Perkembangan Politik dan Ekonomi Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia keempat pada tanggal 20 Oktober 1999. Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden tidak terlepas dari keputusan MPR yang menolak laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie. Berkat dukungan partai-partai Islam yang tergabung dalam Poros Tengah, Abdurrahman Wahid mengungguli calon presiden lain yakni Megawati Soekarno Putri dalam pemilihan presiden yang dilakukan melalui pemungutan suara dalam rapat paripurna ke-13 MPR. Megawati Soekarno Putri sendiri terpilih menjadi wakil presiden setelah mengungguli Hamzah Haz dalam pemilihan wakil presiden melalui pemungutan suara pula. Ia dilantik menjadi wakil presiden pada tanggal 21 Oktober 1999.
Perjalanan pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid dalam melanjutkan cita-cita reformasi diawali dengan
membentuk Kabinet Persatuan Nasional. Kabinet ini adalah kabinet koalisi dari
partai-partai politik yang sebelumnya mengusung Abdurrahman Wahid menjadi
presiden yakni PKB, Golkar, PPP, PAN, PK dan PDI-P. Di awal pemerintahannya,
Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan dua departemen yakni Departemen
Penerangan dan Departemen Sosial dengan alasan perampingan struktur
pemerintahan. Selain itu, pemerintah berpandangan bahwa aktivitas yang
dilakukan oleh kedua departemen tersebut dapat ditangani oleh masyarakat
sendiri. Dari sudut pandang politik, pembubaran Departemen Penerangan merupakan
salah satu upaya untuk melanjutkan reformasi di bidang sosial dan politik
mengingat departemen ini merupakan salah satu alat pemerintahan Orde Baru dalam
mengendalikan media massa terutama media massa yang mengkritisi kebijakan
pemerintah.Pembubaran Departemen Penerangan dan Sosial diiringi dengan
pembentukan.
Departemen Eksplorasi Laut
melalui Keputusan Presiden No. 355/M tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999.
Sedangkan penjelasan mengenai tugas dan fungsi termasuk susunan organisasi dan
tata kerja departemen ini tertuang dalam Keputusan Presiden No. 136 tahun 1999
tanggal 10 November 1999. Nama departemen ini berubah menjadi Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP) berdasarkan Keputusan Presiden No. 165 tahun 2000
tanggal 23 November 2000. Pembentukan departemen ini memiliki nilai strategis
mengingat hingga masa pemerintahan Presiden Habibie, sektor kelautan Indonesia
yang menyimpan kekayaan sumber daya alam besar justru belum mendapat perhatian
serius dari pemerintah sebelumnya. Selain explorasi dan eksploitasi sumber daya
kelautan, berbagai kegiatan ekonomi yang terkait langsung dengan laut meliputi
pariwisata, pengangkutan laut, pabrik dan perawatan kapal dan pengembangan budi
daya laut melalui pemanfaatan bioteknologi.
a. Reformasi Bidang Hukum dan
Pemerintahan
Pada masa pemerintahan
Abdurrahman Wahid, MPR melakukan amandemen terhadap UUD 1945 pada tanggal 18
Agustus 2000. Amandemen tersebut berkaitan dengan susunan pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas pemerintahan pusat, provinsi,
kabupaten dan kota. Amandemen ini sekaligus mengubah pelaksanaan proses
pemilihan umum berikutnya yakni pemilik hak suara dapat memilih langsung
wakil-wakil mereka di tiap tingkat Dewan Perwakilan tersebut. Selain amandemen
tersebut, upaya reformasi di bidang hukum dan pemerintahan juga menyentuh
institusi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri atas unsur
TNI dan Polri. Institusi ini kerap dimanfaatkan oleh Pemerintah Orde Baru untuk
melanggengkan kekuasaan terutama dalam melakukan tindakan represif terhadap
gerakan demokrasi. Pemisahan TNI dan Polri juga merupakan upaya untuk
mengembalikan fungsi masing-masing unsur tersebut. TNI dapat memfokuskan diri
dalam menjaga kedaulatan wilayah Republik Indonesia dari ancaman kekuatan
asing, sementara Polri dapat lebih berkonsentrasi dalam menjaga keamanan dan
ketertiban.
Masalah lain yang menjadi
pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid adalah upaya untuk
menyelesaikan berbagai kasus KKN yang dilakukan pada masa pemerintahan Orde
Baru. Berbagai kasus KKN tersebut kembali dibuka pada tanggal 6 Desember 1999
dan terfokus pada apa yang telah dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto dan
keluarganya. Namun dengan alasan kesehatan, proses hukum terhadap Soeharto
belum dapat dilanjutkan. Kendati proses hukum belum dapat dilanjutkan,
Kejaksaan Agung menetapkan mantan Presiden Soeharto menjadi tahanan kota dan
dilarang bepergian ke luar negeri. Pada tanggal 3 Agustus 2000 Soeharto ditetapkan
sebagai terdakwa terkait beberapa yayasan yang dipimpinnya.
Pencapaian lain pemerintahan
Abdurrahman Wahid adalah pemulihan hak minoritas keturunan Tionghoa untuk
menjalankan keyakinan mereka yang beragama Konghucu melalui Keputusan Presiden
No. 6 tahun 2000 mengenai pemulihan hak-hak sipil penganut agama Konghucu. Pada
masa pemerintahannya, Presiden Abdurrahman Wahid berupaya mengurangi campur
tangan negara dalam kehidupan umat beragama namun di sisi lain ia justru
mengambil sikap yang berseberangan dengan sikap partai politik pendukungnya
terutama dalam kasus komunisme dan masalah Israel. Sikap Presiden Abdurrahman
Wahid yang cenderung mendukung pluralisme dalam masyarakat termasuk dalam
kehidupan beragama dan hak-hak kelompok minoritas merupakan salah satu titik
awal munculnya berbagai aksi penolakan terhadap kebijakan dan
gagasan-gagasannya. Dalam kasus komunisme, Presiden Abdurrahman Wahid
melontarkan gagasan kontroversial yaitu gagasan untuk mencabut Tap.MPRS No.XXV
tahun 1966 tentang larangan terhadap Partai Komunis Indonesia dan penyebaran
Marxisme dan Leninisme.
Gagasan tersebut mendapat
tantangan dari kalangan Islam termasuk Majelis Ulama Indonesia dan tokoh-tokoh
organisasi massa dan partai politik Islam. Berbagai reaksi tersebut membuat
Presiden Abdurrahman Wahid mengurungkan niatnya untuk membawa rencana dan
gagasannya ke Sidang Tahunan MPR tahun 2000.
Selain masalah komunisme,
benturan Presiden Abdurrahman Wahid dengan organisasi massa dan partai politik
Islam yang notabene justru menjadi pendukungnya saat ia terpilih menjadi
presiden adalah gagasannya untuk membuka hubungan dagang dengan Israel.
Gagasannya tersebut mendapat tantangan keras mengingat Israel adalah negara
yang menjajah dan telah banyak melakukan tindakan pelanggaran Hak Azasi Manusia
(HAM) terhadap warga Palestina yang mayoritas beragama Islam. Membuka hubungan
dagang dengan Israel sama saja dengan melanggar apa yang tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945 yang menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang
menyerukan agar penjajahan di atas dunia dihapuskan.
Kejatuhan pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid tidak terlepas dari akumulasi berbagai gagasan dan
keputusannya yang kontroversial dan mendapat tantangan keras dari berbagai
organisasi massa dan partai politik Islam yang semula mendukungnya kecuali NU
dan PKB. Keduanya merupakan pendukung setia Presiden Abdurrahman Wahid hingga
akhir masa pemerintahannya. Selain gagasannya yang kontroversial mengenai
pencabutan Tap.MPRS mengenai pelarangan komunisme dan gagasan pembukaan hubungan
dagang dengan Israel, hubungan Presiden Abdurrahman Wahid dengan DPR dan bahkan
dengan beberapa menteri dalam kabinet pemerintahannya terbilang tidak harmonis.
Penyebab ketidakharmonisan tersebut berawal dari seringnya presiden
memberhentikan dan mengangkat menteri tanpa memberikan keterangan yang dapat
diterima oleh DPR.
Pemberhentian Laksamana Sukardi
sebagai Menteri Negara Penanaman Modal dan Jusuf Kalla sebagai Menteri
Perindustrian dan Perdagangan bahkan menyebabkan DPR mengajukan hak interpelasinya.Kepercayaan
masyarakat terhadap Presiden Abdurrahman Wahid dan jajaran pemerintahannya
semakin menipis seiring dengan adanya dugaan bahwa presiden terlibat dalam
pencairan dan penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera)
Bulog sebesar 35 miliar rupiah dan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam
sebesar 2 juta dollar AS. DPR akhirnya membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk
melakukan penyelidikan keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid dalam kasus
tersebut. (Gonggong, Asy’arie ed, 2005: 220)
Pada 1 Februari 2001 DPR
menyetujui dan menerima hasil kerja Pansus. Keputusan tersebut diikuti dengan
dengan memorandum yang dikeluarkan DPR berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/1978
Pasal 7 untuk mengingatkan bahwa presiden telah melanggar haluan negara yaitu
melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan melanggar Tap MPR No.
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas KKN. (Gonggong
&Asy’asri ed,2005:221) Presiden Abdurrahman Wahid tidak menerima isi
memorandum tersebut karena dianggap tidak memenuhi landasan konstitusional. DPR
sendiri kembali mengeluarkan memorandum kedua dalam rapat paripurna DPR yang
diselenggarakan pada tanggal 30 April 2000.
Rapat tersebut memberikan laporan
pandangan akhir fraksi-fraksi di DPR atas tanggapan presiden terhadap
memorandum pertama. Hubungan antara presiden dan DPR semakin memanas seiring
dengan ancaman presiden terhadap DPR. Jika DPR melanjutkan niat mereka untuk
menggelar Sidang Istimewa MPR, maka presiden akan mengumumkan keadaan darurat,
mempercepat penyelenggaraan pemilu yang bermakna pula akan terjadi pergantian
anggota DPR, dan memerintahkan TNI dan Polri untuk mengambil tindakan hukum
terhadap sejumlah orang tertentu yang dianggap menjadi tokoh yang aktif
menyudutkan pemerintah. Situasi ini juga meningkatkan ketegangan para pendukung
presiden dan pendukung sikap DPR di tingkat akar rumput. Ribuan pendukung
presiden terutama yang tinggal di kota-kota di Jawa Timur melakukan aksi
menentang diadakannya Sidang Istimewa MPR yang dapat menjatuhkan Abdurrahman
Wahid dari kursi kepresidenan. Aksi ini berujung pada pengrusakan dan
pembakaran berbagai fasilitas umum dan gedung termasuk kantor cabang milik
sejumlah partai politik dan organisasi massa yang dianggap mendukung DPR untuk
mengadakan Sidang Istimewa MPR.
Dua hari menjelang pelaksanaan
Sidang Paipurna DPR, Kejaksaan Agung mengumumkan bahwa hasil penyelidikan kasus
skandal keuangan Yayasan Yanatera Bulog dan sumbangan Sultan Brunai yang diduga
melibatkan Presiden Abdurrahman Wahid tidak terbukti. Hasil akhir pemeriksaan
ini disampaikan Jaksa Agung Marzuki Darusman kepada pimpinan DPR tanggal 28 Mei
2001.Ketegangan antara pendukung presiden dan pendukung diselenggarakannya
Sidang Istimewa MPR tidak menyurutkan niat DPR untuk menyelenggarakan Sidang
Istimewa MPR. Presiden sendiri menganggap bahwa landasan hukum memorandum kedua
belum jelas. DPR akhirnya menyelenggarakan rapat paripurna untuk meminta MPR
mengadakan Sidang Istimewa MPR.
Pada tanggal 21 Juli 2001 MPR
menyelenggarakan Sidang Istimewa yang dipimpin oleh ketua MPR Amien Rais. Di
sisi lain Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa ia tidak akan mundur dari
jabatan presiden dan sebaliknya menganggap bahwa sidang istimewa tersebut
melanggar tata tertib MPR sehingga tidak sah dan illegal.
Menyadari posisinya yang
terancam, presiden selanjutnya mengeluarkan Maklumat Presiden tertanggal 22
Juli 2001. Maklumat tersebut selanjutnya disebut Dekrit Presiden. Secara umum
dekrit tersebut berisi tentang pembekuan MPR dan DPR RI, mengembalikan kedaulatan
ke tangan rakyat dan mempersiapkan pemilu dalam waktu satu tahun dan
menyelamatkan gerakan reformasi dari hambatan unsur-unsur Orde Baru sekaligus
membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.
Namun isi dekrit tersebut tidak
dapat dijalankan terutama karena TNI dan Polri yang diperintahkan untuk
mengamankan langkah-langkah penyelamatan tidak melaksanakan tugasnya. Seperti
yang dijelaskan oleh Panglima TNI Widodo AS, sejak Januari 2001, baik TNI
maupun Polri konsisten untuk tidak melibatkan diri dalam politik praktis.Sikap
TNI dan Polri tersebut turut memuluskan jalan bagi MPR untuk kembali menggelar
Sidang Istimewa dengan agenda pemandangan umum fraksi-fraksi atas
pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid yang dilanjutkan dengan
pemungutan suara untuk menerima atau menolak Rancangan Ketetapan MPR No.
II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid dan Rancangan
Ketetapan MPR No. III/MPR/2001 tentang penetapan Wakil Presiden Megawati
Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia. Seluruh anggota MPR yang
hadir menerima dua ketetapan tersebut. Presiden dianggap telah melanggar haluan
negara karena tidak hadir dan menolak untuk memberikan pertanggungjawaban dalam
Sidang Istimewa MPR termasuk penerbitan Maklumat Presiden RI. Dengan demikian
MPR memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan mengangkat Wakil
Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai presiden kelima Republik Indonesia
pada tanggal 23 Juli 2001.
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER