Sistem dan Struktur Politik-Ekonomi Indonesia Masa Reformasi
Sistem dan Struktur Politik-Ekonomi Indonesia Masa Reformasi
A. Masa Akhir Orde Baru
Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kearah yang lebih baik secara konstitusional. Lahirnya reformasi oleh karena pemerintah Orde Baru yang sebelumnya berjalan secara otoriter dan sentralistik yang tidak memberikan ruang demokrasi dan kebebasan rakyat berpartisipasi penuh dalam proses pembangunan. Gerakan Reformasi diawali ketika Presiden Soeharto meletakan jabatannya sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Mengapa? Padahal ia merupakan penguasa Orde Baru yang dapat bertahan 32 tahun lamanya.
Proses kejatuhan Orde Baru telah
tampak ketika Indonesia mengalami dampak langsung dari krisis ekonomi yang
melanda negara-negara di Asia. Ketika krisis ini melanda Indonesia, nilai
rupiah jatuh secara drastis, dampaknya terus menggerus di segala bidang
kehidupan, mulai dari bidang ekonomi, politik dan sosial. Tidak sampai menempuh
waktu yang lama, sejak pertengahan tahun 1997, ketika krisis moneter melanda
dunia, bulan Mei 1998, Orde Baru akhirnya runtuh. Krisis moneter membuka jalan
bagi kita menuju terwujudnya kehidupan berdemokrasi yang sehat, yang selama ini
terkukung oleh sistem kekuasaan Orde Baru yang serba menguasai semua sisi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Proses menuju reformasi telah
dimulai ketika wacana penentangan politik secara terbuka kepada Orde Baru mulai
muncul. Penentangan ini terus digulirkan oleh mahasiswa, cendikiawan dan
masyarakat, mereka menuntut pelaksanaan proses demokratisasi yang sehat dan
terbebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang mucul dampak
tidak diimbanginya pembangunan fisik dengan pembangunan mental (character
building) terhadap para pelaksana pemerintahan (birokrat), aparat keamanan
maupun pelaku ekonomi (pengusaha/konglomerat). Mereka juga menuntut terwujudnya
rule of law, good governnanceserta berjalannya pemerintahan yang bersih. Oleh
karena itu, bagi mereka reformasi merupakan sebuah era dan suasana yang
senanatiasa terus diperjuangkan dan dipelihara. Jadi bukan hanya sebuah
momentum, namun sebuah proses yang harus senantiasa dipupuk 1. Krisis Moneter,
Politik, Hukum dan Kepercayaan
Krisis moneter yang melanda
Thailand pada awal Juli 1997, merupakan permulaan peristiwa yang mengguncang
nilai tukar mata uang negara-negara di Asia, seperti Malaysia, Filipina, Korea
dan Indonesia. Rupiah yang berada pada posisi nilai tukar Rp.2.500/US$ terus
mengalami kemerosotan.
Situasi ini mendorong Presiden
Soeharto meminta bantuan dari International Monetary Fund (IMF). Persetujuan
bantuan IMF dilakukan pada Oktober 1997 dengan syarat pemerintah Indonesia
harus melakukan pembaruan kebijakan-kebijakan, terutama kebijakan ekonomi.
Diantara syarat-syarat tersebut
adalah penghentian subsidi dan penutupan 16 bank swasta. Namun usaha ini tidak
menyelesaikan masalah yang dihadapi.Upaya pemerintah untuk menguatkan nilai
tukar rupiah, melalui Bank Indonesia dengan melakukan intervensi pasar tidak
mampu membendung nilai tukar rupiah yang terus merosot. Nilai tukar rupiah yang
berada di posisi Rp.4000/US$ pada Oktober terus melemah menjadi sekitar
Rp.17.000/US$ pada bulan Januari 1998. Kondisi ini berdampak pada jatuhnya
bursa saham Jakarta, bangkrutnya perusahaan-perusahaan besar di Indonesia yang
menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran.
Kondisi ini membuat Presiden
Soeharto menerima proposal reformasi IMF pada tanggal 15 Januari 1998 dengan
ditandatanganinya Letter of Intent(Nota Kesepakatan) antara Presiden Soeharto
dan Direktur Pelaksana IMF Michele Camdesius. Namun, kemudian Presiden Soeharto
menyatakan bahwa paket IMF yang ditandatanganinya membawa Indonesia pada sistem
ekonomi liberal. Hal ini menyiratkan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan
melaksanakan perjanjian IMF yang berisi 50 butir kesepakatan tersebut. Situasi
tarik menarik antara pemerintah dan IMF itu menyebabkan krisis ekonomi semakin
memburuk.
Pada saat krisis semakin dalam,
muncul ketegangan-ketegangan sosial dalam masyarakat. Pada bulan-bulan awal
1998 di sejumlah kota terjadi kerusuhan anti Cina. Kelompok ini menjadi sasaran
kemarahan masyarakat karena mereka mendominasi perekonomian di Indonesia.
Krisis ini pun semakin menjalar dalam bentuk gejolak-gejolak non ekonomi
lainnya yang membawa pengaruh terhadap proses perubahan selanjutnya.Sementara
itu, sesuai dengan hasil Pemilu ke-6 yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei
1997, Golkar memperoleh suara 74,5 persen, PPP 22,4 persen, dan PDI 3 persen.
Setelah pelaksanaan pemilu tersebut perhatian tercurah pada Sidang Umum MPR
yang dilaksanakan pada Maret 1998. Sidang umum MPR ini akan memilih presiden
dan wakil presiden. Sidang umum tersebut kemudian menetapkan kembali Soeharto
sebagai presiden untuk masa jabatan lima tahun yang ketujuh kalinya dengan B.J.
Habibie sebagai wakil presiden.Dalam beberapa minggu setelah terpilihnya
kembali Soeharto sebagai Presiden RI, kekuatan-kekuatan oposisi yang sejak lama
dibatasi mulai muncul ke permukaan. Meningkatnya kecaman terhadap Presiden
Soeharto terus meningkat yang ditandai lahirnya gerakan mahasiswa sejak awal
1998.
Gerakan mahasiswa yang mulai
mengkristal di kampus-kampus, seperti ITB, UI dan lain-lain semakin meningkat
intensitasnya sejak terpilihnya Soeharto.Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa
berskala besar di seluruh Indonesia melibatkan pula para staf akademis maupun
pimpinan universitas. Garis besar tuntutan mahasiswa dalam aksi-aksinya di
kampus di berbagai kota, yaitu tuntutan penurunan harga sembako (sembilan bahan
pokok), penghapusan monopoli, kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) serta suksesi
kepemimpinan nasional.
Aksi-aksi mahasiswa yang tidak
mendapatkan tanggapan dari pemerintah menyebabkan para mahasiswa di berbagai
kota mulai mengadakan aksi hingga keluar kampus. Maraknya aksi-aksi mahasiswa
yang sering berlanjut menjadi bentrokan dengan aparat kemanan membuat
Menhankam/Pangab, Jenderal Wiranto, mencoba meredamnya dengan menawarkan
dialog. Dari dialog tersebut diharapkan komunikasi antara pemerintah dan
masyarakat kembali terbuka. Namun mahasiswa menganggap bahwa dialog dengan
pemerintah tidak efektif karena tuntutan pokok mereka adalah reformasi politik
dan ekonomi pengunduran diri Presiden Soeharto. Menurut mahasiswa, mitra dialog
yang paling efektif adalah lembaga kepresidenan dan MPR.
Di tengah maraknya aksi protes
mahasiswa dan komponen masyarakat lainnya, pada tanggal 4 Mei 1998 pemerintah
mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik. Kebijakan
yang diambil pemerintah bertentangan dengan tuntutan yang berkembang saat itu.
Sehingga naiknya harga BBM dan tarif dasar listrik semakin memicu gerakan
massa, karena kebijakan tersebut berdampak pula pada naiknya biaya angkutan dan
barang kebutuhan lainnya.Dalam kondisi negara yang sedang mengalami krisis,
Presiden Soeharto, Pada 9 Mei 1998, berangkat ke Kairo (Mesir) untuk menghadiri
Konferensi G 15.
Di dalam pesawat menjelang
keberangkatannya Presiden Soeharto meminta masyarakat tenang dan memahami
kenaikan harga BBM. Selain itu, ia menyerukan kepada lawan–lawan politiknya
bahwa pasukan keamanan akan menangani dengan tegas setiap gangguan yang muncul.
Meskipun demikian kerusuhan tetap tidak dapat dipadamkan dan gelombang protes
dari berbagai kalangan komponen masyarakat terus berlangsung.
Tuntutan dan Agenda Reformasi
Reformasi adalah gerakan untuk
mengubah bentuk atau perilaku suatu tatanan, karena tatanan tersebut tidak lagi
disukai atau tidak sesuai dengan kebutuhan zaman, baik karena tidak efisien
maupun tidak bersih dan tidak demokratis.
“Reformasi atau mati”. Demikian
tuntutan yang torehkan oleh para aktivis mahasiswa pada spanduk-spanduk yang
terpampang di kampus mereka, atau yang mereka teriakan saat melakukan aksi
protes melalui kegiatan unjuk rasa pada akhir April 1998. Tuntutan tersebut
menggambarkan sebuah titik kulminasi dari gerakan aksi protes yang tumbuh di
lingkungan kampus secara nasional sejak awal tahun 1998. Gerakan ini bertujuan
untuk melakukan tekanan agar pemerintah mengadakan perubahan politik yang
berarti, melalui pelaksanaan reformasi secara total.
Kemunculan gerakan reformasi
dilatarbelakangi terjadinya krisis multidimensi yang dihadapi bangsa Indonesia.
Gerakan ini pada awalnya hanya berupa demonstrasi di kampus-kampus besar. Namun
mahasiswa akhirnya harus turun ke jalan karena aspirasi mereka tidak
mendapatkan respon dari pemerintah. Gerakan Reformasi tahun 1998 mempunyai enam
agenda yaitu:
1. Suksesi kepemimpinan nasional
2. Amendemen UUD 1945
3. Pemberantasan KKN
4. Penghapusan dwifungsi ABRI
5. Penegakan supremasi hukum,
6. Pelaksanaan otonomi daerah
Agenda utama gerakan reformasi
adalah turunnya Soeharto dari jabatan presiden. Berikut ini kronologi beberapa
peristiwa penting selama gerakan reformasi yang memuncak pada tahun 1998.Dalam
rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang akan diselenggarakan pada
tanggal 20 Mei 1998 direncanakan oleh gerakan mahasiswa sebagai momen Hari
Reformasi Nasional. Namun ledakan kerusuhan terjadi lebih awal dan di luar
dugaan. Pada tanggal 12 Mei 1998 empat mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta tewas
tertembak peluru aparat keamanan saat demonstrasi menuntut Soeharto mundur.
Mereka adalah Elang Mulya, Hery Hertanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin
Royan.
Mereka tertembak ketika ribuan
mahasiswa Trisakti dan lainnya baru memasuki kampusnya setelah melakukan
demostrasi di gedung MPR.Penembakan aparat di Universitas Trisakti itu menyulut
demonstrasi yang lebih besar. Pada tanggal 13 Mei 1998 terjadi kerusuhan,
pembakaran, dan penjarahan di Jakarta dan Solo. Kondisi ini memaksa Presiden
Soeharto mempercepat kepulangannya dari Mesir. Sementara itu, mulai tanggal 14
Mei 1998 demonstrasi mahasiswa semakin meluas. Bahkan, para demonstran mulai
menduduki gedung-gedung pemerintah di pusat dan daerah.
Mahasiswa Jakarta menjadikan
gedung DPR/MPR sebagai pusat gerakan yang relatif aman. Ratusan ribu mahasiswa
menduduki gedung rakyat. Bahkan, mereka menduduki atap gedung tersebut. Mereka
berupaya menemui pimpinan MPR/DPR agar mengambil sikap yang tegas. Akhirnya,
tanggal 18 Mei 1998 Ketua MPR/DPR Harmoko meminta Soeharto turun dari
jabatannya sebagai presiden.
Untuk mengatasi keadaan, Presiden
Soeharto menjanjikan akan mempercepat pemilu. Hal ini dinyatakan setelah
Soeharto mengundang beberapa tokoh masyarakat seperti Nurcholish Madjid dan
Abdurrahman Wahid ke Istana Negara pada tanggal 19 Mei 1998. Akan tetapi, upaya
ini tidak mendapat sambutan rakyat.
Momentum hari Kebangkitan
Nasional 20 Mei 1998 rencananya digunakan tokoh reformasi Amien Rais untuk
mengadakan doa bersama di sekitar Tugu Monas. Akan tetapi, beliau membatalkan
rencana apel dan doa bersama karena 80.000 tentara bersiaga di kawasan
tersebut. Di Yogyakarta, Surakarta, Medan, dan Bandung ribuan mahasiswa dan
rakyat berdemonstrasi. Ketua MPR/DPR Harmoko kembali meminta Soeharto
mengundurkan diri pada hari Jumat tanggal 20 Mei 1998 atau DPR/MPR akan
terpaksa memilih presiden baru. Bersamaan dengan itu, sebelas menteri Kabinet
Pembangunan VII mengundurkan diri.
Akhirnya, pada pukul 09.00 WIB
Presiden Soeharto membacakan pernyataan pengunduran dirinya. Itulah beberapa
peristiwa penting menyangkut gerakan reformasi tahun 1998. Soeharto
mengundurkan diri dari jabatan presiden yang telah dipegang selama 32 tahun.
Pidato pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden RI pada tanggal 21
Mei 1998 di Istana Negara, Jakarta
Beliau mengucapkan terima kasih
dan mohon maaf kepada seluruh rakyat Indonesia. Soeharto kemudian digantikan
B.J. Habibie. Sejak saat itu berakhirlah era Orde Baru selama 32 tahun,
Indonesia memasuki sebuah era baru yang kemudian dikenal sebagai Masa
Reformasi.
B. Perkembangan Politik dan
Ekonomi
1. Masa Pemerintahan Presiden
B.J. Habibie
Setelah Presiden Soeharto
menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada 21
Mei 1998, pada hari itu juga Wakil Presiden B.J Habibie dilantik menjadi
presiden RI ketiga di bawah pimpinan Mahkamah Agung di Istana Negara. Dasar
hukum pengangkatan Habibie adalah berdasarkan TAP MPR No.VII/MPR/1973 yang
berisi “jika Presiden berhalangan, maka Wakil Presiden ditetapkan menjadi Presiden”.Ketika
Habibie naik sebagai Presiden, Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi
terburuk dalam waktu 30 tahun terakhir, disebabkan oleh krisis mata uang yang
didorong oleh hutang luar negeri yang luar biasa besar sehingga menurunkan
nilai rupiah menjadi seperempat dari nilai tahun 1997. Krisis yang telah
menimbulkan kebangkrutan teknis terhadap sektor industri dan manufaktur serta
sektor finansial yang hampir ambruk, diperparah oleh musim kemarau panjang yang
disebabkan oleh El Nino, yang mengakibatkan turunnya produksi beras.
Ditambah kerusuhan Mei 1998 telah
menghancurkan pusat-pusat bisnis perkotaan, khususnya di kalangan investor
keturunan Cina yang memainkan peran dominan dalam ekonomi Indonesia. Larinya
modal, dan hancurnya produksi serta distribusi barang-barang menjadikan upaya
pemulihan menjadi sangat sulit, hal tersebut menyebabkan tingkat inflasi yang
tinggi.
Pengunduran diri Soeharto telah
membebaskan energi sosial dan politik serta frustasi akibat tertekan selama 32
tahun terakhir, menciptakan perasaan senang secara umum akan kemungkinan
politik yang sekarang tampak seperti terjangkau. Kalangan mahasiswa dan
kelompok-kelompok pro demokrasi menuntut adanya demokratisasi sistem politik
segera terjadi, meminta pemilihan umum segera dilakukan untuk memilih anggota
parlemen dan MPR, yang dapat memilih presiden baru dan wakil presiden. Di
samping tuntutan untuk menyelenggarakan pemilihan umum secepat mungkin,
pemerintah juga berada di bawah tekanan kuat untuk menghapuskan korupsi, kolusi
dan nepotisme yang menandai Orde Baru.
Tugas yang diemban oleh Presiden
B.J Habibie adalah memimpin pemerintahan transisi untuk menyiapkan dan
melaksanakan agenda reformasi yang menyeluruh dan mendasar, serta sesegera
mungkin mengatasi kemelut yang sedang terjadi. Naiknya B.J Habibie ke
singgasana kepemimpinan nasional diibaratkan menduduki puncak Gunung Merapi
yang siap meletus kapan saja. Gunung itu akan meletus jika berbagai persoalan
politik, sosial dan psikologis, yang merupakan warisan pemerintahan lama tidak diatasi
dengan segera.
Menjawab kritik-kritik atas
dirinya yang dinilai sebagai orang tidak tepat menangani keadaan Indonesia yang
sedang dilanda krisis yang luar biasa. B.J. Habibie berkali-kali menegaskan
tentang komitmennya untuk melakukan reformasi di bidang politik, hukum dan
ekonomi. Secara tegas Habibie menyatakan bahwa kedudukannya sebagai presiden
adalah sebuah amanat konstitusi. Dalam menjalankan tugasnya ini ia berjanji
akan menyusun pemerintahan yang bertanggung jawab sesuai dengan tuntutan perubahan
yang digulirkan oleh gerakan reformasi tahun 1998. Pemerintahnya akan
menjalankan reformasi secara bertahap dan konstitusional serta komitmen
terhadap aspirasi rakyat untuk memulihkan kehidupan politik yang demokratis dan
meningkatkan kepastian hukum.
Dalam pidato pertamanya pada
tanggal 21 Mei 1998, malam harinya setelah dilantik sebagai Presiden,
pukul.19.30 WIB di Istana Merdeka yang disiarkan langsung melalui RRI dan TVRI,
B.J. Habibie menyatakan tekadnya untuk melaksanakan reformasi. Pidato tersebut
bisa dikatakan merupakan visi kepemimpinan B.J. Habibie guna menjawab tuntutan
Reformasi secara cepat dan tepat. Beberapa point penting dari pidatonya
tersebut adalah kabinetnya akan menyiapkan proses reformasi di ketiga bidang
yaitu :
1. Di bidang politik antara lain
dengan memperbarui berbagai perundang-undangan dalam rangka lebih meningkatkan
kualitas kehidupan berpolitik yang bernuansa pada PEMILU sebagaimana yang
diamanatkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
2. Di bidang hukum antara lain
meninjau kembali Undang-Undang Subversi.
3. Di bidang ekonomi dengan
mempercepat penyelesaian undang-undang yang menghilangkan praktik-praktik
monopoli dan persaingan tidak sehat.
Di samping itu pemerintah akan
tetap melaksanakan semua komitmen yang telah disepakati dengan pihak luar
negeri, khususnya dengan melaksanakan program reformasi ekonomi sesuai dengan
kesepakatan dengan IMF. Pemerintah akan tetap menjunjung tinggi kerjasama
regional dan internasional, seperti yang telah dilaksanakan selama ini dan akan
berusaha dalam waktu yang sesingkat-singkatnya mengembalikan dinamika
pembangunan bangsa Indonesia yang dilandasi atas kepercayaan nasional dan
internasional yang tinggi.
Seperti dituturkan dalam pidato
pertamanya, bahwa pemerintahannya akan komitmen pada aspirasi rakyat untuk
memulihkan kehidupan ekonomi-sosial, meningkatkan kehidupan politik demokrasi
dan menegakkan kepastian hukum. Maka fokus perhatian pemerintahan Habibie
diarahkan pada tiga bidang tersebut.
a. Pembentukan Kabinet Reformasi
Pembangunan
Sehari setelah dilantik, B.J.
Habibie telah berhasil membentuk kabinet yang diberi nama Kabinet Reformasi
Pembangunan. Kabinet Reformasi Pembangunan terdiri dari 36 Menteri, yaitu 4
Menteri Negara dengan tugas sebagai Menteri Koordinator, 20 Menteri Negara yang
memimpin Departemen, dan 12 Menteri Negara yang memimpin tugas tertentu. Dalam
Kabinet Reformasi Pembangunan tersebut terdapat sebanyak 20 orang yang
merupakan Menteri pada Kabinet Pembangunan era Soeharto. Kabinet Reformasi
Pembangunan terdiri dari berbagai elemen kekuatan politik dalam masyarakat,
seperti dari ABRI, partai politik (Golkar, PPP, dan PDI), unsur daerah,
golongan intelektual dari perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat.
Untuk pertama kalinya sejak pemerintahan Orde Baru, Habibie mengikutsertakan
kekuatan sosial politik non Golkar, unsur daerah, akademisi, profesional dan
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), sehingga diharapkan terjadi sinergi dari
semua unsur kekuatan bangsa tersebut. Langkah ini semacam rainbow coalitionyang
terakhir kali diterapkan dalam Kabinet Ampera.
Pada sidang pertama Kabinet
Reformasi Pembangunan, 25 Mei 1998, B.J. Habibie memberikan pengarahan bahwa
pemerintah harus mengatasi krisis ekonomi dengan dua sasaran pokok, yakni
tersedianya bahan makanan pokok masyarakat dan berputarnya kembali roda
perekonomian masyarakat. Pusat perhatian Kabinet Reformasi Pembangunan adalah
meningkatkan kualitas, produktivitas dan daya saing ekonomi rakyat, dengan
memberi peran perusahaan kecil, menengah dan koperasi, karena terbukti memiliki
ketahanan ekonomi dalam menghadapi krisis.
Dalam sidang pertama kabinet itu
juga, Habibie memerintahkan bahwa departemen-departemen terkait secepatnya
mengambil langkah persiapan dan pelaksanaan reformasi, khususnya menyangkut
reformasi di bidang politik, bidang ekonomi dan bidang hukum. Perangkat
perundang-undangan yang perlu diperbaharui antara lain Undang-Undang Pemilu,
Undang-Undang tentang Partai Politik dan Golkar, UU tentang susunan dan
kedudukan MPR, DPR dan DPRD, UU tentang Pemerintahan Daerah.
Menindaklanjuti tuntutan yang
begitu kuat terhadap reformasi politik, banyak kalangan menuntut adanya
amandemen UUD 1945.Tuntutan amandemen tersebut berdasarkan pemikiran bahwa
salah satu sumber permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara selama
ini ada pada UUD 1945. UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada
presiden, tidak adanya check and balances system, terlalu fleksibel, sehingga
dalam pelaksanaannya banyak yang disalah gunakan, pengaturan hak azasi manusia
yang minim dan kurangnya pengaturan mengenai pemilu dan mekanisme demokrasi.
b. Sidang Istimewa MPR 1998
Di tengah maraknya gelombang
demonstrasi mahasiswa dan desakan kaum intelektual terhadap legitimasi
pemerintahan Habibie, pada 10-13 November 1998, MPR mengadakan Sidang Istimewa
untuk menentapkan langkah pemerintah dalam melaksanakan reformasi di segala
bidang. Beberapa hasil yang dijanjikan pemerintah dalam menghadapi tuntutan
keras dari mahasiswa dan gerakan reformasi telah terwujud dalam
ketetapan-ketetapan yang dihasilkan MPR, antara lain:
• Terbukanya kesempatan untuk
mengamandemen UUD 1945 tanpa melalui referendum.
• Pencabutan keputusan P4 sebagai
mata pelajaran wajib (Tap MPR No.XVIII/MPR/1998).
• Masa jabatan presiden dan wakil
presiden dibatasi hanya sampai dua kali masa tugas, masing masing lima tahun
(Tap MPR No.XIII/MPR/1998).
• Agenda reformasi politik
meliputi pemilihan umum, ketentuan untuk memeriksa kekuasaan pemerintah,
pengawasan yang baik dan berbagai perubahan terhadap Dwifungsi ABRI.
• Tap MPR No.XVII/MPR/1998
tentang Hak Azasi Manusia, mendorong kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan
pers, kebebasan berserikat, dan pembebasan tahanan politik dan narapidana
politik.
c. Reformasi Bidang Politik
Sesuai dengan Tap MPR No.
X/MPR/1998, Kabinet Reformasi Pembangunan telah berupaya melaksanakan sejumlah
agenda politik, yaitu merubah budaya politik yang diwariskan oleh pemerintahan
sebelumnya, seperti pemusatan kekuasaan, dilanggarnya prinsip-prinsip
demokrasi, terbatasnya partisipasi politik rakyat, menonjolnya pendekatan
represif yang menekankan keamanan dan stabilitas, serta terabaikannya
nilai-nilai Hak Azasi Manusia dan prinsip supremasi hukum.
Beberapa hal yang telah dilakukan
B.J Habibie adalah:
• Diberlakukannya Otonomi Daerah
yang lebih demokratis dan semakin luas. Dengan kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, diharapkan
akan meminimalkan ancaman disintegrasi bangsa. Otonomi daerah ditetapkan
melalui Ketetapan MPR No XV/MPR/1998.
• Kebebasan berpolitik dilakukan
dengan pencabutan pembatasan partai politik. Sebelumnya. Dengan adanya
kebebasan untuk mendirikan partai politik, pada pertengahan bulan Oktober 1998
sudah tercatat sebanyak 80 partai politik dibentuk. Menjelang Pemilihan Umum,
partai politik yang terdaftar mencapai 141 partai. Setelah diverifikasi oleh
Komisi Pemilihan Umum menjadi sebanyak 95 partai, dan yang berhak mengikuti
Pemilihan Umum sebanyak 48 partai saja. Dalam hal kebebasan berpolitik, pemerintah
juga telah mencabut larangan mengeluarkan pendapat, berserikat, dan mengadakan
rapat umum.
• Pencabutan ketetapan untuk
meminta Surat Izin Terbit (SIT) bagi media massa cetak,sehingga media massa
cetak tidak lagi khawatir dibredel melalui mekanisme pencabutan Surat Izin
Terbit. Hal penting lainnya dalam kebebasan mengeluarkan pendapat bagi pekerja
media massa adalah diberinya kebebasan untuk mendirikan organisasi-organisasi
profesi. Pada era Soeharto, para wartawan diwajibkan menjadi anggota satu-satunya
organisasi persatuan wartawan yang dibentuk oleh pemerintah. Sehingga merasa
selalu dikontrol dan dikendalikan oleh pemerintah.
• Dalam hal menghindarkan
munculnya penguasa yang otoriter dengan masa kekuasaan yang tidak terbatas,
diberlakukan pembatasan masa jabatan Presiden. Seorang warga negara Indonesia
dibatasi menjadi Presiden sebanyak dua kali masa jabatan saja.
d. Pelaksanaan Pemilu 1999
Pelaksanaan Pemilu 1999, boleh
dikatakan sebagai salah satu hasil terpenting lainnya yang dicapai Habibie pada
masa kepresidenannya. Pemilu 1999 adalah penyelenggaraan pemilu multipartai
(yang diikuti oleh 48 partai politik). Sebelum menyelenggarakan pemilu yang
dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang partai politik, tentang
pemilu, dan tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.Setelah RUU
disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum
(KPU) yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil partai politik dan wakil
pemerintah. Hal yang membedakan pemilu 1999 dengan pemilu sebelumnya (kecuali
pemilu 1955) adalah dikuti oleh banyak partai politik. Ini dimungkinkan karena
adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Dengan masa persiapan yang
tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada pemilu 1999 ini dapat dikatakan
sesuai dengan jadwal, 7 Juni 1999.
Tidak seperti yang diprediksi dan
dikhawatirkan oleh banyak pihak, ternyata pemilu 1999 bisa terlaksana dengan
damai tanpa ada kekacauan yang berarti meski dikuti partai yang jauh lebih
banyak, pemilu kali ini juga mencatat masa kampanye yang relatif damai
dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Berdasarkan laporan Komisi Pemilihan
Umum (KPU), hanya 19 orang meninggal semasa kampanye, baik karena kekerasan
maupun kecelakaan dibanding dengan 327 orang pada pemilu 1997 yang hanya
diikuti oleh tiga partai. Ini juga menunjukkan rakyat kebanyakan lebih rileks
melihat perbedaan. Pemilu 1999, dinilai oleh banyak pengamat sebagai Pemilu
yang paling demokratis dibandingkan 6 kali pelaksanaan Pemilu sebelumnya.
Berdasarkan keputusan KPU,
Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), pada 1 September 1999,melakukan pembagian
kursi hasil pemilu. Hasil pembagian kursi itu menunjukan lima partai besar
menduduki 417 kursi di DPR, atau 90,26 % dari 462 kursi yang diperebutkan.
PDI-P muncul sebagai pemenang pemilu dengan meraih 153 kursi. Golkar memperoleh
120 kursi, PKB 51 Kursi, PPP 48 kusi, dan PAN 34 kursi.
e. Pelaksanaan Referendum
Timor-Timur
Satu peristiwa penting yang
terjadi pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie adalah diadakannya
Referendum bagi rakyat Timor-Timur untuk menyelesaikan permasalahan Timor-Timur
yang merupakan warisan dari pemerintahan sebelumnya. Harus diakui bahwa
integrasi Timor-Timur (Tim-Tim) ke wilayah RI tahun 1975 yang dikukuhkan oleh
TAP MPR No.VI/M7PR/1978, atas kemauan sebagian warga Timor-Timur tidak pemah
mendapat pengakuan internasional. Meskipun sebenarnya Indonesia tidak pernah
mengklaim dan berambisi menguasai wilayah Tim-Tim. Banyak pengorbanan yang
telah diberikan bangsa Indonesia, baik nyawa maupun harta benda, untuk
menciptakan perdamaian dan pembangunan di Tim-Tim, yang secara historis memang
sering bergejolak antara yang pro integrasi dengan yang kontra. Subsidi yang
diberikan oleh pemerintah pusat bahkan melebihi dari apa yang diberikan kepada
provinsi-provinsi lain untuk mengejar ketertinggalan. Namun sungguh disesalkan
bahwa segala upaya itu tidak pernah mendapat tanggapan yang positif, baik di
lingkungan internasional maupun di kalangan masyarakat Timor-Timur sendiri.
Di berbagai forum internasional
posisi Indonesia selalu dipojokkan. Sebanyak 8 resolusi Majelis Umum PBB dan 7
resolusi Dewan Keamanan PBB telah dikeluarkan. Indonesia harus menghadapi
kenyataan bahwa untuk memulihkan citra Indonesia, tidak memiliki pilihan lain
kecuali berupaya menyelesaikan masalah Timor-Timur dengan cara-cara yang dapat
diterima oleh masyarakat internasional. Dalam perundingan Tripartit Indonesia
menawarkan gagasan segar, yaitu otonomi yang luas bagi Timor-Timur. Gagasan itu
disetujui oleh Portugal namun dengan prinsip yang berbeda, yaitu otonomi luas
ini sebagai solusi antara (masa transisi antara 5-10 tahun) bukan solusi akhir
seperti yang ditawarkan Indonesia. Pihak-pihak yang tidak menyetujui integrasi
tetap menginginkan dilakukan referendum, untuk memastikan rakyat ‘Timor-Timur
memilih otonomi atau kemerdekaan.
Bagi Indonesia adalah lebih baik
menyelesaikan masalah Timor-Timur secara tuntas, karena akan sulit mewujudkan
Pemerintahan Otonomi Khusus, sementara konflik terus berlarut-larut dan masing-masing
pihak yang bertikai akan menyusun kekuatan untuk memenangkan referendum. Karena
itu, melalui kajian yang mendalam dan setelah berkonsultasi dengan Pimpinan DPR
dan Fraksi-Fraksi DPR, pemerintah menawarkan alternatif lain. Jika mayoritas
rakyat Timor-Timur menolak Otonomi Luas dalam sebuah “jajak pendapat”, maka
adalah wajar dan bijaksana bahkan demokratis dan konstitusional, jika
pemerintah mengusulkan Opsi kedua kepada Sidang Umum MPR, yaitu mempertimbangkan
pemisahan Timor-Timur dari NKRI secara damai, baik-baik dan terhormat.
Rakyat Timor-Timur melakukan
jajak pendapat pada 30 Agustus 1999 sesuai dengan Persetujuan New York. Hasil
jajak pendapat yang diumumkan PBB pada 4 September 1999, adalah 78.5% menolak
dan 21,5% menerima. Setelah jajak pendapat ini telah terjadi berbagai bentuk
kekerasan, sehingga demi kemanusiaan Indonesia menyetujui percepatan pengiriman
pasukan multinasional di Timor–Timur.
Sesuai dengan nilai-nilai dasar
yang terkandung dalam Pembukaan UUD ‘45, bahwa kemerdekaan adalah hak segala
bangsa, maka Presiden Habibie mengharapkan MPR berkenan membahas hasil jajak
pendapat tersebut dan menuangkannya dalam ketetapan yang memberikan pengakuan
terhadap keputusan rakyat Timor-Timur. Sesuai dengan perjanjian New York,
ketetapan tersebut mensahkan pemisahan Timor-Timur dan RI secara baik,
terhormat dan damai, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah
bagian dari masyarakat internasional yang bertanggung jawab, demokratis, dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia.
f. Reformasi Bidang Ekonomi
Sesuai dengan Tap MPR tentang
pokok-pokok reformasi yang menetapkan dua arah kebijakan pokok di bidang
ekonomi, yaitu penanggulangan krisis ekonomi dengan sasaran terkendalinya nilai
rupiah dan tersedianya kebutuhan bahan pokok dan obat-obatan dengan harga
terjangkau, serta berputarnya roda perekonomian nasional, dan pelaksanaan
reformasi ekonomi.
Kebijakan ekonomi Presiden B.J.
Habibie dilakukan dengan mengikuti saran-saran dari Dana Moneter Internasional
yang dimodifikasi dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian Indonesia yang
semakin memburuk. Reformasi ekonomi mempunyai tiga tujuan utama yaitu:
1. Merestrukturisasi dan
memperkuat sektor keuangan dan perbankan.
2. Memperkuat basis sektor riil
ekonomi.
3. Menyediakan jaringan pengaman
sosial bagi mereka yang paling menderita akibat krisis.
Secara perlahan presiden Habibie
berhasil membawa perekonomian melangkah ke arah yang jauh lebih baik
dibandingkan dengan keadaan ekonomi yang sangat buruk, ketika terjadinya
pengalihan kepemimpinan nasional dari Soeharto kepada Habibie. Pemerintahan
Habibie berhasil menurunkan laju inflasi dan distribusi kebutuhan pokok mulai
kembali berjalan dengan baik. Selain itu, yang paling signifikan adalah nilai
tukar rupiah mengalami penguatan secara simultan hingga menyentuh Rp.
6.700,-/dolar AS pada bulan Juni 1999.
Padahal pada bulan yang sama
tahun sebelumnya masih sekitar Rp. 15.000,-/dollar AS. Meski saat naiknya
eskalasi politik menjelang Sidang Umum MPR rupiah sedikit melemah mencapai Rp.
8000,-/dolar AS.Sesuai TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang penanggulangan krisis di
bidang sosial budaya yang terjadi sebagai akibat dan krisis ekonomi, Pemerintah
telah melaksanakan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Program Jaring
Pengaman Sosial, terutama di bidang kesehatan dan pendidikan, telah banyak
membantu masyarakat miskin dalam situasi krisis.
Pada masa Presiden B.J. Habibie
pembangunan kelautan Indonesia mendapat perhatian yang cukup besar. Pembangunan
kelautan merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan wilayah
perairan Indonesia sebagai wilayah kedaulatan dan yurisdiksi nasional untuk
didayagunakan dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan ketahanan bangsa
Indonesia.
g. Reformasi Bidang Hukum
Sesuai Tap MPR No.X/MPR/1998
reformasi di bidang hukum diarahkan untuk menanggulangi krisis dan melaksanakan
agenda reformasi di bidang hukum yang sekaligus dimaksudkan untuk menunjang
upaya reformasi di bidang ekonomi, politik dan sosial budaya.
Keberhasilan menyelesaikan 68
produk perundang-undangan dalam waktu yang relatif singkat, yaitu hanya dalam
waktu 16 bulan. Setiap bulan rata-rata dapat dihasilkan sebanyak 4,2
undang-undang yang jauh melebihi angka produktivitas legislatif selama masa
Orde Baru yang hanya tercatat sebanyak 4,07 undang-undang per tahun (0,34 per
bulan).
Untuk meningkatkan kinerja
aparatur penegak hukum, organisasi kepolisian telah dikembangkan keberadaannya
sehingga terpisah dari organisasi Tentara Nasional Indonesia. Dengan demikian,
fungsi kepolisian negara dapat lebih terkait ke dalam kerangka sistem penegakan
hukum.Tekad untuk mengadakan reformasi menyeluruh dalam kehidupan nasional,
telah berulang kali ditegaskan oleh B.J Habibie bahwa Undang-Undang Dasar 1945
sebagai hukum dasar tertinggi negara yang selama ini seakan-akan disakralkan
haruslah ditelaah kembali untuk disempurnakan sesuai dengan kebutuhan zaman.
Penyempurnaan Undang-Undang Dasar dipandang penting untuk menjamin agar
pemerintahan di masa-masa yang akan datang semakin mengembangkan sesuai dengan
semangat demokrasi dan tuntutan ke arah perwujudan masyarakat madani yang
dicita-citakan. Untuk itu pada era pemerintahan B.J. Habibie Ketetapan MPR No
11/1978 mengenai keharusan dilakukannya referendum terlebih dahulu sebelum
diberlakukannya amandemen terhadap Undang-undang Dasar dicabut.
Pada tanggal 1 sampai 21 Oktober
1999, diadakan Sidang Umum MPR hasil pemilu 1999. Tanggal 1 Oktober 1999, 700
anggota DPR/MPR periode 1999-2004 dilantik. Lewat mekanisme voting, Amin Rais
dari Partai Amanat Nasional (PAN) terpilih sebagai Ketua MPR dan Akbar Tanjung
dari Partai Golkar terpilih sebagai Ketua DPR. Pada 14 Oktober 1999, Presiden
B.J. Habibie menyampaikan pidato pertanggungjawabannya di depan Sidang Umum
MPR. Dalam pemandangan umum fraksi-fraksi atas pidato pertanggung jawaban
Presiden Habibie tanggal 15-16 Oktober 1999, dari sebelas fraksi yang
menyampaikan pemandangan umumnya, hanya empat fraksi yang secara tegas menolak,
sedangkan enam fraksi lainnya masih belum menentukan putusannya. Kebanyakan
fraksi itu memberikan catatan serta pertanyaan balik atas pertanggungjawaban
Habibie itu. Pada umumnya masalah yang dipersoalkan adalah masalah Timor-Timur,
pemberantasan KKN, masalah ekonomi dan masalah Hak Azasi Manusia.
Setelah mendengar jawaban
Presiden Habibie atas pemandangan umum fraksi-fraksi, MPR dalam sidangnya
tanggal 20 Oktober 1999, dini hari akhirnya menolak pertanggungjawaban Presiden
Habibie melalui proses voting. Tepat pukul 00.35 Rabu dini hari, Ketua MPR Amin
Rais menutup rapat paripurna dengan mengumumkan hasil rapat bahwa
pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak pagi harinya, 20 Oktober 1999, pada
pukul 08.30 di rumah kediamannya. Presiden Habibie memperlihatkan sikap
kenegarawanannya dengan menyatakan bahwa dia ikhlas menerima keputusan MPR yang
menolak laporan pertanggung jawabannya. Pada kesempatan itu, Habibie juga
menyatakan mengundurkan diri dari pencalonan presiden periode berikutnya.
Pada 20 Oktober 1999, Rapat
Paripurna ke-13 MPR dengan agenda pemilihan presiden dilaksanakan. Beberapa
calon diantaranya adalah Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Yusril
Ihza Mahendra. Calon yang disebut terakhir menyatakan pengunduran dirinya
beberapa saat menjelang dilaksanakannya voting pemilihan presiden. Lewat
dukungan poros tengah (koalisi partai-partai Islam) Abdurrahman Wahid
memenangkan pemilihan presiden melalui proses pemungutan suara. Ia mengungguli
Megawati yang didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang
nota bene adalah pemenang pemilu 1999. Peristiwa ini menandai berakhirnya
kekuasaan Presiden Habibie yang hanya berlangsung singkat kurang lebih 17
bulan.
2. Masa Pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid yang lebih
dikenal dengan panggilan Gus Dur terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia
keempat pada tanggal 20 Oktober 1999. Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden
tidak terlepas dari keputusan MPR yang menolak laporan pertanggungjawaban
Presiden B.J. Habibie. Berkat dukungan partai-partai Islam yang tergabung dalam
Poros Tengah, Abdurrahman Wahid mengungguli calon presiden lain yakni Megawati
Soekarno Putri dalam pemilihan presiden yang dilakukan melalui pemungutan suara
dalam rapat paripurna ke-13 MPR. Megawati Soekarno Putri sendiri terpilih
menjadi wakil presiden setelah mengungguli Hamzah Haz dalam pemilihan wakil
presiden melalui pemungutan suara pula. Ia dilantik menjadi wakil presiden pada
tanggal 21 Oktober 1999.
Perjalanan pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid dalam melanjutkan cita-cita reformasi diawali dengan
membentuk Kabinet Persatuan Nasional. Kabinet ini adalah kabinet koalisi dari
partai-partai politik yang sebelumnya mengusung Abdurrahman Wahid menjadi
presiden yakni PKB, Golkar, PPP, PAN, PK dan PDI-P. Di awal pemerintahannya,
Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan dua departemen yakni Departemen
Penerangan dan Departemen Sosial dengan alasan perampingan struktur
pemerintahan. Selain itu, pemerintah berpandangan bahwa aktivitas yang
dilakukan oleh kedua departemen tersebut dapat ditangani oleh masyarakat
sendiri. Dari sudut pandang politik, pembubaran Departemen Penerangan merupakan
salah satu upaya untuk melanjutkan reformasi di bidang sosial dan politik
mengingat departemen ini merupakan salah satu alat pemerintahan Orde Baru dalam
mengendalikan media massa terutama media massa yang mengkritisi kebijakan
pemerintah.Pembubaran Departemen Penerangan dan Sosial diiringi dengan
pembentukan
Departemen Eksplorasi Laut
melalui Keputusan Presiden No. 355/M tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999.
Sedangkan penjelasan mengenai tugas dan fungsi termasuk susunan organisasi dan
tata kerja departemen ini tertuang dalam Keputusan Presiden No. 136 tahun 1999
tanggal 10 November 1999. Nama departemen ini berubah menjadi Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP) berdasarkan Keputusan Presiden No. 165 tahun 2000
tanggal 23 November 2000. Pembentukan departemen ini memiliki nilai strategis
mengingat hingga masa pemerintahan Presiden Habibie, sektor kelautan Indonesia
yang menyimpan kekayaan sumber daya alam besar justru belum mendapat perhatian
serius dari pemerintah sebelumnya. Selain explorasi dan eksploitasi sumber daya
kelautan, berbagai kegiatan ekonomi yang terkait langsung dengan laut meliputi
pariwisata, pengangkutan laut, pabrik dan perawatan kapal dan pengembangan budi
daya laut melalui pemanfaatan bioteknologi.
a. Reformasi Bidang Hukum dan
Pemerintahan
Pada masa pemerintahan
Abdurrahman Wahid, MPR melakukan amandemen terhadap UUD 1945 pada tanggal 18
Agustus 2000. Amandemen tersebut berkaitan dengan susunan pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas pemerintahan pusat, provinsi,
kabupaten dan kota. Amandemen ini sekaligus mengubah pelaksanaan proses
pemilihan umum berikutnya yakni pemilik hak suara dapat memilih langsung
wakil-wakil mereka di tiap tingkat Dewan Perwakilan tersebut. Selain amandemen
tersebut, upaya reformasi di bidang hukum dan pemerintahan juga menyentuh
institusi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri atas unsur
TNI dan Polri. Institusi ini kerap dimanfaatkan oleh Pemerintah Orde Baru untuk
melanggengkan kekuasaan terutama dalam melakukan tindakan represif terhadap
gerakan demokrasi. Pemisahan TNI dan Polri juga merupakan upaya untuk
mengembalikan fungsi masing-masing unsur tersebut. TNI dapat memfokuskan diri
dalam menjaga kedaulatan wilayah Republik Indonesia dari ancaman kekuatan
asing, sementara Polri dapat lebih berkonsentrasi dalam menjaga keamanan dan
ketertiban.
Masalah lain yang menjadi
pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid adalah upaya untuk
menyelesaikan berbagai kasus KKN yang dilakukan pada masa pemerintahan Orde
Baru. Berbagai kasus KKN tersebut kembali dibuka pada tanggal 6 Desember 1999
dan terfokus pada apa yang telah dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto dan
keluarganya. Namun dengan alasan kesehatan, proses hukum terhadap Soeharto
belum dapat dilanjutkan. Kendati proses hukum belum dapat dilanjutkan,
Kejaksaan Agung menetapkan mantan Presiden Soeharto menjadi tahanan kota dan
dilarang bepergian ke luar negeri. Pada tanggal 3 Agustus 2000 Soeharto ditetapkan
sebagai terdakwa terkait beberapa yayasan yang dipimpinnya.
Pencapaian lain pemerintahan
Abdurrahman Wahid adalah pemulihan hak minoritas keturunan Tionghoa untuk
menjalankan keyakinan mereka yang beragama Konghucu melalui Keputusan Presiden
No. 6 tahun 2000 mengenai pemulihan hak-hak sipil penganut agama Konghucu. Pada
masa pemerintahannya, Presiden Abdurrahman Wahid berupaya mengurangi campur
tangan negara dalam kehidupan umat beragama namun di sisi lain ia justru
mengambil sikap yang berseberangan dengan sikap partai politik pendukungnya
terutama dalam kasus komunisme dan masalah Israel. Sikap Presiden Abdurrahman
Wahid yang cenderung mendukung pluralisme dalam masyarakat termasuk dalam
kehidupan beragama dan hak-hak kelompok minoritas merupakan salah satu titik
awal munculnya berbagai aksi penolakan terhadap kebijakan dan
gagasan-gagasannya. Dalam kasus komunisme, Presiden Abdurrahman Wahid
melontarkan gagasan kontroversial yaitu gagasan untuk mencabut Tap.MPRS No.XXV
tahun 1966 tentang larangan terhadap Partai Komunis Indonesia dan penyebaran
Marxisme dan Leninisme.
Gagasan tersebut mendapat
tantangan dari kalangan Islam termasuk Majelis Ulama Indonesia dan tokoh-tokoh
organisasi massa dan partai politik Islam. Berbagai reaksi tersebut membuat
Presiden Abdurrahman Wahid mengurungkan niatnya untuk membawa rencana dan
gagasannya ke Sidang Tahunan MPR tahun 2000.
Selain masalah komunisme,
benturan Presiden Abdurrahman Wahid dengan organisasi massa dan partai politik
Islam yang notabene justru menjadi pendukungnya saat ia terpilih menjadi
presiden adalah gagasannya untuk membuka hubungan dagang dengan Israel.
Gagasannya tersebut mendapat tantangan keras mengingat Israel adalah negara
yang menjajah dan telah banyak melakukan tindakan pelanggaran Hak Azasi Manusia
(HAM) terhadap warga Palestina yang mayoritas beragama Islam. Membuka hubungan
dagang dengan Israel sama saja dengan melanggar apa yang tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945 yang menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang
menyerukan agar penjajahan di atas dunia dihapuskan.
Kejatuhan pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid tidak terlepas dari akumulasi berbagai gagasan dan
keputusannya yang kontroversial dan mendapat tantangan keras dari berbagai
organisasi massa dan partai politik Islam yang semula mendukungnya kecuali NU
dan PKB. Keduanya merupakan pendukung setia Presiden Abdurrahman Wahid hingga
akhir masa pemerintahannya. Selain gagasannya yang kontroversial mengenai
pencabutan Tap.MPRS mengenai pelarangan komunisme dan gagasan pembukaan hubungan
dagang dengan Israel, hubungan Presiden Abdurrahman Wahid dengan DPR dan bahkan
dengan beberapa menteri dalam kabinet pemerintahannya terbilang tidak harmonis.
Penyebab ketidakharmonisan tersebut berawal dari seringnya presiden
memberhentikan dan mengangkat menteri tanpa memberikan keterangan yang dapat
diterima oleh DPR.
Pemberhentian Laksamana Sukardi
sebagai Menteri Negara Penanaman Modal dan Jusuf Kalla sebagai Menteri
Perindustrian dan Perdagangan bahkan menyebabkan DPR mengajukan hak interpelasinya.Kepercayaan
masyarakat terhadap Presiden Abdurrahman Wahid dan jajaran pemerintahannya
semakin menipis seiring dengan adanya dugaan bahwa presiden terlibat dalam
pencairan dan penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera)
Bulog sebesar 35 miliar rupiah dan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam
sebesar 2 juta dollar AS. DPR akhirnya membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk
melakukan penyelidikan keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid dalam kasus
tersebut. (Gonggong, Asy’arie ed, 2005: 220)
Pada 1 Februari 2001 DPR
menyetujui dan menerima hasil kerja Pansus. Keputusan tersebut diikuti dengan
dengan memorandum yang dikeluarkan DPR berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/1978
Pasal 7 untuk mengingatkan bahwa presiden telah melanggar haluan negara yaitu
melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan melanggar Tap MPR No.
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas KKN. (Gonggong
&Asy’asri ed,2005:221) Presiden Abdurrahman Wahid tidak menerima isi
memorandum tersebut karena dianggap tidak memenuhi landasan konstitusional. DPR
sendiri kembali mengeluarkan memorandum kedua dalam rapat paripurna DPR yang
diselenggarakan pada tanggal 30 April 2000.
Rapat tersebut memberikan laporan
pandangan akhir fraksi-fraksi di DPR atas tanggapan presiden terhadap
memorandum pertama. Hubungan antara presiden dan DPR semakin memanas seiring
dengan ancaman presiden terhadap DPR. Jika DPR melanjutkan niat mereka untuk
menggelar Sidang Istimewa MPR, maka presiden akan mengumumkan keadaan darurat,
mempercepat penyelenggaraan pemilu yang bermakna pula akan terjadi pergantian
anggota DPR, dan memerintahkan TNI dan Polri untuk mengambil tindakan hukum
terhadap sejumlah orang tertentu yang dianggap menjadi tokoh yang aktif
menyudutkan pemerintah. Situasi ini juga meningkatkan ketegangan para pendukung
presiden dan pendukung sikap DPR di tingkat akar rumput. Ribuan pendukung
presiden terutama yang tinggal di kota-kota di Jawa Timur melakukan aksi
menentang diadakannya Sidang Istimewa MPR yang dapat menjatuhkan Abdurrahman
Wahid dari kursi kepresidenan. Aksi ini berujung pada pengrusakan dan
pembakaran berbagai fasilitas umum dan gedung termasuk kantor cabang milik
sejumlah partai politik dan organisasi massa yang dianggap mendukung DPR untuk
mengadakan Sidang Istimewa MPR.
Dua hari menjelang pelaksanaan
Sidang Paipurna DPR, Kejaksaan Agung mengumumkan bahwa hasil penyelidikan kasus
skandal keuangan Yayasan Yanatera Bulog dan sumbangan Sultan Brunai yang diduga
melibatkan Presiden Abdurrahman Wahid tidak terbukti. Hasil akhir pemeriksaan
ini disampaikan Jaksa Agung Marzuki Darusman kepada pimpinan DPR tanggal 28 Mei
2001.Ketegangan antara pendukung presiden dan pendukung diselenggarakannya
Sidang Istimewa MPR tidak menyurutkan niat DPR untuk menyelenggarakan Sidang
Istimewa MPR. Presiden sendiri menganggap bahwa landasan hukum memorandum kedua
belum jelas. DPR akhirnya menyelenggarakan rapat paripurna untuk meminta MPR
mengadakan Sidang Istimewa MPR.
Pada tanggal 21 Juli 2001 MPR
menyelenggarakan Sidang Istimewa yang dipimpin oleh ketua MPR Amien Rais. Di
sisi lain Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa ia tidak akan mundur dari
jabatan presiden dan sebaliknya menganggap bahwa sidang istimewa tersebut
melanggar tata tertib MPR sehingga tidak sah dan illegal.
Menyadari posisinya yang
terancam, presiden selanjutnya mengeluarkan Maklumat Presiden tertanggal 22
Juli 2001. Maklumat tersebut selanjutnya disebut Dekrit Presiden. Secara umum
dekrit tersebut berisi tentang pembekuan MPR dan DPR RI, mengembalikan kedaulatan
ke tangan rakyat dan mempersiapkan pemilu dalam waktu satu tahun dan
menyelamatkan gerakan reformasi dari hambatan unsur-unsur Orde Baru sekaligus
membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.
Namun isi dekrit tersebut tidak
dapat dijalankan terutama karena TNI dan Polri yang diperintahkan untuk
mengamankan langkah-langkah penyelamatan tidak melaksanakan tugasnya. Seperti
yang dijelaskan oleh Panglima TNI Widodo AS, sejak Januari 2001, baik TNI
maupun Polri konsisten untuk tidak melibatkan diri dalam politik praktis.Sikap
TNI dan Polri tersebut turut memuluskan jalan bagi MPR untuk kembali menggelar
Sidang Istimewa dengan agenda pemandangan umum fraksi-fraksi atas
pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid yang dilanjutkan dengan
pemungutan suara untuk menerima atau menolak Rancangan Ketetapan MPR No.
II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid dan Rancangan
Ketetapan MPR No. III/MPR/2001 tentang penetapan Wakil Presiden Megawati
Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia. Seluruh anggota MPR yang
hadir menerima dua ketetapan tersebut. Presiden dianggap telah melanggar haluan
negara karena tidak hadir dan menolak untuk memberikan pertanggungjawaban dalam
Sidang Istimewa MPR termasuk penerbitan Maklumat Presiden RI. Dengan demikian
MPR memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan mengangkat Wakil
Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai presiden kelima Republik Indonesia
pada tanggal 23 Juli 2001.
3. Masa Pemerintahan Presiden
Megawati Soekarno Putri
Presiden Megawati Soekarno Putri
mengawali tugasnya sebagai presiden kelima Republik Indonesia dengan membentuk
Kabinet Gotong Royong. Kabinet ini memiliki lima agenda utama yakni membuktikan
sikap tegas pemerintah dalam menghapus KKN, menyusun langkah untuk
menyelamatkan rakyat dari krisis yang berkepanjangan, meneruskan pembangunan
politik, mempertahankan supremasi hukum dan menciptakan situasi sosial kultural
yang kondusif untuk memajukan kehidupan masyarakat sipil, menciptakan kesejahteraan
dan rasa aman masyarakat dengan meningkatkan keamanan dan hak asasi manusia.
Tugas Presiden Megawati di awal
pemerintahannya terutama upaya untuk memberantas KKN terbilang berat karena
selain banyaknya kasus-kasus KKN masa Orde Baru yang belum tuntas, kasus KKN
pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid menambah beban pemerintahan
baru tersebut. Untuk menyelesaikan berbagai kasus KKN, pemerintahan Presiden
Megawati membentuk Komisi Tindak Pidana Korupsi setelah keluarnya UU RI No. 28
tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
Pembentukan komisi ini menuai
kritik karena pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid telah dibentuk
Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN). Dari sisi kemiripan tugas,
keberadaan dua komisi tersebut tersebut terkesan tumpang tindih. Dalam
perjalanan pemerintahan Megawati, kedua komisi tersebut tidak berjalan maksimal
karena hingga akhir pemerintahan Presiden Megawati, berbagai kasus KKN yang ada
belum dapat diselesaikan.
a. Reformasi Bidang Hukum dan
Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Presiden
Megawati, MPR kembali melakukan amandemen terhadap UUD 1945 pada tanggal 10
November 2001. Amandemen tersebut meliputi penegasan Indonesia sebagai negara
hukum dan kedaulatan berada di tangan rakyat. Salah satu perubahan penting
terkait dengan pemilihan umum adalah perubahan tata cara pemilihan presiden dan
wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dan mulai diterapkan pada
pemilu tahun 2004. Dengan demikian rakyat akan berpartisipasi dalam pemilihan
umum untuk memilih calon anggota legislatif, presiden dan kepala daerah secara
terpisah.
Hal lain yang dilakukan terkait
dengan reformasi di bidang hukum dan pemerintahan adalah pembatasan wewenang
MPR, kesejajaran kedudukan antara presiden dan DPR yang secara langsung
menguatkan posisi DPR, kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), penetapan APBN
yang diajukan oleh presiden dan penegasan wewenang BPK.
Salah satu bagian penting
amandemen yang dilakukan MPR terkait upaya pemberantasan KKN adalah penegasan
kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan independen untuk menyelenggarakan
peradilan yang adil dan bersih guna menegakkan hukum dan keadilan yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung. Amandemen ini memberikan kekuatan bagi penegak
hukum untuk menembus birokrasi yang selama ini disalahgunakan untuk mencegah
penyelidikan terhadap tersangka kejahatan terlebih jika sebuah kasus menimpa
pejabat pemerintah yang tengah berkuasa. Upaya lain untuk melanjutkan cita-cita
reformasi di bidang hukum adalah pencanangan pembentukan Mahkamah Konstitusi
selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 2003.
Selain beberapa amandemen terkait
masalah hukum dan pemerintahan, pemerintahan Presiden Megawati juga berupaya
melanjutkan upaya reformasi di bidang pers yang ditandai dengan dikeluarkannya
Undang-undang Pers dan Undang-undang Penyiaran. Dilihat dari sisi kebebasan
mengeluarkan pendapat, keberadaan kedua undang-undang tersebut berdampak
positif namun di sisi lain berbagai media yang diterbitkan oleh partai-partai politik
dan LSM seringkali melahirkan polemik dan sulit dikontrol oleh pemerintah.
b. Reformasi Bidang Ekonomi
Krisis ekonomi yang melanda
Indonesia sejak 1998 belum dapat dilalui oleh dua presiden sebelum Megawati
sehingga pemerintahannya mewarisi berbagai persoalan ekonomi yang harus
dituntaskan. Masalah ekonomi yang kompleks dan saling berkaitan menuntut
perhatian pemerintah untuk memulihkan situasi ekonomi guna memperbaiki
kehidupan rakyat. Wakil Presiden Hamzah Haz menjelaskan bahwa pemerintah merancang
paket kebijakan pemulihan ekonomi menyeluruh yang dapat menggerakkan sektor
riil dan keuangan agar dapat menjadi stimulus pemulihan ekonomi. Selain upaya
pemerintah untuk memperbaiki sektor ekonomi, MPR berhasil mengeluarkan
keputusan yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan pembangunan ekonomi di masa
reformasi yaitu Tap MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara 1999-2004. Sesuai dengan amanat GBHN 1999-2004, arah kebijakan
penyelenggaraan negara harus dituangkan dalam Program Pembangunan Nasional
(Propenas) lima tahun yang ditetapkan oleh presiden bersama DPR.
Minimnya kontroversi selama masa
pemerintahan Megawati berdampak positif pada sektor ekonomi. Hal ini membuat
pemerintahan Megawati mencatat beberapa pencapaian di bidang ekonomi dan
dianggap berhasil membangun kembali perekonomian bangsa yang sempat terpuruk
sejak beralihnya pemerintahan dari pemerintahan Orde Baru ke pemerintahan pada
era reformasi. Salah satu indikator keberhasilan pemerintahan Presiden Megawati
adalah rendahnya tingkat inflasi dan stabilnya cadangan devisa negara. Nilai
tukar rupiah relatif membaik dan berdampak pada stabilnya harga-harga barang.
Kondisi ini juga meningkatkan kepercayaan investor terhadap perekonomian
Indonesia yang dianggap menunjukkan perkembangan positif.
Kenaikan inflasi pada bulan
Januari 2002 akibat kenaikan harga dan suku bunga serta berbagai bencana
lainnya juga berhasil ditekan pada bulan Maret dan April 2002. Namun berbagai
pencapaian di bidang ekonomi pemerintahan Presiden Megawati mulai menunjukkan
penurunan pada paruh kedua pemerintahannya. Pada pertengahan tahun 2002-2003
nilai tukar rupiah yang sempat menguat hingga Rp. 8.500,- per dolar kemudian
melemah seiring menurunnya kinerja pemerintah. Di sisi lain, berbagai
pencapaian tersebut juga tidak berbanding lurus dengan jumlah penduduk yang
ternyata masih banyak berada di bawah garis kemiskinan.
Popularitas pemerintah juga
menurun akibat berbagai kebijakan yang tidak populis dan meningkatkaninflasi.
Meningkatnya inflasi berdampak buruk terhadap tingkat inflasi riil. Diantara
kebijakan tersebut adalah kebijakan pemerintah yang menaikkan harga bahan bakar
minyak (BBM) dan tarif dasar listrik (TDL) serta pajak pendapatan negara.
(Sarwanto, 2004: 50). Selain itu, persoalan hutang luar negeri juga menjadi
persoalan pada masa pemerintahan Presiden Megawati karena pembayaran hutang
luar negeri mengambil porsi APBN yang paling besar yakni mencapai 52% dari
total penerimaan pajak yang dibayarkan oleh rakyat sebesar 219,4 triliun
rupiah. Hal ini mengakibatkan pemerintah mengalami defisit anggaran dan
kebutuhan pinjaman baru.
c. Masalah Disintegrasi dan
Kedaulatan Wilayah
Pemerataan ekonomi di seluruh
wilayah Indonesia merupakan salah satu pekerjaan rumah pemerintahan Presiden
Megawati. Tidak meratanya pembangunan dan tidak adilnya pembagian hasil sumber
daya alam antara pemerintah pusat dan daerah menjadi masalah yang berujung pada
keinginan untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
terutama beberapa provinsi yang kaya akan sumber daya alam tetapi hanya
mendapatkan sedikit dari hasil sumber daya alam mereka. Dua provinsi yang
rentan untuk melepaskan diri adalah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan
Papua. Kebijakan represif yang diterapkan pada masa pemerintahan Orde Baru di
kedua provinsi tersebut menjadi alat propaganda efektif bagi kelompok-kelompok
yang ingin memisahkan diri.
Untuk meredam keinginan
melepaskan diri kedua provinsi tersebut, Presiden Megawati melakukan
upaya-upaya untuk menyelesaikan permasalahan disintegrasi dan memperbaiki
persentase pembagian hasil sumber daya alam antara pemerintah pusat dan daerah
di kedua propinsi tersebut. Berdasarkan UU No. 1b/2001 dan UU No. 21/2001 baik
propinsi NAD dan Papua akan menerima 70% dari hasil pertambangan minyak bumi
dan gas alam. Upaya Presiden Megawati untuk memperbaiki hubungan pemerintah
pusat dan rakyat propinsi NAD juga dilakukan dengan melakukan kunjungan kerja
ke Banda Aceh pada tanggal 8 September 2001. Dalam kunjungan kerja tersebut, presiden
melakukan dialog dengan sejumlah tokoh Aceh dan berpidato di halaman Masjid
Raya Baiturrahman. Dalam kesempatan tersebut, presiden mensosialisasikan UU No.
18 tahun 2001 tentang otonomi khusus Provinsi NAD.
Presiden Megawati juga menandatangani
prasasti perubahan status Universitas Malikussaleh Lhokseumawe menjadi
universitas negeri.Upaya Presiden Megawati untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI
juga diuji saat pemerintah berusaha untuk menyelesaikan sengketa status Pulau Sipadan
dan Ligitan dengan pemerintah Malaysia. Sengketa status kedua pulau tersebut
tidak dapat diselesaikan melalui perundingan bilateral antara pemerintah
Indonesia dan Malaysia. Kedua negara sepakat untuk membawa kasus ini ke
Mahkamah Internasional di Den Haag. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1997 telah
memperjuangkan pengakuan internasional bahwa kedua pulau tersebut merupakan
bagian dari wilayah Republik Indonesia. Namun Mahkamah Internasional pada
akhirnya memutuskan bahwa kedua pulau tersebut merupakan bagian dari Malaysia.
Dari 17 hakim yang terlibat dalam proses keputusan Mahkamah Internasional,
satu-satunya hakim yang memberikan keputusan bahwa kedua pulau tersebut
merupakan bagian dari wilayah Indonesia adalah Hakim Ad Hoc Thomas Franck yang
ditunjuk oleh Indonesia.Terlepasnya Pulau Sipadan yang memiliki luas 10,4
hektar dan Pulau Ligitan yang memiliki luas 7,9 hektar merupakan pukulan bagi diplomasi
luar negeri Indonesia setelah terlepasnya Timor Timur. Kasus ini juga
menunjukkan lemahnya diplomasi luar negeri Indonesia saat berhadapan dengan
negara lain terutama dalam sengketa perbatasan dengan negara-negara tetangga.
d. Desentralisasi Politik dan
Keuangan
Terkait hubungan pemerintah pusat
dan daerah, pemerintahan Presiden Megawati berupaya untuk melanjutkan kebijakan
otonomi daerah yang telah dirintis sejak tahun 1999 seiring dengan
dikeluarkannya UU No. 2 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat-daerah.
Upaya ini merupakan proses reformasi tingkat lokal terutama pada bidang
politik, pengelolaan keuangan daerah dan pemanfaatan sumber-sumber daya alam
daerah untuk kepentingan masyarakat setempat. Upaya desentralisasi politik dan
keuangan ini sejalan dengan struktur pemerintahan di masa mendatang dimana
masing-masing daerah akan diberi wewenang lebih besar untuk mengelola
hasil-hasil sumber daya alam dan potensi ekonomi yang mereka miliki.Otonomi
daerah merupakan isu penting sejak bergulirnya reformasi pada tahun 1998.
Setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru, rakyat di beberapa daerah mulai
menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap sistem sentralisasi kekuasaan dan
wewenang pemerintah pusat yang sangat kuat. Kepala daerah yang bertugas di
beberapa daerah mulai dari posisi gubernur hingga bupati seringkali bukan
merupakan pilihan masyarakat setempat.
Pada masa pemerintahan Orde Baru,
para pejabat yang bertugas di daerah umumnya adalah pejabat yang ditunjuk oleh
pemerintah pusat dan memerintah sesuai keinginan pemerintah pusat. Masalah di
daerah semakin kompleks saat pejabat bersangkutan kurang dapat mengakomodasi
aspirasi masyarakat setempat. Faktor inilah yang membuat isu mengenai otonomi
daerah menjadi penting sebagai bagian dari reformasi politik dan sosial
terutama di beberapa wilayah yang ingin melepaskan diri dari NKRI.
Proses pelaksanaan otonomi daerah
berikut pengadaan perangkat hukumnya berkaitan erat dengan sistem pemilihan
umum berikutnya yang akan diselenggarakan pada tahun 2004. Sejalan dengan
rencana pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah secara aktif mengeluarkan
beberapa undang-undang yang mendukung pelaksanaan otonomi daerah sekaligus
memberikan pedoman dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan
saat undang-undang tersebut diberlakukan. Terkait dengan itu, pemerintah
mengeluarkan UU No. 12 tahun 2003 mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD dan
DPRD. Penerbitan undang-undang ini diikuti dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun
2003 tentang susunan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD serta UU No. 23 tahun
2003 mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden. Untuk melengkapi berbagai
perangkat hukum mengenai otonomi daerah yang sudah ada, pemerintahan Presiden
Megawati di tahun terakhir masa pemerintahnnya mengeluarkan UU No. 32 tahun
2004 mengenai pemerintahan daerah yang memuat antara lain kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah, konsep otonomi dan asas-asas penyelenggaraan
pemerintahan.
Sistem pemilihan langsung
terhadap wakil-wakil rakyat di daerah dan kepala daerah menjadikan pelaksanaan
otonomi daerah semakin memberikan kesempatan bagi rakyat di daerah untuk
berperan lebih besar dalam memajukan wilayah mereka. Terpilihnya wakil rakyat dan
kepala daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat setempat diharapkan lebih
dapat mengakomodasi keinginan masyarakat karena memahami seluk beluk masalah
dan potensi masyarakat dan sumber daya alam yang dimiliki oleh wilayah
bersangkutan disamping lebih memahami karakter dan adat istiadat yang berlaku
di wilayah tersebut.
e. Upaya Pemberantasan KKN
Kendati berhasil melakukan
berbagai pencapaian di bidang ekonomi dan politik terutama dalam menghasilkan
produk undang-undang mengenai pelaksanaan otonomi daerah, pemerintahan Presiden
Megawati belum berhasil melakukan penegakkan hukum (law enforcement). Berbagai
kasus KKN yang diharapkan dapat diselesaikan pada masa pemerintahannya
menunjukkan masih belum maksimalnya upaya Presiden Megawati dalam penegakkan
hukum terutama kasus-kasus KKN besar yang melibatkan pejabat negara. Belum
maksimalnya penanganan kasus-kasus tersebut juga disebabkan karena kurangnya
jumlah dan kualitas aparat penegak hukum sehingga proses hukum terhadap
beberapa kasus berjalan sangat lambat dan berimbas pada belum adanya pembuktian
dari kasus-kasus yang ditangani.
Namun keseriusan pemerintah untuk
memerangi tindak pidana korupsi tercermin dari dikeluarkannya UU No. 20 tahun
2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor). Produk hukum tersebut merupakan produk hukum yang dikeluarkan khusus
untuk memerangi korupsi.
Pengeluaran produk hukum tentang
Tipikor diikuti dengan dikeluarkannya berbagai produk hukum lain seperti UU No.
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, UU
No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), PP
No, 41 Tahun 2002 tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim, Inpres No. 2
Tahun 2002 tentang Penambang Pasir Laut dan Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang
Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan
Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan
Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.
f. Pelaksanaan Pemilu 2004
Pemilu tahun 2004 merupakan
pemilu pertama dimana untuk pertama kalinya masyarakat pemilik hak suara dapat
memilih wakil rakyat mereka di tingkat pusat dan daerah secara langsung. Pemilu
untuk memilih anggota legislatif tersebut selanjutnya diikuti dengan pemihan
umum untuk memilih presiden dan wakil presiden yang juga dipilih langsung oleh
rakyat. Pemilihan anggota legislatif dan pemilu untuk memilih presiden dan
wakil presiden memiliki keterkaitan erat karena setelah pemilu legislatif
selesai, maka partai yang memiliki suara lebih besar atau sama dengan tiga
persen dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presidennya untuk
maju ke pemilu presiden. Jika dalam pemilu presiden dan wakil presiden terdapat
satu pasangan yang memperoleh suara lebih dari 50%, maka pasangan tersebut
dinyatakan sebagai pasangan pemenang pemilu presiden.
Jika pada pemilu presiden tidak
terdapat pasangan yang mendapatkan suara lebih dari 50%, maka pasangan yang
mendapatkan suara tertinggi pertama dan kedua berhak mengikuti pemilu presiden
putaran kedua.Pemilu legislatif 2004 yang diselenggarakan pada tanggal 5 April
2004 diikuti oleh 24 partai politik. Lima partai politik yang berhasil
mendapatkan suara terbanyak adalah Partai Golkar (24.480.757 atau 21,58%
suara), PDI-P (21.026.629 atau 18,53% suara), PKB (11.989.564 atau 10,57%
suara), PPP (9.248.764 atau 8,15% suara) dan PAN (7.303.324 atau 6,44% suara).
Berdasarkan perolehan suara
tersebut, KPU meloloskan lima pasangan calon presiden dan wakil presiden yang
dianggap memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan berdasarkan Keputusan KPU
no. 36 tahun 2004 untuk mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden yakni:
1. Nomor urut 1: H. Wiranto, S.H.
dan Ir. H. Salahuddin Wahid (calon dari partai Golkar).
2. Nomor urut 2: Hj. Megawati
Soekarnoputri dan K.H. Ahmad Hasyim Muzadi (calon dari PDI-P).
3. Nomor urut 3: Prof. Dr. H.M.
Amien Rais dan Dr. Ir. H. Siswono Yudohusodo (calon dari PAN).
4. Nomor urut 4: H. Susilo
Bambang Yudhoyono dan Drs. Muhammad Jusuf Kalla (calon dari Partai Demokrat).
5. Nomor Urut 5: Dr. H. Hamzah
Haz dan H. Agum Gumelar, M. Sc. (calon dari PPP)
Pemilu presiden yang
diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004 belum menghasilkan satu pasangan calon
presiden dan calon wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50%
sehingga pemilu presiden diselenggarakan dalam dua putaran. Dalam pemilu
presiden putaran kedua yang diselenggarakan pada tanggal 20 September 2004,
pasangan H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. Muhammad Jusuf Kalla mengungguli
pasangan Hj. Megawati Soekarnoputri dan K.H. Ahmad Hasyim Muzadi. Pada pemilu
putaran kedua tersebut, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla
memperoleh 62.266.350 suara atau 60,62% sementara pasangan Hj. Megawati
Soekarnoputri dan K.H. Ahmad Hasyim Muzadi memperoleh 44.990.704 suara atau
39,38% . (Gonggong & Asy’arie, 2005: 239).
4. Masa Pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono
Susilo Bambang Yudhoyono adalah
presiden pertama RI yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Susilo Bambang
Yudhoyono yang sering disapa SBY dan Jusuf Kalla dilantik oleh MPR sebagai
presiden dan wakil presiden RI ke-6 pada tanggal 20 Oktober 2004.Terpilihnya
pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla menjadi presiden dan wakil
presiden diikuti dengan berbagai aksi protes mahasiswa, diantaranya aksi yang
dilakukan oleh mahasiswa Universitas Udayana, Denpasar, Bali, yang meminta agar
presiden terpilih segera merealisasikan janji-janji mereka selama kampanye
presiden. Tidak lama setelah terpilih, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
sendiri segera membentuk susunan kabinet pemerintahannya yang diberi nama
Kabinet Indonesia Bersatu.
Sejak awal pemerintahannya
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memprioritaskan untuk menyelesaikan
permasalahan kemiskinan dan pengangguran serta pemberantasan KKN yang ia
canangkan dalam program 100 hari pertama pemerintahannya. Program pengentasan
kemiskinan berkaitan langsung dengan upaya pemerataan dan pengurangan
kesenjangan serta peningkatan pembangunan terutama di daerah-daerah yang masih
tertinggal. Salah satu program pengentasan kemiskinan yang dilakukan
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah bantuan langsung tunai
(BLT). Pada tahun 2006, BLT dianggarkan sebesar Rp. 18,8 triliun untuk 19,1
juta keluarga. Tahun 2007 dilakukan BLT bersyarat bagi 500 ribu rumah tangga
miskin di 7 propinsi, 51 kabupaten, 348 kecamatan. Bantuan tersebut meliputi
bantuan tetap, pendidikan, kesehatan dengan rata-rata bantuan per rumah tangga
sebesar Rp. 1.390.000 (Suasta, 2013: 31-33).Selain memfokuskan pada manusia dan
rumah tangganya, program pengentasan kemiskinan juga berupaya untuk memperbaiki
fisik lingkungan dan prasarananya seperti gedung sekolah, fasilitas kesehatan,
jalan, air bersih, dll.
Program 100 hari pertama Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono juga memberikan prioritas pada peninjauan kembali
RAPBN 2005, menetapkan langkah penegakkan hukum, langkah awal penyelesaian
konflik di Aceh dan Papua, stimulasi ekonomi nasional dan meletakkan fondasi
yang efektif untuk pendidikan nasional. (Gonggong& Asy’arie, 2005: 243)
a. Upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat
Sejak krisis yang dialami bangsa
pada tahun 1998, kondisi perekonomian masyarakat Indonesia belum pulih. Upaya
pengentasan kemiskinan yang juga pernah dicanangkan oleh presiden sebelumnya
masih belum terlaksana sepenuhnya. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya
sejumlah bencana alam terutama tragedi tsunami di Aceh yang merenggut banyak
korban dengan kerugian material yang sangat besar. Presiden SBY bersama Kabinet
Indonesia Bersatu segera mengambil langkah-langkah penanggulangan pasca
bencana. Salah satunya adalah dengan menetapkan Keputusan Presiden Nomor 30
Tahun 2005 mengenai Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan
Kehidupan Masyarakat Aceh dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara. Selain itu
dibentuk pula Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan
Masyarakat Aceh dan Nias (Yudhoyono, 2013).
Pada masa pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, upaya untuk pengentasan kemiskinan direalisasikan
melalui peningkatan anggaran di sektor pertanian termasuk upaya untuk
swasembada pangan. Anggaran untuk sektor ini yang semula hanya sebesar 3,6 triliun
rupiah ditingkatkan menjadi 10,1 triliun rupiah. Untuk mendukung perbaikan di
sektor pertanian, pemerintah menyediakan pupuk murah bagi petani. Selain
berupaya memperkuat ketahanan pangan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono juga berupaya memperbaiki sektor pendidikan dengan cara meningkatkan
anggaran pendidikan yang semula berjumlah 21,49 triliun pada tahun 2004 menjadi
50 triliun pada tahun 2007. Seiring dengan itu, program bantuan operasional
sekolah atau BOS juga ditingkatkan. Perbaikan di sektor pendidikan ini berhasil
menurunkan persentase tingkat putus sekolahdari 4,25% pada tahun 2005 menjadi
1,5% pada tahun 2006. Selain upaya untuk memperbaiki kelangsungan pendidikan
para peserta didik, pemerintah juga meningkatkan tunjangan kesejahteraan tenaga
pendidik.
Di bidang kesehatan, pemerintah
memberikan bantuan kesehatan gratis untuk berobat ke puskesmas dan rumah sakit
melalui pemberian Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin dan beberapa kali
menurunkan harga obat generik. (Suasta, 2013: 33-36). Pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono juga memberikan perhatian besar pada permasalahan
kesejahteraan rakyat lainnya seperti sektor perumahan, pengembangan usaha
kecil, peningkatan kesejahteraan PNS termasuk prajurit TNI dan Polri dan juga kesejahteraan
buruh. Pelayanan dan fasilitas publik juga ditingkatan. Di bidang hukum, upaya
pemerintah untuk melanjutkan program pemberantasan korupsi dan penegakkan
supremasi hukum jugamendapat perhatian pemerintah.
b. Reformasi di Bidang Politik
dan Upaya Menjaga Kesolidan Pemerintahan
Pemerintahan yang solid
berpengaruh terhadap kelancaran jalannya program-program pemerintah sehingga
upaya untuk menjaga kesolidan pemerintahan menjadi salah satu faktor penting
keberhasilan program pemerintah. Seperti halnya pemerintahan pada era reformasi
sebelumnya, pembentukan kabinet pemerintah merupakan hasil dari koalisi
partai-partai yang mendukung salah satu pasangan calon presiden saat pemilu
presiden, dengan demikian keberadaan koalisi dan hubungan partai-partai yang
mendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus dijaga. Salah
satu upaya untuk menjaga kesolidan koalisi pada masa pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono adalah pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab)
antara Partai Demokrat dengan partai-partai politik lainnya yang mendukung SBY.
Pembentukan Setgab juga bertujuan untuk menyatukan visi dan misi pembangunan
agar arah koalisi berjalan seiring dengan kesepakatan bersama.
Setgab merupakan format koalisi
yang dianggap SBY sesuai dengan etika demokrasi dan dibentuk sebagai sarana
komunikasi politik pada masa pemerintahan SBY (Suasta, 2013: 25).Sejalan dengan
upaya menjaga kesolidan pemerintahan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono juga melanjutkan reformasi politik seperti yang telah dirintis oleh
pemerintahan sebelumnya pada era reformasi. Upaya untuk penerapan otonomi
daerah dengan cara mengurangi wewenang pemerintah pusat dan memperluas wewenang
pemerintah daerah dilakukan secara proporsional dan seimbang. (Suasta, 2013:
259). Selain itu, pemerintah juga mengupayakan reformasi birokrasi yang
mengedepankan aspek transparansi, partisipasi dan akuntabilitas demi
menciptakan good governance. Reformasi birokrasi tersebut diharapkan dapat
meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah karena proses pengambilan
keputusan dilakukan secara transparan dan dapat diakses oleh masyarakat
terutama dalam pengambilan keputusan yang terkait langsung dengan hajat hidup
orang banyak seperti masalah kenaikan BBM dan pengadilan terhadap para
koruptor.
Untuk membangun komunikasi yang
efektif dengan masyarakat, pemerintah memaksimalkan penggunaan media sosial
seperti SMS online dan twitter
. Melalui media tersebut,
partisipasi masyarakat dalam perjalanan pemerintahan diharapkan meningkat. Di
sisi lain pemerintah dapat dengan cepat mengetahui
pendapat masyarakat terkait
masalah-masalah tertentu termasuk opini masyarakat terhadap berbagai kebijakan
pemerintah dalam kasus-kasus yang dianggap krusial.
c. Upaya untuk menyelesaikan
konflik dalam negeri
Selain berupaya untuk menjaga
kedaulatan wilayah dari ancaman luar, upaya internal yang dilakukan pemerintah
untuk menjaga kedaulatan wilayah adalah mencegah terjadinya disintegrasi di
wilayah konflik.
Konflik berkepanjangan di wilayah
Aceh dan Papua yang belum juga berhasil diselesaikan pada masa pemerintahan
presiden sebelumnya, mendapat perhatian serius dari Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Kendati telah dilakukan pendekatan baru melalui dialog pada masa
pemerintahan Presiden B.J. Habibie termasuk dengan mencabut status DOM yang
diterapkan oleh pemerintah Orde Baru, namun konflik di Aceh tidak kunjung
selesai.
Pada masa pemerintahan
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, pemerintah berupaya untuk lebih mengefektifkan forum-forum dialog
mulai dari tingkat lokal Aceh hingga tingkat internasional. Di tingkat
internasional, upaya tersebut menghasilkan Geneva Agreement(Kesepakatan
Penghentian Permusuhan/Cessation of Hostilities Agreement(CoHA). Tujuan dari
kesepakatan tersebut adalah menghentikan segala bentuk pertempuran sekaligus
menjadi kerangka dasar dalam upaya negosiasi damai diantara semua pihak yang
berseteru di Aceh. Namun pada kenyataannya, CoHA dan pembentukkan komite
keamanan bersama belum mampu menciptakan perdamaian yang sesungguhnya. Belum
dapat dilaksanakannya kesepakatan tersebut dikarenakan minimnya dukungan di
tingkat domestik, baik dari kalangan DPR maupun militer selain tidak adanya
pula dukungan dari pihak GAM (Gerakan Aceh Merdeka). (Yudhoyono, 2013).Selain
berupaya menyelesaikan konflik Aceh melalui perundingan, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono juga melakukan pendekatan langsung dengan masyarakat Aceh
melalui kunjungan yang dilakukan ke Aceh pada tanggal 26 November 2004. Dalam
kunjungan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan pentingnya
penerapan otonomi khusus di Aceh sebagai sebuah otonomi yang luas. Presiden
juga berupaya untuk membicarakan amnesti dengan DPR bagi anggota GAM seraya
menekankan bahwa solusi militer tidak akan menyelesaikan masalah Aceh secara
permanen.
Selain konflik di Aceh, konflik
lain yang berpotensi menjadi konflik berskala luas adalah konflik bernuansa
agama di Poso. Konflik yang dimulai pada tahun 1998 tersebut terus berlanjut
hingga masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Salah satu
kebijakan presiden untuk menyelesaikan konflik Poso adalah dengan mengeluarkan
Intruksi Presiden No 14 Tahun 2005 tentang langkah-langkah komprehensif
penanganan masalah Poso.
Melalui Inpres tersebut, Presiden
menginstruksikan untuk:
1. Melaksanakan percepatan
penanganan masalah Poso melalui langkah- langkah komprehensif, terpadu dan
terkoordinasi.
2. Menindak secara tegas setiap
kasus kriminal, korupsi dan teror serta mengungkap jaringannya.
3. Upaya penanganan masalah Poso
dilakukan dengan tetap memperhatikan Deklarasi Malino 20 Desember 2001.
Selain konflik Aceh dan Poso,
konflik lain yang mendapat perhatian serius pemerintah adalah konflik di Papua.
Seperti halnya konflik di Aceh, upaya untuk menyelesaikan konflik di Papua juga
mengedepankan aspek dialog dan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Kurangnya keadilan bagi masyarakat Papua menimbulkan adanya
perlawanan dan keinginan sebagian masyarakat untuk memisahkan diri dari NKRI.
Perhatian pemerintah sudah sewajarnya lebih diberikan untuk meningkatkan sisi
ekonomi dan pemberdayaan sumber daya manusia masyarakat yang tinggal di wilayah
ini melalui pemberian pelatihan untuk meningkatkan keterampilan mereka di
bidang pertanian dan pemahaman birokrasi, terlebih propinsi Papua memiliki
sumber daya alam besar terutama di sektor pertambangan. Terkait dengan itu,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengeluarkan kebijakan otonomi khusus
bagi Papua. Otonomi khusus tersebut diharapkan dapat memberikan porsi
keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan kepada orang asli Papua.
Kebijakan tersebut didukung oleh
pemerintah melalui aliran dana yang cukup besar agar rakyat Papua dapat menikmati
rasa aman dan tentram di tengah derap pembangunan (Suasta, 2013: 294).
d. Pelaksanaan Pemilu 2009
Berbagai pencapaian pada masa
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meningkatkan popularitas dan
kepercayaan masyarakat kepadanya. Hal ini juga tidak terlepas dari gaya
kepemimpinan yang berkorelasi dengan penerapan berbagai kebijakan pemerintah
yang efektif di lapangan. Transparansi dan partisipasi masyarakat juga menjadi
faktor penting yang berperan sebagai modal sosial dalam pembangunan termasuk
adanya sinergi antara pemerintah dengan dunia usaha dan perguruan tinggi.
Selain itu, situasi dalam negeri yang semakin kondusif termasuk meredanya
beberapa konflik dalam negeri meningkatkan investor asing untuk menanamkan
modal mereka di Indonesia sekaligus membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat
Indonesia. Kondisi ini ikut mengurangi angka pengangguran yang di awal
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih sangat tinggi.
keberhasilan beberapa program pembangunan juga tidak terlepas dari adanya
stabilitas politik, keamanan, dan ketertiban serta harmoni sosial.
Berbagai pencapaian pada masa
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dirasakan langsung oleh masyarakat
menjadi modal bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk kembali maju sebagai
calon presiden pada pemilu presiden tahun 2009. Berpasangan dengan seorang ahli
ekonomi yakni Boediono, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil mendapatkan
kembali mandat dari rakyat untuk memimpin Indonesia untuk masa pemerintahan
berikutnya. Pada pemilu presiden yang diselenggarakan pada tanggal 8 Juli 2009
pasangan Susilo Bambang Yudhoyono berhasil memenangkan pemilu hanya melalui
satu putaran.
e. Euforia Berdemokrasi:
Demokrasi Masa Reformasi
Reformasi 1998 yang menumbangkan
pemerintahan Orde Baru memberikan ruang seluas-luasnya bagi perubahan sistem
dan penerapan demokrasi di Indonesia. Pemerintahan Orde Baru yang sangat
sentralistik menimbulkan kesenjangan terutama bagi wilayah-wilayah yang
dianggap kurang mendapat perhatian. Selain itu, pemilihan anggota legislatif
dan pejabat eksekutif di daerah-daerah terutama para kepala daerah yang
ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat meningkatkan rasa tidak puas terhadap
pemerintah. Ketika pemerintah Orde Baru tumbang, keinginan untuk mendapatkan
ruang politik dan pemerintahan untuk mengatur wilayah sendiri menjadi keinginan
masyarakat di daerah-daerah yang pada akhirnya melahirkan Undang-Undang otonomi
daerah. Pembagian hasil eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam antara
pemerintah pusat dan daerah juga disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan
diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Penerapan otonomi daerah tersebut
diiringi dengan perubahan sistem pemilu
dan diselenggarakannya pemilu
langsung untuk mengangkat kepala dareah mulai dari gubernur hingga bupati dan
walikota. Di bidang pers, euphoria demokrasi juga melahirkan sejumlah media
massa baru yang lebih bebas menyuarakan berbagai aspirasi masyarakat. Namun,
kebebasan di bidang pers harus tetap memperhatikan aspek-aspek keadilan dan
kejujuran dalam menyebarkan berita. Berita yang dimuat dalam media massa harus
tetap mengedepankan fakta sehingga euphoria kebebasan pers yang telah sekian
lama terkekang pada masa pemerintahan Orde Baru tidak menimbulkan keresahan
dalam masyarakat.
f. Peran Pemuda dan Tokoh
Masyarakat dalam perubahan Politik dan Ketatanegaraan
Tidak dapat dipungkiri bahwa
peristiwa Reformasi 1998, seperti halnya juga terjadi di beberapa negara lain,
menunjukkan bahwa sebuah perubahan hingga dapat mempengaruhi situasi politik
nasional bahkan pergantian kepemimpinan, memerlukan energi yang besar dan
ide-ide cemerlang sehingga mampu menarik minat masyarakat untuk berpartisipasi
dalam gerbong perubahan itu sendiri. Pengaruh dan ide-ide tokoh masyarakat yang
bersinergi dengan semangat pemuda dan mahasiswa yang energik melahirkan sebuah
kekuatan besar dalam masyarakat (people power) untuk pada akhirnya melakukan
perubahan.
Tokoh masyarakat dan pemuda
khususnya mahasiswa memainkan peranan penting sebelum dan sesudah peristiwa
Reformasi 1998. Tidak hanya sebagai pelaku yang berperan dalam menumbangkan
pemerintahan Orde Baru, baik tokoh masyarakat maupun pemuda pada era reformasi
juga berpartisipasi secara aktif dalam melanjutkan upaya untuk mewujudkan
cita-cita reformasi.Salah satu upaya untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan
bernegara, reformasi di bidang politik dan ketatanegaraan merupakan salah satu
aspek yang mendapat perhatian besar sejak masa pemerintahan Presiden Habibie
hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Banyaknya produk hukum dan
undang-undang termasuk Tap MPR, instruksi presiden dan peraturan pemerintah
menyangkut upaya untuk memperbaiki kehidupan politik dan ketatanegaraan telah
dikeluarkan dan sebagian telah berhasil diterapkan.
Keberhasilan tersebut tidak
terlepas dari perubahan sistem pemilu. Perubahan sistem tersebut menghasilkan
para anggota eksekutif dan legislatif dalam pemerintahan yang dianggap dapat
lebih menyuarakan kepentingan masyarakat termasuk peran aktif tokoh-tokoh
masyarakat dan mahasiswa yang sejak awal era reformasi telah aktif dalam
mengawal perubahan sejak tumbangnya pemerintahan Orde Baru.
Beberapa dari mereka bahkan
terpilih menjadi anggota legislatif dan menduduki posisi-posisi strategis dalam
partai-partai politik hingga masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.Selama era reformasi, regenerasi kepemimpinan dari tokoh-tokoh senior
kepada tokoh-tokoh yang lebih muda juga memperlihatkan kepedulian organisasi
masyarakat dan partai politik terhadap pentingnya peran serta aktif pemuda
untuk memulai lebih dini dalam mengikuti perkembangan dan perubahan politik
yang dalam beberapa hal juga mempengaruhi ketatanegaraan. Selain itu, peran
aktif pemuda juga diharapkan dapat menyuarakan kepentingan generasi mendatang
agar dapat lebih kompetitif dengan bangsa-bangsa lain di tengah arus globalisasi
termasuk peningkatan anggaran di bidang pendidikan yang meliputi sarana dan
prasarana serta peningkatan anggaran untuk melakukan penelitian.
KESIMPULAN
- Reformasi lahir sebagai reaksi langsung terhadap krisis ekonomi yang melanda Indonesia sekaligus adanya tuntutan untuk terjadinya perubahan-perubahan di Indonesia dalam berbagai bidang.
- Selama masa Reformasi hingga kini, berbagai pembaharuan nyatanya memang terjadi. Pemilu misalnya, berlangsung lebih demokratis. Pembaharuan di bidang hukum juga terjadi. Desentralisasi berlangsung, dan gerakan separatis GAM bisa diakhiri.
- Terhitung sejak bergantinya era Orde Baru ke era Reformasi, hingga Pemilu tahun 2014 ada 4 tokoh yang menjadi presiden RI: BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Sumber:
Buku IPS
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER