Dampak Kebijakan Politik dan Ekonomi Masa Orde Baru
Dampak Kebijakan Politik dan Ekonomi Masa Orde Baru
Pendekatan keamanan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru dalam menegakkan stabilisasi nasional secara umum memang berhasil menciptakan suasana aman bagi masyarakat Indonesia. Pembangunan ekonomi pun berjalan baik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena setiap program pembangunan pemerintah terencana dengan baik dan hasilnya dapat terlihat secara kongkret. Indonesia berhasil mengubah status dari negara pengimpor beras menjadi bangsa yang bisa memenuhi kebutuhan beras sendiri (swasembada beras). Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat, penurunan angka kematian bayi dan angka partisipasi pendidikan dasar yang meningkat.
Namun, di sisi lain kebijakan
politik dan ekonomi pemerintah Orde Baru juga memberi beberapa dampak yang
lain, baik di bidang ekonomi dan politik. Dalam bidang politik, pemerintah Orde
Baru cenderung bersifat otoriter, Presiden mempunyai kekuasaan yang sangat
besar dalam mengatur jalannya pemerintahan. Peran negara menjadi semakin kuat
yang menyebabkan timbulnya pemerintahan yang sentralistis. Pemerintahan
sentralistis ditandai dengan adanya pemusatan penentuan kebijakan publik pada pemerintah
pusat. Pemerintah daerah diberi peluang yang sangat kecil untuk mengatur
pemerintahan dan mengelola anggaran daerahnya sendiri. Otoritarianisme merambah
segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk
kehidupan politik.
Pemerintah Orde Baru dinilai
gagal memberikan pelajaran berdemokrasi yang baik, Golkar dianggap menjadi alat
politik untuk mencapai stabilitas yang diinginkan, sementara dua partai lainnya
hanya sebagai alat pendamping agar tercipta citra sebagai negara demokrasi.
Sistem perwakilan bersifat semu bahkan hanya dijadikan topeng untuk
melanggengkan sebuah kekuasaan secara sepihak. Demokratisasi yang terbentuk
didasarkan pada KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), sehingga banyak wakil
rakyat yang duduk di MPR/DPR yang tidak mengenal rakyat dan daerah yang
diwakilinya.
Meskipun pembangunan ekonomi Orde
Baru menunjukan perkembangan yang menggembirakan, namun dampak negatifnya juga
cukup banyak. Dampak negatif ini disebabkan kebijakan Orde Baru yang terlalu
memfokuskan/mengejar pada pertumbuhan ekonomi, yang berdampak buruk bagi
terbentuknya mentalitas dan budaya korupsi para pejabat di Indonesia.
Distribusi hasil pembangunan dan
pemanfaatan dana untuk pembangunan tidak dibarengi kontrol yang efektif dari
pemerintah terhadap aliran dana tersebut sangat rawan untuk disalahgunakan.
Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan terbukanya akses dan distribusi yang
merata sumber-sumber ekonomi kepada masyarakat. Hal ini berdampak pada
munculnya kesenjangan sosial dalam masyarakat Indonesia, kesenjangan kota dan
desa, kesenjangan kaya dan miskin, serta kesenjangan sektor industri dan sektor
pertanian.
Selain masalah–masalah diatas,
tidak sedikit pengamat hak asasi manusia (HAM) dalam dan luar negeri yang
menilai bahwa pemerintahan Orde Baru telah melakukan tindakan antidemokrasi dan
diindikasikan telah melanggar HAM. Amnesty International misalnya dalam
laporannya pada 10 Juli 1991 menyebut Indonesia dan beberapa negara Timur
Tengah, Asia Pasifik, Amerika Latin, dan Eropa Timur, sebagai pelanggar HAM.
Human Development Report1991 yang disusun oleh United Nations Development
Program(UNDP) juga menempatkan Indonesia kepada urutan ke 77 dari 88 pelanggar
HAM (Anhar Gonggong ed, 2005:190).
Sekalipun Indonesia menolak
laporan kedua lembaga internasional tadi dengan alasan tidak “fair”dan
kriterianya tidak jelas, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam
negeri sendiri pemerintah Orde Baru dinilai telah melakukan beberapa tindakan
yang berindikasi pelanggaran HAM. Dalam kurun waktu 1969-1983 misalnya, dapat
disebut peristiwa Pulau Buru (Tempat penjara bagi orang-orang yang
diindikasikan terlibat PKI) (1969-1979), peristiwa Malari (Januari 1974) yang
berujung pada depolitisasi kampus. Kemudian pencekalan terhadap Petisi 50 (5
Mei 1980). Pada kurun waktu berikutnya, (1983-1988), terdapat dua peristiwa,
yaitu peristiwa Penembak Misterius –Petrus (Juli 1983), Peristiwa Tanjung Priok
(September 1984). Pada kurun 1988-1993, terdapat peristiwa Warsidi (Februari
1989), Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh (1989-1998), Santa Cruz (November
1991), Marsinah (Mei 1993), Haur Koneng (Juli 1993), dan Peristiwa Nipah
(September 1993). Sedangkan dalam kurun 1993-1998 antara lain terjadi peristiwa
Jenggawah (Januari 1996), Padang Bulan (Februari 1996), Freeport (Maret 1996),
Abepura (Maret 1996), Kerusuhan Situbondo (Oktober 1996), Dukun Santet
Banyuwangi (1998), Tragedi Trisakti (12 Mei 1998).
Dengan situasi politik dan
ekonomi seperti diatas, keberhasilan pembangunan nasional yang menjadi kebanggaan
Orde Baru yang berhasil meningkatkan GNP Indonesia ke tingkat US$ 600 di awal
tahun 1980-an, kemudian meningkat lagi sampai US$ 1300 perkapita diawal dekade
1990-an, serta menobatkan Presiden Soeharto sebagai “ Bapak Pembangunan”
menjadi seolah tidak bermakna. Sebab meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat
tetapi secara fundamental pembangunan tidak merata tampak dengan adanya
kemiskinan di sejumlah wilayah yang justru menjadi penyumbang terbesar devisa
negara seperti di Riau, Kalimantan Timur dan Irian Barat/Papua. Faktor inilah
yang selanjutnya menjadi salah satu penyebab terpuruknya perekenomian Indonesia
menjelang akhir tahun 1997.
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER