Pembelajaran Sejarah Sebagai Sarana Penanaman Sikap Nasionalisme Dan Patriotisme
Pembelajaran Sejarah Sebagai Sarana Penanaman Sikap Nasionalisme Dan Patriotisme
Ali (1963: 291) menyebutkan tujuan pembelajaran sejarah nasional adalah membangkitkan dan mengembangkan semangat kebangsaan; membangkitkan hasrat dalam mewujudkan cita-cita bangsa; menyadarkan siswa tentang cita-cita nasional dan perjuangan untuk mewujudkan cita-cita nasional tersebut sepanjang masa. Banks (1990: 282) menyatakan bahwa “Many educators and lawmakers” believe that history should be thought in the public schools because contributes to the development of patriotism and democratic attitudes”. Senada dengan itu, kochhar (2008: 62) menjelaskan bahwa pembelajaran sejarah mengajarkan bagaimana memasukkan nilai-nilai patriotisme ke dalam pikiran generasi muda memperoleh pengetahuan mengenai berbagai tindakan yang telah dilakukan oleh para patriot bangsanya. Wahid (2007) mengemukakan bahwa pembaharuan tekad bersama generasi muda sangat memerlukan kesadaran sejarah bangsanya secara utuh, obyektif, dan kritis. Lembaran sejarah memberikan pembelajaran penting tentang bagaimana seharusnya generasi muda memainkan peran dan membuat lembaran sejarah pada saat ini dan masa yang akan datang.
Pembelajaran Sejarah Sebagai Sarana Penanaman Sikap Nasionalisme Dan Patriotisme |
Kartodirjo (2005: 122) menyatakan bahwa dalam rangka pembangunan bangsa, pembelajaran sejarah tidak semata-mata berfungsi untuk memberikan pengetahuan sejarah sebagai kumpulan fakta-fakta, tetapi menyadarkan siswa atau membangkitkan kesadaran sejarahnya. Untuk sampai pada sikap dan perilaku kesejarahan, terutama sikap patriotisme diperlukan perlu adanya sejarah, sebagaimana diungkapkan oleh Soedjatmoko (1990: 67), bahwa kesadaran sejarah akan membimbing manusia pada pengertian mengenai diri sendiri sebagai bangsa. Berkaiatan dengan tersebut Carr (1965: 35) menyatakan bahwa “ history is a continuos process of interaction between the historian and hits facts, an unending dialiog between the present and the past” atau sejarah merupakan interaksi antara sejarawan dengan fakta-fakta sejarah dan dialog tanpa akhir antara masa sekarang dan masa lampau. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hoe (2007), dan Subaryana (2015) menyatakan bahwa pembelajaran sejarah memiliki pengaruh yang positif terhadap sikap nasionalisme dan patriotisme.
Dengan melihat pendapat dari beberapa ahli tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sejarah akan dapat membangkitkan semangat nasionalisme dan patriotisme bagi generasi muda di indonesia. Pembelajaran sejarah memiliki tugas utama untuk menanamkan semangat berbangsa dan bertanah air. Pembelajaran sejarah membangkitkan kesadaran empati pada siswa, yaitu sifap dan toreransi terhadap orang lain yang disertai dengan kemampuan untuk imajinasi dan kreativitas. Kemampuan untuk mengidefinisikan diri secara empatik dengan orang lain tersebut merupakan ikatan benang merah yang membantu siswa mengenang kebersamaan dan solidaritas. Toleransi mengajarkan kepada siswa agar memiliki jiwa demokratis, menghargai dan menghormati orang lain, disertai dengan tanggungjawab dan komitmen dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa. Proses pengenalan diri sebagai titik awal timbulnya harga diri, kebersamaan dan keterikatan, dan sense of belonging yaitu rasa keterpautan dan rasa memiliki, serta sense of pride, yaitu rasa bangga terhadap bangsa dan tanah air (Wiriaatmadja, 2002: 156-157). Hal ini seperti yang diungkapkan Kartodirdjo (1999: 21) bahwa pengetahuan sejarah mengungkapkan heroisme sepanjang sejarah yang penuh dengan role model kepemimpinan, kepahlawanan, etos perjuangan, serta penghayatan terhadap nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh generasi terdahulu. Dengan demikian pembelajaran sejarah yang sangat sarat dengan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh generasi terdahulu sangat berperan dalam usaha penanaman sikap nasionalisme dan patriotisme bagi generasi muda.
Dalam upaya menanamkan sifap nasionalisme dan patriotisme, maka model pembelajaran konstruktivisme, yakni dengan menggambarkan bagaimana pengetahuan disusun dalam diri manusia. Karena itu dalam pembelajaran guru tidak serta merta memindahkan pengetahuan kepada siswa dalam bentuk yang serba sempurna. Dengan kata lain, siswa harus mampu membangun suatu pengetahuan, sikap dan keterampilan berdasarkan pengalamannya masing-masing, sehingga dalam pembelajaran ini lebih terpusat pada siswa, guru cenderung hanya bertindak sebagai motivator dan fasilitator.
Jangan Lupa Share↴
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER