Rehabilitasi Ekonomi Orde Baru
Program rehabilitasi ekonomi Orde Baru dilaksanakan berlandaskan pada Tap MPRS No.XXIII/1966 yang isinya antara lain mengharuskan diutamakannya masalah perbaikan ekonomi rakyat di atas segala soal-soal nasional yang lain, termasuk soal-soal politik. Konsekuensinya kebijakan politik dalam dan luar negeri pemerintah harus sedemikian rupa hingga benar-benar membantu perbaikan ekonomi rakyat.Bertolak dari kenyataan ekonomi seperti itu, maka prioritas pertama yang dilakukan pemerintah untuk rehabilitasi ekonomi adalah memerangi atau mengendalikan hiperinflasi antara lain dengan menyusun APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) berimbang. Sejalan dengan kebijakan itu pemerintah Orde Baru berupaya menyelesaikan masalah hutang luar negeri sekaligus mencari hutang baru yang diperlukan bagi rehabilitasi maupun pembangunan ekonomi berikutnya.
Untuk menanggulangi masalah
hutang-piutang luar negeri itu, pemerintah Orde Baru berupaya melakukan
diplomasi yang intensif dengan mengirimkan tim negosiasinya ke Paris, Perancis
(Paris Club), untuk merundingkan hutang piutang negara, dan ke London , Inggris
(London Club) untuk merundingkan hutang-piutang swasta. Sebagai bukti
keseriusan dan itikad baik untuk bersahabat dengan negara para donor, pemerintah
Orde Baru sebelum pertemuan Paris Club telah mencapai kesepakatan terlebih
dahulu dengan pemerintah Belanda mengenai pembayaran ganti rugi sebesar 165
juta dollar AS terhadap beberapa perusahaan mereka yang dinasionalisasi oleh
Orde Lama pada tahun 1958. Begitu pula dengan Inggris telah dicapai suatu
kesepakatan untuk membayar ganti rugi kepada perusahaan Inggris yang
kekayaannya disita oleh pemerintah RI semasa era konfrontasi pada tahun 1965.
Sejalan dengan upaya diplomasi
ekonomi, pada 10 Januari 1967 pemerintah Orde Baru memberlakukan UU No.1 tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) . Dengan UU PMA, pemerintah ingin
menunjukan kepada dunia internasional bahwa arah kebijakan yang akan ditempuh
oleh pemerintah Orde Baru, berbeda dengan Orde Lama. Orde Baru tidak memusuhi
investor asing dengan menuduh sebagai kaki tangan imperialisme. Sebaliknya,
aktivitas mereka dipandang sebagai prasyarat yang dibutuhkan oleh sebuah negara
yang ingin membangun perekonomiannya. Dengan bantuan modal mereka, selayaknya
mereka didorong dan dikembangkan untuk memperbanyak investasi dalam berbagai
bidang ekonomi. Sebab dengan investasi mereka, lapangan kerja akan segera
tercipta dengan cepat tanpa menunggu pemerintah memiliki uang terlebih dahulu
untuk menggerakan roda pembangunan nasional.
Upaya diplomasi ekonomi ke
negara-negara Barat dan Jepang itu, tidak hanya berhasil mengatur penjadwalan
kembali pembayaran hutang negara dan swasta yang jatuh tempo, melainkan juga
mampu meyakinkan dan menggugah negara-negara tersebut untuk membantu Indonesia
yang sedang terpuruk ekonominya. Hal ini terbukti antara lain dengan
dibentuknya lembaga konsorsium yang bernama Inter Governmental Group on
Indonesia(IGGI) . Proses pembentukan IGGI diawali oleh suatu pertemuan antara
para negara yang memiliki komitmen untuk membantu Indonesia pada bulan Februari
1967, di Amsterdam. Inisiatif itu datang dari pemerintah Belanda. Pertemuan ini
juga dihadiri oleh delegasi Indonesia dan lembaga-lembaga bantuan
internasional. Dalam pertemuan itu disepakati untuk membentuk IGGI dan Belanda
ditunjuk sebagai ketuanya.
Selain mengupayakan masuknya dana
bantuan luar negeri, pemerintah Orde Baru juga berupaya menggalang dana dari
dalam negeri yaitu dana masyarakat. Salah satu strategi yang dilakukan oleh pemerintah
bersama–sama Bank Indonesia dan bank-bank milik negara lainnya adalah berupaya
agar masyarakat mau menabung.
Upaya lain adalah menerbitkan UU
Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN) No.6 1968. Satu hal dari UUPMDN adalah
adanya klausal yang menarik yang menyebutkan bahwa dalam penanaman modal dalam
negeri, perusahaan-perusahaan Indonesia harus menguasai 51% sahamnya. Untuk
menindaklanjuti dan mengefektifkan UUPMA dan UUPMDN pada tatanan
pelaksanaannya, pemerintah membentuk lembaga-lembaga yang bertugas
menanganinya. Pada 19 Januari 1967, pemerintah membentuk Badan Pertimbangan
Penanaman Modal (BPPM). Berdasarkan Keppres no.286/1968 badan itu berubah
menjadi Team Teknis Penanaman Modal (TTPM). Pada Tahun 1973, TTPM digantikan
oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hingga saat ini.
Kebijakan-kebijakan yang diambil
pemerintah pada awal Orde Baru mulai menunjukan hasil positif. Hiperinflasi
mulai dapat dikendalikan, dari 650% menjadi 120% (1967), dan 80% (1968),
sehingga pada tahun itu diputuskan bahwa Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) pertama akan dimulai pada tahun berikutnya (1969). Setelah itu pada
tahun-tahun berikutnya inflasi terus menurun menjadi 25% (1969), 12% (1970),
dan 10% (bahkan sampai 8.88%) pada tahun 1971.
Seperti yang telah diuraikan di atas, stabilisasi polkam diperlukan untuk pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat. Kondisi ekonomi yang diwarisi Orde Lama adalah sangat buruk. Sektor produksi barang-barang konsumsi misalnya hanya berjalan 20% dari kapasitasnya. Demikian pula sektor pertanian dan perkebunan yang menjadi salah satu tumpuan ekspor juga tidak mengalami perkembangan yang berarti. Hutang yang jatuh tempo pada akhir Desember 1965, seluruhnya berjumlah 2,358 Juta dollar AS. Dengan Perincian negara-negara yang memberikan hutang pada masa Orde Lama adalah blok negara komunis (US $ 1.404 juta), negara Barat (US $ 587 juta), sisanya pada negara-negara Asia dan badan-badan internasional.
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER