura ini tertutup, berbeda dengan Waringin Lawang, sebuah
gapura di daerah Trowulan juga yang termasuk Candi Bentar. Melihat kelaziman di
Bali, Candi Bentar adalah gapura masuk ke gugusan keraton Majapahit. Sedangkan
gapura tertutup ada di dalam gugusan keraton, maka Bajang Ratu termasuk dalam
keraton Majapahit atau gugusan sebuah tempat anggota kerajaan. Menurut cerita
setempat, gapura ini dilalui bangsawan Majapahit yang lari ketika Majapahit
diserang oleh pasukan Is lam dari Demak dan Kudus pada tahun 1478. Menurut
tradisi setempat, seorang pegawai negeri tak diperbolehkan naik ke atas gapura,
karena ia dapat terkena sial dan akan dipecat dari jabatannya.
i). Candi Sumber Awan
Candi Sumber Awan didirikan sebagai penghargaan atas kunjungan
Hayam Wuruk ke daerah di kaki Gunung Arjuna. Candi ini bercorak Buddha dan
dibangun setelah Candi Singasari selesai. Candi ini didirikan oleh kaum Buddhis
sebagai penghargaan terhadap Hayam Wuruk yang Hindu dalam menghormati agama
Buddha.
4) Candi-candi di Luar Jawa
Selain di Jawa Tengah dan Timur, candi-candi banyak
bertebaran di Sumatera, Jawa Barat, dan Bali. Candi-candi yang terdapat di
Sumatera bercorak Mahayana. Hampir seluruhnya peninggalan Sriwijaya. Bahan
bangunannya terbuat dari bata merah, bukan batu andesit seperti di Jawa.
Candi-candi di Bali dan Jawa Barat bercorak Hindu.
a) Komplek Candi Muara Takus, Riau
Komplek Candi Muara Takus didirikan semasa Sriwijaya,
terletak di antara Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri, Riau, Jambi, Sumatera.
Dalam komplek ini ada beberapa candi: Candi Tua, Candi Bungsu, Candi Mahligai,
Candi Palangka.
b) Komplek Candi Padas di Tampaksiring, Bali
Komplek Candi Padang Lawas ini terletak di Gunung Kawi, daerah
Tampaksiring, Bali. Candi ini didirikan sebagai makam Raja Bali yang bernama
Anak Wungsu, putera terakhir Raja Udayana. Jadi, Anak Wungsu adalah adik dari
Airlangga, Raja Medang Kamulan. Anak Wungsu mulai memerintah pada 1049. Semasa
pemerintahnnya, Anak Wungsu meninggalkan 28 buah prasasti. Oleh rakyatnya, ia
dianggap penjelmaaan Dewa Wisnu karena ia penganut Hindu-Waisnawa.
c) Komplek Candi Muara Jambi
Komplek Candi Muara Jambi didirikan semasa Kerajaan Melayu.
Komplek candi terdiri atas 12 bangunan yang memperlihatkan corak Buddha
Mahayana.
d) Komplek Candi Gunung Tua (Biaro Bahal) di Padang Lawas
Komplek Candi Gunung Tua terletak di Padang Lawas, Tapanuli
Selatan, Sumatera Utara. Di lokasi ini pernah ditemukan sisa-sisa biara
(wihara) Buddha dan sebuah arca Lokananta dengan arca Dewi Tara yang memuat
tulisan dalam bahasa Batak. Arca tersebut dibaut oleh seniman bernama Surya
tahun 1042.
Komplek candi ini terdiri atas biara-biara yang letaknya
berjauhan. Dari tulisan-tulisan yang ditemukan, diketahui bahwa pembuat biara
ini adalah penganut Tantrayana. Oleh orang Tapanuli candi ini disebut “Biaro
Bahal”. Biaro Bahal I, II, dan III saling berhubungan dan terletak dalam satu
garis lurus. Biaro Bahal I adalah yang terbesar; kakinya berhiaskan papan-papan
di sekelilingnya dan berukiran tokoh Dyaksa berkepala hewan sedang menari-nari.
Agaknya, penari-penari tersebut memakai topeng hewan, seperti yang sering
terdapat pada upacara ritual di Tibet sekarang. Pada Biaro Bahal II pernah
ditemukan arca Heruka, tokoh raksasa dalam Buddha Mahayana sekte Bajrayana atau
Tantrayana. Heruka tersebut berdiri di atas jenazah dalam sikap menari, tangan
kanannya memegang tongkat. Pada Biaro Bahal III terdapat ukiran bermotif daun.
e) Candi Cangkuang
Candi Cangkuang terletak di Kabupaten Leles, Garut, Jawa Barat.
Tinggi candi 8,5 m, kaki bangunan berukuran 4,5 x 1,5 m. Di dalam candi terdapat
patung Dewa Siwa setinggi 40 cm. Ini berarti: pembuat candi ini adalah pengikut
Hindu-Siwa. Diduga, Candi Cangkuang ini dibangun pada abad ke-8 M. Namun, belum
ada kepastian tentang siapa yang mendirikannya. Diperkirakan candi ini ada
kaitannya dengan Kerajaan Sunda atau Galuh atau Kendan. Selain Candi Cangkuang,
ada pula situs yang ditemukan di Bojong Menje, Cicalengka, Kabupaten Bandung.
Para ahli memperkirakan situs Bojong Menje ini merupakan peninggalan Hindu dan
usianya diduga lebih tua dari Candi Cangkuang. Sebagian sejarawan menganggap
keberadaan Candi Bojong Menje ini ada hubungannya dengan Kerajaan Kendan dan
Sunda Pajajaran.
b. Stupa
Stupa merupakan tempat penyimpanan abu sang Buddha dan
melambangkan perjalanan Sang Buddha menuju nirvana. Setelah wafat, jasad Buddha
dikremasi, lalu abunya disimpan dalam delapan stupa terpisah di utara India.
Pada masa kuno di India, stupa digunakan sebagai makam penyimpanan abu
bangsawan atau tokoh tertentu. Stupa kemudian dijadikan lambang Buddhisme dan
menunjukkan luas pengaruh Buddhisme di berbagai kawasan. Semasa pemerintahan
Ashoka (abad ke-2 SM) di India dibangun banyak stupa untuk menandakan Buddha
sebagai agama kerajaan. Di Asia Tenggara dan Timur, stupa juga didirikan
sebagai pengakuan terhadap Buddhisme di wilayah bersangkutan. Stupa terdiri
atas tiga bagian, yaitu andah, yanthra, dan cakra. Andah melambangkan dunia
bawah, tempat manusia yang masih dikuasai hawa nafsu, Ya n t h r a merupakan
suatu benda untuk memusatkan pikiran saat bermeditasi, dan Cakra melambangkan
nirvana atau nirwana, tempat para dewa bersemayam. Stupa di Indonesia memiliki
kekhasan tersendiri. Di Indonesia stupa sering merupakan bagian candi atau
komplek candi tertentu, seperti pada Candi Mendut, Borobudur, Jawi, dan Candi
Muara Takus.
c. Keraton
Keraton (istana) merupakan bangunan tempat tinggal
raja-raja. Peninggalan keraton-keraton pada masa Hindu-Buddha, kini jarang ada
yang utuh. Sebagian tinggal puing-puing dan pondasi dasarnya saja, sebagian
lagi malah tak berbekas. Istana-istana pada masa Hindu-Buddha didirikan dengan
pondasi dari batu atau batu bata. Biasanya dindingnya terbuat dari kayu,
sedangkan atapnya dari daun sirap. Karena itu, kini yang tersisa hanyalah
pondasi-pondasinya.
Salah satu keraton peninggalan Hindu-Buddha yang sudah
berupa puing adalah Keraton Boko. Keraton ini terletak 2 km dari Candi
Prambanan. Disebut Keraton Boko karena menurut legenda di situlah letak
Kerajaan Boko, yaitu asal Roro Jonggrang sebelum dilamar oleh Bandung
Bondowoso. Para ahli mengaitkan keraton ini dengan raja-raja Mataram yang
membuat Candi Prambanan. Bangunan ini tidak dapat disebut candi karena di
sekitarnya terdapat bekas benteng dan juga kanal atau selokan. Di sekitar utara
Keraton Boko terdapat sejumlah bekas-bekas candi yang semua telah rusak, di
antaranya Candi Ngaglik, Candi Watu Gudhig, Candi Geblog, Candi Bubrah, Candi
Singa, dan Candi Grimbiangan. Melihat corak relief dan arsitekturanya,
candi-candi ini bercorak Siwa. Mungkin didirikan oleh raja Mataram Dinasti
Sanjaya. Istana lainnya adalah reruntuhan bekas keraton Majapahit di Trowulan,
Mojokerto. Masih terlihat tempat kolam yang dulu digunakan sebagai tempat pemandian
kerabat raja (sekarang dinamai Candi Tikus).
5. Bidang Seni Rupa
Selain pada arsitektur, pengaruh budaya Hindu-Buddha
terlihat pada bidang seni rupa, seperti corak relief, patung atau arca, dan
makara pada candi atau keraton. Dalam hal motif yang pada masa prasejarah
berupa motif-motif budaya Vietnam purba, maka pada masa Hindu-Buddha berkembang
dan makin beragam.
a. Patung
Arca (patung) dipahat membentuk mahluk tertentu, biasanya
manusia atau binatang dengan tujuan mengabadikan tokoh yang dipatungkan. Patung
dibuat oleh para seniman dan pemahat handal yang termasuk kasta waisya.
Biasanya patung ini disimpan dalam candi sebagai penghormatan terhadap dewa dan
raja yang disembah. Adakalanya sebuah patung raja disimbolkan sebagai patung
dewa atau raja yang dipuja.
1) Patung Bercorak Hindu
Patung Hindu biasanya berwujud dewa-dewi, raja, dan mahluk
mistik seperti makara. Patung raja biasanya tidak ditampilkan sebagaimana
adanya melainkan menyerupai dewa atau dewi tertentu yang diidentikkan dengan
raja bersangkutan, misalnya:
(a) Patung dewa-dewi, misalnya Trimurti dan Durga. Pada
patung Trimurti, patung Siwa biasanya tampak lebih dominan. Dewa ini
ditampilkan dalam beragai wujud antara ain mahaguru, mahakala, dan bhairawa;
(b) Patung Airlangga (Medang Kamulan) dalam wujud Wisnu
sedang menunggang burung Garuda;
(c) Patung Ken Dedes dalam wujud Dewi Pajnaparamita;
(d) Patung Kertanegara dalam wujud Joko Dolok dan Amoghapasya;
(e) Patung Kertarajasa (Raden Wijaya) dalam wujud Dewa Siwa;
(f) Patung Dwarapala atau Batara Kala dalam wujud raksasa
memegang gada.
2) Patung Bercorak Buddha
Umumnya patung-patung bercorak Buddha berwujud Sang Buddha
dalam berbagai posisi, meski ada juga sejumlah patung Bodhisattva. Patung Sang
Buddha tampil dalam berbagai posisi dengan sikap tangan (mudra) menghadap arah
mata angin tertentu. Sikap tangan Sang Buddha tersebut mengandung makna tersendiri,
yaitu:
(a) Arca Aksobhya dengan sikap bumisparca-mudra yaitu sikap
tangan menyentuh bumi sebagai saksi. Arca menghadap ke timur.
(b) Arca Ratnasambhawa dengan sikap wara-mudra, yaitu sikap
tangan memberi anugerah. Arca menghadap selatan.
(c) Arca Amithaba dengan sikap dhyana-mudra, sikap tangan
bersemadi. Arca menghadap ke barat.
(d) Arca Amogashidi, sikap abhaya-mudra, sikap tangan menenteramkan.
Arca menghadap utara.
(e) Arca Wairicana, sikap dharmacaraka-mudra, sikap tangan
memutar rodadharm. Arca tersembunyi dalam stupa.
b. Relief
Relief merupakan seni pahat-timbul pada dinding candi yang
terbuat dari batu. Pada candi bercorak Hindu, relief tersebut biasanya melukisan
cerita atau kisah yang diambil dari kitab-kitab suci maupun sastra (bias cerita
utuh, bias pula hanya cuplikan), misalnya Mahabharata, Ramayana, Sudamala,
Kresnayana, Arjuna Wiwaha, berikut tokoh-tokoh Wayang Punakawan yang tak
terdapat di India. Sedangkan dalam candi Buddha, pada reliefnya terpahat cerita
seputar kisah hidup Siddharta Sang Buddha. Ada pula relief yang menceritakan cerita
legenda dari India dan cerita fabel. Masing-masing daerah memiliki corak relief
yang khas. Relief pada candi di Jawa Tengah tak sama dengan relief di candi di
Jawa Timur. Di Jawa Tengah, karakteristik objek (manusia, hewan, tumbuhan) pada
relief-reliefnya bersifat natural; artinya bentuk pahatan objek tak jauh beda
dengan bentuk asli dari objek tersebut (dua dimensi). Sedangkan, karakteristik
objek pada relief di Jawa Timur tampak lebih pipih seperti bentuk wayang kulit
(satu dimensi). Menurut para ahli, peralihan karakteristik para relief ini
menunjukkan peralihan dari zaman Hindu-Jawa ke zaman Jawa-Hindu. Artinya:
ketika kekuasaan beralih dari barat (Jawa Tengah) ke timur (Jawa Timur), dengan
sendirinya kebudayaan masyarakat Jawa makin berkembang, makin percaya diri
dengan corak seninya sendiri, tanpa harus terus menyontek budaya India.
Beberapa relief yang terdapat di candi-candi Jawa Tengah
dan Timur adalah:
(1) Relief pada Candi Borobudur memuat cerita:
(a) Karmawibbhangga, dipahatkan pada kaki candi yang
di-timbun, menceritakan sebab akibat perbuatan baik buruk manusia.
(b) Lalitavistara, dipahatkan pada dinding lorong pertama,
menceritakan riwayat Sang Buddha sejak lahir sampai turunnya amanat pertama di
Taman Rusa.
(c) Jatakamala-awadana, dipahatkan pada sebagian dinding
lorong pertama dan kedua, berupa kumpulan sajak ten-tang perbuatan Sang Buddha
dan para bodhisattva semasa hidupnya.
(d) Gandawyuha-bhadracari, dipahatkan pada dinding lorong kedua
sampai keempat, menceritakan usaha Sudhana mencari ilmu yang tinggi sampai ia
bersumpah mengikuti bodhisattva samanthabhadra
.
(2) Relief pada Candi Prambanan memuat cerita:
(a) Ramayana, dipahatkan pada pagar langkan (dinding serambi
atas) Candi Siwa dan diteruskan pada pagar langkan Candi Brahma.
(b) Kresnayana, dipahatkan pada pagar langkan Candi Wisnu.
(3) Relief pada Candi Sukuh, memuat cerita Sudamalayang
diperankan Sadewa, bungsu Pandawa. Diceritakan Sadewa berhasil ngruwat (dari
kata ngerawatatau memelihara) Batari (Dewi) Durga yang mendapat kutukan dari
Batara Guru (Dewa Siwa) karena perselingkuhannya. Sadewa berhasil ngruwat Batari
Durga yang semula raksasa betina bernama Hyang Pramoni kembali menjadi seorang
bidadari cantik bernama Batari Uma. Cerita Sudamala (sudaartinya bersih, mala artinya
dosa) diambil dari Kidung Sudamala. Ada 5 adegan cerita Sudamala pada Candi
Sukuh, yaitu: pertama menggambarkan ketika Dewi Kunti meminta kepada Sadewa
agar mau “ngruwat” Batari Durga namun Sadewa menolak. Kedua menggambarkan
ketika Bima mengangkat raksasa dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya
menancapkan kuku “Pancanaka” ke perut raksasa. Ketiga menggambarkan ketika
Sadewa diikat kedua tangannya diatas pohoh randu alas karena menolak keinginan
“ngruwat” sang Batari Durga. Dan sang Durga mengancam Sadewa dengan sebuah
pedang besar di tangannya untuk memaksa Sadewa. Keempat menggambarkan Sadewa
berhasil “ngruwat” sang Durga. Sadewa kemudian diperintahkan pergi kepertapaan
Parangalas. Di situ Sadewa menikah dengan Dewi Pradapa. Kelima menggambarkan
ketika Dewi Uma (Durga setelah diruwat Sadewa) berdiri di atas Padmasana.
Sadewa beserta punakawan menghaturkan sembah pada Dewi Uma.
(4) Relief pada Candi Jago, memuat cerita Kresnayana,
Parthayaj-na, dan Kunjarakarna. Di candi ini untuk pertama kalinya kita jumpai
tokoh-tokoh Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) yang setia menyertai
ksatria.
(5) Relief pada Candi Surowono, memuat cerita Arjuna Wiwaha
dan adegan Sri Tanjung yang dibunuh Sidapaksa
(6) Relief Candi Panataran, memuat cerita Ramayana dan Kresnayana.
Sebetulnya masih banyak lagi relief- relief yang ada pada
pelataran candi-candi yang lainnya. Sebagian bahkan belum dapat ditafsirkan
ceritanya.
c. Makara
Dalam mitologi Hindu-Buddha, makara adalah perwujudan seekor
binatang laut besar yang diidentikkan dengan buaya, hiu, lumba-lumba, sebagai
binatang luar biasa. Binatang “jadi-jadian” ini menjadi salah satu motif yang
lazim dalam arsitektur India dan Jawa. Biasanya patung (bisa pula berbentuk
relief) makara ini dipajang pada pintu gerbang candi atau keraton. Pada Candi
Borobudur, contohnya, makaranya berbentuk binatang paduan: berkepala gajah,
bertelinga sapi, bertanduk domba, dengan singa berukuran kecil di dalam mulut
makara tersebut. Pahatan makara ini biasanya berfungsi sebagai mulut saluran
air mancur.
6. Bidang Kesusastraan
Dari India, masyarakat Indonesia mengenal sistem tulis.
Karya-karya tulis yang pertama ada di Indonesia ditulis pada batu (prasasti)
yang memuat peristiwa penting seputar raja atau kerajaan tertentu. Pada masa
berikutnya penulisan dilakukan di atas daun lontar (Latin: Borassus
flabellifer), batang bambu, lempengan perunggu, daun nifah (Latin: Nifa
frutican), dan kulit kayu, karena bahan-bahan tersebut lebih lunak daripada
batu, lebih mudah dijinjing dan bisa dibawa ke mana-mana, dan lebih tahan lama.
Pada masa Islam, penulisan dilakukan di atas dluwang (terbuat dari kulit kayu
pohon mulberry), kertas, logam mulia, kayu, serta kain.
Penulisan pada bahan-bahan yang lebih lunak memungkinkan
para penulis lebih leluasa dalam bekarya. Awalnya mereka menulis karya-karya
sastra dari India, seperti Mahabharatadan Ramayana.
Setelah menyalin dan menerjemahkan karya-karya tersebut,
mereka lalu mulai menggubah cerita yang asli ke dalam sebuah kitab. Jadilah
karya sastra yang indah dalam segi bahasa, meski sifat-sifat kesejarahannya
samar.
a. Kitab
Kitab merupakan tulisan berupa kisah, cerita, sejarah, dan
kadang campuran antara legenda-mitos-sejarah sekaligus. Pada masa Hindu-Buddha,
kitab ditulis oleh para pujangga (sastrawan) istana raja tertentu. Mereka
menulis atas perintah raja masing-masing. Hidup mereka ditanggung oleh negara
dan mereka harus menaati apa saja yang harus ditulis atas perintah raja. Oleh
karena itu, bisa saja dua kitab yang ditulis oleh dua penulis yang berbeda, membahas
tokoh yang sama namun isinya bertolak belakang. Ada pula kitab yang ditulis
pada masa yang berbeda dengan apa yang dibahasnya. Bisa saja sebuah kitab
menulis peristiwa sejarah yang telah berlalu satu abad, misalnya. Dengan
demikian, peristiwa yang dilukiskannya bisa saja tak persis dengan apa yang
terjadi sesungguhnya. Sumber cerita mungkin saja diterima dari orang atau raja
yang menyimpan maksud-maksud politis tertentu; jadi pendapatnya sepihak dan
tidak ilmiah. Kitab biasanya ditulis pada lembaran daun rontal atau lontar yang
diikatkan dengan semacam tali agar tidak berceceran. Lontar adalah sejenis
tumbuhan yang tumbuh di daerah tropis seperti Indonesia dan daerah subtropis.
Tingginya kurang-lebih 30 meter dan bewarna kuning dan tumbuh di hutan yang
selalu tergenang air. Kayunya bisa dipakai untuk bahan membuat rumah. Isi kitab
biasanya merupakan rangkaian puisi dalam sejumlah bait (pupuh) yang disebut
kakawin. Selain cerita tentang raja-raja, kitab bisa pula menceritakan
mitologi, legenda, cerita rakyat (folklore), undang-undang, hukum
pidana-perdata, hingga aturan pernikahan. Di berbagai daerah di Indonesia kitab
disebut pula kidung, carita, kakawin, serat, tambo.
Bisa pula kitab merupakan sebuah gubahan dari cerita
aslinya; dalam arti cerita tersebut sudah mengalami perubahan (tambahan atau
pengurangan), baik dalam jumlah tokoh, alur, latar tempat. Mengenai waktu pun
sering tak dicantumkan alias diabaikan oleh sang penulis kitab meski yang
ditulisnya mengandung sifat kesejarahan.Pembuatan kitab pertama kali dirintis
pada masa Dinasti Isana pemerintahan Dharmawangsa Teguh. Ia mempelopori
penggubahan epik Mahabharata dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno). Arjuna Wiwaha,
karya Mpu Kanwa ditulis pada masa pemerintahan Raja Airlangga abad ke-11 M.
Bharatayudhakarya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, ditulis pada pemerintahan Raja
Jayabaya dari Kediri pada abad ke-12.
1) Mahabharata
Mahabharata adalah epik India yang menceritakan pertikaian
antara keturunan Raja Bharata dari Hastinapura, yakni Pandawa sebagai pihak
kebaikan melawan pihak Kurawa sebagai pihak kebatilan. Pandawa (lima
bersaudara) dan Kurawa (seratus bersaudara: 99 laki-laki, 1 wanita) adalah
saudara sepupu dari garis ayah. Peperangan antara mereka dikenal dengan Bharatayudha
(Peperangan antara keturunan Bharata), yang berlangsung di lapang Kurusetra dan
dimenangkan pihak Pandawa. Meski menang, banyak saudara dan raja pembantu dari
Pandawa yang gugur dalam perang.
Kitab Mahabharata dianggap sebagai kitab suci Weda ke-5
setelah Rigweda, Yajurweda, Samaweda, dan Atharwaweda. Mahabharata asli terdiri
atas 100.000 seloka yang terbagi dalam 18 parwa (jilid atau buku). Selain 18
parwa, adapula tambahan yang berjudul Hariwangsa yaitu cerita asal-usul Kresna
(Krishna), sepupu Pandawa yang menjadi penasehat Pandawa dalam perang
Bharatayudha. Kresna pula yang menyemangati Arjuna yang patah semangat untuk
berperang melawan Kurawa karena ia harus berhadapan dan membunuh guru, leluhur,
dan sanak-saudaranya sendiri. Nasihat Kresna kepada Arjuna ini termuat dalam
episode Bhagawad Gita.
Di dalam Mahabharata ini banyak terdapat nama kerajaan yang
memang ada di India secara historis, di antaranya Magadha dan Kalingga. Sebagai
karya sastra tentunya karya ini berkaitan dengan kenyataan sehari-hari rakyat
India ketika itu. Di dalam kitab tersebut tersimpan ajaran moral, etika
politik, persaingan antarkeluarga dalam memperebutkan takhta, akibat keserakahan
dan peperangan, hingga kisah asmara. Ditekankan pula bahwa seseorang harus
berbakti kepada orangtua dan Negara meski untuk itu ia harus mengorbankan
kepentingan pribadinya (seperti kisah Bisma). Dan yang pasti bahwa kasta
ksatria adalah mereka yang dipilih dewa untuk menegakkan keadilan dan
kemanusiaan di muka bumi.
2) Ramayana
Selain Mahabharata, adapula kitab lain yang dianggap suci
oleh umat Hindu, yaitu Ramayana(Pengembaraan Rama), ditulis oleh Valmiki
sekitar tahun 400 SM. Mungkin saja, Valmiki hanya menulis cerita intinya yang
kemudian dikembangkan oleh para penulis lain hingga mencapai 24.000 bait puisi.
Maka dari itu, tak heran bila ada tiga versi cerita Ramayanaini yang saling
berbeda. Konon kisah Ramayana berlangsung dari tahun 500 SM hingga tahun 200 M.
Oleh orang Jawa, Ramayana digubah menjadi Kakawin Ramayana. Isi kakawin ini
lebih pendek dari karya Valmiki. Nama tokoh-tokoh dan tempatnya ada yang
berbeda, seperti Walin di ganti menjadi Subali, Sita menjadi Sinta, Lanka
menjadi Alengka, Rawana menjadi Rahwana atau Dasamuka (Kepala Sepuluh).
Yang pertama menggubah Ramayana menjadi kakawin adalah para
pujangga Mataram, yaitu pada masa Dyah Balitung abad ke-9 dan 10 M. Ada ahli
yang berpendapat bahwa kakawin ini digubah pertama kali pada abad ke-11 hingga
13 M, pada masa Kediri. Menurut tradisi lisan, kakawin ini ditulis oleh seorang
pujangga istana bernama Yogiswara. Selanjutnya pada masa Kediri dituliskan
kitab-kitab lainnya, di antaranya Hariwangsa dan Gatotkaca Sraya karya Mpu
Panuluh, Smaradhana karya Mpu Dharmaja, Lubdaka dan Wrtasancaya karya Mpu
Tanakung, dan Kresnayana karya Mpu Triguna. Pada masa Majapahit ditulis
sejumlah kitab, yaitu Negarakretagama karya Mpu Prapanca, Sutasoma karya Mpu
Tantular, kitab Pararaton yang menceritakan riwayat raja-raja Singasari dan
Majapahit, Kidung Sunda yang menceritakan Peristiwa Bubat, Ranggalawe yang
menceritakan pemberontakan Ranggalawe, Sorandakamenceritakan pemberontakan
Sora, serta kitab Usana Jawa yang menceritakan penaklukan Bali oleh Gajah Mada dan
Arya Damar dari Majapahit.
3) Pararaton
Pararaton ditafsir selesai ditulis pada tahun 1287 Saka
(1365 M). Pararaton menceritakan keadaan Jawa pada zaman Hindu hingga datangnya
Islam. Disebutkan bahwa ada masa yang disebut zaman kaluthuk, yaitu masa jauh sebelum
kedatangan orang India ke Nusantara (zaman prasejarah). Lalu, datanglah
orang-orang dari negeri Kalingga, Celong (Sailan atau Sri Lanka), dan pesisir
pantai Semenanjung Malaka dan Kamboja. Dituliskan pula bahwa pada zaman kuno
telah terdapat bandar-bandar ramai, di antaranya Tunsun yang kemudian pindah ke
Kalah (Kerah) di Malaka. Kedatangan orang-orang ke Jawa banyak dicatat dalam
kronik-kronik Cina, yang ternyata banyak kesamaannya dengan isi Pararaton.
Orang Hindu (India) datang ke Indonesia mengikuti arah angin yang ke tenggara.
Dijelaskan pula rute-rute pelayaran dagang pada masa itu, dimulai dari Ambon,
Banda, Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara), pantai utara Jawa, lalu menyusuri
Sumatera sebelah timur hingga di pesisir Semenanjung Malaya. Dari Malaka ini
rute dilanjutkan dan bertemu dengan jalur pelayaran dari Cina, yaitu Kanton
(Katogara), Pulau Kondor, La-hore, Sanggora (Pattani). Bangsa India maupun Cina
bila hendak pergi ke Molokus (Maluku atau Moluska) dari Bandar Kalah yang
jaraknya cukup jauh, harus beristirahat dulu di Sumatera atau Jawa. Kedatangan
orang Hindu ke Indonesia, begitu Pararaton menyebutkan, pertama kali sekitar
abad ke-7 M. Selain masalah ekonomi, Pararaton menguraikan masalah keagamaan
Hindu Siwa, Waisnawa, dan Brahma; serta menjelas-kan bahwa Hindu pun berkembang
di Madura, Bali, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sumbawa, selain di Tanah Jawa.
Pararaton menerangkan jatuh-bangun kerajaan-kerajaan di Jawa, dari mulai Raja
Sanjaya Mataram, kehidupan Ken Arok dalam mencapai takhta Singasari, usaha
Raden Wijaya menipu tentara Kubilai Khanyang hendak menyerang Tumapel,
raja-raja Majapahit, peperangan antara Majapahit melawan Blambangan, hingga
kedatangan orang-orang Islam di Jawa yang mulai merongrong kewibawaan
Majapahit.
4) Negarakretagama
Negarakretagama ditulis Mpu Prapanca pada 1365 M. Oleh Prapanca
kitab berbentuk kakawin ini disebut Desawarnana (Cacah Desa-Desa). Naskah
Negarakretagamaditemukan di Lombok pada tahun 1894, yang oleh Brandes
diterbitkan tahun 1902. Naskah ini cukup istimewa dibanding naskah-naskah Jawa
Kuno lainnya yang selalu memakai bahasa yang indah. Negarakretagamabanyak mengandung
data sejarah secara eksplisit terutama tentang Majapahit. Kakawin
Negarakretagama terdiri atas 98 pupuh (sejenis sajak yang dilagukan). Kebanyakan
menceritakan keagungan Raja Hayam Wuruk sebagai penjelmaan Siwa dan Buddha.
Juga terdapat keterangan mengenai kota, istana, keluarga istana Majapahit;
perjalanan Hayam Wuruk ke Lumajang; kegiatan Raja berburu binatang di hutan,
kehidupan Gajah Mada, silsilah raja-raja Singasari dan Majapahit, dan juga
riwayat sang penulis kitab, Prapanca.Prapanca mengakui bahwa ia pun menulis
kitab-kitab lain seperti Parwasagara, Bhismasaranantya, Sugataparwa, dan dua
karyanya yang belum selesai, Saba Abda dan Lambang. Namun, tak satu pun
karya-karya tersebut berhasil diketemukan. Menurut Slamet Mulyana, sejarawan Indonesia
yang juga mengalih-bahasakan Pararaton yang berbahasa Kawi ke bahasa Indonesia,
Prapanca sebenarnya nama samaran dari seorang dharmadyaksa ring kasogatan (rahib
Buddha penasihat raja) di Majapahit yang bernama asli Dang Acarya Nalendra.
5) Arjuna Wiwaha
Kakawin lainnya adalah Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa yang ditulis
dalam bahasa Kawi pada zaman Airlangga Raja Medang Kamulan. Kakawin ini ditulis
sekitar tahun 941-964 Saka atau 1019-1042 Masehi. Dalam Arjuna Wiwaha ini,
sosok Arjuna diibaratkan sebagai Airlangga. Karena populernya, cerita ini berkali-kali
ditulis ulang dengan berbagai judul berbeda, misalnya Mintaraga atau Bagawan
Ciptaning. Arjuna Wiwaha (Perkawinan Arjuna) mengisahkan perjalanan Arjuna
bersama Pandawa lainnya yang tengah menjalani hukuman pengasingan selama 12
tahun karena kalah bermain judi dadu dengan Kurawa. Di tengah perjalanan,
Arjuna pergi sendirian untuk menjalani tapa-brata. Ketika bertapa, Arjuna
didatangi oleh Dewa Indra, atas saran Dewa Siwa dari kahyangan, yang bertujuan
meminta bantuan Arjuna untuk mengalahkan raja raksasa Niwatakawaca dari
Kerajaan Manimantaka. Niwatakawaca sebelumnya berhasil menyerang kahyangan
(swarga; tempat tinggal para dewa) karena ia menginginkan Dewi Supraba, seorang
bidadari yang cantik, untuk diperistri. Sebelum didatangi oleh Dewa Indra,
mulanya Arjuna didatangi oleh tujuh bidadari kahyangan (di antaranya Dewi
Supraba sendiri dan Nilotama) untuk menggoda tapanya. Karena tak berhasil
dirayu para bidadari, akhirnya Dewa Indralah yang turun tangan. Singkat cerita,
Arjuna yang telah dibekali panah Pasopati oleh Dewa Siwa mampu mengalahkan Raja
Niwatakawaca. Setelah berhasil, Arjuna dinikahkan dengan Dewi Supraba dan enam
bidadari lainnya. Oleh Dewa Indra, Arjuna diperbolehkan berbulan madu selama
tujuh hari di kahyangan.
6) Kidung Sunda
Sementara itu, Kidung Sunda adalah karya sastra buatan Jawa
Tengah berbentuk puisi (kidung). Isinya menceritakan lamaran Hayam Wuruk kepada
puteri Raja Sunda-Pajajaran (Sri Baduga Maharaja), bernama Dyah Pitaloka. Hayam
Wuruk mengirim utusan bernama Madhu yang berlayar selama 6 hari. Surat lama-ran
itu diterima oleh Raja Sunda dengan senang hati, meski sang puteri menerimanya
biasa-biasa saja. Kemudian Raja Sunda beserta puteri dan keluarga berangkat
menuju Majapahit bersama rombongan, dipimpin oleh Patih Anepaken. Sampai di
Desa Bubat, mereka beristirahat; akuwu Bubat melaporkan kedatangan tamu itu ke
istana. Namun, Gajah Mada tak senang bila rajanya menyambut rombongan Sunda, ia
ingin agar Raja Sundalah yang menghampiri Hayam Wuruk. Mendengar keputusan
Gajah Mada tersebut, Patih Anekapen marah karena Kerajaan Sunda dilecehkan
Majapahit.Terjadilah peperangan di Desa Bubat pada tahun 1357 M. Bersama 300
tentaranya, Patih Anekapen berjuang mati-matian melawan tentara Majapahit yang
jumlahnya lebih besar. Semua rombongan, termasuk Raja dan Puteri Sunda, tewas,
kecuali seo-rang menteri Sunda bernama Pitar. Ia berhasil meloloskan diri dan
pergi ke Majapahit memberitahukan tragedi Bubat. Hayam Wuruk sangat terpukul
jiwanya.
7) Sutasoma
Kitab lainnya, Sutasomakarya Mpu Tantular, berbahasa Kawi,
diperkirakan ditulis pada masa Hayam Wuruk. Dalam kitab ini dikisahkan bahwa
Sang Buddha menitis sebagai Raden Sutasoma, putera Prabu Mahaketu, Raja
Hastina. Sutasoma merupakan penganut Mahayana yang saleh. Karena tak ingin
dipaksa kawin, ia kabur dari istana. Dalam pelariannya menuju Gunung Himalaya,
ia berhenti di sebuah candi di dalam hutan dan memutuskan untuk bertapa. Para
pendeta di sekitarnya kemudian mengadu kepada Sutasoma bahwa ada raja raksasa
bernama Purusada yang selalu mengganggu mereka. Namun Sutasoma menolak untuk
membunuh raksasa tersebut.
Selanjutnya Sutasoma melihat seekor harimau hendak mema-kan
anaknya sendiri. Ia lalu menawarkan diri untuk menggantikan anak harimau.
Alhasil, Sutasoma mati dimakan harimau, namun kemudian hidup kembali berkat
pertolongan Batara Indra. Lalu Sutasoma, menjelma menjadi Buddha Wairocana.
Ketika hendak pulang ke Hastina, ia melihat saudara sepupunya, Prabu Dasabahu
dikejar-kejar pasukan raksasa Purusada. Singkat cerita, Sutasoma menjadi raja
di Hastina. Sementara itu, Purusada yang berjanji akan mengirimkan 100 orang
raja kepada Batara Kala untuk dimakan, telah berhasil mena-wan 99 orang raja.
Batara Kala telah berjanji bahwa bila keinginan-nya terkabulmaka luka di kaki
Purusada akan diobati olehya. Setelah tawanan berjumlah genap 100 orang, Batara
Kala menolaknya karena ia ingin memakan daging Sutasoma. Sutasoma kemudian
menyanggupi permintaan Kala dengan syarat agar ke-100 tawanan dibebaskan
semuanya. Pengorbanannya ini menimbulkan rasa haru dalam diri Batara Kala dan
Purusada. Sejak saat itu, Purusada bertobat dan ber-janji tidak akan menangkap
manusia lagi.
Kisah Sutasoma menjelaskan nilai pengorbanan dan belas kasih
antarsesama yang sepatutnya dijalankan oleh seorang Boddhisattva guna mencapai
kesempurnaan sejati yang menjadi ciri ajaran Mahayana. Oleh karena itu, Mpu
Tantular membuat ajaran Siwa dan Buddha menjadi satu (tunggal), seperti
terungkap dalam kalimat: “Hyang Buddha tanpahi Siwa rajadewa..., mangka Jinatwa
lawan Siwatatwa tunggal, bhinneka tunggal ika tanhana dharmma mangrwa,” yang
artinya adalah “Hyang Buddha tak ada bedanya dengan Siwa, raja para dewa....,
karena hakikat Jina (Buddha) dan Siwa adalah satu, berbeda-beda namun satu,
tiada kebenaran bermuka dua.”
8) Kesusastraan Melayu Kuno Masa Hindu-Buddha
Selain Jawa, kesusastraan Melayu bercorak Hindu-Buddha pun berkembang
meski tidak secepat di Jawa. Tema-temanya pun tak jauh berbeda dengan yang
berkembang di Jawa: seputar dunia pewayangan. Kitab-kitab saduran tersebut di
antaranya: Hikayat Seri Rama (saduran dari Ramayana); Hikayat Pandawa, Hikayat
Pandawa Panca Kelima, Hikayat Pandawa Jawa (semuanya saduran dari epos
Mahabharata), serta Hikayat Sang Boma. Namun, para ahli masih berselisih paham:
apakah kisah-kisah tersebut disadur langsung dari India atau dari
kakawin-kakawin Jawa yang dial-hihbahasakan atau diparafrasakan ke dalam bahasa
Melayu? Selain kisah pewayangan, adapula kisah-kisah panji Jawa yang
dimelayukan, contohnya Hikayat Panji Kuda Semirang, Hikayat Cekel Weneng Pati,
Hikayat Misa Gumitar, Carita Wayang Kinudang, Surat Gambuh, Raden Saputra. Pengalihbahasaan
ini mungkin terjadi ketika ekspedisi Pamalayu yang dilancarkan Singasari ke
daerah Melayu, di mana Singasari sebagai penguasa memberikan pengaruh budaya
terhadap wilayah jajahannya. Adapula sejumlah hikayat yang oleh Winstedt dan Chmabert-Loirdimasukkan
ke dalam periode Hindu, di antaranya Hikayat Maharaja Puspa Wiraja, Hikayat
Parang Putting, Hikayat Inderaputera, Hikayat Langlang Buana, Hikayat Marakarma
atau Hikayat Si Miskin, dan Hikayat Dewa Madu.
Sebenarnya, sebelum pengaruh Hindu-Buddha masuk, di Melayu
telah lahir kesusastraan tutur yang bersifat legenda dan mitos, contohnya: Si
Kelembai, Harimau Jadian, Gerhana Bulan, Cerita Nakhoda Ragam, Cerita Si
Kantan, dan lain-lain.
b. Prasasti (Batu Bertulis)
Prasasti merupakan tulisan yang memuat informasi sejarah
yang ditulis pada tugu baru tersendiri atau ditatah di bagian tertentu pada
candi. Bahan untuk membuat prasasti ini biasanya batu atau logam. Informasi
sejarah ini biasanya berupa peringatan terhadap usaha raja dalam
menyejahterakan rakyatnya dalam bentuk mem-berikan kurban sapi kepada kaum
brahmana atau pendirian taman atau penggalian kanal atau sungai. Bisa pula
prasasti berisi usaha raja yang berhasil menaklukkan kerajaan lain.Mulanya,
prasasti dan yupa ditulis (zaman Tarumanagara dan Kutai), menggunakan huruf
Pallawa dan bahasa Sansekerta. Prasasti-prasasti yang merupakan peninggalan
Tarumanagara di antaranya: Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti
Jambu, Prasasti Tugu, Prasasti Pasir Awi dan Muara Ciaruteun, serta Prasasti
Lebak. Kebanyakan prasasti-prasasti ini berbahasa Sansekerta dan berabjad Pallawa.
Dengan demikian, tak sembarang orang bisa membuat prasasti kecuali kaum agama
dan bangsawan yang pandai mambaca-menulis. Pada masa berikutnya, yaitu masa
Mataram dan seterusnya, huruf yang dipakai telah men-galami perkembangan yang
disesuaikan dengan bahasa setempat menjadi huruf Kawi atau Jawa Kuno. Sedangkan
di Sumatera, bahasa yang digunakan awalnya adalah Pali dan kemudian menjadi
Melayu Kuno.
Teks yang terdapat pada Prasasti Talang Tuo berikut ini yang
aslinya berbahasa Melayu Kuno.
(1) selamat tahun Saka, telah berjalan 606 pada tanggal dua
paruh-terang bulan Caitra. Itulah saatnya Kebun Sriksetra ini dibuat
(2) (dari) perintah yang Dipertuan Hyang Sri Jayanaga. Ini
meru-pakan kaulnya yang Dipertuan Hyang. Segala yang tertanam di sini: kelapa,
pinang, enau, sagu
(3) dengan jenis kayu dimakan buahnya; begitu pula bambu,
buluh betung, dan lain-lainnya; dan lagi kebun yang lain,
(4) yang ada empang dan telaganya, dan segala yang boleh
dipakai untuk melakukan sekalian kebaikan, diperuntukkan bagi kemakmuran segala
makhluk, yang berjalan atau yang tak tidak berjalan, supaya mereka mendapat
(5) kesukaan; dan bila lapar di masa diam atau di dalam
perjalanan (supaya) mendapatkan makanan dengan air yang diminumnya (supaya)
segala hasil ladang dan cukup
(6) pula menghidupi segala jenia hewan, terutama agar (hewan
ini) menjadi banyak. Dan janganlah mereka diberi rintangan , aniaya, atau
gangguan tidur. Barang siapa yang
(7) segala perbuatannya, apa pun juga, senantiasa menurut
(maksud-maksud di atas) maka tidak dikenai penyakitlah ia, tidak rusak apa yang
akan dikerjakannya, begitu juga sekalian keluarganya
Rangkaian kalimat pada prasasti tersebut menyatakan bahwa
Raja Sriwijaya, Sang Hyang Sri Jayanaga, telah berjasa mendirikan Taman
Sriksetra, sebuah taman yang ditumbuhi berbagai macam buah-buah dan hasil
ladang lainnya. Taman ini diperuntukkan bagi masyarakat Sriwijaya. Prasasti
Talang Tuo ini juga berisikan peraturan-peraturan (hukum) yang di-berlakukan
oleh Raja Jayanaga.
c. Pertunjukan Wayang
Budaya wayang diperkirakan telah hidup pada masa prasejarah.
Budaya mana pun ternyata memiliki seni pertunjukan wayang masing-masing. Di
Asia Tenggara karakter wayang memiliki banyak kesamaan, dalam bentuk, motif,
hiasan, dan cara dipegang oleh dalang. Pada mulanya, zaman prasejarah,
pertunjukan wayang merupakan seni rakyat dan ditujukan untuk menghormati roh
leluhur. Kemudian pada masa Hindu-Buddha, kesenian wayang mulai digemari oleh kaum
bangsawan dan raja. Jadilah, wayang pun menjadi seni keraton yang mengenal
bahasa “halus”, untuk membedakan dengan bahasa rakyat yang “kasar”.Dalang
adalah orang yang memperagakan adegan wayang, membuat dialog percakapan
antarwayang, menjadi pencerita (narator), sekaligus memimpin orkestra (gamelan)
yang dimainkan para nayaga (pemain alat musik yang seluruhnya pria) dan
dinyanyikan oleh sinden (biasanya perempuan). Kisah-kisah yang dipentaskan
biasanya diambil dari kakawin Mahabharata atau Ramayana. Dengan demikian, alur
dan ceritanya pun banyak ditambah dan diperbaharui. Misalnya, adanya tokoh
punakawan seperti Semar.
7. Bidang Seni Tari dan Musik
Seni tari telah ada di Indonesia sejak masa prasejarah.
Ketika itu tarian dilakukan sebagai persembahan kepada roh nenek-moyang dalam
upacara-upacara, seperti pada acara panen. Jadi, bertari merupakan kegiatan
keagamaan yang suci dan ritual. Musik sebagai pengiring para penari berasal
dari irama ritmis dari alat-alat perkusi atau tetabuhan yang dipukul-pukul
tanpa iringan alat bernada, kecuali suara tenggorokan. Ketika pengaruh
Hindu-Buddha masuk, seni
tari masih dipentaskan dalam
rangka keagamaan, perkawinan, pengangka-tan
raja, dan lain-lain.
Alat-alat bernada mulai
dipakai, seperti alat tiup, alat petik, alat gesek.
Persembahan tarian dan musik di kalangan raja dan bangsawan makin berkembang
seiring perkenalan masyarakat Indonesia dengan bangsa-bangsa lain. Hingga
sekarang pengaruh seni musik India di Indonesia masih dapat dinikmati, misalnya
musik dangdut.
Informasi Tambahan;
‘Semar, menurut Frans Magnis
Suseno, ditengarai merupakan dewa atau orang Indonesia asli. Menurut cerita
wayang purwa buatan para dalang dan pujangga, Semar ini bernama asli Hyang
Ismaya anak Hyang Tunggal yang sulung yang ditugasi Hyang Wenang untuk mengabdi
kepada para ksatria yang baik budi. Adiknya, Hyang Mahapunggung atau Togog,
ditugasi mengayomi para ksatria bertabiat buruk. Sedangkan adiknya yang satu
lagi, Hyang Manikmaya atau Batara Guru, ditugasi bertakhta di Kahyangan
Jonggring Salaka
(swarga). Semar turun ke bumi
dan menjelma menjadi seorang ketua desa bernama Janggan Smarasanta yang
beristrikan Dewi Kanestren. Semar, menurut tradisi Jawa, memiliki tiga orang
anak: Gareng, Petruk, Bagong. Bagong ini tercipta dari bayangan Semar,
sementara Petruk dan gareng dari perkawinannya dengan sang istri. Di daerah
Sunda, Bagong disebut Cepot atau Astrajingga dan merupakan anak sulung,
sementara Gareng menjadi anak bungsu. Semar memiliki nama Badra yang berarti
cahaya bulan purnama, atau Badranaya yang berarti cahaya cinta kasih, atau
Jnanabadra. Di Bali ia disebut Twalan atau Tualen. Ia dilambangkan pembawa
suara rakyat, bahkan bila marah maka tak seorang pun mampu mengalahkannya,
termasuk para dewa sekalipun’.
Sumber: Ensiklopedi Nasional Indonesia
Jadi pelu diketahui bahwa pertemuan antara dua bangsa yang
berbeda akan menghasilkan kebudayaan yang sinkretis, budaya campuran. Penduduk
Indonesia yang sejak dulu telah berkenalan dengan budaya luar, pada
kenyataannya bias menyerap budaya asing tersebut tanpa harus meninggalkan
kebudayaan asli. Dengan kearifan lokalnya masyarakat Indonesia dapat
beradaptasi dengan budaya luar dan menyaringnya sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi ekologis masing-masing. Setelah berasimilasi, akhirnya budaya serapan
itu bukanlah sesuatu yang asing lagi, bahkan sudah dianggap budaya sendiri.
8. Bidang Pemerintahan
Bentuk kesatuan masyarakat Indonesia pra Hindu adalah
kesatuan masyarakat yang dipimpin oleh seorang kepala yang dipilih berdasar prinsip
Prints Inter Pares (yang utama di antara sesama) Namun setelah pengaruh
Hindu-Buddha masuk dan ber-kembang di Indonesia, muncullah sistem pemerintahan
Kerajaan yang dipimpin berdasarkan sistem Dinasti (turun temurun).
Rangkuman;
Anak benua India merupakan
tanah tempat kebudayaan Weda, Buddha, Jaina lahir. Di sebelah utara terdapat
sungai–sungai besar seperti Indus, Gangga, Yamna, dan Brahmaputra yang memiliki
lembah-lembah subur. Di lembah-lembah subur inilah lahir peradaban Hindu
muncul. Penduduk Lembah Indus adalah bangsa Dravida yang berkulit hitam.
Peradaban Lembah Indus mengalami kemunduran ketika bangsa Arya dari Asia Tengah
melakukan invasi. Persebaran bangsa Arya dibedakan atas dua periode: masa Weda
Awal dan masa Weda Akhir. Pada masa akhir ini itu bangsa Arya mulai membangun
sistem agama Weda (Hindu) dan pemerintahan (politik). Sementara itu, agama
Buddha lahir dari Sidharta Gautama, putra Raja Suddodhana dari Kapilawastu.
Setelah dewasa, Sidharta pergi dari istana dan meninggalkan segala bentuk
kesenangan duniawi. Ia berguru pada sejumlah rahib. Ketika tiba di Desa Gaya,
di Lembah Sungai Gangga, Siddharta menjadi seorang Buddha. Setelah itu ajaran
Buddha mengalami perkembangan: Buddha Mahayana dan Hinayana. Pengaruh Buddha
pun meluas hingga Cina, Jepang, Indocina, dan Indonesia.Sekitar awal tarikh
masehi, telah terjadi hubungan dagang antara India, Indonesia Indocina, dan
Cina. Hubungan dagang ini berkembang menjadi hubungan politik, agama, dan
budaya. Hubungan itu didukung oleh kronik-kronik dari Cina, Yunani, Arab,
India, Indocina, dan kitab serta prasasti dalam negeri. Dari sumber-sumber itu
dapat disimpul-kan: persebaran agama dan budaya Hindu-Buddha dari India ke
Indonesia berawal dari perdagangan.
Ada lima teori
tentang pihak-pihak yang berjasa menyebarkan Hindu dan Buddha di Indonesia.
Pihak pertama adalah kaum brahmana dan rahib dari India. Pihak kedua adalah
para pedagang India (waisya). Pihak ketiga adalah kaum sudra yang melarikan
diri dari India ke Indonesia. Pihak keempat adalah golongan ksatria India yang
melarikan diri ke Indonesia karena takut dikejar-kejar oleh musuh. Dan pihak
kelima dalah orang-orang Indonesia sendiri, yang sebelumnya pernah mengunjungi
India. Keterkaitan antara perdagangan dan persebaran Hindu Buddha mengakibatkan
pusat-pusat perdagangan di Indonesia menjadi pusat Hindu-Buddha, terutama di
Jawa, Bali, dan Kalimantan; semen-tara Sumatera merupakan pusat Buddha.
Pengaruh Hindu-Buddha terhadap perkembangan agama di Indonesia terlihat dari
praktik dan tempat peribadatan (candi). Sedangkan pengaruh dalam bidang
kebudayaan terlihat dari bangunan fisik (stupa, candi, keratin), karya sastra
(kitab, prasasti, wayang), seni rupa (relief, makara, arca), serta seni tari
dan musik. Kesemuanya itu mengalami proses akulturasi dan sinkretisasi sesuai
zamannya.
Demikian Ulasan yang entah singkat atau tidak itu tergantung
pendapat anda, wkwkwkw. Maaf apabila media gambar yang tampilkan hanya sedikit,
dikarenakan apabila banyak gambar loading saat memuat artikel jadi lama.
Semoga bermanfaat, untuk
menambah wawasan. Ya, anda tahu sendirikan bahwa sejarah tidak ada habis,
kecuali kalau dunia berakhir (kiamat). Jadi manfaatkan hidup anda sebelum
berakhir!!!
Terimakasih telah berkunjung, dan mudah-mudahan dibaca, jangan
Cuma dilihat. Hehehehe. Dan jangan lupa berkunjung kembali biar penulis kagak
kesepian!!! Karena sepi itu membosankan.
Jumlah Word ( kata ) ulasan keseluruhan adalah;12.254
Banner dari ReadyyGo:
Modal Sukses
Adalah-> usaha, sabar, & tawakal
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER