Perkembangan Politik, Ketatanegaraan, Dan Militer Kerajaan - kerajaan Hindu-Budha Di INDONESIA
1.Kutai
Kerajaan Kutai terletak di
sekitar aliran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Berdasarkan bukti-bukti berupa
yupa yang ditemukan, Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Yupa tersebut
berbahasa Sansekerta dan berhuruf Pallawa. Dalam salah yupa dinyatakan
nama-nama raja Kutai seperti Kudungga, Aswawarman, dan Mulawarman. Yupa-yupa tersebut
merupakan peringatan upacara kurban yang dilakukan kaum brahmana. Dilihat dari
bentuk tulisan diduga yupa itu dibuat pada abad ke-4 Masehi, pada masa Raja
Mulawarman. Mulawarman adalah raja terkenal dari Kutai, seperti diungkapkan
pada salah satu yupa berikut: ”Sang Maharaja Kudungga yang amat mulia mempunyai
putra yang masyur bernama Aswawarman. (Dia) mempunyai tiga orang putra yang seperti
api. Yang terkemuka di antara ketiga putranya adalah sang Mulawarman, raja yang
besar, yang berbudi baik, kuat, dan kuasa, yang telah upacara korban emas amat
banyak dan untuk memperingati upacara korban itulah tugu ini didirikan.” Mulawarman,
menurut yupa tersebut, sering diwujudkan dengan Ansuman, yaitu Dewa Matahari.
Raja Mulawarman dikenal sangat dekat dengan rakyatnya. Ia
juga memiliki hubungan yang baik dengan kaum brahmana yang datang ke Kutai.
Diceritakan bahwa Mulawarman sangat dermawan. Ia memberikan sedekah berupa
minyak dan lampu. Ia juga memberikan hadiah 20.000 lembu kepada brahmana di
suat tempat yang disebut Waprakeswara (tempat suci untuk memuja Dewa Siwa).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Mulawarman menganut Hindu-Siwa. Dari
besarnya sedekah raja Mulawarman ini memperlihatkan keadaan masyarakat Kutai
yang sangat makmur. Kemakmuran ini didukung oleh peranan yang besar Kutai dalam
pelayaran dan perdagangan di sekitar Asia Tenggara. Hal ini disebabkan karena
letak Kutai yang strategis, yaitu berada dalam jalur perdagangan utama
Cina−India. Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa raja pertama Kutai yang
bernama Kudungga diyakini belum dipengaruhi agama Hindu—setidaknya terlihat
dari namanya yang masih asli. Kudungga diperkirakan adalah seorang pemimpin
suku setempat yang kemudian mendirikan kerajaan pada saat pengaruh Hindu− Buddha
mulai masuk ke Indonesia. Putra Kudungga, Aswawarman, kemungkinan adalah raja
pertama Kutai yang beragama Hindu. Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti
sehingga diberi gelar Wangsakerta yang artinya pembentuk keluarga. Dalam
masa pemerintahannya wilayah Kutai makin diperluas. Hal ini diketahui dari
diadakannya upacara aswamedha, yaitu upacara pelepasan kuda.
InfoTambahan;
Pada
zaman kerajaan dahulu, bila seorang raja ingin memperluas wilayah politiknya
dan wilayah tersebut “belum” ada pemiliknya, maka ia akan melepaskan seekor
kuda untuk dibiarkan berlari hingga kuda tersebut berhenti. Upacara semacam ini
pernah diadakan oleh masyarakat India pada masa pemerintahan Raja Gupta,
Samuderagupta. Untuk menentukan luas wilayah, Samuderagupta melepaskan
kuda−kuda mereka. Sejauh mana kuda−kuda itu berlari, sejauh itu pula luas
wilayah kerajaannya. Tradisi asmamedha ini tak hanya berlaku di India,
melainkan juga di Eropa dan daerah Asia lainnya.
Setelah Aswawarman, Kutai
diperintah oleh Mulawarman, putra Aswawarman. Dari prasasti yang ditemukan
diketahui bahwa dalam masa pemerintahan Mulawarman pada abad ke−4 M, Kutai mengalami
masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan
Timur. Pada masa pemerintahannya pula, rakyat Kutai hidup makmur.
2.Tarumanagara
Tarumanagara berdiri
sekitar abad ke-5 M di sekitar Bogor dan Bekasi, Jawa Barat. Rajanya yang
terkenal bernama Purnawarman, seorang Indonesia. Fa-Hsien, seorang rahib Buddha
dari Cina, menyebutkan adanya kerajaan To - l o - m o . Pada tahun 414 M,
Fa-Hsien bertolak dari Sailan (atau Ceylon, sekarang Sri Lanka) untuk balik ke Kanton,
Cina. Sebelumnya ia bertahun-tahun belajar Buddha di kerajaan-kerajaan Buddhis.
Ia sering berziarah ke India. Setelah dua hari berlayar, kapalnya diterjang
topan. Ia pun terdampar dan mendarat di Ye P o T i, ejaan Cina bagi kata
Jawadwipa, yaitu Pulau Jawa. Diduga, tanah yang ia darati adalah Tarumanagara. Kronik
lain yang menyinggung Tarumanagara adalah berita Cina era Dinasti Tang. Sekitar
tahun 528-539 dan 666-669 M, datang seorang utusan dari To - l o - m o ke Cina.
To l o m o adalah ucapan lidah
orang Cina untuk “taruma”. Sebelum
ada pengaruh India, di sekitar Tarumanagara terdapat kerajaan Aruteun. Setelah dipengaruhi Hindu,
Aruteun pun berganti nama menjadi
Tarumanagara. Oleh karena itu, Aruteun atau Ci Aruteun (kata “ci” dalam bahasa Sunda berarti “air” atau “sungai” atau “tanah”) dijadikan pusat
pemerintahan Tarumanagara. Pendapat
ini didapat dari kronik Cina abad ke-5 M. Menurut sumber ini, kerajaan dari
Jawa yang pertama mengirim utusan ke Cina adalah Ho-lo-tan. Kronik Li-Sung-Shu
mengabarkan (430-452 M), utusan Ho-lo-tan dari She-po (Jawa) ini berkali-kali datang
ke Cina, menjalin persahabatan. Para ahli berpendapat bahwa nama ho-lo-tan
adalah ucapan lidah Cina
untuk “Aruteun”. Nama Ho-lo-tan tidak terdengar lagi pada abad ke-6. Sebagai
gantinya muncul nama To-lo-mo (Tarumanagara) yang utusannya seringberkunjung ke
Cina. Pendapat ini bisa benar adanya, karena adanya prasasti di tepi Sungai
Ciaruteun (sekitar Bogor) yang mengabarkan adanya Raja Tarumanagara yang
memerintah pada abad ke-6 (Purnawarman).
Dari naskah Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara ( ditulis pada masa Kesultanan Cirebon pada 1680
M) diketahui ada beberapa raja penerus Purnawarman. Pada naskah ini disebutkan
nama Suryawarman, raja
ke-7 Tarumanagara yang memerintah tahun 535-561, yang dilanjutkan oleh Sri
Maharaja Kretawarman yang memerintah hingga tahun 628. Disebutkan bahw Suryawarman
menikahkan puterinya,Tirtakancana, dengan Resiguru Manikmaya yang kelak pendiri
Kerajaan Kendan yang terletak di Cicalengka, Kabupaten Bandung. Setelah Kretawarman,
ada beberapa yang memerintah Tarumanagara. Raja-raja tersebut, yaitu Sudawarman (628-639), Dewamurti (639-640),
Nagajayawarman (640-666), Linggawarman (666-669), dan Tarusbawa (669-670 M). Di
bawah Tarusbawa, pamor Tarumanagara makin meredup. Pusat Tarumanagara dialihkan
ke Pakuan, Bogor, dan berganti nama menjadi Kerajaan Sunda. Kerajaan-kerajaan
kecil yang merupakan bawahan Tarumangara, masing-masing mulai memisahkan diri,
salah satunya Kendan. Selanjutnya, yang berkuasa di Jawa Barat adalah Kerajaan Sunda
di sebelah barat dan Kerajaan Kendan (Galuh) di sebelah timur. Dua kerajaan ini
dibatasi oleh Sungai Citarum. Kelak, dua kerajaan ini dipersatukan oleh Sri
Baduga Maharaja, menjadi Pajajaran. Menurut keterangan Dinasti Tang,
Tarumanagara masih ada hingga abad ke-7. Setelah masa itu, tak ada lagi berita tentangnya.
Sangat mungkin, setelah abad ke-7 Tarumanagara dikuasai oleh Sriwijaya dari Sumatera.
Bukti-bukti adanya Tarumanagara adalah ditemukannya tujuh buah prasasti, yakni
Prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu, Tugu, Pasir Awi dan Muara Ciaruteun,
serta Lebak. Kebanyakan prasasti-prasasti ini berbahasa Sansekerta dan berabjad
Pallawa. Prasasti Ciaruteun ditemukan di muara Sunga Cisadane, memuat informasi
tentang Raja Purnawarman, yang diidentikkan sebagai Dewa Wisnu beserta cap
kakinya. Prasasti Kebon Kopi ditemukan di Cibungbulang. Prasasti ini memuat gambar
dua telapak gajah Airawata, gajah tunggangan Dewa Wisnu. Sementara itu,
Prasasti Jambu ditemukan di Bukit Koleangkak, berisi sanjungan terhadap
Purnawarman.
Sumber yang memberikan
gambaran jelas mengenai kehidupan politik Tarumanagara, cukup minim. Meski
demikian kronik Fa-Hsien mengisyaratkan bahwa stabilitas politik Tarumanagara
cukup terjaga. Ini tergambar dari perekonomiannya yang stabil, karena
maju-tidaknya perekonomian tergantung pada stabil-tidaknya keamanan wilayah.
Kuatnya pemerintahan Tarumanagara terlihat pada proyek saluran Gomati dan
Candrabaga. Proyek ini
membutuhkan tenaga
manusia yang cukup besar. Tak mungkin proyek tersebut berjalan bila
pemerintahan tak berwibawa dan tak dihormarti rakyatnya. Kekuasaan raja
Tarumanagara bersifat mutlak. Ini tergambar dari pengagungan Purnawarman
sebagai penjelmaan Dewa Wisnu, salah satu dari Trimurti.
3.Kendan dan Galuh
Sumber mengenai kerajaan
ini diperoleh dari Pustaka Rajyarajyai Bhumi Nusantara. Bisa jadi cerita yang
ada di pustaka tersebut tak
sepenuhnya benar terjadi. Namun juga, di dalamnya ada beberapa peristiwa yang memang benar-benar terjadi. Pendiri Kendan bernama Resiguru Manikmaya,
berasal dari Jawa Timur. Aslinya ia berasal dari India Selatan. Ketika tiba di Jawa
Barat, Manikmaya menikah dengan Tirtakancana, puteri Suryawarman Raja
Tarumanagara. Setelah menikah, Manikmaya diberi daerah bernama Kendan, antara
Sumedang-Bandung. Di Kendan, Ia diangkat menjadi rajaresi dan dibekali tentara.
Oleh mertuanya, ia dinobatkan menjadi raja kecil, bawahan Tarumanagara. Dari
pernikahan itu, Manikmaya memperoleh keturunan. Salah satu putera bernama
Rajaputera Suraliman. Di usia 20, Suraliman diangkat menjadi senopati Kendan.
Tak lama, ia didaulat menjadi panglima balatentara (Baladika) Tarumanagara.
Manikmaya sendiri memerintah di Kendan selama 32 tahun, dari 536-568 M.
Setelah Manikmaya wafat,
Suraliman naik tahta. Pengangkatan Suraliman berlangsung pada tanggal 12 bagian
Gelap Bulan Asuji 490 Saka, bertepatan dengan 5 Oktober 568 M. Kendan di bawah
Suraliman terkenal tangguh dalam hal
berperang. Raja Suraliman menikahi puteri Raja Bakulapura dari Kutai, Dewi
Mutyasar. Pernikahan ini bertujuan menjalin persahabatan antar dua kerajaan.
Dari pernikahan ini, Suraliman anak bernama Kandiawan (laki-laki) dan Kandiawati (perempuan). Kandiawan bergelar
Rajaresi Dewaraja Sang Layuwatang. Sedangkan, Kandiawati ikut bersama suaminya
seorang pedagang kaya dari Sumatera. Suraliman memerintah selama 29 tahun
(568-597 M). Ia digantikan puteranya, Kandiawan, yang ketika itu telah menjadi
raja di wilayah Medang Jati atau Medang Gana. Oleh karena itu, Kandiawan
bergelar Rahiyangta ri Medang Jati.
Setelah menjadi raja,
Kandiawan memindahkan pusat pemerintahan dari Kendan ke Medang Jati yang
diperkirakan daerah Cangkuang, Garut. Perkiraan ini didapat, karena Raja Kandiawan
merupakan pemeluk Hindu-Wisnu, dan di daerah Cangkuang ini terdapat sebuah
candi Hindu-Wisnu (Candi Cangkuang). Penemuan situs di Bojong Menje,
Cicalengka, boleh
jadi berkaitan dengan
Kendan. Para ahli memperkirakan situs tersebut bercorak Hindu. Kandiawan
berputerakan lima orang: Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah, Sandang Greba,
dan Wretikandayun. Mereka masing-masing menguasai daerah Kulikuli, Surawulan,
Peles Awi (Paleswari), Rawung Langit, dan Menir. Bisa jadi, kerajaan-kerajaan
kecil bawahan Kendan ini terletak di antara Bandung-Garut. Kandiawan memerintah
selama 15 tahun, 597-612 M. Ia melanjutkan hidupnya sebagai pertapa di
Layuwatang, Kuningan. Ia menunjuk anak bungsunya, Wretikandayun, untuk merajai
Kendan. Ketika itu Wretikandayun merupakan rajaresi di Menir. Ia mulai memerintah
Kendan pada 23 Maret 612 M, pada usia 21 tahun. Raja Wretikandayun memindahkan
ibu kota Kendan ke Galuh. Daerah ini diapit oleh dua sungai, yakni Sungai
Citanduy dan Cimuntur. Kata galu berarti
“permata”. Kawasan Galuh ini berada di Desa Karang Kamulyan, Kecamatan
Cijeungjing, Ciamis. Wretikandayun beristrikan anak seorang pendeta Resi Makandria,
Dewi Manawati, yang menghasilkan tiga orang anak: Sempakwaja, Jantaka, serta
Amara. Pada saat Wretikandayun memerintah di Galuh, yang berkuasa di
Tarumanagara adalah Maharaja Kretawarman. Kendan (Galuh) saat itu masih
kerajaan bawahan Tarumanagara. Ketika di bawah Raja Tarusbawa, nama Tarumanagara
telah berubah menjadi Kerajaan Sunda. Dengan kondisi ini, Wretikandayun yang
pada saat itu berusia 78 tahun, beranggapan bahwa Galuh harus memisahkan diri
dari Tarumanagara.
Akhirnya, Wretikandayun
mengirim utusan ke Pakuan, ibu kota Kerajaan Sunda. Utusan ini mengirim surat
kepada Tarusbawa yang menyatakan bahwa Galuh hendak memisahkan diri dari Sunda,
menjadi kerajaan merdeka. Raja Tarusbawa tak keberatan. Ia lebih memilih
mengurus rakyat dan urusan dalam negeri daripada harus mempertahankan wilayah
yang ingin memerdekakan diri. Lalu, Kerajaan Galuh dan Sunda disatukan oleh Sri
Baduga, menjadi Kerajaan Pajajaran.
4.Sriwijaya
Informasi tentang
Sriwijaya diperoleh dari beberapa sumber, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Sumber-sumber lokal yang memberikan informasi tentang Sriwijaya ini kebanyakan
berupa batu tulis ata prasasti, di antaranya: Prasasti Kedukan Bukit (683), Talang
Tuo (684), Kota Kapur (686), Telaga Batu (683), dan Karang Berahi. Sedangkan
sumber luar negeri terdiri dari Prasasti Ligor (775) di Malaysia, Prasasti
Nalanda (860) di India dan berita−berita pendeta I−Tsing dari Cina. Prasasti
Kedukan Bukit menyatakan bahwa Dapunta Hyang mengadakan perjalanan suci
(sidhayarta) dengan perahu dan membawa 2.000 orang.
Prasasti Karang Berahi
menyatakan permintaan agar dewa menjaga Sriwijaya dan menghukum setiap orang
yang bermaksud jahat. Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuo, dan Telaga Batu yang ditemukan
di dekat Palembang menceritakan letak pusat Sriwijaya yang ada di dekat Palembang.
Prasasti Kota Kapur dan Karang Berahi yang ditemukan di Bangka dan Jambi menceritakan
wilayah kekuasaan Sriwijaya sampai ke Pulau Bangka dan Melayu.
Selain prasasti, sumber
sejarah tentang Kerajaan Sriwijaya dapat kita ketahui dari prasasti di Indocina
dan India serta catatan Cina dan Arab. Catatan Cina berasal dari I Tsing, rahib
Buddha. Sedangkan catatan Timur Tengah berasal dari Raihan Al Baruni. Sriwijaya
sebagai kerajaan bercorak Buddha dalam perkembangannya mampu berperan penting
sebagai:
(a) Pusat perdagangan internasional, peranan ini dimiliki oleh Sriwijaya
karena Sriwijaya berkembang sebagai kerajaan maritim, mempunyai kapal-kapal
dagang yang besar jumlahnya. Sriwijaya memiliki angkatan laut yang kuat serta posisi
strategis Sriwijaya yang berada di jalur perdagangan internasional.
(b) Tempat membina ilmu dan agama, menurut catatan pendeta I-Tsing
disebutkan bahwa untuk memperdalam ajaran agama Buddha sebelum pergi ke India,
para calon rahib terlebih dahulu mempersiapkan diri di Sriwijaya, dan untuk
mempertahankan peran Sriwijaya sebagai tempat memperdalam ajaran Buddha, raja
Balaputradewa mengirim pelajar-pelajarnya ke India untuk memperdalam ajaran
Buddha, hal ini dibuktikan dalam Prasasti Nalanda di India Selatan.
Ada dua kronik Cina yang
menggambarkan keberadaan Sriwijaya, yakni catatan masa Dinasti Tang dan catatan
I-Tsing. Dalam catatan Dinasti Tang disebutkan bahwa Sriwijaya telah beberapa
kali mengirimkan utusan ke Cina. Utusan itu datang tahun 971, 972, 974, 975,
980 dan 983 M. ketika hendak pulang, utusan itu tertahan di Kanton, Cina bagian
selatan, karena
negerinya sedang
berperang melawan Raja Jawa. Sementara catatan I-Tsing menyebutkan bahwa dalam
perjalanan ziarahnya ke India di tahun 672 M, ia singgah terlebih dulu di
Sriwijaya. Dari Sriwijaya, ia melanjutkan perjalanannya ke Melayu, Jambi, kemudian
ke India. Dalam perjalanan pulang, ia kembali singgah di Sriwijaya selama 5
tahun. Di sana, ia menerjemahkan kitab suci agama Buddha ke dalam bahasa Cina.
Diceritakan pula bahwa saat itu Melayu sudah menjadi wilayah Sriwijaya. Keunggulan
Sriwijaya sebagai pusat perdagangan dan pusa Buddha ditunjang oleh politik luar
negerinya yang cenderung diplomatis. Diplomasi ini dilaksanakan untuk
mengontrol hubungan dagang di wilayah Selat Malaka. Dengan sejumlah bandar
penting di daerahnya, Sriwijaya menawarkan jaminan perlindungan keamanan.
Tawaran itu dapat bersifat halus, dapat pula keras. Untuk itu, Sriwijaya
membangun armada maritim yang kuat. Diplomasi ini juga dilakukan untuk membentu
persekutuan dengan kerajaan tetangga. Dengan diplomasi seperti ini, Sriwijaya
mampu menanamkan pengaruhnya di sepanjang timur Sumatera, Semenanjung Melayu,
Kalimantan, dan Jawa Barat. Diplomasi ala Sriwijaya ini juga diarahkan untuk membendung
pengaruh Cina, India, dan Jawa di Selat Malaka. Untuk hubungan dagang dengan
Cina, Sriwijaya melakukannya dengan mengutus utusan secara teratur. Siasat ini dimaksudkan
untuk meminta perlindungan Cina dari serangan Jawa. Kerja sama antara Sriwijaya
dengan Cholamandala terbukti dengan adanya Piagam Besar Leiden. Piagam ini
adalah sebuah prasasti dari lempengan tembaga yang berasal dari India Selatan, ditulis
dalam bahasa Sansekerta dan Tamil.
Dari prasasti−prasasti
lain yang ditemukan, tidak diketahui siapa raja pertama Sriwijaya. Petunjuk
pertama tentang raja Sriwijaya baru ditemukan pada Prasasti Kedukan Bukit.
Dalam
prasasti ini disebutkan
bahwa pada masa pemerintahan Raja Dapunta Hyang, Sriwijaya berhasil memperluas
kekuasaannya hingga ke Jambi. Raja lain yang pernah memerintah Sriwijaya adalah
Balaputeradewa. Dalam masa pemerintahan Raja Balaputradewa ini, Sriwijaya
mengalami masa keemasan. Raja Balaputradewa meningkatkan kegiatan pelayaran dan
perdagangan. Ia juga menjalin hubungan yang baik dengan kerajaan−kerajaan di
luar negeri, seperti Kerajaan Benggala dan Chola di India. Bahkan pada masa
pemerintahan Balaputeradewa ini, Sriwijaya dikenal sebagai pusat perdagangan
dan penyebaran Buddha di Asia Tenggara. Raja Sriwijaya yang lain adalah
Sanggrama Wijayatunggawarman. Dalam masa pemerintahan raja ini, Sriwijaya
berhasil ditaklukkan oleh Kerajaan Chola. Raja Wijayatunggawarman berhasil
ditawan. Namun, pada masa Rajendracholadewa dari Cholamandala (1024 dan 1030),
Wijaya-tunggawarman dibebaskan kembali.
Sriwijaya mengalami
kemunduran pada abad ke−13. Saat itu, terjadi pengendapan yang sangat cepat di
muara Sungai Musi. Hal ini mengakibatkan pusat kota di Palembang semakin jauh dari
laut dan menjadikannya tidak strategis lagi sebagai pelabuhan pusat
perdagangan. Keadaan ini memperlemah perekonomian Sriwijaya. Apalagi Sriwijaya
semakin sulit mengontrol daerah kekuasaannya yang begitu luas karena kemampuan
militernya yang semakin merosot. Akibatnya, banyak daerah taklukan yang
melepaskan diri dari Sriwijaya. Pada masa ini, Sriwijaya juga mendapat banyak
serangan dari luar. Di antaranya serangan Dharmawangsa Teguh dari Jawa yang
terjadi tahun 992 M; serangan Rajendracholadewa dari
Cholamandala tahun 1024,
1030, dan 1068; serangan dari Kertanegara Singasari tahun 1275; dan serangan
Majapahit yang dipimpin Gajah Mada tahun 1377. Sriwijaya, menurut sebuah catatan
Cina, pada 1225 M, Palembang, ibukota Sriwijaya, telah dikuasai oleh Kerajaan
Melayu.
5.Melayu
Informasi tentang
Kerajaan Melayu, di sekitar Jambi, dapat dilihat dari catatan perjalanan
pendeta Buddha dari Cina, I-Tsing. Rahib ini mengadakan perjalanan dari Cina ke
India dan sebelum sampai ke India, ia sempat berdiam di Sriwijaya sekitar 6
bulan. Setelah singgah sebentar di Sriwijaya, I-Tsing kemudian menyempatkan diri
singgah di Mo-lo-yeou
(Melayu) sebelum
melanjutkan perjalanan ke India. Pada 685 M, I-Tsing kembali dari India dan singgah
lagi di Melayu yang ketika itu sudah dikuasai Sriwijaya. Pada waktu itu
Sriwijaya tengah jaya-jayanya berkat kekuatan maritimnya.
Pengaruh dari Sriwijaya
yang besar di sekitar Sumatera dan Semenanjung Melayu membuat corak agama dam
budaya Kerajaan Melayu pun Buddha. Melayu sempat menjalin hubungan
dengan Cina sebelun
dikuasai oleh Sriwajaya. Hal itu terbukti lewat sumber dari Cina, bahwa tahun
644 M ada utusan dari negeri Mo-lo-yeou ke Cina, dengan tujuan untuk
memperkenalkan hasil bumi rakyat Melayu sehingga terjalinlah hubungan
perdagangan dengan Cina. Melayu mengembangkan perekonomian melalui bidang
agraris. Hubungan dagang dengan Cina telah dimulai sejak abad ke-7 M.
Setelah Sriwijaya
mengalami kemunduran, Melayu kemudian melepaskan diri menjadi kerajaan merdeka.
Namun, kemudian Melayu berhasil dikuasai oleh Singasari dari Jawa melalui
ekspedisi Pamalayu yang dikirim oleh Raja Kertanegara yang bertujuan memperluas
wilayah taklukan Singasari. Akhirnya, pamor Melayu makin meredup. Setelah
Melayu di Jambi pamornya merosot, pusat pemerintahan berpindah ke Pulau
Singapura. Otomatis dengan pindahnya pusat pemerintahan, pusat kebudayaan pun
berpindah juga. Kerajaan Melayu-Singapura ini merupakan kerajaan Buddha-Hindu
terakhir di daerah Melayu. Pada abad ke-14 kerajaan ini dapat pulih kembali
setelah Majapahit mengalami keruntuhan. Namun, pada sisi lain Kerajaan
Melayu-Singapura ini akhirnya harus bersaing dengan kerajaan lain yang lebih
kuat, yaitu Samudera Pasai di Aceh yang beragama Islam.
6.Sunda dan Pajajaran
Berita tentang Kerajaan
Sunda terdapat pada Prasasti Sanghyang Ta p a k yang berhuruf Kawi bertahun 952
Saka (1050 M), yang ditemukan di Citatih, Cibadak, Sukabumi (diperkirakan se-zaman
dengan Airlangga di Jawa Timur). Disebutkan bahwa yang memerintah Sunda ketika
itu adalah Maharaja Jayabhupati yang
bergelar Sri Jayabhupati Jayamanahen Wishnumurti Samarawijaya Sakalabhuwana
Mandal Weswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa. Jayabhupati
disebutkan berkuasa di Praharyan Sunda dan beragama Waisnawa (Hindu-Wisnu). Dan
pada masa berikutnya, ibukota dipindahkan dari Pakuan ke Kawali, Ciamis.
Sementara itu, Kerajaan
Pajajaran banyak dibahas dalam babad atau kidung. Seperti Kidung Sunda, Sundayana,
Pararaton, Carita Parahiyangan, Babad Galuh, dan Babad Pajajaran. Kitab ini sebagian
memang disusun pada waktu Pajajaran masih ada. Namun, yang lainnya banyak
ditulis pada masa kemudian, ketika Pajajaran tinggal hanya nama. Nama Pajajaran
pun tertulis pada Prasasti Batutulis dan Prasasti Kebantenan. Prasasti Batutulis ditulis dengan bentuk
candrasangkala dan memakai bahasa Sunda Kuno, berbunyi:
1....ini sakakala Prabu Ratu Purana pun, di Wastu
2.diva dingaran Prabu Guru Dewataprana di Wastu dija dingaran
3.Sri Baduga, maharaja ratuhaji di Pakwan Pajajaran
4.dewata pun ya nu nyusuk na Pakwan, dija anak rahiyang
5.niskala sasida mokta di guna tiga, incu Rahiyang Niskala Wastu
6.Kancana sakakala mokta ka nusa larang ya siya nu nyiyan
7.sakakala gugunungan ngabalay ngiyan samida nyiyan sang hiyang talaga
8. rena maha wijaya ya siya pun, i saka panca pandawa ngemban bumi.
Prasasti ini dianggap
sebagai awal berdirinya Pajajaran. Ada pula yang beranggapan prasasti ini dibuat
pada masa Prabu Surawisesa yang berisi penghormatan terhadap jasa-jasa ayahnya,
Prabu Ratu Purana yang
telah wafat. Mengenai tahun berdirinya, ada yang menyebutkan 1225 Saka (1335
M), ada yang berpendapat 1445 Saka (1533 M). Belum ada ahli yang tahu pasti
kapan berdirinya Pajajaran dan siapa raja-raja yang memerintah. Setiap babad
menyebutkan nama-nama raja yang berlainan, meski ada pula nama-nama yang sama.
Kisah dalam kitab-kitab tersebut banyak yang bercampur dengan cerita-cerita
legenda.
Informasi Tambahan;
Dalam Carita Parahyangan terdapat nama
Sanjaya yang bergelar Rakryan Jambri. Padahal pada Prasasti Canggal, nama
Sanjaya disebut sebagai Raja Mataram Hindu. Dalam Babad Galuh dan Babad
Pajajaran disebutkan bahwa Ciung Wanara dan Nyai Purbasari (yang menikah dengan
Lutung Kasarung) adalah juga raja Pajajaran. Padahal, selama ini Ciung Wanara
dan Lutung Kasarung dianggap tokoh-tokoh rekaan, belum terbukti kebenarannya.
Raja−raja yang diketahui
memerintah Pajajaran adalah Maharaja Jayabhupati, Rahyang Niskala Wastu
Kencana, Rahyang Dewa Niskala, Sri Baduga Maharaja, Hyang Wuni Sora,
Prabu Surawisesa (catatan
Portugis menulisnya Samian, mungkin ucapan tak sempurna dari
Sanghyang), dan Prabu
Ratu Dewata. Dari prasasti Sanghyang Tapak diketahui bahwa raja
Maharaja Jayabhupati
menyebut dirinya Haji ri Sunda. Sebutan ini bertujuan untuk meyakinkan
kedudukannya sebagai raja Pajajaran. Disebutkan bahwa Jayabhupati memeluk Hindu
Waisnawa. Pada masa Jayabhupati, pusat Kerajaan terletak di Pakwan (Pakuan atau
Pakuwan) di Bogor yang kemudian dipindahkan ke Kawali.
Pengganti Jayabhupati
adalah Rahyang Niskala Wastu. Pusat kerajaan Pajajaran ketika masa pemerintahan
raja ini sudah di Kawali. Istananya bernama Surawisesa. Kemudian Rahyang Dewa Niskala
menggantikan Niskala Wastu. Namun tidak diketahu perkembangan Pajajaran dalam
masa pemerintahan raja ini. Raja Rahyang Dewa Niskala kemudian digantikan oleh
Sri Baduga Maharaja. Pada masa pemerintahan raja ini, terjadi Perang Bubat antara
pasukan Gajah Mada Majapahit dengan Pajajaran. Dalam pertempuran ini, semua
pasukan Pajajaran termasuk raja Sri Badug tewas terbunuh. Sepeninggalan Sri
Baduga, Pajajaran diperintahkan
oleh Hyang Wuni Sora,
kemudian berturut-turut oleh Prabu Niskala Wastu Kencana, Tohaan, dan Ratu Jaya
Dewata.
Raja Pajajaran yang
lainnya adalah Prabu Surawisesa. Dalam peninggalan sejarah disebutkan bahwa
Ratu Samian pernah berkunjung ke Malaka untuk meminta bantuan Portugis dalam rangka
menghadapi Demak yang ingin menguasai Sunda Kepala Namun, Sunda Kelapa sebagai
pelabuhan utama Pajajaran (konon lebih ramai dari pelabuhan Banten dan Cirebon)
akhirnya jatuh ke tangan pasukan Demak pimpinan Fatahillah ( Faletehan atau Fadillah
Khan
, menantu Sunan Gunung
Jati). Ratu Samian digantikan Prabu Ratu Dewata. Pada masa pemerintahan Ratu Dewata,
Pajajaran banyak mendapat serangan dari Kerajaan Banten yang dipimpin Maulana Hasanuddin. Akhirnya, Pajajaran runtuh
dan wilayahnya dikuasai Banten.
7.Mataram Kuno: Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra
Di Jawa Tengah pada abad
ke-8 M telah berdiri sebuah kerajaan, yakni Mataram. Mataram yang bercorak
Hindu-Buddha ini diperintah oleh dua dinasti (wangsa) yang berbeda, yaitu
Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra. Ibukota Mataram adalah Medang atau
Medang Kamulan hingga tahun 925. Pada Prasasti Canggal terdapat kata-kata “ Medang
i bhumi Mataram”. Namun, hingga sekarang letak pasti ibukota ini belum
diketahui (kecuali ada sebuah desa bernama Mendang di Purwodadi, Semarang).
memerintah dengan
bijaksana sehingga rakyat hidup makmur, aman, dan tenteram. Hal ini terlihat
dari Prasasti Canggal yang menyebutkan bahwa tanah Jawa kaya akan padi dan
emas. Selain pada Prasasti Canggal, nama Sanjaya juga tercantum pada Prasasti
Balitung.
Setelah Sanjaya, Mataram
diperintah oleh Panangkaran. Dari Prasasti Balitung diketahui bahwa Panangkaran
bergelar Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Raka i Panangkaran. Hal ini
menunjukkan bahwa Raka i Panangkaran berasal dari keluarga Sanjaya dan juga
keluarga Syailendra. Sepeninggal Panangkaran, Mataram Kuno terpecah menjadi
dua, Mataram bercorak Hindu dan Mataram bercorak Buddha. Wilayah Mataram-Hindu
meliputi Jawa Tengah bagian utara, diperintah oleh Dinasti Sanjaya dengan raja−rajanya
seperti Panunggalan, Wa r a k, Garung,
dan Pikatan. Sementara wilayah Mataram-Buddha meliputi Jawa Tengah bagian
selatan yang diperintah Dinasti Syailendra dengan rajanya antara lain Raja
Indra.
Perpecahan di Mataram ini
tidak berlangsung lama. Pada tahun 850, Raka i Pikatan dari Wangsa Sanjaya
mengadakan perkawinan politik dengan Pramodhawardhani dari keluarga Syailendra.
Melaui perkawinan ini, Mataram dapat dipersatukan kembali. Pada masa
pemerintahan Pikatan−Pramodhawardani, wilayah Mataram berkembang luas, meliputi
Jawa Tengah dan Timur. Pikatan juga berhasil mendirikan Candi Plaosan.
Sepeninggal Pikatan,
Mataram diperintah oleh Dyah Balitung (898 −910 M). Setelah Balitung,
pemerintahan dipegang berturut−turut oleh Daksa, Tulodong, dan Wa w a. Raja
Wawa memerintah antara tahun 924−929 M. Ia kemudian digantikan oleh menantunya
bernama Mpu Sindhok. Pada masa pemerintahan Mpu Sindhok inilah, pusat
pemerintahan Mataram dipindahkan ke Jawa Timur. Hal ini disebabkan semakin
besarnya pengaruh Sriwijaya yang diperintah oleh Balaputradewa. Selama abad
ke−7 hingga ke−9 terjadi serangan−serangan dari Sriwijaya ke Mataram. Hal ini
mengakibatkan Mataram semakin terdesak ke timur. Selain itu, adanya bencana
alam berupa letusan Gunung Merapi merupakan salah satu penyebab kehancuran
Mataram. Letusan gunung ini diyakini oleh masyarakat Mataram sebagai tanda
kehancuran dunia. Oleh karena itu, mereka menganggap letak kerajaan di Jawa
Tengah sudah tidak layak dan harus dipindahkan.
Dinasti Syailendra yang
bercorak Buddha mengembangkan berpusat di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan
Dinansti Sanjaya yang bercorak Hindu berpusat di Jawa Tengah bagian utara. Perbedaan
letak antara dua dinasti ini terlihat dari perbedaan arsitektur candi-candi
yang ada di Jawa Tengah bagian selatan dan utara. Berdasarkan Prasasti Canggal
(732 M) diketahui, raja pertama Mataram dari Dinasti Sanjaya adalah Raka i
Mataram Ratu Sanjaya
yang memerintah di
ibukota Medang Kamulan. Berdasarkan isi Prasasti Mantyasih (Kedu) terdapat
beberapa dari Wangsa Sanjaya yang memerintah di kemudian hari.
Antara Wangsa Syailendra
dengan Sanjaya terjadi persaingan, namun kedua wangsa tersebut sempat menjalin
hubungan baik. Pada abad ke-9 terjadi perkawinan antara Raka i Pikatan dari Sanjaya
dengan Pramodawardhani dari Syailendra. Perkawinan ini mendapat tentangan dari
Balaputeradewa, adik Pramodawardhani. Setelah bertikai dengan Pikatan dan
kalah, Balaputeradewa kemudian melarikan diri ke Sriwijaya, dan menjadi raja di
sana, karena Balaputeradewa memunyai darah Sriwijaya dari ibunya, Dewi Tara,
yang merupakan keturunan Sriwijaya. Sedangkan Raka i Pikatan yang berhasil
menyingkirkan Balaputradewa mendirikan Candi Roro Jonggrang (Prambanan) yang
bercorak Siwa.
Rakai Pikatan dan
Pramodawardhani yang berbeda agama ini banyak mendirikan bangunan yang bercorak
Hindu maupun Buddha. Raka i Pikatan mendirikan Candi Loro Jongrang sedangkan
Pramodarwadhani sangat memperhatikan Candi Borobudur di Bumisambhara yang
dibangun oleh ayahnya, yaitu Samaratungga
pada 842 M.
Susunan raja-raja yang
memerintah di Mataram berdasarkan Prasasti Balitung (Mantyasih) adalah: Raka i
Mataram Ratu Sanjaya, Raka i Tejah Purnapana Panangkaran, Raka i Panunggalan,
Raka i Warak, Raka i Garung Patapan, Raka i Pikatan, Raka i Kayuwangi, Raka i
Watukumalang, Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu, Daksa, Tulodhong, Wawa,
dan Sindhok.
Prasasti ini dibuat oleh
Dyah Balitung yang memerintah dari 898 hingga 910. Setelah Sindok menjadi raja
(929), pusat-pusat pemerintahan Mataram dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Pemindahan ini dikarenakan pusat kerajaan mengalami kehancuran akibat letusan
Gunung Merapi. Mpu Sindok kemudian mendirikan dinasti baru yaitu Dinasti Isana.
Ia memerintah hingga tahun 949. Pengganti Mpu Sindok yang terkenal adalah Dharmawangsa
yang memerintah 990−1016. Dharmawangsa pernah berusaha untuk mengalihkan pusat perdagangan
dari Sriwijaya pada 990, akan tetapi mengalami kegagalan karena Sriwijaya gagal
ditaklukkan.
Pada tahun 1016
Dharmawangsa dan keluarganya mengalami pralaya (kehancuran) akibat serangan
dari Sriwijaya yang bekerja sama dengan kerajaan kecil di Jawa yang dipimpin
Wurawari. Akibat serangan ini kerajaan Dharnawangsa mengalami kehancuran.
Menantu Dharmawangsa yang bernama Airlangga kemudian membangun kembali
kerajaan, dan pada tahun 1019 ia dinobatkan menjadi raja. Keberhasilan
Airlangga membangun kerajaan diabadikan dalam karya sastra Mpu Kanwa yaitu
Arjuna Wiwaha. Pada 1041 Airlangga membagi dua kerajaan menjadi Janggala dan
Panjalu.
8.Medang Kamulan (Kahuripan)
Medang Kamulan dapat
dikatakan sebagai kelanjutan Mataram karena ia tak lain adalah ibukota Mataram.
Nama kamulan bisa dianggap sebagai perubahan kata “kamulyaan” atau “kemulian”. Namun,
sebagian ahli berpendapat, Medang Kamulan adalah ibukota Kediri atau Jenggala.
Adapula yang menyebutnya Kerajaan Kahuripan. Pada masa Medang Kamulan inilah
terjadi perpindahan kekuasaan politik dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, setelah Mataram
hancur karena letusan Gunung Merapi. Pergeseran peta kekuasaan ini pada
perkembangannya sangat menentukan sejarah perpolitikan di Jawa khususnya.
Medang Kamulan dibangun oleh keturunan raja Mataram. Namanya Mpu Sindhok,
pendiri Dinasti Isana. Dinasti Isana ini memerintah Medang Kamulan selama satu abad
sejak 929 M.
Ada dua prasasti yang
mengisahkan Medang Kamulan, yakni Prasasti Mpu Sindhok, menceritakan masa
pemerintahan Mpu Sindhok; dan Prasasti Kalcutta, menceritakan awal mula
silsilah Dinasti Isana sampai zaman pemerintahan Airlangga. Mpu Sindhok
bergelar Sri Maharaja Raka i Hino Sri Isana Wikrama Dharmatunggadewa.
Raja ini memerintah selama 20 tahun. Ia memiliki seorang permaisuri, bernama Sri Wardhani Pu Kbin. Menurut berita
prasasti, Sindhok memerintah dengan adil dan rakyatnya makmur.
Salah satunya prestasi
Sindhok adalah membangun sebuah bendungan sebagai tanggul dan menanami
bendungan tersebut dengan ikan. Meski beragama Hindu-Siwa, Mpu Sindhok bertoleransi
terhadap agama Buddha. Salah satu kitab umat Buddha berjudul Sang Hyang
Kamahayanikan diterbitkan pada masa pemerintahannya. Mpu Sindhok digantikan Sri
Isana Tunggawijaya, puteranya. Setelah Tunggawijaya, Medang Kamulan diperintah
oleh Dharmawangsa Teguh, cucu Mpu Sindhok. Dharmawangsa Teguh adalah raja
Medang Kamulan yang paling tersohor. Semasa pemerintahannya, Teguh berusaha
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan mengembangkan pertanian dan
perdagangan. Namun, usahanya ini terhambat oleh Sriwijaya yang ingin menguasai
perdagangan Jawa dan Sumatera.
Untuk merebut perairan
Selat Malaka dari dominasi pedagang-pedagang Sriwijaya, Teguh mengirimkan
tentaranya pada 1003 M, namun tidak berhasil. Bahkan Sriwijaya mampu memukul
balik Medang Kamulan. Kekalahan Medang Kamulan atas Sriwijaya ini bermula dari
pemberontakan penguasa Wurawuri. Awalnya, Wurawuri merupakan kerajaan kecil
bawahan Medang Kamulan. Namun karena dihasut orang-orang Sriwijaya, raja
Wurawuri nekad mengudeta pemerintahan Medang Kamulan. Gerakan Wurawuri ini
terjadi ketika di Medang Kamulan sedang dilangsungkan pesta pernikahan
Airlangga dengan puteri Dharmawangsa Teguh. Airlangga adalah putera Raja Bali
Udayana dengan Mahendradatta (saudari Dharmawangsa Teguh). Peristiwa berdarah
ini dinamai Pralaya Medang. Medang Kamulan hancur dan Dharmawangsa tewas.
Pralaya atau perlaya berarti “runtuh” atau “mati”.
Airlangga sendiri
berhasil meloloskan diri bersama para pengikutnya yang setia, Narottama. Dalam
pelariannya, Airlangga diterima oleh para brahmana yang bersimpati. Kemudian, Airlangga
digembleng oleh para brahmana itu. Airlangga lalu dinobatkan menjadi raja
Medang Kamulan pada 1019 M, pusat pemerintahan pun beralih ke Kahuripan.
Sebagai mantu sekaligus kemenakan Dharmawangsa, Airlangga merasa berkewajiban mengembalikan
kewibawaan Medang Kamulan. Ia berhasil menaklukkan raja-raja yang dulu merupakan
bawahan Medang. Raja Bisaprabhawa ditaklukkan tahun 1029, Raja Wijayawarman dari
Wengker ditundukkan tahun 1030, Raja Adhamapanuda ditaklukkan tahun 1031. Raja
Wurawari, musuh bebuyutannya, ditaklukkan tahun 1035.
Setelah menundukkan
raja-raja kecil itu, Airlangga memindahkan ibukota ke wilayah Kahuripan di Jawa
Timur. Ia juga memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh di muara Sungai Brantas. Pada
masa Airlangga, Pelabuhan Tuban (Kembang Putih) dan Hujung Galuh merupakan
pelabuhan dagang yang ramai. Dua pelabuhan ini merupakan tempat transit dan
bertemunya para pedagang pribumi dengan pedagang mancanegara, seperti dari
India, Birma, Kamboja, dan Campa.
Setelah menjadi raja,
Airlangga tidak melupakan jasa-jasa para brahmana yang telah menggembengnya
dulu. Sebagai balas jasa, ia membangun candi dan asrama sebagai tempat
beribadah para brahmana di daerah Pucangan. Tak lupa pula, Airlangga membangun
Waduk Waringin Sapta sebagai pencegah banjir dan mengairi lahan pertanian. Ia
pun membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir pantai ke pusat
Kerajaan. Berkatnyalah, Medang Kamulan mencapai keemasannya. Kisah hidup
Airlangga kemudian dituturkan dalam Kitab Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa.
Airlangga memutuskan
mundur sebagai raja. Ia memilih menjadi seorang pertapa dengan sebutan Resi
Gentayu. Ia meninggal pada 1049 M dan disemayamkan di Gunung Penanggungan, di
sekitar Komplek Candi Belahan. Pewari takhta Medang Kamulan seharusnya adalah
puteri Airlangga yang lahir dari permaisuri, yakni Sri Sanggramawijaya. Namun, karena
Sanggramawijaya juga memilih hidup menjadi pertapa, takhta beralih kepada
putera Airlangga dari selir. Untuk mencegah kemungkinan perang saudara, Mpu
Bharada, seorang petinggi istana, membagi Medang Kamulan menjadi dua; Panjalu
(disebut juga Kediri) dan Janggala. Panjalu diberikan kepada Samarawijaya
dengan ibu kota Daha, sementara Jenggala diberikan kepada Panji Garasakan
dengan ibu kota Kahuripan. Wilayah Jenggala meliputi hampir sebagian Jawa
Timur, wilayah Kediri (Panjalu) mencakupi Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah.
Dengan demikian, berakhirlah Medang Kamulan dan Dinasti Isana.
9.Bali
Informasi tentang
Kerajaan Bali diperoleh dari Prasasti Blanjong dekat daerah Sanur. Prasasti ini
menerangkan bahwa raja yang memerintah adalah Raja Ugratha, dinastinya bernama Warmadewa. Ugratha kemudian digantikan Raja Tabandra Warmadewa yang
memerintah dari tahun 877 hingga 889. Dengan demikian, lahirnya Kerajaan Bali
berbarengan dengan masa jayanya Mataram Hindu-Buddha.
Raja Bali selanjutnya
adalah Udayana. Berdasarkan namanya Udayana diduga merupakan raja yang besar
wibawa dan pengaruhnya. Udayana berarti “penyampai wahyu”, seperti matahari
yang memberikan sinar terang kepada umat manusia. Udayana menikah dengan Mahendradatta
(ada yang menyebutnya Sri Gunaprya
Darmapatni), saudara perempuan Darmawangsa Teguh dari Medang Kamulan di
Jawa Timur. Perkawinan mereka membuahkan beberapa putra: Airlangga, Marakata, dan
Anak Wungsu. Airlangga sebagai anak
sulung menikahi salah seorang puteri Raja Darmawangsa Teguh (Airlangga
mengawini sepupunya sendiri). Setelah Dharmawangsa tewas akibat pemberontakan Wura-wuri,
Airlangga mengambil alih kekuasaan Medang Kamulan dan memindahkan ibukota ke
Kahuripan.
Setelah meninggal Udayana
dimakamkan di Banuwka, ia digantikan oleh puteranya, Dharmawangsa Marakata.
Marakata wafat pada tahun 1025 M dan dimakamkan di Camara di kaki Gunung Agung.
Sedangkan ibunya, Mahendradatta, wafat pada tahun 1010 dan dimakamkan di Burwan
dekat Gianyar yang diarcakan sebagai Dewi Durga.
Sepeninggal Marakata,
takhta Bali dipegang oleh Anak Wungsu, adiknya. Anak Wungsu mulai memerintah
pada 1049. Selama pemerintahannya, ia meninggalkan 28 buah prasasti, di
antaranya Prasasti Gua
Gajah, Gunung Penulisan, dan Sangit. Menurut pemberitaan prasasti-prasasti
tersebut, Anak Wungsu dicintai rakyatnya dan dianggap penjelmaan Dewa Wisnu. Ia
memerintah selama 28
tahun, sampai tahun 1077, dan wafat pada tahun 1080 M dan dimakamkan di Candi
Padas Tampaksiring.
Anak Wungsu kemudian
digantikan oleh Sri Maharaja Wa l a p r a b u yang diduga memerintah tahun
1079-1088. Berbeda dengan raja-raja Bali sebelumnya yang memakai gelar Sang Ratu atau Paduka Haji, Walaprau malah
menggunakan gelar Sri Maharaja yang
berbau Sansekerta. Raja
yang terkenal dari Bali adalah Jayapangus
yang berkuasa dari tahun 1177 hingga 1181. Sebanyak 35 prasasti tentang
Jayapangus telah ditemukan. Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Jayapangus
dibantu oleh dua orang permasyurinya, yaitu
Sri Prameswari Indujaketana
dan Sri Mahadewi Sasangkajacinhna. Kitab yang digunakan sebagai hukum adalah Manawakamandaka,
yang sering disebut pula Manawasasana Dharma.
Raja Bali yang terakhir
adalah Paduka Bhatara Parameswara Sri Hyang ning Hyang Adedewalancana
(1260-1324). Tahaun 1282, Bali diserang oleh raja Singasari, Kretanegara.
Setelah itu Bali berada dalan kekuasaan Majapahit. Pada masa runtuhnya Majapahit
banyak bangsawan, pendeta, pedagang, seniman, dan rakyat lainnya yang pindah ke
Bali untuk menghindari islamisasi di Jawa. Maka dari itu, hingga sekarang
mayoritas penduduk Bali penganut Hindu sebagai pengaruh Majapahit yang Hindu. Masyarakat
Bali mayoritas penganut Hindu kemudian Buddha. Pada masa pemerintahan Anak
Wungsu, perdagangan cukup maju. Pada saat itu, telah dikenal adanya pedagang (saudagar)
laki-laki yang disebut
Wanigrama dan pedagang
wanita yang disebut wanigrami.
10. Kediri
Sepeninggal Airlangga,
Medang Kamulan dibagi dua. Kediri diperintah Samara Wijaya , Jenggala diperintah Panji Garasakan. Tidak banyak informasi
mengenai pemerintahan Samarawijaya. Data sejarah menyebutkan raja yang
berikutnya bernama Sri Bameswara. Raja
ini banyak meninggalkan prasasti. Namun, tidak banyak informasi dari prasasti-prasasti
tersebut kecuali perihal kehidupan keagamaan saja. Pada perkembangan
selanjutnya, kedua kerajaan tersebut tidak dapat hidup berdampingan secara
damai. Terjadilah perang saudara yang berlangsung hingga 1052. Semula Jenggala
menang, namun Jenggala berhasil ditaklukkan oleh Samarawijaya raja Kediri.
Dengan demikian, Kediri berhak memimpin kekuasaan. Pengganti Bameswara adalah Jayabay. Di bawah pemerintahahnya, Kediri
berhasil menguasai kembali Janggala yang sempat memberontak kembali karena
ingin memisahkan diri. Keberhasilannya
ini mengingatkan orang pada keberhasilan Airlangga mempersatukan Medang Kamulan
yang sempat tercerai berai. Itulah sebabnya Jayabaya dianggap sama dengan
Airlangga yang juga dianggap sebagai penjelmaan Dewa Wisnu dan
mengenakan lencana
narasingha.
Jayabaya, bergelar Sri Maharaja
Sri Warmeswara, memerintah Kediri cukup lama, dari 1057-1079 Saka atau
1135-1157 M. Raja selanjutya adalah Sarweswara (1160−1170), Aryeswara (1170−1180),
Sri Gandra (1180−1190), Sringga Kameswara (1190−1200), dan Kertajaya (1200−1222).
Raja Kediri umumnya dibantu oleh 4 orang menteri, 300 orang pegawai administrasi,
dan 1.000 orang sebagai pegawai yang mengurus perbendaharaan keuangan,
pertahahan, dan administrasi. Untuk menjaga keamanan, diangkat pula para
panglima dengan prajurit berjumlah 30.000 orang. Di bawah pemerintahan
Jayabaya, Kediri mencapai puncak
kejayaannya. Jayabaya
dikenal sebagai raja yang besar dan bijaksana. Ia juga dikenal sebagai
pujangga. Karya Jayabaya yang hingga kini sangat dikenal adalah Jangka
Jayabaya, yang berisi ramalan Jayabaya tentang masa depan Jawa dan datangnya
sang Ratu Adil yang akan menghantarkan rakyat Jawa pada masa keemasannya
kembali. Raja terakhir Kediri adalah Kertajaya. Kekuasaan Kertajaya berakhir
setelah dikalahkan Ken Arok dari Tumapel
tahun 1222. Pertempuran ini berawal ketika para biksu Buddha Kediri
dikejar-kejar Kertajaya karena mereka kecewa terhadap kebijakan Kertajaya yang mengintimidasi umat Buddha.
Para biksu tersebut lalu datang ke Tumapel untuk meminta perlindungan Ken Arok,
penguasa (akuwu) Tumapel. Ken Arok mengabulkan permintaan mereka. Kertajaya
meminta Ken Arok agar menyerahkan para rahib itu, namun ditolaknya. Terjadilah
pertempuran di desa Ganter, Kertajaya berhasil dibunuh Ken Arok. Dengan meninggalnya
Kertajaya, hancurlah Kediri.
11. Singasari
Singasari didirikan
sekitar tahun 1222 M oleh Ken Arok. Ini berawal dari keberhasilan Ken Arok
menggulingkan Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung. Akuwuini jabatan yang
diperkirakan setara dengan lurah sekarang. Setelah Ametung dibunuh, Ken Arok
kemudian menggantikan jabatan akuwu tersebut. Perlu diketahui, untuk membunuh
Ametung, Ken Arok menggunakan keris buatan Mpu Gandring. Namun, nasib Mpu
Gandring pun naas: ia dihabisi Ken Arok dengan keris buatannya sendiri, sebelum
digunakan Ken Arok membunuh Ametung.
Setelah mengalahkan
Kertajaya dalam pertempuran di Desa Ganter, Ken Arok lalu menjadikan Tumapel
sebagai basis kekuatan militernya guna menguasai Kediri yang ditinggal mati
oleh rajanya. Kekosongan politik di Jawa Timur ini tak disia-siakan oleh Ken
Arok. Ia pun memproklamasikan berdirinya kerajaan baru, Singasari. Janda
Tunggul Ametung, Ken Dedes, kemudian dinikahi
oleh Ken Arok; perkawinan ini menghasilkan seorang anak lelaki. Sebelum
menikahi Ken Dedes, Arok pun memiliki istri bernama Ken Umang yang membuahkan putera bernama Tohjaya.
Dari Ametung sendiri, Ken Dedes melahirkan putera bernama Anusapati. Sumber
sejarah yang memuat Singasari di antaranya adalah Negarakretagama dan Pararaton
(Kitab Raja−Raja). Kedua kitab ini berisi sejarah raja
−raja Jawa hingga
Singasari. Disebutkan bahwa raja−raja Majapahit adalah keturunan raja−raja
Singasar seperti juga raja-raja Kediri dan Mataram Kuno. Selain kedua kitab
tersebut, prasasti dan candi yang dibuat pada masa berdirinya Singasari
menceritakan banyak hal tentang kehidupan masyarakat Singasari. Catatan dari
Cina yang sejak abad pertama telah
berhubungan dagang dengan
kerajaan−kerajaan Jawa juga menjadi sumber sejarah Singasari yang penting.
Dalam Pararaton disebutkan raja−raja yang pernah memerintah Singasari adalah: Ken
Arok (1222−1227), Anusapati (1227−1248), Tohjaya (1248) Ranggawuni (1248−1268),
dan Kertanegara (1268−1292).
Setelah menjadi raja, Ken
Arok bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwahbumi. Dalam masa pemerintahannya,
Singasari berkembang menjadi sebuah kerajaan yang besar. Namun pemerintahan Ken
Arok tidak berlangsung lama, hanya lima tahun. Pada tahun 1227, Ken Arok
dibunuh oleh anak tirinya yang bernama Anusapati. Abu jenazah Ken Arok kemudian
disimpan di Candi Kagenengan di selatan Singasari
Info
Tambahan;
Menurut
cerita tutur, Ken Arok adalah anak angkat dari sepasang suami istri yang telah
tua dan miskin. Diceritakan pula bahwa ketika remaja Ken Arok adalah seorang
perampok yang baik hati. Ia selalu merampok bangsawan dan orang-orang kaya
untuk kemudian hasil rampokannya itu diberikan secara cuma-cuma kepada
masyarakat miskin. Setelah dewasa ia bekerja di Tunggul Ametung sebagai
pembantu. Bila di Inggris, Ken Arok ini dapat disamakan dengan legenda Robinhood.
Setelah membunuh
Ken Arok, Anusapati
menggantikan kedudukannya sebagai raja. Kekuasaan Anusapati berakhir
pada 1248, ia dibunuh ketika sedang beradu ayam (Anusapati dikenal dengan
kegemarannya beradu ayam). Yang membunuh Anusapati adalah orang suruhan
Tohjaya. Tohjaya melakukan ini sebagai balas dendam atas kematian ayahnya,
Arok. Anusapati kemudian dimakamkan di Candi Kidal, tenggara Malang. Raja
Singasari berikutnya adalah Tohjaya. Diceritakan bahwa banyak di antara para
pejabat Singasari yang kurang simpati dengan Tohjaya karena ia bukan berasal
dari keluarga istana, meskipun anak dari Ken Arok. Tohjaya memegang pemerintahan
Singasari tidak lama. Ia dibunuh oleh anak dari Anusapati bernama Ranggawuni.
Tohjaya kemudian dimakamkan di Katang Lumbang, selatan Pasuruan (Panarukan).
Ranggawuni naik tahta Singasari dengan gelar Srijaya Wisnuwardhana. Dalam
menjalankan pemerintahan, ia didampingi oleh Mahesa Campaka (cucu Ken Arok- Ken
Dedes) yang bergelar Narasinghamurti. Campaka ini berperan sebagai
ratu angabaya (wakil
raja). Mereka memerintah bersama-sama. Kepemimpinan mereka dilambangkan sebagai
kerja sama Dewa Wisnu-Dewa Indra. Ranggawuni juga mengangkat putera sendiri,
Kertanegara, sebagai Yu w a r a j a atau Kuwararaja (raja muda). Pada tahun 1268,
Ranggawuni wafat, abunya dimakamkan di dua tempat yaitu di Weleri dekat Blitar
sebagai Dewa Siwa dan di Candi Jago sebagai Sang Buddha. Ia digantikan oleh
putranya yang bernama Kertanegara yang bergelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Kertanegara
berarti “pemersatu dua negara” karena ibunya merupakan puteri Kediri, sedangkan
ayahnya (Ranggawuni) dari Jenggala. Pada masanya, Singasari mencapai kejayaan.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Kertanegara dibantu oleh tiga orang mahamantri,
yaitu rakryan i hino, rakryan i sirikan, dan rakryani halu. Di bawah ketiga
mahamantri ini terdapat pula tiga orang pejabat: rakryan apatih, rakryan demung,
dan rakryan kanuruhan. Sementara soal keagamaan, diangkat pejabat yang disebut dharma
dhyaksa ring kasogatan untuk urusan agama Buddha, sedangkan dharmadyaksa ring
kasaiwan untuk umat Siwa. Untuk mengatasi masalah dalam negeri, Kertanegara melakukan
beberapa kebijakan. Di antaranya, ia mengganti atau memindahkan pejabat− pejabat
kritis terhadap kebijakan Raja yang tidak loyal kepadanya, seperti Patih Raganatha yang digantikan oleh Aragani. Demikian pula Arya Wiraraja yang
dipindahkan ke Sumenep, Madura. Selain itu, Raja Kertanegara juga memberi penghargaan
dan kedudukan yang terhormat kepada lawan−lawan politiknya. Misalnya, Jayakatwang
diangkat menjadi adipati Kediri, Ardaraja anak Jayakatwang dijadikan
menantunya, serta Raden Wijaya keturunan Mahisa Cempaka juga dijadikan menantunya.
Di bawah Kertanegara,
Singasari melakukan ekspansi luar negeri bernama Pamalayu tahun 1275, yakni
sebuah invasi militer yang bertujuan menaklukkan daerah-daerah di Sumatera dan Semenanjung
Melayu yang belum tunduk. Ekspedisi ini dipimpin oleh Kebo Anabrang. Dalam
ekspedisi tersebut, kerajaan Melayu berhasil ditaklukkan pada tahun 1260. Sebagai
bukti bahwa ia telah menaklukkan Kerajaan Melayu adalah ditemukannya patung Amoghapasha
di Jambi, tepatnya di Padangroco di sekitar Sungai Langsat yang berangka tahun
1286. Dituliskan, patung Amoghapasha beserta 14 patung lainnya dikirim ke Swarnabhum (Sumatera) dari Bhumijaw (Jawa)
atas perintah Sri Kertanegara Wikrama Dharmottunggadewa. Ketika itu, ibukota
Melayu berkedudukan Jambi. Dengan tunduknya Melayu, pengaruh budaya Jawa dari
Singasari pun menyebar di Semenanjung Melayu dan Sumatera. Orang Melayu dan
Sumatera pun mulai mengena kisah-kisah pewayangan.
Pada tahun 1289, datang
seorang utusan dari kaisar Cina Kubilai Khan, bernama Meng Chi
, ke Singasari untuk
mengakui kekuasaan Mongol. Keinginan Kubilai Khan itu ditolak oleh
Kertanegara dengan cara
merusak muka sang utusan, Meng Chi. Kubilai Khan tidak terima penolakan
Kertanegara tersebut, lalu mengirimkan tentaranya ke Jawa untuk menghukum Kertanegara.
Tetapi ketika tentara itu datang, Kertanegara sudah tidak berkuasa lagi.
Banyaknya pasukan
Singasari yang ke Melayu menyebabkan pertahanan dalam negeri Singasari menjadi
lemah. Hal ini dimanfaatkan oleh para musuh Kertanegara untuk merebut kekuasaan.
Pada 1292, Jayakatwang dari Kediri menyerang Kertanegara. Dalam serangan
Jayakatwang yang mendadak itu, Kertanegara bersama pembesar lainnya tewas.
Namun, keempat putri Kertanegara dan menantunya, Raden Wijaya selamat. Jenazah
Kertanegara kemudian dimakamkan di dua tempat, yaitu di sebuah candi di dekat
Tretes, Malang, dan di Candi Singasari dekat Malang. Kertanegara diabadikan
sebagai arca Joko Dolok.
12. Majapahit
Kerajaan Hindu-Buddha
yang terakhir dan terbesar di Jawa adalah Majapahit. Kerajaan ini terletak di
sekitar Sungai Brantas, dengan pusat di hutan Tarik di Desa Trowulan,
Mojokerto, Jawa Timur. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Wijaya, menantu Kertanegara,
sekitar tahun 1293 M. Setelah berhasil lolos dari maut penyerangan Kediri, ia
bersama para bangsawan Singasari lain yang setia seperti Nambi, Lembu Sora, Ronggo
Lawe, dan Kebo Anabrang, kemudian meminta bantuan kepada Arya Wiraraja, yang
sebelumnya adalah pejabat Singasari yang oleh Kertanegara dijadikan bupati di
Sumenep, Madura. Atas anjuran Aria Wiraraja, Bupati Sumenep, Wijaya disarankan
menyerahkan diri kepada Jayakatwang. Atas jaminan Wiraraja pula Wijaya diterima
di Kediri. Raden Wijaya oleh Jayakatwang diperbolehkan membuka sebuah hutan
untuk dijadikan desa baru, yakni Tarik. Setelah dibuka, hutan ini disulap menjadi
desa tempat membina kekuatan militer oleh Wijaya guna membalas dendam terhadap Kediri.
Kemudian hutan Tarik ini dinamai Majapahit. Sejarah Majapahit ini dapat
diketahui dari Pararaton dan Sutasoma karangan Mpu Tantular, Negarakretagama karangan
Prapanca, berita Cina Ying−Yai Sheng Lan, serta Prasasti Kudadu.
Dua tahun setelah
pemberian hutan Tarik kepada Wijaya dan kawan-kawan, datanglah tentara Kubilai
Khan dari Mongolia yang mendarat di Tuban dan Surabaya. Kedatangan tentara Kubilai
Khan ke Jawa ini bertujuan untuk menghukum Kertanegara, raja Singasari, yang
telah memotong telinga utusannya. Kedatangan tentara Kubilai Khan ini memberi kesempatan
kepada Raden Wijaya untuk merebut kekuasaan dari Jayakatwang. Melalui muslihat
yang cerdik, Wijaya lalu mengajak pasukan Mongol yang baru mendarat di Tuban.
Pasukan Mongol yang tak tahu bahwa Kertanegara telah tiada, dengan mudah
diliciki oleh Wijaya bahwa Kediri seolah-olah adalah Singasari dan Jayakatwang
adalah Kertanegara. Pasukan Mongol mempercayai saja ucapan Wijaya. Lalu
terjadilah peristiwa yang diharapkan
oleh Wijaya: pasukan
Mongol kemudian menyerang Kediri dan merebutnya. Pasukan Wijaya pun bergabung
dengan tentara Kubilai Khan dalam menghancurkan Kediri dan Jayakatwang.
Dalam penyerangan ini
Jayakatwang tewas terbunuh.
Raden Wijaya kemudian
berbalik menyerang pasukan Kubilai Khan. Ia berhasil mengusir tentara Kubilai
Khan ini kembali ke negerinya. Raden Wijaya kemudian mendirikan kerajaan baru
yang diberi nama Majapahit. Raja−raja yang memerintah Majapahit di antaranya:
Raden Wijaya (1293−1309), Sri Jayanegara (1309−1328), Tribhuwanatunggadewi
(1328−1350), Hayam Wuruk (1350−1389),
dan Wikramawardhana (1389−1429).
Raden Wijaya naik tahta pada tahun 1293 M. Raden Wijaya bergelar Kertajasa Jayawardhana.
Gelar Kertarajasa dipakai karena Raden Wijaya masih keturunan Ken Arok. Raden
Wijaya mengawini keempat putri Kertanegara yaitu Tribhuwana, Narendraduhita, Prajnaparamita,
dan Gayatri (Rajapatni). Selain keempat putri
Kertanegara, Wijaya juga
mengawini Dara Petak, putri boyongan dari Melayu.
Raden Wijaya memerintah
dengan bijaksana sehingga keadaan kerajaan menjadi aman dan tenteram. Raden
Wijaya tidak lupa atas jasa para pembantunya yang telah ikut mendirikan Majapahit.
Aria Wiraraja diberi kedudukan sebagai penasihat. Ia berkedudukan di daerah
Lumajang dan Blambangan. Nambi diangkat menjadi Rakyan Mapatih. Lembu Sora
diangkat sebagai patih di Daha. Kebo Anabrang diangkat sebagai panglima perang Kerajaan
Majapahit. Sementara Ranggalawe diangkat sebagai menteri perkembangan
Majapahit. Pada masa Raden Wijaya sempat terjadi pemberontakan yang dipimpin
oleh sahabat−sahabat dekat raja yang merasa tidak puas dengan jabatannya, di
antaranya oleh Lembu Sora, Nambi, dan Ranggalawe. Namun pemberontakan−pemberontakan
ini akhirnya dapat dipadamkan. Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 dan
dimakamkan di Candi Simping di Blitar sebagai Siwa dan
Wisnu serta di Antapura
sebagai Buddha. Sepeninggal Raden Wijaya pemerintahan di pegang oleh puteranya
yang bernama Kala Gemet yang bergelar Sri Jayanegara. Tidak seperti ayahnya,
Jayanegara dikenal sebagai raja yang tidak bijaksana dan lebih suka
bersenang-senang. Oleh karena itu, banyak pembantunya merasa tidak puas dan
melakukan pemberontakan, di antaranya pemberontakan yang dilakukan Juru Demung
(1313), Wandana dan Wagal (1314), Nambi (1316), Semi (1318), dan Kuti (1319).
Di antara pemberontakan tersebut, yang dianggap paling berbahaya adalah
pemberontakan Kuti. Pada saat itu, pasukan Kuti berhasil menduduki ibu kota
negara. Jayanegara terpaksa menyingkir ke Desa Badander di bawah perlindungan
pasukan Bhayangkara pimpinan Gajah Mada. Gajah Mada kemudian menyusun strategi
dan berhasil menghancurkan pasukan Kuti. Atas jasa-jasanya, Gajah Mada
diangkat sebagai patih
Kahuriapn (1319−1321) dan patih Kediri (1322−1330). Pada 1328, Jayanegara
meninggal. Abu jenazahnya dimakamkan di Sela Petak dan di Bubat sebagai Wisnu
serta di Sukalila sebagai Buddha Amoghsidi. Jayanegara tidak memiliki anak.
Oleh karena itu, kekuasaan Majapahit diberikan kepada Gayatri, putri
Kertanegara dan janda Raden Wijaya yang masih hidup. Namun karena lebih memilih
sebagai biksuni, tahta kemudian diserahkan kepada putri Gayatri, Tribhuwana-tunggadewi.
Tribhuwanatunggadewi memerintah Majapahit bersama suaminya yang bernama
Kertawardhana. Menurut Negarakertagama disebutkan
bahwa pada masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi ini sering terjadi
pemberontakan. Di antaranya: pemberontakan Sadeng dan Kuti tahun 1331.
Pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Berkat jasanya, Gajah Mada kemudian
diangkat menjadi mahapatih di Majapahit menggantikan Arya Tadah. Dalam upacara
pelantikan sebagai mahapatih, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya: tidak akan berhenti
sebelum berhasil menyatukan Nusantara di bawah panji-panji Majapahit. Sumpah
ini dikenal dengan “Sumpah Amukti Palapa”. Untuk mewujudkan cita-citanya ini,
Gajah Mada
membangun armada laut
yang kuat di bawah pimpinan Laksamana Nala. Pada 1343, dengan bantuan Adityawarman,
Gajah Mada berhasil menaklukan Bali. Adityawarman kemudian diangkat sebagai
penguasa Melayu. Selanjutnya, pasukan Gajah Mada menguasai Sriwijaya, Tumasik,
dan semenanjung Melayu di wilayah barat. Seram, Guam, dan Dompu di wilayah
timur juga berhasil dikuasainya. Pada 1350, Tribhuwanatunggadewi turun tahta
dan digantikan oleh putranya yang bernama Hayam Wuruk. Ketika itu, Hayam Wuruk
berusia 16 tahun. Ia didampingi Gajah Mada sebagai Mahapatih. Hayam Wuruk
bergelar Rajasa Negara.
Pada masa pemerintahan
Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai masa kejayaannya. Dalam Negarakretagama dijelaskan bahwa pada masa
Hayam Wuruk, wilayah Majapahit meliputi seluruh Nusantara bahkan sampai ke
Tumasik (Singapura) dan Semenanjung Malaya. Daerah yang belum dapat dikuasai Majapahit
adalah Pajajaran.
Pada 1364, Gajah Mada
wafat setelah mengabdikan diri lebih dari 30 tahun di Majapahit. Pada 1389,
Hayam Wuruk juga wafat. Sepeninggal Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Majapahit berangsur−angsur
mengalami kemunduran. Hayam Wuruk tidak memiliki putra mahkota dari permaisuri.
Oleh karena itu, putrinya yang bernama Kusumawardhani diangkat sebagai penguasa
Majapahit bersama suaminya yang bernama Wikramawardhana. Sebenarnya Hayam Wuruk
memiliki seorang putra yang bernama Bhre Wirabhumi dari selirnya. Untuk menghindari
pertikaian, Bhre Wirabhumi diberi kekuasaan di daerah Blambangan, ujung timur
di Pulau Jawa Setelah Hayam Wuruk meninggal, terjadi perang saudara antara
kedua anak Hayam Wuruk ini. Pengangkatan Kusumawardhani sebagai penguasa
Majapahit tidak disenangi Bhre Wirabhumi. Rasa tidak senang ini kemudian berkembang
menjadi perang saudara yang dikenal dengan Perang Paregreg (1401−1406). Dalam
Perang Paregreg ini Bhre Wirabhumi terbunuh. Perang berkepanjangan ini membuat
Majapahit menjadi semakin lemah. Biaya perang serta jumlah korban yang demikian
besar membuat Majapahit tidak bisa mempertahankan keutuhan wilayah. Akhirnya,
setelah Wikramawardhana meninggal, Kerajaan Majapahit pecah menjadi beberapa
kerajaan kecil. Raja−rajanya antara lain: Suhita (1429−1447), Kertawijaya (1447−1451),
Rajasawardhana (1451−1453), Purwa Wisesa (1451−1466), Sunghawikrama Wardhana
(1466−1447). Keruntuhan Majapahit diketahui dari Candrasengkala yang berbunyi Sirno
Ilang Kertaning Bumi I yang berarti tahun 1400 Saka atau 1478 M. Di samping
perang saudara yang berkepanjangan, penyebab lain keruntuhan Majapahit adalah
semakin berkembangnya pengaruh Islam di Nusantara, terutama di daerah−daerah
pantai Jawa, seperti Gresik, Giri, dan Demak. Daerah−daerah ini kemudian
melepaskan diri dari Majapahit. Keadaan ekonomi
Majapahit yang buruj pun
turut menyebabkan keruntuhan Majapahit. Pemerintah pusat mengalami kesulitan
untuk mengurus wilayah kekuasaannya yang demikian luas. Oleh karena itu, banyak
daerah yang kemudian tidak terurus dan menyatakan melepaskan diri dari
Majapahit Akan tetapi, adapula pendapat bahwa Majapahit (yang kekuasaannya
tinggal seluas ibukotanya sendiri) benar-benar runtuh setelah ibukota kerajaan
tersebut diserang oleh sejumlah santri-santri muslim dari Kudus yang dibantu
oleh Raden Patah dari Demak. Mereka ingin menghancurkan kerajaan non-Islam pada
1527 M. Ibukota Majapahit tersebut oleh Tome Pires ditulis Dayo. Patah
merupakan anak Raja Majapahit terakhir Brawijaya V dari selir yang berasal dari
Campa, Cina bagian selatan (Vietnam). Pada masa Majapahit, sistem
ketatanegaraan telah terstruktur dengan baik. Raja dianggap sebagai penjelmaan
dewa di dunia dan ia memegang kekuasaan tertinggi. Dalam melaksanakan pemerintahan
raja dibantu oleh Dewa Sapta Prabu yang bertugas memberikan
pertimbangan-pertimbangan kepada raja. Anggota dewa sapta prabu adalah para
sanak saudara raja. Urusan keagamaan diurus oleh dharma dyaksa, yaitu dharmadyaksa
ring kasiwan untuk urusan agama Hindu
dan dharmadhyaksa ring kasogatan untuk urusan agama Buddha.
Thanks Visit My Blog, Semoga bermanfaat bagi kita semua, dan mudahan-mudah menambah wawasan kita semua, Amin!!!
Kurasa Cukup sekian, Ulasan dari saya, dan saya harap anda bisa bantu saya untuk share ulasan diatas!!! Thanks
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER