Stabilisasi Politik dan Rehabilitasi Ekonomi Masa Orde Baru~ReadyyGo
Stabilisasi Politik dan Rehabilitasi Ekonomi
Terbentuknya pemerintahan Orde Baru yang diawali dengan keputusan Sidang Istimewa MPRS tanggal 12 Maret 1967 yang menetapkan Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden. Kedudukannya itu semakin kuat setelah pada 27 Maret 1968, MPRS mengukuhkannya sebagai presiden penuh. Pengukuhan tersebut dapat dijadikan indikator dimulainya kekuasaan Orde Baru.
Setelah memperoleh kekuasaan sepenuhnya, pemerintah Orde Baru mulai menjalankan kebijakan-kebijakan politik dan Ekonomi yang telah ditetapkan oleh Sidang MPRS tahun-tahun sebelumnya, seperti Stabilitas Politik Keamanan (Tap MPRS No.IX/1966), Stabilitas ekonomi (Tap MPRS No.XXIII/19 66), dan Pemilihan Umum (Tap MPRS No.XI/1966)Pemerintahan Orde Baru memandang bahwa selama Orde Lama telah terjadi penyimpangan terhadap pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila.
Diantara penyimpangan tersebut adalah pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan pelaksanaan politik luar negeri yang cenderung memihak blok komunis (Blok Timur). Sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh MPRS, maka pemerintahan Orde Baru segera berupaya menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara konsekuen dengan melakukan rehabilitasi dan stabilisasi politik dan keamanan (polkam). Tujuan dari rehabilitasi dan stabilisasi tersebut adalah agar dilakukan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dalam melaksanakan rehabilitasi dan stabilisasi
polkam, pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto menggunakan
suatu pendekatan yang dikenal sebagai pendekatan keamanan (security approach),
termasuk di dalamnya de-Soekarnoisasi dan depolitisasi kekuatan-kekuatan
organisasi sosial politik (orsospol) yang dinilai akan merongrong kewibawaan
pemerintah. Seiring dengan itu, dibentuk lembaga-lembaga stabilisasi seperti;
Kopkamtib (pada 1 November 1965), Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional (11
Agustus 1966), dan Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (1 Agustus 1970).
Mengenai kebijakan politik luar
negeri yang dipandang menyimpang, pemerintah Orde Baru berupaya mengembalikan
Indonesia dari politik Nefos-Oldefos dan “Poros Jakarta -Pnom Penh -
Hanoi-Peking - Pyongyang” ke politik luar negeri Indonesia yang bebas dan
aktif. Tujuan dari politik luar negeri pun diarahkan untuk dapat dilakukannya
pembangunan kesejahteraan rakyat.
Hal itu tampak dari pernyataan
Jenderal Soeharto sebagai pemegang mandat Supersemar tanggal 4 April 1966,
beliau menyatakan bahwa Indonesia akan menjalankan politik luar negeri yang
bebas aktif, yang mengabdi kepada kepentingan bangsa dan ditujukan untuk
mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, maka
politik luar negeri Indonesia akan ditujukan pada perluasan kerjasama ekonomi
dan keuangan antara Indonesia dengan dunia luar, baik Timur maupun Barat,
selama kerjasama itu menguntungkan bagi kepentingan Indonesia.Sebagai wujud nyata
dari niat itu, Indonesia memulihkan kembali hubungan baik dengan Malaysia
termasuk Singapura yang sempat terganggu akibat kebijakan konfrontasi Indonesia
1963-1966. Di samping itu, sejak 28 September 1966, Indonesia kembali aktif di
forum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Pada era Orde Lama, Indonesia pada 1
Januari 1965, keluar dari lembaga tersebut. Langkah berikutnya, Indonesia
bersama Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina membentuk organisasi
kerjasama regional ASEAN (Association of South East Asian Nation) di Bangkok 8
Agustus 1967. Tujuan pembentukan ASEAN ini adalah untuk meningkatkan kerjasama
regional khususnya di bidang ekonomi dan budaya.
1. Stabilisasi
Politik dan Keamanan sebagai Dasar Pembangunan
Orde Baru mencanangkan berbagai
konsep dan aktivitas pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan
masyarakat. Langkah pertama melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah
dengan membentuk Kabinet Pembangunan I pada 6 Juni 1968. Program Kabinet
Pembangunan I dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan, yang
berisi:
1. Menciptakan stabilitas politik
dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanakan Rencana Pembangunan
Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);
2. Menyusun dan merencanakan
Repelita;
3. Melaksanakan Pemilu
selambat-lambatnya pada Juli 1971;
4. Mengembalikan ketertiban dan
keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G 30/S/PKI dan setiap
bentuk rongrongan penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD
1945;
5. Melanjutkan penyempurnaan dan
pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di pusat maupun di daerah
dari unsur-unsur komunisme.
Dalam rangka menciptakan kondisi
politik yang stabil dan kondusif bagi terlaksananya amanah rakyat melalui TAP
MPRS No.IX/MPRS/1966, yaitu melaksanakan pemilihan umum (pemilu), pemerintah
Orde Baru melakukan‘pelemahan’ atau mengeliminasi kekuatan-kekuatan yang secara
historis dinilai berpotensi mengganggu stabilitas dan merongrong kewibawaan
pemerintah. Pelemahan itu dilakukan antara lain terhadap pendukung Soekarno,
kelompok Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan kelompok Islam Fundamentalis (yang
sering disebut kaum ekstrimis kanan).
Selain itu, pemerintahan Soeharto
juga menciptakan kekuatan politik sipil baru yang dalam pandangannya lebih
mudah dikendalikan. Organisasi itu adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya
(Sekber Golkar) yang kemudian lebih dikenal dengan nama Golkar.Berdasarkan Tap
MPRS No IX/MPRS/1966, pemerintah diharapkan segera melakukan pemilu pada tahun
1968. Namun karena berbagai pertimbangan politik dan keamanan, pemilu baru
dapat diselenggarakan pada 1971. Lembaga Pemilu sebagai pelaksana pemilu
dibentuk dan ditempatkan di bawah koordinasi Departemen Dalam Negeri, sedangkan
peserta pemilu ditetapkan melalui Keputusan Presiden No.23 tanggal 23 Mei 1970.
Berdasarkan surat keputusan itu,
jumlah partai politik (parpol) yang diijinkan ikut serta dalam pemilu adalah 9
parpol, yaitu: NU, Parmusi, PSII, Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Partai
Kristen Indonesia, Partai Khatolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba),
dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) ditambah dengan Golkar.
Adapun perolehan suara hasil pemilu 1971 adalah sebagai berikut: Golkar(236
kursi, 62,82%), NU (58 kursi,18,68%), Parmusi (24 kursi (5,56%), PNI (20
kursi,6,93%), PSII (10 kursi,2,39%), dan Parkindo (10 kursi, 2,39%). (Anhar
Gonggong ed, 2005: 150)
Pada akhir tahun 1971, pemerintah
Orde Baru melemparkan gagasan penyederhanaan partai politik dengan
alasan–alasan tertentu, seperti kasus pada masa “demokrasi parlementer”. Pada
masa itu, banyaknya partai dianggap tidak memudahkan pembangunan, justru
sebaliknya menambah permasalahan. Penyebabnya bukan saja karena persaingan
antarparpol, melainkan juga persaingan di dalam tubuh parpol antara para
pemimpinnya tidak jarang memicu timbulnya krisis, bahkan perpecahan yang
dinilai bisa mengganggu stabilitas polkam. Atas dasar itu, pemerintah
berpendapat perlu adanya penyederhanaan partai sebagai bagian dari pelaksanaan
demokrasi Pancasila. Pada awalnya banyak parpol yang menolak gagasan itu, yang
sedikit banyak dinilai telah menutup aspirasi kebebasan berkumpul dan berserikat
yang dijamin oleh UUD 1945.
Namun adanya tekanan pemerintah
menyebabkan mereka tidak mempunyai pilihan lain.Realisasi penyederhanaan partai
tersebut dilaksanakan melalui Sidang Umum MPR tahun 1973. Sembilan partai yang
ada berfusi ke dalam dua partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Empat Partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama/NU,
Parmusi, Partai Sarekat Islam Indonesia/PSII, dan Perti bergabung dalam PPP.
Sementara itu lima partai non Islam, yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia
(Parkindo), Partai Khatolik, Partai Murba, dan IPKI bergabung dalam PDI. Selain
kedua kelompok tersebut ada pula kelompok Golkar yang semula bernama Sekber
Golkar. Pengelompokkan tersebut secara formal berlaku pula di lingkungan DPR
dan MPR. (Gonggong dan Asy’arie, ed, 2005).
Pemerintah Orde Baru menghimpun
energi semua komponen bangsa kedalam agenda bersama yang diformulasikan dalam
bentuk Trilogi Pembangunan. Suatu rencana kemandirian bangsa yang diletakkan
pada pilar stabilitas, pembangunan di segala bidang dan pemerataan pembangunan
beserta hasil-hasilnya kepada seluruh rakyat.
Trilogi Pembangunan
1. Stabilitas nasional yang sehat dan
dinamis.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya menuju kepada
terciptanya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat.
Semua penghalang pembangunan,
termasuk segala hal yang dapat memicu munculnya instabilitas bangsa harus
disingkirkan. Itulah kira-kira makna pesan yang terangkum dalam Trilogi
Pembangunan, yaitu terwujudnya stabilitas politik dan keamanan, pembangunan di
segala aspek kehidupan dan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya.Trilogi
Pembangunan itu tidak lain merupakan suatu rencana bangsa Indonesia yang
digelorakan Presiden Soeharto untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana amanat
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negara yang ingin diwujudkan adalah sebuah
pemerintahan yang dapat melindungi segenap bangsa, mampu memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mampu turut serta
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial. Tujuan negara itu harus dicapai dengan berdasarkan Pancasila.
Stabilitas nasional sendiri
meliputi stabilitas keamanan, ekonomi dan politik. Stabilitas Nasional bukan
hanya merupakan prasyarat terselenggaranya pembangunan, akan tetapi merupakan
amanat sila kedua Pancasila untuk terwujudnya “Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab”. Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain dan resultan
dari kebebasan masing-masing individu itu berupa pranata kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkeadaban. Oleh karena itu, merupakan
kebenaran universal di manapun jika bentuk-bentuk tindakan yang tidak beradab,
dalam aspek apapun tidak dapat ditoleransi.Dari semua usaha-usaha yang
dilakukan oleh Presiden Soeharto pada masa awal pemerintahannya, semuanya
bertujuan untuk menggerakkan jalannya kegiatan pembangunan ekonomi. Pembangunan
ekonomi bisa berjalan dengan baik jika ada stabilitas politik dan keamanan.
2.
Stabilisasi Penyeragaman
Depolitisasi parpol dan ormas
juga dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui cara penyeragaman ideologis
melalui ideologi Pancasila. Dengan alasan Pancasila telah menjadi konsensus
nasional, keseragaman dalam pemahaman Pancasila perlu disosialisasikan. Gagasan
ini disampaikan oleh Presiden Soeharto pada acara Hari Ulang Tahun ke-25
Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, 19 Desember 1974. Kemudian dalam
pidatonya menjelang pembukaan Kongres Nasional Pramuka pada 12 Agustus 1976, di
Jakarta, Presiden Soeharto menyerukan kepada seluruh rakyat agar berikrar pada
diri sendiri mewujudkan Pancasila dan mengajukan Eka Prasetia bagi ikrar
tersebut.
Presiden Soeharto mengajukan nama
Eka Prasetia Pancakarsa dengan maksud menegaskan bahwa penyusunan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dipandang sebagai janji yang teguh,
kuat, konsisten, dan tulus untuk mewujudkan lima cita-cita yaitu (1) takwa
kepada Tuhan YME dan menghargai orang lain yang berlainan agama/kepercayaan;
(2) mencintai sesama manusia dengan selalui ingat kepada orang lain, tidak
sewenang-wenang; (3) mencintai tanah air, menempatkan kepentingan negara diatas
kepentingan pribadi;(4) demokratis dan patuh pada putusan rakyat yang sah; (5)
suka menolong orang lain, sehingga dapat meningkatkan kemampuan orang lain
(Referensi Bahan Penataran P4 dalam Anhar Gongong ed, 2005: 159).
Presiden kemudian mengajukan
draft P4 ini kepada MPR, Akhirnya, pada 21 Maret 1978 rancangan P4 disahkan
menjadi Tap MPR No.II/MPR/1978. Setelah disahkan MPR, pemerintah membentuk
komisi Penasehat Presiden mengenai P4 yang dipimpin oleh Dr. Roeslan Abdulgani.
Sebagai badan pelaksananya dibentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksana P4
(BP7) yang berkedudukan di Jakarta. Tugasnya adalah untuk mengkoordinasi
pelaksanaan program penataran P4 yang dilaksanakan pada tingkat nasional dan
regional.
Tujuan penataran P4 adalah
membentuk pemahaman yang sama mengenai Demokrasi Pancasila, sehingga dengan
pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk
dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah
pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Penataran P4 merupakan
suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari
sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat
Indonesia.Pegawai negeri (termasuk pegawai BUMN), baik sipil maupun militer
diharuskan mengikuti penataran P4. Kemudian para pelajar, mulai dari sekolah
menengah sampai Perguruan Tinggi, juga diharuskan mengikuti penataran P4 yang
dilakukan pada setiap awal tahun ajaran atau tahun akademik. Melalui penataran P4
itu, pemerintah juga memberikan penekanan pada masalah “suku”, “agama”, “ras”,
dan “antargolongan”, (Sara). Menurut pemerintah Orde baru, “sara” merupakan
masalah yang sensitif di Indonesia yang sering menjadi penyebab timbulnya
konflik atau kerusuhan sosial.
Oleh karena itu, masyarakat tidak
boleh mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan Sara. Secara tidak
langsung masyarakat dipaksa untuk berpikir seragam; dengan kata lain yang lebih
halus, harus mau bersikap toleran dalam arti tidak boleh membicarakan atau
menonjolkan perbedaan yang berkaitan dengan masalah sara. Meskipun demikian,
akhirnya konflik yang bermuatan sara itu tetap tidak dapat dihindari.
Pada tahun 1992 misalnya, terjadi
konflik antara kaum muslim dan non muslim di Jakarta (Ricklefs, 2005: 640).
Demikian pula halnya dengan P4. Setelah beberapa tahun berjalan, kritik datang
dari berbagai kalangan terhadap pelaksanaan P4. Berdasarkan pengamatan di lapangan
banyak peserta penataran pada umumnya merasa muak terhadap P4. Fakta ini
kemudian disampaikan kepada Presiden agar masalah P4 ditinjau kembali.Setelah
P4 menjadi Tap MPR dan dilaksanakan, selanjutnya orsospol yang diseragamkan
dalam arti harus mau menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas partai dan
organisasi, yang dikenal dengan sebutan “asas tunggal”.
Gagasan asas tunggal ini
disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pidato pembukaan Rapat Pimpinan ABRI
(Rapim ABRI), di Pekanbaru , Riau, tanggal 27 Maret 1980 dan dilontarkan
kembali pada acara ulang tahun Korps Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha) di
Cijantung, Jakarta 16 April 1980.Gagasan Asas Tunggal ini pada awalnya
menimbulkan reaksi yang cukup keras dari berbagai pemimpin umat Islam dan
beberapa purnawirawan militer ternama.
Meskipun mendapat kritikan dari
berbagai kalangan, Presiden Soeharto tetap meneruskan gagasannya itu dan
membawanya ke MPR. Melalui Sidang MPR ‘Asas Tunggal” akhirnya diterima menjadi
ketetapan MPR, yaitu; Tap MPR No.II/1983. Kemudian pada 19 Januri 1985,
pemerintah dengan persetujuan DPR, mengeluarkan Undang-Undang No.3/1985 yang
menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila sebagai
asas tunggal mereka.
Empat bulan kemudian, pada
tanggal 17 Juni 1985, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.8/1985 tentang
ormas, yang menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau massa harus
mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal mereka. Sejak saat itu tidak ada
lagi orsospol yang berasaskan lain selain Pancasila, semua sudah seragam..
Demokrasi Pancasila yang mengakui hak hidup “bhineka tunggal ika”, dipergunakan
oleh pemerintah Orde Baru untuk mematikan kebhinekaan, termasuk memenjarakan
atau mencekal tokoh-tokoh pengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru.
3.
Penerapan Dwi Fungsi ABRI
Konsep Dwifungsi ABRI sendiri
dipahami sebagai “jiwa, tekad dan semangat pengabdian ABRI, untuk bersama-sama
dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan
bangsa Indonesia, baik di bidang hankam negara maupun di bidang kesejahteraan
bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.” Berangkat dari pemahaman tersebut, ABRI memiliki keyakinan bahwa tugas
mereka tidak hanya dalam bidang hankam namun juga non-hankam. Sebagai kekuatan
hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan aparatur pemerintah yang
bertugas di bidang kegiatan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia.” Sebagai kekuatan sosial, ABRI adalah suatu unsur dalam
kehidupan politik di lingkungan masyarakat yang bersama-sama dengan kekuatan
sosial lainnya secara aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan
nasional.
Dwifungsi ABRI, seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu
fungsi sebagai pusat kekuatan militer Indonesia dan juga fungsinya di bidang
politik. Dalam pelaksanaannya pada era Soeharto, fungsi utama ABRI sebagai
kekuatan militer Indonesia memang tidak dapat dikesampingkan, namun pada era
ini, peran ABRI dalam bidang politik terlihat lebih signifikan seiring dengan
diangkatnya Presiden Soeharto oleh MPRS pada tahun 1968.
Secara umum, intervensi ABRI
dalam bidang poilitik pada masa Orde Baru yang mengatasnamakan Dwifungsi ABRI
ini salah satunya adalah dengan ditempatkannya militer di DPR, MPR, maupun DPD
tingkat provinsi dan kabupaten. Perwira yang aktif, sebanyak seperlima dari
jumlahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dimana mereka
bertanggung jawab kepada komandan setempat, sedangkan yang di MPR dan DPR
tingkat nasional bertanggung jawab langsung kepada panglima ABRI. Selain itu,
para ABRI juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian Golkar
serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial di seluruh daerah dari
mulai Jakarta sampai ke dareah-daerah terpencil, salah satunya dengan gerakan
AMD (ABRI Masuk Desa). Keikutsertaan militer dalam bidang politik secara umum
bersifat antipartai. Militer percaya bahwa mereka merupakan pihak yang setia
kepada modernisasi dan pembangunan. Sedangkan partai politik dipandang memiliki
kepentingan-kepentingan golongan tersendiri.
Keterlibatan ABRI di sektor
eksekutif sangat nyata terutama melalui Golkar. Hubungan ABRI dan Golkar
disebut sebagai hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Contohnya pada
Munas I Golkar di Surabaya (4-9 September 1973), ABRI mampu menempatkan perwira
aktif ke dalam Dewan Pengurus Pusat. Selain itu, hampir di seluruh daerah
tingkat I dan daerah tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif.
Selain itu, terpilihnya Sudharmono sebagai wakil militer pada pucuk pemimpin
Golkar (pada Munas III) juga menandakan bahwa Golkar masih di bawah kendali
militer.
Selain dalam sektor eksekutif,
ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor legislatif. Meskipun
militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam pemilihan umum, mereka
tetap memiliki wakil dalam jumlah besar (dalam DPR dan MPR) melalui Fraksi
Karya ABRI. Namun keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif oleh beberapa
pihak dalam rangka mengamankan kebijaksanaan eksekutif dan meminimalisasi
kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif. Efektivitas ini diperoleh dari adanya
sinergi antara Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan dalam proses kerja DPR;
serta adanya perangkat aturan kerja DPR yang dalam batas tertentu membatasi
peran satu fraksi secara otonom. Dalam MPR sendiri, ABRI (wakil militer)
mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam formulasi kebijakan oleh
MPR.
Pada masa Orde Baru, pelaksanaan
negara banyak didominasi oleh ABRI. Dominasi yang terjadi pada masa itu dapat
dilihat dari: (a). Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota,
Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI
yang “dikaryakan”, (b). Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di
parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah
satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai “partai politik”
yang berkuasa pada waktu itu, (c). ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk
diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan lain
sebagainya.
4.
Rehabilitasi Ekonomi Orde Baru
Seperti yang telah diuraikan di
atas, stabilisasi polkam diperlukan untuk pembangunan ekonomi bagi
kesejahteraan rakyat. Kondisi ekonomi yang diwarisi Orde Lama adalah sangat
buruk. Sektor produksi barang-barang konsumsi misalnya hanya berjalan 20% dari
kapasitasnya. Demikian pula sektor pertanian dan perkebunan yang menjadi salah
satu tumpuan ekspor juga tidak mengalami perkembangan yang berarti. Hutang yang
jatuh tempo pada akhir Desember 1965, seluruhnya berjumlah 2,358 Juta dollar
AS. Dengan Perincian negara-negara yang memberikan hutang pada masa Orde Lama
adalah blok negara komunis (US $ 1.404 juta), negara Barat (US $ 587 juta),
sisanya pada negara-negara Asia dan badan-badan internasional.
Program rehabilitasi ekonomi Orde
Baru dilaksanakan berlandaskan pada Tap MPRS No.XXIII/1966 yang isinya antara
lain mengharuskan diutamakannya masalah perbaikan ekonomi rakyat di atas segala
soal-soal nasional yang lain, termasuk soal-soal politik. Konsekuensinya
kebijakan politik dalam dan luar negeri pemerintah harus sedemikian rupa hingga
benar-benar membantu perbaikan ekonomi rakyat.Bertolak dari kenyataan ekonomi
seperti itu, maka prioritas pertama yang dilakukan pemerintah untuk
rehabilitasi ekonomi adalah memerangi atau mengendalikan hiperinflasi antara
lain dengan menyusun APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) berimbang.
Sejalan dengan kebijakan itu pemerintah Orde Baru berupaya menyelesaikan
masalah hutang luar negeri sekaligus mencari hutang baru yang diperlukan bagi
rehabilitasi maupun pembangunan ekonomi berikutnya.
Untuk menanggulangi masalah
hutang-piutang luar negeri itu, pemerintah Orde Baru berupaya melakukan
diplomasi yang intensif dengan mengirimkan tim negosiasinya ke Paris, Perancis
(Paris Club), untuk merundingkan hutang piutang negara, dan ke London , Inggris
(London Club) untuk merundingkan hutang-piutang swasta. Sebagai bukti
keseriusan dan itikad baik untuk bersahabat dengan negara para donor, pemerintah
Orde Baru sebelum pertemuan Paris Club telah mencapai kesepakatan terlebih
dahulu dengan pemerintah Belanda mengenai pembayaran ganti rugi sebesar 165
juta dollar AS terhadap beberapa perusahaan mereka yang dinasionalisasi oleh
Orde Lama pada tahun 1958. Begitu pula dengan Inggris telah dicapai suatu
kesepakatan untuk membayar ganti rugi kepada perusahaan Inggris yang
kekayaannya disita oleh pemerintah RI semasa era konfrontasi pada tahun 1965.
Sejalan dengan upaya diplomasi
ekonomi, pada 10 Januari 1967 pemerintah Orde Baru memberlakukan UU No.1 tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) . Dengan UU PMA, pemerintah ingin
menunjukan kepada dunia internasional bahwa arah kebijakan yang akan ditempuh
oleh pemerintah Orde Baru, berbeda dengan Orde Lama. Orde Baru tidak memusuhi
investor asing dengan menuduh sebagai kaki tangan imperialisme. Sebaliknya,
aktivitas mereka dipandang sebagai prasyarat yang dibutuhkan oleh sebuah negara
yang ingin membangun perekonomiannya. Dengan bantuan modal mereka, selayaknya
mereka didorong dan dikembangkan untuk memperbanyak investasi dalam berbagai
bidang ekonomi. Sebab dengan investasi mereka, lapangan kerja akan segera
tercipta dengan cepat tanpa menunggu pemerintah memiliki uang terlebih dahulu
untuk menggerakan roda pembangunan nasional.
Upaya diplomasi ekonomi ke
negara-negara Barat dan Jepang itu, tidak hanya berhasil mengatur penjadwalan
kembali pembayaran hutang negara dan swasta yang jatuh tempo, melainkan juga
mampu meyakinkan dan menggugah negara-negara tersebut untuk membantu Indonesia
yang sedang terpuruk ekonominya. Hal ini terbukti antara lain dengan
dibentuknya lembaga konsorsium yang bernama Inter Governmental Group on
Indonesia(IGGI) . Proses pembentukan IGGI diawali oleh suatu pertemuan antara
para negara yang memiliki komitmen untuk membantu Indonesia pada bulan Februari
1967, di Amsterdam. Inisiatif itu datang dari pemerintah Belanda. Pertemuan ini
juga dihadiri oleh delegasi Indonesia dan lembaga-lembaga bantuan
internasional. Dalam pertemuan itu disepakati untuk membentuk IGGI dan Belanda
ditunjuk sebagai ketuanya.
Selain mengupayakan masuknya dana
bantuan luar negeri, pemerintah Orde Baru juga berupaya menggalang dana dari
dalam negeri yaitu dana masyarakat. Salah satu strategi yang dilakukan oleh pemerintah
bersama–sama Bank Indonesia dan bank-bank milik negara lainnya adalah berupaya
agar masyarakat mau menabung.
Upaya lain adalah menerbitkan UU
Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN) No.6 1968. Satu hal dari UUPMDN adalah
adanya klausal yang menarik yang menyebutkan bahwa dalam penanaman modal dalam
negeri, perusahaan-perusahaan Indonesia harus menguasai 51% sahamnya. Untuk
menindaklanjuti dan mengefektifkan UUPMA dan UUPMDN pada tatanan
pelaksanaannya, pemerintah membentuk lembaga-lembaga yang bertugas
menanganinya. Pada 19 Januari 1967, pemerintah membentuk Badan Pertimbangan
Penanaman Modal (BPPM). Berdasarkan Keppres no.286/1968 badan itu berubah
menjadi Team Teknis Penanaman Modal (TTPM). Pada Tahun 1973, TTPM digantikan
oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hingga saat ini.
Kebijakan-kebijakan yang diambil
pemerintah pada awal Orde Baru mulai menunjukan hasil positif. Hiperinflasi
mulai dapat dikendalikan, dari 650% menjadi 120% (1967), dan 80% (1968),
sehingga pada tahun itu diputuskan bahwa Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) pertama akan dimulai pada tahun berikutnya (1969). Setelah itu pada
tahun-tahun berikutnya inflasi terus menurun menjadi 25% (1969), 12% (1970),
dan 10% (bahkan sampai 8.88%) pada tahun 1971.
5.
Kebijakan Pembangunan Orde Baru
Tujuan perjuangan Orde Baru
adalah menegakkan tata kehidupan bernegara yang didasarkan atas kemurnian
pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sejalan dengan tujuan
tersebut maka ketika kondisi politik bangsa Indonesia mulai stabil untuk
melaksanakan amanat masyarakat maka pemerintah mencanangkan pembangunan
nasional yang diupayakan melalui Program Pembangunan Jangka Pendek dan
Pembangunan Jangka Panjang. Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui
pembangunan lima tahun (Pelita) yang di dalamnya memiliki misi pembangunan
dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia. Pada masa ini
pengertian pembangunan nasional adalah suatu rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara. Pembangunan nasional dilakukan untuk melaksanakan tugas mewujudkan
tujuan nasional yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.Dalam usaha
mewujudkan tujuan nasional maka Majelis Permusyawaratan Rakyat sejak tahun
1973-1978-1983-1988-1993 menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN).
GBHN merupakan pola umum pembangunan nasional dengan rangkaian
program-programnya yang kemudian dijabarkan dalam rencana pembangunan lima
tahun (Repelita). Adapun Repelita yang berisi program-program kongkrit yang akan
dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun, dalam repelita ini dimulai sejak
tahun 1969 sebagai awal pelaksanaan pembangunan jangka pendek dan jangka
panjang. Kemudian terkenal dengan konsep Pembangunan Jangka Panjang Tahap I
(1969-1994) menurut indikator saat itu pembangunan dianggap telah berhasil
memajukan segenap aspek kehidupan bangsa dan telah meletakkan landasan yang
cukup kuat bagi bangsa Indonesia untuk memasuki Pembangunan Jangka Panjang
Tahap II (1995-2020).
Pemerintahan Orde Baru senantiasa
berpedoman pada tiga konsep pembangunan nasional yang terkenal dengan sebutan
Trilogi Pembangunan, yaitu: (1) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang
menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat; (2) pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi; dan (3) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Konsekuensi dari pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi akibat pelaksanaan pembangunan tidak akan bermakna
apabila tidak diimbangi dengan pemerataan pembangunan. Oleh karena itu, sejak
Pembangunan Lima Tahun Tahap III (1 April 1979-31 Maret 1984) maka pemerintahan
Orde Baru menetapkan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu: (1) pemerataan pemenuhan
kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang, dan perumahan; (2)
pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; (3)
pemerataan pembagian pendapatan; (4) pemerataan kesempatan kerja; (5)
pemerataan kesempatan berusaha; (6) pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam
pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita; (7) pemerataan penyebaran
pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan (8) pemerataan kesempatan
memperoleh keadilan.
a.Pertanian
Sepanjang 1970-an hingga 1980-an
dilakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur Pembangunan Lima Tahun
(Repelita), swasembada pangan merupakan fokus tersendiri dalam rencana
pembangunan yang dibuat oleh Soeharto. Pada Pelita I yang dicanangkan landasan
awal pembangunan Pemerintahan Orde Baru, dititikberatkan pada pembangunan di
sektor pertanian yang bertujuan mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses
pembaharuan sektor pertanian. Tujuan Pelita I, meningkatkan taraf hidup rakyat
melalui sektor pertanian yang ditopang oleh kekuatan koperasi dan sekaligus
meletakkan dasar-dasar pembangunan dalam tahapan berikutnya.
Soeharto membangun dan
mengembangkan organisasi atau institusi yang akan menjalankan program-program
tersebut. Pembangunan ditekankan pada penciptaan institusi pedesaan sebagai
wahana pembangunan dengan membentuk Bimbingan Massal (Bimas) yang diperuntukkan
meningkatkan produksi beras dan koperasi sebagai organisasi ekonomi masyarakat
pedesaan. Sekaligus menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam menyalurkan
sarana pengolahan dan pemasaran hasil produksi. Di sisi lain pemerintah juga
menciptakan Badan Urusan Logistik (BULOG).
Kemudian pemerintah melibatkan
para petani melalui koperasi yang bertujuan memperbaiki produksi pangan
nasional. Untuk itu kemudian pemerintah mengembangkan ekonomi pedesaan dengan
menunjuk Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada dengan membentuk Badan Usaha
Unit Desa (BUUD). Maka lahirlah Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai bagian dari
pembangunan nasional. Badan Usaha Unit Desa (BUUD)/KUD melakukan kegiatan
pengadaan pangan untuk persediaan nasional yang diperluas dengan tugas
menyalurkan sarana produksi pertanian (pupuk, benih dan obat-obatan).
Soeharto juga mengembangkan
institusi-institusi yang mendukung pertanian lainnya seperti institusi
penelitian seperti BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) yang berkembang
untuk menghasilkan inovasi untuk pengembangan pertanian yang pada masa Soeharto
salah satu produknya yang cukup terkenal adalah Varietas Unggul Tahan Wereng
(VUTW).
Pemerintah Orde Baru membangun
pabrik-pabrik pupuk untuk penyediaan pupuk bagi petani. Para petani diberi
kemudahan memperoleh kredit bank untuk membeli pupuk. Pemasaran hasil panen
mereka dijamin dengan kebijakan harga dasar dan pengadaan pangan. Diperkenalkan
juga manajemen usaha tani, dimulai dari Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi
Khusus, dan Intensifikasi Khusus yang terbukti mampu meningkatkan produksi
pangan, terutama beras. Saat itu, budi daya padi di Indonesia adalah yang
terbaik di Asia. Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih unggul, pupuk,
pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik pupuk yang dibangun
antara lain adalah Petro Kimia Gresik di Gresik, Pupuk Sriwijaya di Palembang,
dan Asean Aceh Fertilizer di Aceh.
Jaringan irigasi teknis dibangun
di berbagai daerah dan program pembibitan ditingkatkan. Di dalam Pelita I
Pertanian dan Irigasi dimasukkan sebagai satu bab tersendiri dalam rincian
rencana bidang-bidang. Di dalam rincian penjelasan dijelaskan bahwa tujuannya
adalah untuk peningkatan produksi pangan terutama beras.
Koperasi di pedesaan terus dipacu
untuk meningkatkan produktivitasnya. Kebijakan terus mengalir guna menopang
kegiatan di daerah pedesaan. BUUD yang semula hanya dilibatkan dalam program
Bimbingan Massal (Bimas sektor pertanian pangan), kemudian ditingkatkan menjadi
Koperasi Unit Desa (KUD) dengan tugas serta peranan yang terus dikembangkan.
Instruksi Presiden (Inpres) No.4, Tahun 1973, Tentang Unit Desa dikeluarkan 5
Mei 1973, menjadi tonggak yuridis keberadaan KUD. Kebijakan tersebut
dilanjutkan dengan Instruksi Presiden No. 4, Tahun 1973, yang membentuk Wilayah
Unit Desa (Wilud), pada akhirnya menjadi Koperasi Unit Desa (KUD). Dari sinilah
lahir Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), yang berada di bawah Departemen
Pertanian.Para PPL memperkenalkan dan menyebarluaskan teknologi pertanian
kepada para petani melalui kegiatan penyuluhan.
Pemerintah menempatkan para
penyuluh pertanian di tingkat desa dan kelompok petani. Selain program
penyuluhan, kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, pemirsa), juga menjadi
salah satu program pembangunan pertanian Orde Baru yang khas. Kelompecapir
merupakan wadah temu wicara langsung antara petani, nelayan, dan peternak
dengan sesama petani, penyuluh, menteri atau bahkan dengan Presiden Soeharto.
Kelompencapir juga menyelenggarakan kompetisi cerdas cermat pertanian yang
diikuti oleh para petani berprestasi dari berbagai daerah sampai tingkat pusat.
Kelompencapir merupakan program Orde Baru di bidang pertanian yang dijalankan
oleh Departemen Penerangan. Kelompencapir diresmikan pada 18 Juni 1984, dengan
keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia No.110/Kep/Menpen/1984.
b. Pendidikan
Pada masa kepemimpinan Soeharto
pembangunan pendidikan mengalami kemajuan yang sangat penting. Ada tiga hal
yang patut dicatat dalam bidang pendidikan masa Orde Baru adalah pembangunan
Sekolah Dasar Inpres (SD Inpres), program wajib belajar dan pembentukan
kelompok belajar atau kejar. Semuanya itu bertujuan untuk memperluas kesempatan
belajar, terutama di pedesaan dan bagi daerah perkotaan yang penduduknya
berpenghasilan rendah.
Pada 1973, Soeharto mengeluarkan
Inpres No 10/1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD. Pelaksanaan
tahap pertama program SD Inpres adalah pembangunan 6.000 gedung SD yang
masing-masing memiliki tiga ruang kelas. Dana pembangunan SD Inpres tersebut
berasal dari hasil penjualan minyak bumi yang harganya naik sekitar 300 persen
dari sebelumnya.
Pada tahun-tahun awal pelaksanaan
program pembangunan SD Inpres, hampir setiap tahun, ribuan gedung sekolah
dibangun. Sebelum program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
dilaksanakan, jumlah gedung SD yang tercatat pada tahun 1968 sebanyak 60.023
unit dan gedung SMP 5.897 unit. Pada awal Pelita VI, jumlah itu telah meningkat
menjadi sekitar 150.000 gedung SD dan 20.000 gedung SMP. Pembangunan paling
besar terjadi pada periode 1982/1983 ketika 22.600 gedung SD baru dibuat.
Hingga periode 1993/1994 tercatat hampir 150.000 unit SD Inpres telah dibangun.
Peningkatan jumlah sekolah dasar
diikuti pula oleh peningkatan jumlah guru. Jumlah guru SD yang sebelumnya
berjumlah sekitar ratusan ribu, pada awal tahun 1994 menjadi lebih dari satu
juta guru. Satu juta lebih guru ditempatkan di sekolah-sekolah inpres tersebut.
Lonjakan jumlah guru dari puluhan ribu menjadi ratusan ribu juga terjadi pada
guru SMP. Total dana yang dikeluarkan untuk program ini hingga akhir
Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I mencapai hampir Rp 6,5 triliun.
Program wajib belajar pada era
Soeharto mulai dilaksanakan pada 2 Mei 1984, di akhir Pelita (Pembangunan Lima
Tahun) III. Dalam sambutannya peresmian wajib belajar saat itu, Soeharto
menyatakan bahwa kebijakannya bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama
dan adil kepada
Setelah perluasan kesempatan
belajar untuk anak-anak usia sekolah, sasaran perbaikan bidang pendidikan
selanjutnya adalah pemberantasan buta aksara. Hal itu disebabkan oleh kenyataan
bahwa masih banyak penduduk yang buta huruf. Dalam upaya meningkatkan angka
melek huruf, pemerintahan Orde Baru mencanangkan penuntasan buta huruf pada 16
Agustus 1978. Cara yang ditempuh adalah dengan pembentukan kelompok belajar
atau ”kejar”.Kejar merupakan program pengenalan huruf dan angka bagi kelompok
masyarakat buta huruf yang berusia 10-45 tahun. Tutor atau pembimbing setiap
kelompok adalah masyarakat yang telah dapat membaca, menulis dan berhitung
dengan pendidikan minimal sekolah dasar. Jumlah peserta dan waktu pelaksanaan
dalam setiap kejar disesuaikan dengan kondisi setiap tempat.
Keberhasilan program kejar salah
satunya terlihat dari angka statistik penduduk buta huruf yang menurun. Pada
sensus tahun 1971, dari total jumlah penduduk 80 juta jiwa, Indonesia masih
memiliki 39,1 persen penduduk usia 10 tahun ke atas yang berstatus buta huruf.
Sepuluh tahun kemudian, menurut sensus tahun 1980, persentase itu menurun
menjadi hanya 28,8 persen. Hingga sensus berikutnya tahun 1990, angkanya terus
menyusut menjadi 15,9 persen.
c. Keluarga Berencana (KB)
Pada masa Orde Baru dilaksanakan
program untuk pengendalian pertumbuhan penduduk yang dikenal dengan Keluarga
Berencana (KB). Pada tahun 1967 pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 2,6%
dan pada tahun 1996 telah menurun drastis menjadi 1,6%.Pengendalian penduduk
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas rakyat Indonesia dan peningkatan
kesejahteraannya. Keberhasilan ini dicapai melalui program KB yang dilaksanakan
oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).Berbagai kampanye
mengenai perlunya KB dilakukan oleh pemerintah, baik melalui media massa cetak
maupun elektronik. Pada akhir tahun 1970-an sampai akhir tahun 1980-an di
Televisi Republik Indonesia (TVRI) sering diisi oleh acara-acara mengenai
pentingnya KB. Baik itu melalui berita atau acara hiburan seperti drama dan
wayang orang “Ria Jenaka”. Di samping itu nyanyian mars “Keluarga Berencana”
ditayangkan hampir setiap hari di TVRI. Selain di media massa, di papan iklan
di pinggir-pinggir jalan pun banyak dipasang mengenai pesan pentingnya KB.
Demikian pula dalam mata uang
koin seratus rupiah dicantumkan mengenai KB. Hal itu menandakan bahwa Orde Baru
sangat serius dalam melaksanakan program KB. Slogan yang muncul dalam
kampanye-kampanye KB adalah “dua anak cukup, laki perempuan sama saja”.Program
KB di Indonesia, diawali dengan ditandatanganinya Deklarasi Kependudukan PBB
pada tahun 1967 sehingga secara resmi Indonesia mengakui hak-hak untuk
menentukan jumlah dan jarak kelahiran sebagai hak dasar manusia dan juga
pentingnya pembatasan jumlah penduduk sebagai unsur perencanaan ekonomi dan
sosial.
Keberhasilan Indonesia dalam
pengendalian jumlah penduduk dipuji oleh UNICEF, karena dinilai berhasil
menekan tingkat kematian bayi dan telah melakukan berbagai upaya lainnya dalam
rangka mensejahterakan kehidupan anak-anak di tanah air. UNICEF bahkan
mengemukakan bahwa tindakan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia itu
hendaknya dijadikan contoh bagi negara-negara lain yang tingkat kematian
bayinya masih tinggi.
Program KB di Indonesia sebagai
salah satu yang paling sukses di dunia, sehingga menarik perhatian dunia untuk
mengikuti kesuksesan Indonesia. Pemerintah pun mengalokasikan sumber daya dan
dana yang besar untuk program ini.
d. Kesehatan Masyarakat, Posyandu
Perkembangan puskesmas bermula
dari konsep Bandung Plan diperkenalkan oleh dr. Y. Leimena dan dr. Patah pada
tahun 1951, Bandung Plan merupakan suatu konsep pelayanan yang menggabungkan
antara pelayanan kuratif dan preventif. Tahun 1956 didirikanlah proyek Bekasi
oleh dr. Y. Sulianti di Lemah Abang, yaitu model pelayanan kesehatan pedesaan
dan pusat pelatihan tenaga.Kemudian didirikan Health Centre(HC) di 8 lokasi,
yaitu di Indrapura (Sumut), Bojong Loa (Jabar), Salaman (Jateng), Mojosari
(Jatim), Kesiman (Bali), Metro (Lampung), DIY dan Kalimantan Selatan. Pada 12
November 1962 Presiden Soekarno mencanangkan program pemberantasan malaria dan
pada tanggal tersebut menjadi Hari Kesehatan Nasional (HKN).
Konsep Bandung Plan terus
dikembangkan, tahun 1967 diadakan seminar konsep Puskesmas. Pada tahun 1968
konsep Puskesmas ditetapkan dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional dengan disepakatinya
bentuk Puskesmas
yaitu Tipe A, B & C. Kegiatan
Puskesmas saat itu dikenal dengan istilah ’Basic’. Ada Basic 7, Basic 13 Health
Serviceyaitu : KIA, KB, Gizi Mas, Kesling, P3M, PKM, BP, PHN, UKS, UHG, UKJ,
Lab, Pencatatan dan Pelaporan. Pada tahun 1969, Tipe Puskesmas menjadi A &
B. Pada tahun 1977 Indonesia ikut menandatangi kesepakatan Visi : ”Health For
All By The Year 2000”, di Alma Ata, negara bekas Federasi Uni Soviet,
pengembangan dari konsep ”Primary Health Care”. Tahun 1979 Puskesmas tidak ada
pen’tipe’an, dan dikembangkan piranti manajerial perencanaan dan penilaian
Puskesmas yaitu ’ Micro Planning’ dan Stratifikasi Puskesmas.
Pada tahun 1984 dikembangkan
Posyandu, yaitu pengembangan dari pos penimbangan dan kurang gizi. Posyandu
dengan 5 programnya yaitu, KIA, KB, Gizi, Penanggulangan Diare dan Imunisasi.
Posyandu bukan saja untuk pelayanan balita tetapi juga untuk pelayanan ibu
hamil. Bahkan pada waktu-waktu tertentu untuk promosi dan distribusi Vit.A, Fe,
Garam Yodium, dan suplemen gizi lainnya. Bahkan Posyandu saat ini juga menjadi
andalah kegiatan penggerakan masyarakat (mobilisasi sosial) seperti PIN,
Campak, dan Vit A.
Perkembangan puskesmas menampakan
hasilnya pada era Orde Baru, salah satu indikatornya adalah semakin baiknya
tingkat kesehatan. Pada sensus 1971 hanya ada satu dokter untuk melayani 20,9
ribu penduduk. Sensus 1980, menunjukkan bahwa satu tenaga dokter untuk 11,4
ribu penduduk.
C.
Integrasi Timor-Timur
Integrasi Timor-Timur ke dalam
wilayah Indonesia tidak terlepas dari situasi politik internasional saat itu,
yaitu perang dingin dimana konstelasi geopolitik kawasan Asia Tenggara saat itu
terjadi perebutan pengaruh dua blok yang sedang bersaing pada saat itu yaitu
Blok Barat (Amerika Serikat) dan Blok Timur (Uni Soviet) . Dengan kekalahan
Amerika Serikat di Vietnam pada tahun 1975, berdasarkan teori domino yang
diyakini oleh Amerika Serikat bahwa kejatuhan Vietnam ke tangan kelompok
komunis akan merembet ke wilayah–wilayah lainnya. Berdirinya pemerintahan
Republik Demokratik Vietnam yang komunis dianggap sebagai ancaman yang bisa
menyebabkan jatuhnya negara-negara di sekitarnya ke tangan pemerintahan komunis.
Kemenangan komunis di Indocina
(Vietnam) secara tidak langsung juga membuat khawatir para elit Indonesia
(khususnya pihak militer). Pada saat yang sama di wilayah koloni Portugis
(Timor-Timur) yang berbatasan secara langsung dengan wilayah Indonesia terjadi
krisis politik. Krisis itu sendiri terjadi sebagai dampak kebebasan yang
diberikan oleh pemerintah baru Portugal di bawah pimpinan Jenderal Antonio de
Spinola. Ia telah melakukan perubahan dan berusaha mengembalikan hak-hak sipil,
termasuk hak demokrasi masyarakatnya, bahkan dekolonisasi.
Di Timor-Timur muncul tiga partai
politik besar yang memanfaatkan kebebasan yang diberikan oleh pemerintah
Portugal. Ketiga partai politik itu adalah: (1) Uniao Democratica
Timorense(UDT-Persatuan Demokratik Rakyat Timor) yang ingin merdeka secara
bertahap. Untuk tahap awal UDT menginginkan Timor-Timur menjadi negara bagian
dari Portugal: (2) Frente Revoluciondria de Timor Leste
Independente(Fretilin-Front Revolusioner Kemerdekaan Timor-Timur) yang radikal
–Komunis dan ingin segera merdeka; dan (3) Associacau Popular Democratica
Timurense(Apodeti- Ikatan Demokratik Popular Rakyat Timor) yang ingin bergabung
dengan Indonesia. Selain itu terdapat dua Partai kecil, yaitu Kota dan
Trabalista. Ketiga partai tersebut saling bersaing, bahkan timbul konflik
berupa perang saudara.
Pada tanggal 31 Agustus 1974
ketua umum Apodeti, Arnaldo dos Reis Araujo, menyatakan partainya menghendaki
bergabung dengan Republik Indonesia sebagai provinsi ke-27. Pertimbangan yang
diajukan adalah rakyat di kedua wilayah tersebut mempunyai persamaan dan
hubungan yang erat, baik secara historis dan etnis maupun geografis.
Menurutnya integrasi akan
menjamin stabilitas politik di wilayah tersebut. Pernyataan tokoh Apodeti itu
mendapat respons yang cukup positif dari para elit politik Indonesia, terutama
dari kalangan elit militer, yang pada dasarnya memang merasa khawatir jika
Timor-Timur yang berada di “halaman belakang” jatuh ke tangan komunis. Meskipun
demikian, pemerintah Indonesia tidak serta merta menerima begitu saja keinginan
orang-orang Apodeti.
Keterlibatan Indonesia secara
langsung di Timor-Timur terjadi setelah adanya permintaan dari para pendukung
“Proklamasi Balibo”, yang terdiri UDT bersama Apodeti, Kota dan Trabalista.
Keempat partai itu pada tanggal 30 November 1975 di kota Balibo mengeluarkan
pernyataan untuk bergabung dengan pemerintahan Republik Indonesia. Pada tanggal
31 Mei 1976 DPR Timor-Timur mengeluarkan petisi yang isinya mendesak pemerintah
Republik Indonesia agar secepatnya menerima dan mengesahkan bersatunya rakyat
dan wilayah Timor Timur ke dalam Negara Republik Indonesia.
Atas keinginan bergabung rakyat
Timor Timur dan permintaan bantuan yang diajukan, pemerintah Indonesia lalu
menerapkan “Operasi Seroja” pada Desember 1975. Operasi militer ini diam-diam
didukung oleh Amerika Serikat (AS) yang tidak ingin pemerintahan komunis
berdiri di Timor Timur. Pada masa itu Perang Dingin antara AS dengan Uni Sovyet
yang komunis memang tengah berlangsung.
Bersamaan dengan operasi-operasi
keamanan yang dilakukan, pemerintah Indonesia dengan cepat juga menjalankan
proses pengesahan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia dengan mengeluarkan UU
no. 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pembentukan Daerah Tingkat I Timor
Timur.
Pengesahan ini akhirnya diperkuat
melalui Tap MPR nomor IV/MPR/1978. Timor Timur secara resmi menjadi propinsi ke
27 di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.Negara-negara tetangga dan pihak
Barat, termasuk Amerika Serikat dan Australia dengan alasannya masing-masing
umumnya mendukung tindakan Indonesia. Kekhawatiran akan jatuhnya Timor-Timur ke
tangan komunis membuat negara-negara Barat (khususnya Amerika Serikat dan
Australia) secara diam-diam mendukung tindakan Indonesia. Mereka secara
de-facto dan selanjutnya de-jure integrasi Timor-Timur ke wilayah Indonesia.
Akan tetapi, penguasaan Indonesia terhadap wilayah itu ternyata menimbulkan
banyak permasalahan yang berkelanjutan, terutama setelah berakhirnya “perang
dingin” dan runtuhnya Uni Soviet.
D.
Dampak Kebijakan Politik dan Ekonomi Masa Orde Baru
Pendekatan keamanan yang
diterapkan oleh pemerintah Orde Baru dalam menegakkan stabilisasi nasional
secara umum memang berhasil menciptakan suasana aman bagi masyarakat Indonesia.
Pembangunan ekonomi pun berjalan baik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
karena setiap program pembangunan pemerintah terencana dengan baik dan hasilnya
dapat terlihat secara kongkret. Indonesia berhasil mengubah status dari negara
pengimpor beras menjadi bangsa yang bisa memenuhi kebutuhan beras sendiri
(swasembada beras). Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan
kesejahteraan rakyat, penurunan angka kematian bayi dan angka partisipasi
pendidikan dasar yang meningkat.
Namun, di sisi lain kebijakan
politik dan ekonomi pemerintah Orde Baru juga memberi beberapa dampak yang
lain, baik di bidang ekonomi dan politik. Dalam bidang politik, pemerintah Orde
Baru cenderung bersifat otoriter, Presiden mempunyai kekuasaan yang sangat
besar dalam mengatur jalannya pemerintahan. Peran negara menjadi semakin kuat
yang menyebabkan timbulnya pemerintahan yang sentralistis. Pemerintahan
sentralistis ditandai dengan adanya pemusatan penentuan kebijakan publik pada pemerintah
pusat. Pemerintah daerah diberi peluang yang sangat kecil untuk mengatur
pemerintahan dan mengelola anggaran daerahnya sendiri. Otoritarianisme merambah
segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk
kehidupan politik.
Pemerintah Orde Baru dinilai
gagal memberikan pelajaran berdemokrasi yang baik, Golkar dianggap menjadi alat
politik untuk mencapai stabilitas yang diinginkan, sementara dua partai lainnya
hanya sebagai alat pendamping agar tercipta citra sebagai negara demokrasi.
Sistem perwakilan bersifat semu bahkan hanya dijadikan topeng untuk
melanggengkan sebuah kekuasaan secara sepihak. Demokratisasi yang terbentuk
didasarkan pada KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), sehingga banyak wakil
rakyat yang duduk di MPR/DPR yang tidak mengenal rakyat dan daerah yang
diwakilinya.
Meskipun pembangunan ekonomi Orde
Baru menunjukan perkembangan yang menggembirakan, namun dampak negatifnya juga
cukup banyak. Dampak negatif ini disebabkan kebijakan Orde Baru yang terlalu
memfokuskan/mengejar pada pertumbuhan ekonomi, yang berdampak buruk bagi
terbentuknya mentalitas dan budaya korupsi para pejabat di Indonesia.
Distribusi hasil pembangunan dan
pemanfaatan dana untuk pembangunan tidak dibarengi kontrol yang efektif dari
pemerintah terhadap aliran dana tersebut sangat rawan untuk disalahgunakan.
Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan terbukanya akses dan distribusi yang
merata sumber-sumber ekonomi kepada masyarakat. Hal ini berdampak pada
munculnya kesenjangan sosial dalam masyarakat Indonesia, kesenjangan kota dan
desa, kesenjangan kaya dan miskin, serta kesenjangan sektor industri dan sektor
pertanian.
Selain masalah–masalah diatas,
tidak sedikit pengamat hak asasi manusia (HAM) dalam dan luar negeri yang
menilai bahwa pemerintahan Orde Baru telah melakukan tindakan antidemokrasi dan
diindikasikan telah melanggar HAM. Amnesty International misalnya dalam
laporannya pada 10 Juli 1991 menyebut Indonesia dan beberapa negara Timur
Tengah, Asia Pasifik, Amerika Latin, dan Eropa Timur, sebagai pelanggar HAM.
Human Development Report1991 yang disusun oleh United Nations Development
Program(UNDP) juga menempatkan Indonesia kepada urutan ke 77 dari 88 pelanggar
HAM (Anhar Gonggong ed, 2005:190).
Sekalipun Indonesia menolak
laporan kedua lembaga internasional tadi dengan alasan tidak “fair”dan
kriterianya tidak jelas, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam
negeri sendiri pemerintah Orde Baru dinilai telah melakukan beberapa tindakan
yang berindikasi pelanggaran HAM. Dalam kurun waktu 1969-1983 misalnya, dapat
disebut peristiwa Pulau Buru (Tempat penjara bagi orang-orang yang
diindikasikan terlibat PKI) (1969-1979), peristiwa Malari (Januari 1974) yang
berujung pada depolitisasi kampus. Kemudian pencekalan terhadap Petisi 50 (5
Mei 1980). Pada kurun waktu berikutnya, (1983-1988), terdapat dua peristiwa,
yaitu peristiwa Penembak Misterius –Petrus (Juli 1983), Peristiwa Tanjung Priok
(September 1984). Pada kurun 1988-1993, terdapat peristiwa Warsidi (Februari
1989), Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh (1989-1998), Santa Cruz (November
1991), Marsinah (Mei 1993), Haur Koneng (Juli 1993), dan Peristiwa Nipah
(September 1993). Sedangkan dalam kurun 1993-1998 antara lain terjadi peristiwa
Jenggawah (Januari 1996), Padang Bulan (Februari 1996), Freeport (Maret 1996),
Abepura (Maret 1996), Kerusuhan Situbondo (Oktober 1996), Dukun Santet
Banyuwangi (1998), Tragedi Trisakti (12 Mei 1998).
Dengan situasi politik dan
ekonomi seperti diatas, keberhasilan pembangunan nasional yang menjadi kebanggaan
Orde Baru yang berhasil meningkatkan GNP Indonesia ke tingkat US$ 600 di awal
tahun 1980-an, kemudian meningkat lagi sampai US$ 1300 perkapita diawal dekade
1990-an, serta menobatkan Presiden Soeharto sebagai “ Bapak Pembangunan”
menjadi seolah tidak bermakna. Sebab meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat
tetapi secara fundamental pembangunan tidak merata tampak dengan adanya
kemiskinan di sejumlah wilayah yang justru menjadi penyumbang terbesar devisa
negara seperti di Riau, Kalimantan Timur dan Irian Barat/Papua. Faktor inilah
yang selanjutnya menjadi salah satu penyebab terpuruknya perekenomian Indonesia
menjelang akhir tahun 1997.
KESIMPULAN
1. Pembangunan menjadi prioritas kebijakan pemerintah Orde Baru.
Program berupa Rencana Pembangunan Lima Tahun menunjukkan adanya pelaksanaan
tahap demi tahap pembangunan yang dilakukan dengan prioritas pembangunan
tertentu.
2. Agenda pembangunan ini diformulasikan oleh pemerintaah Orde Baru
dalam bentuk Trilogi Pembangunan.
3. Sistem kepartaian disederhanakan oleh pemerintah Orde Baru sejak
awal tahun 1970-an ke dalam tiga partai.
4. Krisis ekonomi dan tuntutan demokratisasi menjadi alasan gerakan
mahasiswa yang akhirnya menjadikan orde ini diganti dengan Orde Reformasi
Sumber;
Catatan yang saya jabarkan. ( baca aja capek apalagi nulis / ngetik)
Untuk
kritik dan saran langsung hubungi kontak saya di Navigasi Paling atas Dekat
daftar isi!!! Wxwxwx gwe dulu klau nyatat suka tak tulis semua, ya namanya anak
rajin hahaha..Kurang gawean..Tetap semangat!!!
Thanks
Visit My Blog.
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER