Perkembangan Politik dan Ekonomi Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri
Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri
Presiden Megawati Soekarno Putri mengawali tugasnya sebagai presiden kelima Republik Indonesia dengan membentuk Kabinet Gotong Royong. Kabinet ini memiliki lima agenda utama yakni membuktikan sikap tegas pemerintah dalam menghapus KKN, menyusun langkah untuk menyelamatkan rakyat dari krisis yang berkepanjangan, meneruskan pembangunan politik, mempertahankan supremasi hukum dan menciptakan situasi sosial kultural yang kondusif untuk memajukan kehidupan masyarakat sipil, menciptakan kesejahteraan dan rasa aman masyarakat dengan meningkatkan keamanan dan hak asasi manusia.
Tugas Presiden Megawati di awal
pemerintahannya terutama upaya untuk memberantas KKN terbilang berat karena
selain banyaknya kasus-kasus KKN masa Orde Baru yang belum tuntas, kasus KKN
pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid menambah beban pemerintahan
baru tersebut. Untuk menyelesaikan berbagai kasus KKN, pemerintahan Presiden
Megawati membentuk Komisi Tindak Pidana Korupsi setelah keluarnya UU RI No. 28
tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
Pembentukan komisi ini menuai
kritik karena pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid telah dibentuk
Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN). Dari sisi kemiripan tugas,
keberadaan dua komisi tersebut tersebut terkesan tumpang tindih. Dalam
perjalanan pemerintahan Megawati, kedua komisi tersebut tidak berjalan maksimal
karena hingga akhir pemerintahan Presiden Megawati, berbagai kasus KKN yang ada
belum dapat diselesaikan.
a. Reformasi Bidang Hukum dan
Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Presiden
Megawati, MPR kembali melakukan amandemen terhadap UUD 1945 pada tanggal 10
November 2001. Amandemen tersebut meliputi penegasan Indonesia sebagai negara
hukum dan kedaulatan berada di tangan rakyat. Salah satu perubahan penting
terkait dengan pemilihan umum adalah perubahan tata cara pemilihan presiden dan
wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dan mulai diterapkan pada
pemilu tahun 2004. Dengan demikian rakyat akan berpartisipasi dalam pemilihan
umum untuk memilih calon anggota legislatif, presiden dan kepala daerah secara
terpisah.
Hal lain yang dilakukan terkait
dengan reformasi di bidang hukum dan pemerintahan adalah pembatasan wewenang
MPR, kesejajaran kedudukan antara presiden dan DPR yang secara langsung
menguatkan posisi DPR, kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), penetapan APBN
yang diajukan oleh presiden dan penegasan wewenang BPK.
Salah satu bagian penting
amandemen yang dilakukan MPR terkait upaya pemberantasan KKN adalah penegasan
kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan independen untuk menyelenggarakan
peradilan yang adil dan bersih guna menegakkan hukum dan keadilan yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung. Amandemen ini memberikan kekuatan bagi penegak
hukum untuk menembus birokrasi yang selama ini disalahgunakan untuk mencegah
penyelidikan terhadap tersangka kejahatan terlebih jika sebuah kasus menimpa
pejabat pemerintah yang tengah berkuasa. Upaya lain untuk melanjutkan cita-cita
reformasi di bidang hukum adalah pencanangan pembentukan Mahkamah Konstitusi
selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 2003.
Selain beberapa amandemen terkait
masalah hukum dan pemerintahan, pemerintahan Presiden Megawati juga berupaya
melanjutkan upaya reformasi di bidang pers yang ditandai dengan dikeluarkannya
Undang-undang Pers dan Undang-undang Penyiaran. Dilihat dari sisi kebebasan
mengeluarkan pendapat, keberadaan kedua undang-undang tersebut berdampak
positif namun di sisi lain berbagai media yang diterbitkan oleh partai-partai politik
dan LSM seringkali melahirkan polemik dan sulit dikontrol oleh pemerintah.
b. Reformasi Bidang Ekonomi
Krisis ekonomi yang melanda
Indonesia sejak 1998 belum dapat dilalui oleh dua presiden sebelum Megawati
sehingga pemerintahannya mewarisi berbagai persoalan ekonomi yang harus
dituntaskan. Masalah ekonomi yang kompleks dan saling berkaitan menuntut
perhatian pemerintah untuk memulihkan situasi ekonomi guna memperbaiki
kehidupan rakyat. Wakil Presiden Hamzah Haz menjelaskan bahwa pemerintah merancang
paket kebijakan pemulihan ekonomi menyeluruh yang dapat menggerakkan sektor
riil dan keuangan agar dapat menjadi stimulus pemulihan ekonomi. Selain upaya
pemerintah untuk memperbaiki sektor ekonomi, MPR berhasil mengeluarkan
keputusan yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan pembangunan ekonomi di masa
reformasi yaitu Tap MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara 1999-2004. Sesuai dengan amanat GBHN 1999-2004, arah kebijakan
penyelenggaraan negara harus dituangkan dalam Program Pembangunan Nasional
(Propenas) lima tahun yang ditetapkan oleh presiden bersama DPR.
Minimnya kontroversi selama masa
pemerintahan Megawati berdampak positif pada sektor ekonomi. Hal ini membuat
pemerintahan Megawati mencatat beberapa pencapaian di bidang ekonomi dan
dianggap berhasil membangun kembali perekonomian bangsa yang sempat terpuruk
sejak beralihnya pemerintahan dari pemerintahan Orde Baru ke pemerintahan pada
era reformasi. Salah satu indikator keberhasilan pemerintahan Presiden Megawati
adalah rendahnya tingkat inflasi dan stabilnya cadangan devisa negara. Nilai
tukar rupiah relatif membaik dan berdampak pada stabilnya harga-harga barang.
Kondisi ini juga meningkatkan kepercayaan investor terhadap perekonomian
Indonesia yang dianggap menunjukkan perkembangan positif.
Kenaikan inflasi pada bulan
Januari 2002 akibat kenaikan harga dan suku bunga serta berbagai bencana
lainnya juga berhasil ditekan pada bulan Maret dan April 2002. Namun berbagai
pencapaian di bidang ekonomi pemerintahan Presiden Megawati mulai menunjukkan
penurunan pada paruh kedua pemerintahannya. Pada pertengahan tahun 2002-2003
nilai tukar rupiah yang sempat menguat hingga Rp. 8.500,- per dolar kemudian
melemah seiring menurunnya kinerja pemerintah. Di sisi lain, berbagai
pencapaian tersebut juga tidak berbanding lurus dengan jumlah penduduk yang
ternyata masih banyak berada di bawah garis kemiskinan.
Popularitas pemerintah juga
menurun akibat berbagai kebijakan yang tidak populis dan meningkatkaninflasi.
Meningkatnya inflasi berdampak buruk terhadap tingkat inflasi riil. Diantara
kebijakan tersebut adalah kebijakan pemerintah yang menaikkan harga bahan bakar
minyak (BBM) dan tarif dasar listrik (TDL) serta pajak pendapatan negara.
(Sarwanto, 2004: 50). Selain itu, persoalan hutang luar negeri juga menjadi
persoalan pada masa pemerintahan Presiden Megawati karena pembayaran hutang
luar negeri mengambil porsi APBN yang paling besar yakni mencapai 52% dari
total penerimaan pajak yang dibayarkan oleh rakyat sebesar 219,4 triliun
rupiah. Hal ini mengakibatkan pemerintah mengalami defisit anggaran dan
kebutuhan pinjaman baru.
c. Masalah Disintegrasi dan
Kedaulatan Wilayah
Pemerataan ekonomi di seluruh
wilayah Indonesia merupakan salah satu pekerjaan rumah pemerintahan Presiden
Megawati. Tidak meratanya pembangunan dan tidak adilnya pembagian hasil sumber
daya alam antara pemerintah pusat dan daerah menjadi masalah yang berujung pada
keinginan untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
terutama beberapa provinsi yang kaya akan sumber daya alam tetapi hanya
mendapatkan sedikit dari hasil sumber daya alam mereka. Dua provinsi yang
rentan untuk melepaskan diri adalah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan
Papua. Kebijakan represif yang diterapkan pada masa pemerintahan Orde Baru di
kedua provinsi tersebut menjadi alat propaganda efektif bagi kelompok-kelompok
yang ingin memisahkan diri.
Untuk meredam keinginan
melepaskan diri kedua provinsi tersebut, Presiden Megawati melakukan
upaya-upaya untuk menyelesaikan permasalahan disintegrasi dan memperbaiki
persentase pembagian hasil sumber daya alam antara pemerintah pusat dan daerah
di kedua propinsi tersebut. Berdasarkan UU No. 1b/2001 dan UU No. 21/2001 baik
propinsi NAD dan Papua akan menerima 70% dari hasil pertambangan minyak bumi
dan gas alam. Upaya Presiden Megawati untuk memperbaiki hubungan pemerintah
pusat dan rakyat propinsi NAD juga dilakukan dengan melakukan kunjungan kerja
ke Banda Aceh pada tanggal 8 September 2001. Dalam kunjungan kerja tersebut, presiden
melakukan dialog dengan sejumlah tokoh Aceh dan berpidato di halaman Masjid
Raya Baiturrahman. Dalam kesempatan tersebut, presiden mensosialisasikan UU No.
18 tahun 2001 tentang otonomi khusus Provinsi NAD.
Presiden Megawati juga menandatangani
prasasti perubahan status Universitas Malikussaleh Lhokseumawe menjadi
universitas negeri.Upaya Presiden Megawati untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI
juga diuji saat pemerintah berusaha untuk menyelesaikan sengketa status Pulau Sipadan
dan Ligitan dengan pemerintah Malaysia. Sengketa status kedua pulau tersebut
tidak dapat diselesaikan melalui perundingan bilateral antara pemerintah
Indonesia dan Malaysia. Kedua negara sepakat untuk membawa kasus ini ke
Mahkamah Internasional di Den Haag. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1997 telah
memperjuangkan pengakuan internasional bahwa kedua pulau tersebut merupakan
bagian dari wilayah Republik Indonesia. Namun Mahkamah Internasional pada
akhirnya memutuskan bahwa kedua pulau tersebut merupakan bagian dari Malaysia.
Dari 17 hakim yang terlibat dalam proses keputusan Mahkamah Internasional,
satu-satunya hakim yang memberikan keputusan bahwa kedua pulau tersebut
merupakan bagian dari wilayah Indonesia adalah Hakim Ad Hoc Thomas Franck yang
ditunjuk oleh Indonesia.Terlepasnya Pulau Sipadan yang memiliki luas 10,4
hektar dan Pulau Ligitan yang memiliki luas 7,9 hektar merupakan pukulan bagi diplomasi
luar negeri Indonesia setelah terlepasnya Timor Timur. Kasus ini juga
menunjukkan lemahnya diplomasi luar negeri Indonesia saat berhadapan dengan
negara lain terutama dalam sengketa perbatasan dengan negara-negara tetangga.
d. Desentralisasi Politik dan
Keuangan
Terkait hubungan pemerintah pusat
dan daerah, pemerintahan Presiden Megawati berupaya untuk melanjutkan kebijakan
otonomi daerah yang telah dirintis sejak tahun 1999 seiring dengan
dikeluarkannya UU No. 2 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat-daerah.
Upaya ini merupakan proses reformasi tingkat lokal terutama pada bidang
politik, pengelolaan keuangan daerah dan pemanfaatan sumber-sumber daya alam
daerah untuk kepentingan masyarakat setempat. Upaya desentralisasi politik dan
keuangan ini sejalan dengan struktur pemerintahan di masa mendatang dimana
masing-masing daerah akan diberi wewenang lebih besar untuk mengelola
hasil-hasil sumber daya alam dan potensi ekonomi yang mereka miliki.Otonomi
daerah merupakan isu penting sejak bergulirnya reformasi pada tahun 1998.
Setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru, rakyat di beberapa daerah mulai
menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap sistem sentralisasi kekuasaan dan
wewenang pemerintah pusat yang sangat kuat. Kepala daerah yang bertugas di
beberapa daerah mulai dari posisi gubernur hingga bupati seringkali bukan
merupakan pilihan masyarakat setempat.
Pada masa pemerintahan Orde Baru,
para pejabat yang bertugas di daerah umumnya adalah pejabat yang ditunjuk oleh
pemerintah pusat dan memerintah sesuai keinginan pemerintah pusat. Masalah di
daerah semakin kompleks saat pejabat bersangkutan kurang dapat mengakomodasi
aspirasi masyarakat setempat. Faktor inilah yang membuat isu mengenai otonomi
daerah menjadi penting sebagai bagian dari reformasi politik dan sosial
terutama di beberapa wilayah yang ingin melepaskan diri dari NKRI.
Proses pelaksanaan otonomi daerah
berikut pengadaan perangkat hukumnya berkaitan erat dengan sistem pemilihan
umum berikutnya yang akan diselenggarakan pada tahun 2004. Sejalan dengan
rencana pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah secara aktif mengeluarkan
beberapa undang-undang yang mendukung pelaksanaan otonomi daerah sekaligus
memberikan pedoman dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan
saat undang-undang tersebut diberlakukan. Terkait dengan itu, pemerintah
mengeluarkan UU No. 12 tahun 2003 mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD dan
DPRD. Penerbitan undang-undang ini diikuti dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun
2003 tentang susunan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD serta UU No. 23 tahun
2003 mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden. Untuk melengkapi berbagai
perangkat hukum mengenai otonomi daerah yang sudah ada, pemerintahan Presiden
Megawati di tahun terakhir masa pemerintahnnya mengeluarkan UU No. 32 tahun
2004 mengenai pemerintahan daerah yang memuat antara lain kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah, konsep otonomi dan asas-asas penyelenggaraan
pemerintahan.
Sistem pemilihan langsung
terhadap wakil-wakil rakyat di daerah dan kepala daerah menjadikan pelaksanaan
otonomi daerah semakin memberikan kesempatan bagi rakyat di daerah untuk
berperan lebih besar dalam memajukan wilayah mereka. Terpilihnya wakil rakyat dan
kepala daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat setempat diharapkan lebih
dapat mengakomodasi keinginan masyarakat karena memahami seluk beluk masalah
dan potensi masyarakat dan sumber daya alam yang dimiliki oleh wilayah
bersangkutan disamping lebih memahami karakter dan adat istiadat yang berlaku
di wilayah tersebut.
e. Upaya Pemberantasan KKN
Kendati berhasil melakukan
berbagai pencapaian di bidang ekonomi dan politik terutama dalam menghasilkan
produk undang-undang mengenai pelaksanaan otonomi daerah, pemerintahan Presiden
Megawati belum berhasil melakukan penegakkan hukum (law enforcement). Berbagai
kasus KKN yang diharapkan dapat diselesaikan pada masa pemerintahannya
menunjukkan masih belum maksimalnya upaya Presiden Megawati dalam penegakkan
hukum terutama kasus-kasus KKN besar yang melibatkan pejabat negara. Belum
maksimalnya penanganan kasus-kasus tersebut juga disebabkan karena kurangnya
jumlah dan kualitas aparat penegak hukum sehingga proses hukum terhadap
beberapa kasus berjalan sangat lambat dan berimbas pada belum adanya pembuktian
dari kasus-kasus yang ditangani.
Namun keseriusan pemerintah untuk
memerangi tindak pidana korupsi tercermin dari dikeluarkannya UU No. 20 tahun
2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor). Produk hukum tersebut merupakan produk hukum yang dikeluarkan khusus
untuk memerangi korupsi.
Pengeluaran produk hukum tentang
Tipikor diikuti dengan dikeluarkannya berbagai produk hukum lain seperti UU No.
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, UU
No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), PP
No, 41 Tahun 2002 tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim, Inpres No. 2
Tahun 2002 tentang Penambang Pasir Laut dan Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang
Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan
Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan
Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.
f. Pelaksanaan Pemilu 2004
Pemilu tahun 2004 merupakan
pemilu pertama dimana untuk pertama kalinya masyarakat pemilik hak suara dapat
memilih wakil rakyat mereka di tingkat pusat dan daerah secara langsung. Pemilu
untuk memilih anggota legislatif tersebut selanjutnya diikuti dengan pemihan
umum untuk memilih presiden dan wakil presiden yang juga dipilih langsung oleh
rakyat. Pemilihan anggota legislatif dan pemilu untuk memilih presiden dan
wakil presiden memiliki keterkaitan erat karena setelah pemilu legislatif
selesai, maka partai yang memiliki suara lebih besar atau sama dengan tiga
persen dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presidennya untuk
maju ke pemilu presiden. Jika dalam pemilu presiden dan wakil presiden terdapat
satu pasangan yang memperoleh suara lebih dari 50%, maka pasangan tersebut
dinyatakan sebagai pasangan pemenang pemilu presiden.
Jika pada pemilu presiden tidak
terdapat pasangan yang mendapatkan suara lebih dari 50%, maka pasangan yang
mendapatkan suara tertinggi pertama dan kedua berhak mengikuti pemilu presiden
putaran kedua.Pemilu legislatif 2004 yang diselenggarakan pada tanggal 5 April
2004 diikuti oleh 24 partai politik. Lima partai politik yang berhasil
mendapatkan suara terbanyak adalah Partai Golkar (24.480.757 atau 21,58%
suara), PDI-P (21.026.629 atau 18,53% suara), PKB (11.989.564 atau 10,57%
suara), PPP (9.248.764 atau 8,15% suara) dan PAN (7.303.324 atau 6,44% suara).
Berdasarkan perolehan suara
tersebut, KPU meloloskan lima pasangan calon presiden dan wakil presiden yang
dianggap memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan berdasarkan Keputusan KPU
no. 36 tahun 2004 untuk mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden yakni:
1. Nomor urut 1: H. Wiranto, S.H.
dan Ir. H. Salahuddin Wahid (calon dari partai Golkar).
2. Nomor urut 2: Hj. Megawati
Soekarnoputri dan K.H. Ahmad Hasyim Muzadi (calon dari PDI-P).
3. Nomor urut 3: Prof. Dr. H.M.
Amien Rais dan Dr. Ir. H. Siswono Yudohusodo (calon dari PAN).
4. Nomor urut 4: H. Susilo
Bambang Yudhoyono dan Drs. Muhammad Jusuf Kalla (calon dari Partai Demokrat).
5. Nomor Urut 5: Dr. H. Hamzah
Haz dan H. Agum Gumelar, M. Sc. (calon dari PPP)
Pemilu presiden yang
diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004 belum menghasilkan satu pasangan calon
presiden dan calon wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50%
sehingga pemilu presiden diselenggarakan dalam dua putaran. Dalam pemilu
presiden putaran kedua yang diselenggarakan pada tanggal 20 September 2004,
pasangan H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. Muhammad Jusuf Kalla mengungguli
pasangan Hj. Megawati Soekarnoputri dan K.H. Ahmad Hasyim Muzadi. Pada pemilu
putaran kedua tersebut, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla
memperoleh 62.266.350 suara atau 60,62% sementara pasangan Hj. Megawati
Soekarnoputri dan K.H. Ahmad Hasyim Muzadi memperoleh 44.990.704 suara atau
39,38% . (Gonggong & Asy’arie, 2005: 239).
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER