Mengevaluasi Perjuangan Bangsa: Antara Perang & Damai
Mengevaluasi Perjuangan Bangsa: Antara Perang & Damai
Linggarjati adalah satu simbol perjuangan diplomasi Indonesia dalam menyelesaikan masalah kedaulatan dengan Belanda. Hal itu dilakukan karena Belanda benar-benar belum mau meninggalkan Indonesia. Konflik Indonesia-Belanda tidak dapat dihindari. Kontak senjata & perundingan dilakukan oleh kedua negara. Perjuangan bangsa Indonesia terus berkobar dalam konflik perang & damai untuk mencapai kedaulatan.
Bangsa Indonesia juga sadar bahwa kekuatan senjata bukan satu-satunya jalan untuk mencapai kemerdekaan. Jalur diplomasi / perundingan adalah jalan lain yang perlu ditempuh bangsa Indonesia. Hal ini juga menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai, tetapi lebih mencintai kemerdekaan.
Langkah diplomasi kadang tidak selamanya menguntungkan bangsa Indonesia, demikian sebaliknya. Maka dalam kajian di bawah ini, akan dibahas bagaimana bangsa kita berusaha menjalankan politik damai untuk mempertahankan kemerdekaan, namun juga tidak mengesampingkan dengan kekuatan senjata.
Bangsa Indonesia tetap terus berusaha untuk menempuh jalan damai, meskipun ada pula dampak yang tidak menguntungkan bangsa Indonesia.
1. Perjanjian Linggarjati
Perjanjian Linggarjati merupakan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Republik Indonesia untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda dengan jalan diplomatik. Perjanjian itu melibatkan pihak Indonesia & Belanda, serta Inggris sebagai penengah. Tokoh-tokoh dalam perundingan itu adalah Letnan Jenderal Sir Philip Christison dari Inggris, seorang diplomat senior serta mantan duta besar Inggris di Uni Soviet, yang kemudian diangkat sebagai duta istimewa Inggris untuk Indonesia. Wakil dari Belanda adalah Dr. H.J. Van Mook. Indonesia diwakili Perdana Menteri Republik Indonesia Sutan Sjahrir.
Sebelumnya perundingan Linggarjati sudah dilakukan beberapa kali perundingan baik di Jakarta maupun di Belanda. namun usaha-usaha untuk mencapai kesepakatan belum memenuhi harapan baik bagi pihak Indonesia maupun bagi pihak Belanda. Usaha itu mengalami kegagalan karena masing-masing pihak mempunyai pendapat yang berbeda.
Van Mook adalah kelompok orang Belanda yang lahir di Indonesia, yakni di Semarang. Ia juga seorang penganjur persekutuan sejak tahun 1930-an yang termasuk dalam kelompok pendorong, yakni gerakan orang Belanda di tanah jajahan Hindia Belanda yang bertujuan untuk menjadikan Hindia Belanda sebagai tanah air mereka dalam bentuk persemakmuran.
Atas pandangan itu suatu saat nanti Indonesia menjadi bagian sesuai dengan makna politik & sosialnya sendiri. Atas dasar pemikirannya itu Van Mook berkeinginan keras untuk kembali ke Indonesia. Sebagai seorang Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Mook lebih siap menghadapi perubahan situasi dari pada pemerintahan yang ada di Negeri Belanda.
Namun ia mendapatkan situasi yang jauh dari perkiraannya, proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan segala konsekuensinya itu tidak mungkin untuk ditarik kembali. Belanda hanya dapat menolak & tidak mengakui negeri jajahannya sebagai negara yang berdaulat.
Pada awal kehadirannya di Jakarta, Van Mook mendapat tekanan baik dari Sekutu maupun ancaman perlawanan dari pihak revolusioner Indonesia. Pada awal itu Van Mook bersedia untuk melakukan perundingan, meskipun pemerintah Belanda melarangnya untuk bertemu dengan Sukarno. Pada 14 Oktober 1945, Van Mook bersedia bertemu dengan Sukarno & “kelompok-kelompok Indonesia”.
Ia tidak mau menyebut sebagai Republik Indonesia, karena pemerintah Belanda belum mengakui pemerintahan Republik Indonesia. Dalam pokok pikiran Van Mook menyatakan, bahwa NICA bersedia membangun hubungan ketatanegaraan yang baru & status Indonesia menjadi “negara dominion” dalam persekutuan “persemakmuran Uni-Belanda”.
Demikianlah karena tidak ada titik temu antara Indonesia & Belanda, Cristison tetap berusaha mempertemukan mereka. Pemerintah Belanda diwakili oleh Van Mook & wakilnya, Charles O. Van der Plas. Indonesia diwakili oleh Sukarno & Moh. Hatta yang didampingi oleh H. Agus Salim & Ahmad Subarjo. Dalam pertemuan itu tidak ada hasil yang memuaskan bagi pihak Indonesia. pihak Belanda masih menginginkan kebijakan politiknya yang lama.
Pada minggu-minggu terakhir Oktober 1945, berbagai insiden & konfrontasi dengan semakin banyaknya tentara NICA yang datang ke Indonesia. Konfrontasi itu menyebabkan pihak sekutu ingin segara mengakhiri tugasnya di Indonesia, terlebih ketika aksi-aksi kekerasan di kota besar di Indonesia, terutama pertempuran sengit di Surabaya. Pihak sekutu ingin segera meninggalkan Indonesia, tetap tidak mungkin melepaskan tanggungjawab internasionalnya. Untuk itulah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan itu dengan melakukan perundingan.
a. Perundingan Awal di Jakarta
Pada 1 Oktober 1945, telah diadakan perundingan antara Christison (Inggris) dengan pihak Republik Indonesia Dalam perundingan ini Christison mengakui secara de facto terhadap Republik Indonesia. Hal ini pula yang memperlancar gerak masuk Sekutu ke wilayah Indonesia. Kemudian, pihak pemerintah RI pada tanggal 1 November 1945 mengeluarkan maklumat politik.
Isinya bahwa pernerintah RI menginginkan pengakuan terhadap negara & pernerintah RI, baik oleh Inggris maupun Belanda sebagaimana yang dibuat sebelum PD II. Pemerintah RI juga berjanji akan mengembalikan sernua milik asing / memberi ganti rugi atas milik yang telah dikuasai oleh pernerintah RI.
Inggris yang ingin melepaskan diri dari kesulitan pelaksanaan tugas-tugasnya di Indonesia, mendorong agar segera diadakan perundingan antara Indonesia & Belanda. Oleh karena itu, Inggris mengirim Sir Archibald Clark Kerr. Di bawah pengawasan & perantaraan Clark Kerr, pada 10 Februari 1946 diadakan perundingan Indonesia dengan Belanda di Jakarta.
Dalam perundingan ini Van Mook selaku wakil dari Belanda mengajukan usul-usul antara lain sebagai berikut;
- Indonesia akan dijadikan negara persemakmuran berbentuk federasi, memiliki pemerintahan sendiri tetapi di dalarn lingkungan Kerajaan Nederland (Belanda).
- Masalah dalam negeri di urus oleh Indonesia, sedangkan urusan luar negeri ditangani oleh pernerintah Belanda.
- Sebelum dibentuk persemakmuran, akan dibentuk pemerintahan peralihan selama sepuluh tahun.
- Indonesia akan dimasukkan sebagai anggota PBB.
Pihak Indonesia belum menanggapi & mengajukan usul-usul balasannya. Kebetulan situasi Kabinet Syahrir mengalami krisis, Persatuan Perjuangan (PP) pimpinan Tan Malaka melakukan oposisi. PP mendesak pada pemerintahan bahwa perundingan hanya dapat dilaksanakan atas dasar pengakuan seratus persen terhadap RI.
Ternyata mayoritas suara anggota KNIP menentang kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Syahrir. Oleh sebab itu, Kabinet Syahrir jatuh. Presiden Sukarno kemudian menunjuknya kembali sebagai Perdana Menteri. Kabinet Syahrir II teribentuk pada 13 Maret 1946. Kabinet Syahrir II mengajukan usul balasan dari usul-usul Van Mook. Usul-usul Kabinet Syahrir II antara lain sebagai berikut;
- RI harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah Hindia Belanda.
- Federasi Indonesia Belanda akan dilaksanakan dalam masa tertentu. Mengenai urusan luar negeri & pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang anggotanya terdiri atas orang-orang Indonesia & Belanda.
- Tentara Belanda segera ditarik kembali dari republik.
- Pemerintah Belanda harus-membantu pemerintah Indonesia untuk menjadi anggota PBB.
- Selama perundingan sedang terjadi, semua aksi militer harus dihentikan.
Usulan Syahrir tersebut ternyata ditolak oleh Van Mook. Sebagi jalan keluarnya Van Mook mengajukan usul tentang pengakuan republik Indonesia sebagai wakil Jawa untuk mengadakan kerja sama dalam upaya pembentukan negara federal yang bebas dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Pada 27 Maret 1946, Sutan Syahrir memberikan jawaban disertai konsep persetujuan yang isi pokoknya antara lain sebagai berikut;
- Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto RI atas Jawa & Sumatra.
- Supaya RI & Belanda bekerja sama membentuk RIS.
- RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, & Curacao, menjadi peserta dalam ikatan kenegaraan Belanda.
Usulan tersebut ternyata sudah saling mendekati kompromi. Oleh sebab itu, usaha perundingan perlu ditingkatkan.
b. Perundingan Hooge Valuwe
Perundingan dilanjutkan di negeri Belanda, di kota Hooge Veluwe bulan April 1946. Pokok pembicaraan dalam perundingan itu adalah memutus pembicaraan yang dilakukan di Jakarta oleh Van Mook & Syahrir. Sebagai penengah dalam perundingan, Inggris mengirim Sir Archibald Clark Kerr.
Pada kesempatan itu Syahrir mengirim tiga orang delegasi dari Jakarta, yakni Mr. W. Suwandi, dr. Sudarsono, & A.K. Pringgodigdo. Mereka berangkat bersama Kerr pada 4 April 1946. Dari Belanda hadir lima orang yaitu Van Mook, J.H. van Royen. J.H.Logeman, Willem Drees, & Dr. Schermerhorn. Perundingan itu untuk menyelesaikan perundingan yang tidak tuntas saat di Jakarta.
Perundingan mengalami deadlock sejak hari pertama, dikarenakan masing-masing pihak sudah mempunyai harapan yang berbeda. Delegasi Indonesia berharap ada langkah nyata dalam upaya pengakuan kedaulatan & kemerdekaan Indonesia. Sementara pihak Belanda menganggap pertemuan di Hooge Valuwe itu hanya untuk sekedar pendahuluan saja.
Pada akhir pertemuan dihasilkan, draf Jakarta yang sudah disiapkan. Sebagian dapat diterima & sebagian lagi tidak dapat diterima. Usulan yang diterima antara lain adalah pengakuan kekuasaan RI atas Jawa, sementara Sumatera tidak diakui. Dari draf Jakarta, tidak ada satu pun yang disetuju secara resmi, sehingga tidak dilakukan penandatanganan. Alasan utama Belanda adalah Belanda tidak siap melakukan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia menolak bentuk perundingan di Hooge Valuwe sebagai perjanjian internasional dua negara.
Bagi Indonesia, menerima delegasi Republik Indonesia sebagai mitra sejajar berarti menganggap negeri bekas jajahannya sebagai mitra sejajar yang mempunyai kedudukan yang sama di dunia internasional. Sementara itu, Belanda masih belum mengakui Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
Di sisi lain, kondisi Belanda yang saat itu sedang mempersiapkan pemilihan umum pertama pascaperang tidak siap untuk mengambil keputusan yang mengikat masalah Indonesia, karena masalah Indonesia tergantung pada peta politik yang ada di Belanda. satu diantara partai politik yang menentang keras kebijakan perundingan adalah Partai Katholik, seperti halnya dengan kelompok PP di Indonesia. Pada awal dimulainya perundingan Hoge Valuwe, Romme pimpinan fraksi Partai Katholik di parlemen Belanda menulis di tajuk Harian Volkskrant dengan nada keras antinegosiasi yang berjudul De week der Schande (Minggu Yang Penuh Aib).
Kegagalan perundingan Hooge Valuwe bagi kedua negara membawa untuk dilakukan kembali perundingan selanjutnya. Bagi Indonesia perundingan Hooge Valuwe memperkuat posisi Indonesia didepan Belanda. Perundingan itu juga menjadikan masalah Indonesia menjadi perhatian dunia internasional. Perundingan itu pula yang mengantarkan pada diplomasi internasional dalam Perjanjian Linggarjati pada kemudian hari.
c. Pelaksanaan Perundingan Linggarjati
Kegagalan dalam perundingan Hoge, pada April 1946, menjadikan pemerintah Indonesia untuk beralih pada tindakan militer. Pemerintah Indonesia berpendapat perlu melakukan serangan umum di kedudukan Inggris & Belanda yang berada di Jawa & Sumatera. Namun genjatan senjata yang dilakukan dengan cara-cara lama & gerilya tidak membawa perubahan yang berarti. Resiko yang dihadapi pemerintah semakin tinggi dengan banyaknya korban yang berjatuhan. Untuk mencagah bertambahnya korban pada bulan Agustus hingga September 1946 direncanakan untuk menyusun konsep perang secara defensif.
Bagi Sukarno, Hatta, & Syahrir perlawan dengan strategi perang defentif itu lebih beresiko dibandingkan dengan cara-cara lama, karena akan memakan korban lebih banyak lagi. Menurut mereka pengakuan kedaulatan Republik Indonesia lebih baik dilakukan dengan jalan diplomasi.
Pada awal November 1946, perundingan diadakan di Indonesia, bertempat di Linggarjati. Pelaksanaan sidang-sidangnya berlangsung pada 11-15 November 1946. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir, anggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Susanto Tirtoprojo, & A.K. Gani. Sementara pihak Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn dengan beberapa anggota, yakni Van Mook, F de Boor, & van Pool. Sebagai penengah & pemimpin sidang adalah Lord Killearn, juga ada saksi-saksi yakni Amir Syarifudin, dr. Leimena, dr. Sudarsono, & Ali Budiarjo. Presiden Sukarno & Wakil Presiden Moh. Hatta juga hadir di dalam perundingan Linggarjati itu.
Dalam perundingan itu dihasilkan kesepakatan yang terdiri dari 17 pasal. Isi pokok Perundingan Linggarjati antara lain sebagai berikut;
- Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan secara de facto pemerintahan RI atas wilayah Jawa, Madura, & Sumatera. Daerah-daerah yang diduduki Sekutu atau Belanda secara berangsur-angsur akan dikembalikan kepada RI.
- Akan dibentuk Negara Indonesia Serikat (NIS) yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia) sebagai negara berdaulat.
- Pemerintah Belanda & RI akan membentuk Uni Indonesia-Belanda yang dipimpin oleh raja Belanda.
- Pembentukan NIS & Uni Indonesia- Belanda diusahakan sudah selesai sebelum 1 Januari 1949.
- Pemerintah RI mengakui & akan memulihkan serta melindungi hak milik asing.
- Pemerintah RI & Belanda sepakat untuk mengadakan pengurangan jumlah tentara.
- Bila terjadi perselisihan dalam melaksanakan perundingan ini, akan menyerahkan masalahnya kepada Komisi Arbitrase.
Naskah persetujuan kemudian diparaf oleh kedua delegasi di Istana Rijswijk Jakarta (sekarang Istana Merdeka). Isi perundingan itu harus disyahkan dahulu oleh parlemen masing-masing (indonesia oleh KNIP). Untuk meratifikasi & mensyahkan isi Perundingan Linggarjati, kedua parlemen masih enggan & belum puas. Pada bulan Desember 1946, Presiden mengeluarkan Peraturan No. 6 tentang penambahan anggota KNIP.
Hal ini dimaksudkan untuk memperbesar suara yang pro Perjanjian Linggarjati dalam KNIP. Pada 28 Februari 1947 Presiden melantik 232 anggota baru KNIP. Akhirnya isi Perundingan Linggarjati disahkan oleh KNIP pada 25 Maret 1947, yang lebih dikenal sebagai tanggal Persetujuan Linggarjati.
Setelah Persetujuan Linggarjati disahkan, beberapa negara telah memberikan pengakuan terhadap kekuasaan RI. Misalnya dari Inggris, Amerika Serikat, Mesir, Afganistan, Birma (Myanmar), Saudi Arabia, India, & Pakistan. Perjanjian Linggarjati itu mengandung prinsip-prinsip pokok yang harus disetuju oleh kedua belah pihak melalui serangkaian perundingan lanjutan. Ketentuan dalam pasal (2) misalnya, menentukan bahwa RI & Belanda akan bekerjasama untuk membentuk Negara Indonesia Serikat sebagai pengganti Hindia Belanda. Namun perundingan lanjutan terhambat karena masing-masing pihak menuduh tentaranya melanggar ketentuan genjatan senjata.
Dokumen perjanjian itu pun akhirnya tidak membantu untuk memecahkan masalah bagi kedua belah bangsa. Bahkan memperburuk keadaan. Belanda kemudian mengadakan genjatan senjata di Jawa & Sumatera pada 21 Juli 1947. Belanda menyebut tindakan itu sebagai “actie politionel” (tindakan kepolisian). Istilah itu berarti “pengamanan dalam negeri” / yang dimaksud di sini adalah Indonesia. Artinya, Belanda tidak mengakui kedaulatan Republik Indonesia, seperti yang sudah dinyatakan dalam dokumen Linggarjati. Belanda memberi sandi pada serangan umum itu dengan “Operasi Produk” yakni operasi yang ditujukan untuk wilayah-wilayah yang dianggap penting secara ekonomi bagi Belanda.
Kondisi itu mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengeluarkan resolusi. Ada dua resolusi yang disampaikan oleh PBB. Pertama, menghimbau agar RI & Belanda segera menghentikan perang & membentuk Negara Indonesia Serikat, seperti yang diamanatkan dalam perjanjian Linggarjati.
Kedua, adalah usulan Amerika agar kedua belah pihak membentuk sebuah tim untuk membantu menyelesaikan masalah itu. Usulan itu kemudian dikenal dengan istilah “Komisi Tiga Negara”. Komisi Tiga Negara (KTN) itu terdiri dari Australia, yang diwakili oleh Richard C Kirby yang dipilih oleh RI. Belanda memilih Belgia yang diwakili oleh Paul van Zeeland.
Amerika di wakili oleh Frank P. Graham yang dipilih oleh Belgia & Autralia. Hasil dari KTN itu adalah perundingan diadakan kembali oleh Indonesia & Belanda. Pihak Belanda mengusulkan agar diadakan perundingan ditempat yang netral. Atas jasa Amerika Serikat, maka digunakannya kapal yang mengangkut tentaranya, dengan nama USS Renville didatangkan ke teluk Jakarta dari Jepang. Tentang perjanjian Renville ini akan dibahas lebih lanjut dibagian berikutnya.
d. Konferensi Malino
Dalam situasi politik yang tidak menentu di Indonesia, Belanda melakukan tekan politik & militer di Indonesia. Tekanan politik dilakukan dengan menyelenggarakan Konferensi Malino, yang bertujuan untuk membentuk negara-negara federal di daerah yang baru diserahterimakan oleh Inggris & Australia kepada Belanda. Disamping itu, di Pangkal Pinang, Bangka diselenggarakan konferensi untuk golongan minoritas. Konferensi Malino diselenggarakan pada 15-26 juli 1946, sedangkan Konferensi Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946. Diharapkan daerah-daerah ini akan mendukung Belanda dalam pembentukan negara federasi. Di samping itu, Belanda juga terus mengirim pasukannya memasuki Indonesia.
Dengan demikian kadar permusuhan antara kedua belah pihak semakin meningkat. Namun usaha-usaha diplomasi terus dilakukan. Sebagai contoh tanggal 14 Oktober 1946 tercapai persetujuan gencatan senjata. Usaha-usaha perundingan pun terus diupayakan.
Setelah perjanjian Linggarjati Van Mook mengambil inisiatif untuk mendirikan pemerintahan federal sementara sebagai pengganti Hindia Belanda. Tindakan Van Mook itu menimbulkan kegelisahan di kalangan negara-negara bagian yang tidak terwakili dalam susunan pemerintahan. Pada kenyataannya pemerintah federal yang didirikan Van Mook itu tidak beda pemerintah Hindia Belanda.
Untuk itulah negara-negara federal mengadakan rapat di Bandung pada Mei–Juli 1948. Konferensi Bandung itu dihadiri oleh 4 negara federal yang sudah terbentuk yakni Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur, Negara Pasundan, & Negara Madura. Juga dihadiri oleh daerah-daerah otonom seperti, Bangka, Banjar, Dayak Besar, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Riau, & Jawa Tengah. Sebagai ketua adalah Mr. T. Bahriun dari Negara Sumatera Timur.
Rapat itu diberi nama Bijeenkomst voor federal Overleg (BFO), yaitu suatu pertemuan untuk Musyawarah Federal. Pengambil inisiatif BFO itu adalah Ida Agung Gde Agung, seorang perdana menteri Negara Indonesia Timur. juga R.T. Adil Puradiredja, seorang perdana menteri Negara Pasunan. BFO itu dimaksudkan untuk mencari solusi dari situasi politik yang genting akibat dari perkembangan politik antara Belanda & RI yang juga berpengaruh pada perkembangan negara-negara bagian. Pertemuan Bandung juga dirancang untuk menjadikan pemerintahan peralihan yang lebih baik dari pada pemerintahan Federal Sementara buatan Van Mook.
2. Agresi Militer Belanda I
Di tengah-tengah upaya mencari kesepakatan dalam pelaksanaan isi Persetujuan Linggarjati, ternyata Belanda terus melakukan tindakan yang justru bertentangan dengan isi Persetujuan Linggarjati. Di samping mensponsori pembentukan pemerintahan boneka, Belanda juga terus memasukkan kekuatan tentaranya. Belanda pada 27 Mei 1947 mengirim nota ultimatum yang isinya antara lain sebagai berikut;
- Pembentukan Pemerintahan Federal Sementara (Pemerintahan Darurat) secara bersama.
- Pembentukan Dewan Urusan Luar Negeri.
- Dewan Urusan Luar Negeri, bertanggung jawab atas pelaksanaan ekspor, impor, & devisa.
- Pembentukan Pasukan Keamanan & Ketertiban Bersama (gendarmerie), Pembentukan Pasukan Gabungan ini termasuk juga di wilayah RI.
Pada prinsipnya PM Syahrir (yang kabinetnya jatuh Juni 1947) dapat menerima beberapa usulan, tetapi menolak mengenai pembentukan Pasukan Keamanan Bersama di wilayah RI. Pada 3 Juli dibentuk kabinet baru di bawah Amir Syarifuddin yang juga tetap menolak pembentukan Pasukan Keamanan Bersama di wilayah RI. Pada 21 Juli 1947 tengah malam, pihak Belanda melancarkan ‘aksi polisional’ mereka yang pertama. Pasukan-pasukan bergerak dari Jakarta & Bandung untuk menduduki Jawa Barat, & dari Surabaya untuk menduduki Madura & Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang.
Dengan demikian Belanda menguasai semua pelabuhan di Jawa. Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi-instalasi minyak & batu bara di sekitar Palembang & Padang diamankan. Pasukan-pasukan Republik bergerak mundur dalam kebingungan & menghancurkan apa saja yang dapat mereka hancurkan. Di beberapa daerah terjadi aksi-aksi pembalasan.Orang-orang Cina di Jawa Barat & kaum bangsawan yang dipenjarakan di Sumatera Timur dibunuh.
Beberapa orang Belanda, termasuk Van Mook ingin melanjutkan merebut Yogykarta & membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, namun pihak Amerika & Inggris yang tidak menyukai ‘aksi polisional’ tersebut menggiring Belanda untuk segera menghentikan peperangan terhadap Republlik Indonesia. Ibu kota RI dapat dikurung Belanda. Hubungan ke luar bagi Indonesia juga mengalami kesulitan, karena pelabuhan-pelabuhan telah dikuasai Belanda.
Secara ekonomis, Belanda juga berhasil menciptakan kesulitan bagi RI. Daerah-daerah penghasil beras jatuh ke tangan Belanda. Hubungan ke luar juga terhambat karena blokade Belanda. Tetapi Belanda belum berhasil menghancurkan mental & kekuatan Tentara Indonesia yang didukung oleh kekuatan rakyat. Pada 30 Juli 1947, pemerintah India & Australia mengajukan permintaan resmi agar masalah Indonesia-Belanda dimasukan dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Pemintaan itu diterima baik & dimasukkan dalam agenda sidang Dewan Keamanan PBB.
Tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian permusuhan kedua belah pihak & mulai berlaku sejak tanggal 4 Agustus 1947. Sementara itu untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata, Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Konsuler dengan anggota-anggotanya yang terdiri dari para Konsul Jenderal yang berada di wilayah Indonesia. Komisi Konsuler diketuai oleh Konsul Jenderal Amerika Serikat Dr. Walter Foote dengan beranggotakan Konsul Jenderal Cina, Belgia, Perancis, Inggris & Australia.
Komisi Konsuler itu diperkuat dengan personil militer Amerika Serikat & Perancis sebagai peninjau militer. Dalam laporannya kepada Dewan Keamanan PBB, Komisi Konsuler menyatakan bahwa tanggal 30 Juli sampai 4 Agustus 1947 pasukan masih mengadakan gerakan militer. Pemerintah Indonesia menolak garis demarkasi yang dituntut oleh pihak Belanda berdasarkan kemajuan-kemajuan pasukannya setelah pemerintah melakukan gencatan senjata. Namun penghentian tembak-menembak tidak dimusyawarahkan & belum ditemukan tindakan yang tepat untuk menyelesaikannya agar jumlah korban bisa dikurangi.
Tanggal 3 Agustus 1947 Belanda menerima resolusi DK (Dewan Keamanan) PBB & memerintahkan kepada Van Mook untuk menghentikan tembak-menembak. Pelaksanaannya dimulai pada malam hari tanggal 4 Agustus 1947. Tanggal 14 Agustus 1947, dibuka sidang DK PBB. Dari Indonesia hadir, antara lain Sutan Syahrir. Dalam pidatonya, Syahrir menegaskan bahwa untuk mengakhiri berbagai pelanggaran & menghentikan pertempuran, perlu dibentuk Komisi Pengawas.
Pada 25 Agustus 1947, DK PBB menerima usul Amerika Serikat tentang pembentukan suatu Commitee of Good Offices (Komisi Jasa-jasa Baik) / yang lebih dikenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN). Belanda menunjuk Belgia sebagai anggota, sedangkan Indonesia memilih Australia. Kemudian Belanda & Indonesia memilih negara pihak ketiga, yakni Amerika. Komisi resmi terbentuk tanggal 18 September 1947. Australia dipimpin oleh Richard Kirby, Belgia dipimpin oleh Paul Van Zeelland & Amerika Serikat dipimpin oleh Dr. Frank Graham.
Ternyata Belanda masih terus berulah, sebelum Komisi Tiga Negara datang di Indonesia. Belanda terus mendesak wilayah & melakukan perluasan wilayah kedudukannya. Kemudian tanggal 29 Agustus 1947, secara sepihak Van Mook memproklamasikan garis demarkasi Van Mook, menjadi garis batas antara daerah pendudukan Belanda & wilayah RI pada saat gencatan senjata dilaksanakan. Garis-garis itu pada umumnya menghubungkan titik terdepan posisi Belanda. Menurut garis Van Mook, wilayah RI lebih sedikit dari sepertiga wilayah Jawa, yakni wilayah Jawa Tengah bagian timur, dikurangi pelabuhan-pelabuhan & perairan laut.
3. Komisi Tiga Negara sebagai mediator yang berharga
Masalah Indonesia-Belanda telah dibawa dalam sidang-sidang PBB. Hal ini menunjukkan bahwa masalah Indonesia telah menjadi perhatian bangsa-bangsa dunia. Kekuatan Indonesia di forum internasionalpun semakin kuat dengan kecakapan para diplomator Indonesia yang meyakinkan negara-negara lain bahwa kedaulatan Indonesia sudah sepantasnya dimiliki bangsa Indonesia. Tentu saja bahwa kepercayaan bukan disebabkan oleh para diplomator saja. Perjuangan rakyat Indonesia adalah bukti bahwa kemerdekaan merupakan kehendak seluruh rakyat Indonesia. PBB sebagai organisasi internasional berperan aktif menyelesaikan konflik antara RI dengan Belanda.
Berikut ini beberapa peran PBB dalam penyelesaian konflik Indonesia Belanda. Atas usul Amerika Serikat DK PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) yang beranggotakan Amerika Serikat, Australia, & Belgia. KTN berperan aktif dalam penyelenggaraan Perjanjian Renville Serangan Belanda pada Agresi Militer II dilancarkan di depan mata KTN sebagai wakil DK PBB di Indonesia. KTN membuat laporan yang disampaikan kepada DK PBB, bahwa Belanda banyak melakukan pelanggaran. Hal ini telah menempatkan Indonesia lebih banyak didukung negara-negara lain.
4. Perjanjian Renville
Komisi Tiga Negara tiba di Indonesia pada 27 Oktober 1947 & segera melakukan kontak dengan Indonesia maupun Belanda. Indonesia & Belanda tidak mau mengadakan pertemuan di wilayah yang dikuasai oleh salah satu pihak. Oleh sebab itu, Amerika Serikat menawarkan untuk mengadakan pertemuan di geladak Kapal Renville milik Amerika Serikat. Indonesia & Belanda kemudian menerima tawaran Amerika Serikat. Perundingan Renville secara resmi dimulai pada 8 Desember 1947 di kapal Renville yang sudah berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo, orang Indonesia yang memihak Belanda.
Dengan berbagai pertimbangan, pada akhirnya Indonesia menyetujui isi Perundingan Renville yang terdiri dari 3 hal sebagai berikut;
- Persetujuan tentang gencatan senjata yang antara lain diterimanya garis demarkasi Van Mook (10 pasal).
- Dasar-dasar politik Renville, yang berisi tentang kesediaan kedua pihak untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara damai (12 pasal)
- Enam pasal tambahan dari KTN yang berisi, antara lain tentang kedaulatan Indonesia yang berada di tangan Belanda selama masa peralihan sampai penyerahan kedaulatan (6 pasal).
Sebagai konsekuensi ditandatanganinya Perjanjian Renville, wilayah RI semakin sempit dikarenakan diterimanya garis demarkasi Van Mook, dimana wilayah Republik Indonesia meliputi Yogyakarta & sebagian Jawa Timur. Dampak lainnya adalah Anggota TNI yang masih berada di daerah-daerah kantong yang dikuasai Belanda, harus ditarik masuk ke wilayah RI,misaInya dari Jawa Barat ada sekitar 35.000 orang tentara Divisi Siliwangi. Divisi Siliwangi tanggal 1 Februari 1948 dihijrahkan menuju wilayah RI di Jawa Tengah & ada yang ditempatkan di Surakarta. Juga 6.000 anggota TNI dari Jawa Timur masuk ke wilayah RI.
Isi Perjanjian Renville mendapat tentangan sehingga muncul mosi tidak percaya terhadap Kabinet Amir Syarifuddin & pada 23 Januari 1948, Amir menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden. Dengan demikian perjanjian Renville menimbulkan permasalahan baru, yaitu pembentukan pemerintahan peralihan yang tidak sesuai dengan yang terdapat dalam perjanjian Linggarjati.
5. Agresi Militer II : Tekad Belanda Melenyapkan RI
Sebelum macetnya perundingan Renville sudah ada tanda-tanda bahwa Belanda akan melanggar persetujuan Renville. Oleh sebab itu pemerintah RI & TNI sudah memperhitungkan bahwa sewaktu-waktu Belanda akan melakukan aksi militernya untuk menghancurkan RI dengan kekuatan senjata. Untuk menghadapi kekuatan Belanda, maka dibentuk Markas Besar Komando Djawa (MBKD) yang dipimpin oleh A.H. Nasution & Hidayat. Seperti yang telah diduga sebelumnya, pada 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresinya yang kedua. Sebelum pasukan Belanda begerak lebih jauh, Van Langen (wakil jenderal Spoor) berbisik kepada Van Beek (komandan lapangan agresi II): “overste tangkap Sukarno, Hatta, & Sudirman, mereka bertiga masih ada di istana”, demikian perintah pimpinan Belanda terhadap ketiga pimpinan nasional kita.
Agresi militer II itu telah menimbulkan bencana militer maupun politik bagi mereka walaupun mereka tampak memperoleh kemenangan dengan mudah. Dengan taktik perang kilat, Belanda melancarkan serangan di semua front RI. Serangan diawali dengan penerjunan pasukan-pasukan payung di Pangkalan Udara Maguwo & dengan cepat berhasil menduduki ibu kota Yogyakarta. Presiden Sukarno & Wakil Presiden Hatta memutuskan untuk tetap tinggal di ibukota, meskipun mereka tahu akan ditawan musuh. Alasannya, agar mereka dengan mudah ditemui oleh TNI, sehingga kegiatan diplomasi dapat berjalan terus. Disamping itu, Belanda tidak mungkin melancarkan serangan secara terus menerus, karena Presiden & wakil Presiden sudah ada di tangan musuh.
Sebagai akibat dari keputusan itu, Presiden Sukarno & Wakil Presiden Hatta beserta sejumlah Menteri, Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Suryadarma & lainnya juga ikut ditawan tentara Belanda. Tetapi kelangsungan pemerintahan RI dapat dilanjutkan dengan baik, karena sebelum pihak Belanda sampai di Istana, Presiden Sukarno telah berhasil mengirimkan radiogram yang berisi mandat kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara yang sedang melakukan kunjungan ke Sumatera untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Perintah sejenis juga diberikan kepada Mr. A.A. Maramis yang sedang di India.
Apabila Syafruddin Prawiranegara ternyata gagal melaksanakan kewajiban pemerintah pusat, maka Maramis diberi wewenang untuk membentuk pernerintah pelarian (Exile Goverment) di luar negeri. Sementara itu, Panglima Besar Jenderal Sudirman yang sedang sakit harus dirawat oleh dr. Suwondo selaku dokter pribadinya di rumah di kampung Bintaran. Setelah mendengar Belanda melancarkan serangan, Jenderal Sudirman segera menuju istana Presiden di Gedung Agung. Ketika mengetahui Presiden, Wakil Presiden, & beberapa pemimpin lainnya ingin tetap bertahan di ibu kota, maka Jenderal Sudirman, dengan para pengawalnya pergi ke luar kota untuk mengadakan perang gerilya. Para ajudan yang menyertai Jenderal Sudirman, antara lain Suparjo Rustam & Cokropranolo. Sedangkan pasukan di bawah pimpinan Letkol Soeharto terus berusaha menghambat gerak maju pasukan Belanda. Kemudian beberapa tokoh militer vang mengikuti jejak Jenderal Sudirman, antara lain Kolonel Gatot Subroto, & Kolonel TB. Simatupang.
Aksi militer Belanda yang kedua ini ternyata menarik perhatian PBB, karena Belanda secara terang-terangan tidak mengikuti lagi Persetujuan Renville di depan Komisi Tiga Negara yang ditugaskan oleh PBB. Pada 24 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB membuat resolusi, agar Republik Indonesia & Belanda segera menghentikan permusuhan & membebaskan Presiden RI & para pemimpin politik yang ditawan Belanda. Kegagalan Belanda di medan pertempuran serta tekanan dari AS yang mengancam akan memutuskan bantuan ekonomi & keuangan, memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan.
6. Peranan PDRI sebagai Penjaga Eksistensi RI
Pada saat terjadi agresi militer Belanda II, Presiden Sukarno telah membuat mandat kepada Syafruddin Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukittinggi untuk membentuk pemerintah darurat. Sukarno mengirimkan mandat serupa kepada Mr. Maramis & Dr. Sudarsono yang sedang berada di New Delhi, India apabila pembentukan PDRI di Sumatra mengalami kegagalan. Namun, Syafruddin berhasil mendeklarasi berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia ini dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota pada 19 Desember 1948.
Susunan pemerintahannya antara lain sebagai berikut;
- Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua merangkap Perdana Menteri, Menteri Pertahanan & Menteri Penerangan.
- Mr. T.M. Hassan sebagai wakil ketua merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan, & Menteri Agama.
- Ir. S.M. Rasyid sebagai Menteri Keamanan merangkap Menteri Sosial, Pembangunan & Pemuda.
- Mr. Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman.
- Ir. Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Kesehatan.
- Maryono Danubroto sebagai Sekretaris PDRI.
- Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar.
- Kolonel A.H. Nasution sebagai Panglima Tentara Teritorial Jawa.
- Kolonel Hidayat sebagai Panglima Tentara Teritorial Sumatra.
PDRI yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara ternyata berhasil memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan & menegakkan pemerintah RI.
Peranan PDRI antara lain sebagai berikut. PDRI dapat berfungsi sebagai mandataris kekuasaan pemerintah RI & berperan sebagai pemerintah pusat. PDRI juga berperan sebagai kunci dalam mengatur arus informasi, sehingga mata rantai komunikasi tidak terputus dari daerah yang satu ke daerah yang lain. Radiogram mengenai masih berdirinya PDRI dikirimkan kepada Ketua Konferensi Asia, Pandit Jawaharlal Nehru oleh Radio Rimba Raya yang berada di Aceh Tengah pada tanggal 23 Januari 1948. PDRI juga berhasil menjalin Konflik antara Indonesia dengan Belanda masih terus berlanjut. Namun semakin terbukanya mata dunia terkait dengan konflik itu, menempatkan posisi Indonesia semakin menguntungkan. Untuk mempercepat penyelesaikan konflik ini maka oleh DK PBB dibentuklah UNCI (United Nations Commission for Indonesia) / Komisi PBB untuk hubungan & berbagi tugas dengan perwakilan RI di India. Dari India informasi-informasi tentang keberadaan & perjuangan bangsa & negara RI dapat disebarluaskan ke berbagai penjuru. Terbukalah mata dunia mengenai keadaan RI yang sesungguhnya.
Indonesia sebagai pengganti KTN. UNCI ini memiliki kekuasaan yang lebih besar dibanding KTN. UNCI berhak mengambil keputusan yang mengikat atas dasar suara mayoritas.
UNCI memiliki tugas & kekuasaan sebagai berikut;
- Memberi rekomendasi kepada DK PBB & pihak-pihak yang bersengketa (Indonesia & Belanda).
- Membantu mereka yang bersengketa untuk mengambil keputusan & melaksanakan resolusi DK PBB.
- Mengajukan saran kepada DK PBB mengenai cara-cara yang dianggap terbaik untuk mengalihkan kekuasaan di Indonesia berlangsung secara aman & tenteram. d. Membantu memulihkan kekuasaan pemerintah RI dengan segera.
- Mengajukan rekomendasi kepada DK PBB mengenai bantuan yang dapat diberikan untuk membantu keadaan ekonomi penduduk di daerah-daerah yang diserahkan kembali kepada RI.
- Memberikan saran tentang pemakaian tentara Belanda di daerah-daerah yang dianggap perlu demi ketenteraman rakyat.
- Mengawasi pemilihan umum, bila di wilayah Indonesia diadakan pemilihan.
Ketika Presidan, Wakil presiden & pembesar-pembesar Republik ditawan Belanda di Bangka, delegasi BFO (Bijzonder Federaal Overleg) mengunjungi mereka & mengadakan perundingan. UNCI mengumumkan bahwa delegasi-delegasi Republik, Belanda & BFO telah mecapai persetujuan pendapat mengenai akan diselenggarakannya KMB. UNCI juga berhasil menjadi mediator dalam KMB. Bahkan peranan itu juga tampak sampai penyerahan & pemulihan kekuasaan Pemerintah RI di Indonesia.
7. Terus memimpin gerilya
Kalau para pemimpin pemerintahan seperti Presiden Sukarno, wakil Presiden Moh. Hatta & beberapa menteri ditangkap Belanda, Panglima Besar Sudirman yang dalam kondisi sakit paru-paru justru memimpin perang gerilya. Ia & rombongan melakukan perjalanan & pergerakan dari Yogyakarta menuju Gunungkidul dengan melewati beberapa kecamatan, menuju Pracimantoro, Wonogiri, Ponorogo, Trenggalek & Kediri. Dalam gerakan gerilya dengan satu paru-paru Sudirman kadang harus ditandu / dipapah oleh pengawal masuk hutan, naik gunung, turun jurang harus memimpin pasukan, memberikan motivasi & komando kepada TNI & para pejuang untuk terus mempertahankan tegaknya panji-panji NKRI.
Dari Kediri lalu memutar kembali melewati Trenggalek, terus melakukan perjalanan sampai akhirnya di Sobo. Di tempat ini telah dijadikan markas gerilya sampai saat Presiden & wakil Presiden dengan beberapa menteri kembali ke Yogyakarta. Sungguh heroik perjalanan Sudirman. Ia telah menempuh perjalanan kurang lebih 1000 km. Waktu gerilya mencapai enam bulan dengan penuh derita, lapar & dahaga. Sudirman tidak lagi memimikirkan harta, jiwa & raganya semua dikorbankan demi tegaknya kedaulatan bangsa & Negara.
8. Peranan Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk Menunjukkan Eksistensi TNI
Pada saat para pemimpin ditangkap, Panglima TNI Jenderal Sudirman memimpin perang gerilya. Beliau & pasukannya segera meninggalkan kota & mengatur siasat. Pihak Belanda ternyata tidak mau segera menerima resolusi DK PBB, tanggal 28 Januari 1949. Belanda masih mengakui bahwa RI sebenarnya tinggal nama. RI sudah tidak ada, yang ada hanyalah para pengacau. Sementara itu, Sri Sultan Hamengkubuwana IX lewat radio menangkap berita luar negeri tentang rencana DK PBB yang akan mengadakan sidang lagi pada bulan Maret 1949, untuk membahas perkembangan di Indonesia.
Sri Sultan berkirim surat kepada Jenderal Sudirman tentang perlunya tindakan penyerangan terhadap Belanda. Sudirman minta agar Sri Sultan membahasnya dengan komandan TNI setempat, yakni Letkol Soeharto. Segera penyerangan terhadap Belanda di Yogyakarta dijadwalkan tanggal 1 Maret 1949 dini hari.
Tanggal 1 Maret 1949 dini hari sekitar pukul 06.00 sewaktu sirine berbunyi sebagai tanda berakhirnya jam malam, serangan umum dilancarkan dari segala penjuru. Letkol Soeharto langsung memegang komando menyerang ke pusat kota. Serangan umum ini ternyata sukses. Selama enam jam (dari jam 06.00 - jam 12 siang) Yogyakarta dapat diduduki oleh TNI. Baru setelah Belanda mendatangkan bala bantuan dari Gombong & Magelang, dapat memukul mundur para pejuang kita. Keberhasilan serangan umum ini, kemudian disebarluaskan melalui RRI gerilya yang ada di Gunung Kidul. Berita ini dapat ditangkap oleh RRI di Sumatra, kemudian diteruskan ke luar negeri.
Meskipun hanya sekitar enam jam pasukan Indonesia berhasil menduduki kota Yogyakarta, namun serangan ini sangat berarti bagi bangsa Indonesia. Selain mengobarkan semangat rakyat kembali juga menunjukkan kepada dunia bahwa negara Indonesia masih mempunyai kekuatan. Pada waktu itu di Yogyakarta ada beberapa wartawan asing yang peranannya sangat besar dalam menginformasikan keadaan Indonesia kepada dunia.
9. Belanda semakin terjepit dalam Persetujuan Roem-Royen
Serangan Umum 1Maret 1949 yang dilancarkan oleh para pejuang Indonesia, telah membuka mata dunia bahwa propaganda Belanda itu tidak benar. RI & TNI masih tetap ada. Namun Belanda tetap membandel & tidak mau melaksanakan resolusi DK PBB 28 Januari. Perundingan itupun menjadi macet. Melihat kenyataan itu, Amerika Serikat bersikap tegas & terus mendesak agar Belanda mau melaksanakan resolusi tanggal 28 Januari. Amerika Serikat berhasil mendesak Belanda, untuk mengadakan perundingan dengan Indonesia.
Ketika terlihat titik terang bahwa RI & Belanda bersedia maju ke meja perundingan, maka atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia pada 14 April 1949 diselenggarakan perundingan di Jakarta di bawah pimpinan Merle Cochran, anggota Komisi dari AS. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Moh. Roem & delegasi Belanda dipimpin oleh H.J. Van Royen. Dalam perundingan itu, RI tetap berpendirian bahwa pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta merupakan kunci pembuka perundingan-perundingan selanjutnya. Sebaliknya pihak Belanda menuntut agar lebih dulu dicapai persetujuan tentang perintah penghentian perang gerilya oleh pihak RI. Merle Cochran, wakil dari AS di UNCI mendesak agar Indonesia mau melanjutkan perundingan. Waktu itu Amerika Serikat menekan Indonesia, kalau Indonesia menolak, Amerika tidak akan memberikan bantuan dalam bentuk apa pun. Perundingan segera dilanjutkan pada 1 Mei 1949. Kemudian pada 7 Mei 1949 tercapai Persetujuan Roem-Royen.
Isi Persetujuan Roem-Royen antara lain sebagai berikut;
- Pihak Indonesia bersedia mengeluarkan perintah kepada pengikut RI yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya. RI juga akan Ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, guna mempercepat penyerahan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat (NIS), tanpa syarat.
- Pihak Belanda menyetujui kembalinya RI ke Yogyakarta & menjamin penghentian gerakan-gerakan militer & membebaskan semua tahanan politik. Belanda juga berjanji tidak akan mendirikan & mengakui negara-negara yang ada di wilayah kekuasaan RI sebelum Desember 1948, serta menyetujui RI sebagai bagian dari NIS.
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera memerintahkan Sri Sultan Hamengkubowono IX untuk mengambil alih pemerintahan Yogyakarta dari pihak Belanda. Pihak tentara dengan penuh kecurigaan menyambut hasil persetujuan itu, namun Panglima Jenderal Sudirman memperingatkan seluruh komando kesatuan agar tidak memikirkan masalah-masalah perundingan. Setelah pemerintah RI kembali ke Yogyakarta, pada 13 Juli 1949 diselenggarakan sidang Kabinet RI yang pertama. Pada kesempatan itu, Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada wakil presiden Moh. Hatta. Dalam sidang kabinet juga diputuskan untuk mengangkat Sri Sultan Hamengkobuwono IX menjadi Menteri Pertahanan merangkap Ketua Koordinator Keamanan.
10. Peristiwa Yogya Kembali
Pada tanggal 29 Juni 1949, pasukan Belanda ditarik mundur ke luar Yogyakarta. Setelah itu TNI masuk ke Yogyakarta. Peristiwa keluarnya tentara Belanda & masuknya TNI ke Yogyakarta dikenal dengan Peristiwa Yogya Kembali. Presiden Sukarno & Wakil Presiden Moh. Hatta ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949.
Sejak awal 1949, ada tiga kelompok pimpinan RI yang ditunggu untuk kembali ke Yogyakarta. kelompok pertama adalah Kelompok Bangka. Kedua adalah kelompok PDRI dibawah pimpinan Mr. Syafruddin Prawiranegara. Kelompok ketiga adalah angkatan perang dibawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Sultan Hamangkubuwono IX bertindak sebagai wakil Republik Indonesia, karena Keraton Yogyakarta bebas dari intervensi Belanda, maka mempermudah untuk mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan kembalinya Yogya ke Republik Indonesia. Kelompok Bangka yang terdiri dari Sukarno, Hatta, & rombongan kembali ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949, kecuali Mr. Roem yang harus menyelesaikan urusannya sebagai ketua delegasi di UNCI, masih tetap tinggal di Jakarta.
Rombongan PDRI mendarat di Maguwo pada 10 Juli 1949. Mereka disambut oleh Sultan Hamangkubuwono IX, Moh. Hatta, Mr.Roem, Ki Hajar Dewantara, Mr. Tadjuddin serta pembesar RI lainnya. Pada tanggal itu pula rombongan Panglima Besar Jenderal Sudirman memasuki Desa Wonosari. Rombongan Jenderal Sudirman disambut kedatangannya oleh Sultan Hamengkubuwono IX dibawah pimpinan Letkol Soeharto, Panglima Yogya, & 2 orang wartawan, yaitu Rosihan Anwar dari Pedoman & Frans Sumardjo dari Ipphos. Saat menerima rombongan penjemput itu Panglima Besar Jenderal Sudirman berada di rumah lurah Wonosari. Saat itu beliau sedang mengenakan pakaian gerilya dengan ikat kepala hitam. Pada esok harinya rombongan Pangeran Besar Jenderal Sudirman dibawa kembali ke Yogyakarta. Saat itu beliau sedang menderita sakit dengan ditandu & diiringi oleh utusan & pasukan beliau dibawa kembali ke Yogyakarta. Dalam kondisi letih & sakit beliau mengikuti upacara penyambutan resmi dengan mengenakan baju khasnya yakni pakaian gerilya.
Upacara penyambutan resmi para pemimpin RI di Ibukota dilaksanakan dengan penuh khidmat pada 10 Juli. Sebagai pimpinan inspektur upacara adalah Syafruddin Prawiranegara, didampingi oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman & para pimpin RI yang baru saja kembali dari pengasingan Belanda. Pada 15 Juli 1949, untuk pertama kalinya diadakan sidang kabinet pertama yang dipimpin oleh Moh. Hatta. Pada kesempatan itu Syafruddin Prawiranegara menyampaikan kepada Presiden Sukarno tentang tindakan-tindakan yang dilakukan oleh PDRI selama delapan bulan di Sumatera Barat.
Pada kesempatan itu pula Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden RI Sukarno. Dengan demikian maka berakhirlah PDRI yang selama delapan bulan memperjuangkan & mempertahankan eksistensi RI.
11. Konferensi Inter Indonesia untuk Kebersamaan Bangsa
Belanda tidak berhasil membentuk negara-negara bagian dari suatu negara federal. BFO. Namun di antara para pemimpin BFO banyak yang sadar & melakukan pendekatan untuk bersatu kembali dalam upaya pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Hal ini terutama didorong oleh sukses yang diperoleh para pejuang & TNI kita dalam perang gerilya. Mereka sadar hanya akan dijadikan alat & boneka bagi kekuasaan Belanda. Oleh sebab itu perlu dibentuk semacam front untuk menghadapi Belanda.
Sementara itu, Kabinet Hatta meneruskan perjuangan diplomasi, yakni menyelesaikan masalah intern terlebih dahulu. Beberapa kali diadakan Konferensi Inter-Indonesia untuk menghadapi usaha Van Mook dengan Negara bonekanya. Ternyata hasil Konferensi Inter-Indonesia itu berhasil dengan baik. Walaupun untuk sementara pihak RI menyetujui terbentuknya Negara RIS, namun bukan berarti pemerintah RIS tunduk kepada pemerintah Belanda.
Pada bulan Juli & Agustus 1949 diadakan konferensi Inter-Indonesia. Dalam konferensi itu diperlihatkan bahwa politik devide et impera Belanda untuk memisahkan daerah-daerah di luar wilayah RI mengalami kegagalan. Hasil Konferensi Inter-Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta antara lain;
- Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan demokrasi & federalisme.
- RIS akan dikepalai oleh seorang presiden dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada presiden.
- RIS akan menerima penyerahan kedaulatan, baik dari RI maupun Belanda.
- Angkatan Perang RIS adalah Angkatan Perang Nasional, & Presiden RIS adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang.
- Pembentukan Angkatan Perang RIS adalah semata-mata soal bangsa Indonesia sendiri.
Dalam konferensi selanjutnya juga diputuskan untuk membenluk Panitia Persiapan Nasional yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil RI & BFO. Tugasnya menyelenggarakan persiapan & menciptakan suasana tertib sebelum & sesudah KMB. BFO juga mendukung tuntutan RI tentang penyerahan kedaulatan tanpa syarat, tanpa ikatan politik maupun ekonomi. Pihak RI juga menyepakati bahwa Konstitusi RIS akan dirancang pada saal KMB di Den Haag.
12. KMB & Pengakuan Kedaulatan
Perjanjian Roem Royen belum menyelesaikan masalah Indonesia Belanda. Salah satu agenda yang disepakati Indonesia Belanda adalah penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Indonesia telah menetapkan delegasi yang mewakili KMB yakni Moh. Hatta, Moh. Roem, Mr. Supomo, Dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamijoyo, Dr. Sukiman, Ir. Juanda, Dr. Sumitro Joyohadikusumo, Mr. Suyono Hadinoto, Mr. AK. Pringgodigdo, TB. Simatupang, & Mr. Sumardi. Sedangkan BFO diwakili oleh Sultan Hamid II dari Pontianak.
KMB dibuka pada 23 Agustus 1949 di Den Haag. Delegasi Belanda dipimpin oleh Mr. Van Maarseveen & dari UNCI sebagai mediator adalah Chritchley. Tujuan diadakan KMB adalah untuk;
- menyelesaikan persengketaan antara Indonesia & Belanda
- untuk mencapai kesepakatan antara para peserta tentang tata cara penyerahan yang penuh & tanpa syarat kepada Negara Indonesia Serikat, sesuai dengan ketentuan Persetuiuan Renville.
Beberapa masalah yang sulit dipecahkan dalam KMB terutama sebagai berikut;
- Soal Uni Indonesia-Belanda. Pihak Indonesia menghendaki agar sifatnya hanya kerja sama yang bebas tanpa adanya organisasi permanen. Sedangkan Belanda menghendaki kerja yang lebih luas dengan organisasi permanen (mengikat).
- Soal utang. Pihak Indonesia hanya mengakui utang-utang Hindia Belanda sampai menyerahnya Belanda kepada Jepang. Sementara Belanda menghendaki agar Indonesia mengambil alih semua utang Hindia Belanda sampai penyerahan kedaulatan, termasuk biaya perang kolonial melawan TNI.
Setelah melalui pembahasan & perdebatan, tanggal 2 November 1949 KMB dapat diakhiri. Hasil-hasil keputusan dalam KNIB antara lain sebagai berikut;
- Belanda mengakui keberadaan negara RIS (Republik Indonesia Serikat) sebagai negara yang merdeka & berdaulat. RIS terdiri dari RI & 15 negara bagian/daerah yang pernah dibentuk Belanda.
- Masalah Irian Barat akan diselesaikan setahun kemudian, setelah pengakuan kedaulatan.
- Corak pemerintahan RIS akan diatur dengan konstitusi yang dibuat oleh para delegasi RI & BFO selama KMB berlangsung
- Akan dibentuk Uni Indonesia Belanda yang bersifat lebih longgar, berdasarkan kerja sama secara sukarela & sederajat. Uni Indonesia Belanda ini disepakati oleh Ratu Belanda.
- RIS harus membayar utang-utang Hindia Belanda sampai waktu pengakuan kedaulatan.
- RIS akan mengembalikan hak milik Belanda & memberikan izin baru untuk perusahaan-perusahaan Belanda.
Ada sebagian keputusan yang merugikan Indonesia, yakni beban utang Hindia Belanda yang harus ditanggung RIS sebesar 4,3 miliar gulden. Juga penundaan soal penyelesaian Irian Barat yang merupakan masalah yang menjadi pekerjaan panjang bangsa Indonesia. Tetapi yang jelas bahwa hasil KMB telah memberikan kesempatan yang lebih luas bagi Indonesia untuk membangun negeri sendiri. Setelah KMB selesai & menghasilkan berbagai keputusan dengan segala cara pelaksanaannya, kemudian Moh. Hatta & rombongan pada 7 November 1949 meninggalkan negeri Belanda. Rombongan kemudian singgah ke Kairo & Rangoon. Tanggal 14 November 1949 Moh. Hatta tiba di Maguwo, Yogyakarta disambut oleh Presiden.
13. Pembentukan Republik Indonesia Serikat
Isi KMB diterima oleh KNIP melalui sidangnya pada 6 Desember 1949. Tanggal 14 Desember 1949 diadakan pertemuan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Pertemuan ini dihadiri oleh wakil-wakil Pemerintah RI, pemerintah negara-negara bagian, & daerah untuk membahas Konstitusi RIS. Pertemuan ini menyetujui naskah Undang-Undang Dasar yang akan menjadi Konstitusi RIS.
Negara RIS berbentuk federasi meliputi seluruh Indonesia & RI menjadi salah satu bagiannya. Bagi RI keputusan ini sangat merugikan, tetapi merupakan strategi agar Belanda segera mengakui kedaulatan Indonesia sekalipun dalam bentuk federasi RIS. Dalam konstitusi itu juga dijelaskan bahwa Presiden & para menteri yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri, secara bersama-sama merupakan pemerintah. Lembaga perwakilannya terdiri dari 2 kamar, yakni Senat & DPR. Senat merupakan perwakilan negara / daerah bagian yang masing-masing diwakili dua orang. Kemudian, DPR beranggota 150 orang yang merupakan wakil-wakil seluruh rakyat Indonesia.
Tanggal 16 Desember1949, Ir. Sukarno terpilih sebagai Presiden RIS. Secara resmi Ir. Sukarno dilantik sebagai Presiden RIS tanggal 17 Agustus 1949, bertempat di Bangsal Siti Hinggil Keraton Yogyakarta oleh Ketua Mahkamah Agung, Mr. Kusumah Atmaja, & Drs. Moh. Hatta diangkat sebagai Perdana Menteri. Tanggal 20 Desember 1949 Kabinet Moh. Hatta dilantik. Dengan demikian terbentuk Pemerintahan RIS.
Dengan diangkatnya Sukarno sebagai Presiden RIS, maka presiden RI menjadi kosong. Untuk itu, maka ketua KNIP, Mr. Asaat ditunjuk sebagai pejabat Presiden RI. Tanggal 27 Desember 1949 Mr. Asaat dilantik sebagai pemangku jabatan Presiden RI sekaligus dilakukan acara serah terima jabatan dari Sukarno kepada Mr. Asaat. Langkah ini diambil untuk mempertahankan kelangsungan negara RI. Apabila sewaktu-waktu RIS bubar, maka RI akan tetap bertahan, karena memiliki kepala negara.
14. Penyerahan & Pengakuan Kedaulatan
Pada 27 Desember 1949, terjadilah penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia yang dilakukan di Belanda & di Indonesia. Di Negeri Belanda, delegasi Indonesia dipimpin oleh Moh. Hatta sedangkan pihak Belanda hadir Ratu Juliana, Perdana Menteri Willem Drees, & Menteri Seberang Lautan Sasseu bersama-sama menandatangani akte penyerahan kedaulatan di Ruang Tahta Amsterdam. Di Indonesia dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX & Wakil Tinggi Mahkota Belanda A.H.S. Lovink. Dengan berakhirnya KMB itu, berakhir pula perselisihan Indonesia Belanda. Indonesia kemudian mendapat pengakuan dari negara-negara lain. Pengakuan pertama datang dari negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab, yakni Mesir, Suriah, Libanon, Saudi Arabia & Afganistan, India, & lain-lain. Untuk perkataan “penyerahan kedaulatan” itu oleh pihak Indonesia diartikan sebagai “pengakuan kedaulatan”, walaupun pihak Belanda tidak menyetujui dengan perkataan tersebut. Namun, dalam kenyataan oleh masyarakat internasional diakuinya keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Meskipun Belanda sendiri tidak mengakui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 & hanya mengakui tanggal 27 Desember 1949, namun keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia itu tetap terhitung sejak Proklamasi Kemerdekaan oleh bangsa Indoensia. Pada saat itu bangsa Indonesia tidak menghadapi Belanda, melainkan menghadapi Jepang, karena sebelumnya Belanda sudah kalah & menyerah pada Jepang. Oleh sebab itu, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia mutlak atas usaha bangsa Indonesia sendiri.
15. Kembali ke Negara Kesatuan
Setelah RIS menerima pengakuan kedaulatan, segera muncul rasa tidak puas di kalangan rakyat terutama negara-negara bagian di luar RI. Sejumlah 15 negara bagian/daerah yang merupakan ciptaan Belanda, terasa berbau kolonial, sehingga belum merdeka sepenuhnya.
Negara-negara bagian ciptaan Belanda adalah sebagai berikut;
- Negara Indonesia Timur (NIT) merupakan negara bagian pertama ciptaan Belanda yang terbentuk pada tahun 1946.
- Negara Sumatra Timur, terbentuk pada 25 Desember 1947 & diresmikan pada 16 Februari 1948. Negara Sumatra Selatan, terbentuk atas persetujuan Van Mook pada 30 Agustus 1948. Daerahnya meliputi Palembang & sekitarnya. Presidennya adalah Abdul Malik.
- Negara Pasundan (Jawa Barat),.
- Negara Jawa Timur, terbentuk pada 26 November 1948 melalui surat keputusan Gubernur Jenderal Belanda.
- Negara Madura, terbentuk melalui suatu plebesit & disahkan oleh Van Mook pada tanggal 21 Januari 1948.
Di samping enam negara bagian tersebut, Belanda masih menciptakan daerah-daerah yang berstatus daerah otonom. Daerah-daerah otonom yang dimaksud adalah Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Dayak Besar (daerah Kalimantan Tengah), Daerah Banjar (Kalimantan Selatan), Kalimantan Tenggara, Jawa Tengah, Bangka, Belitung, & Riau Kepulauan.
Setelah pengakuan kedaulatan tuntutan bergabung dengan negara RI semakin luas. Tuntutan semacam ini memang dibenarkan oleh konstitusi RIS pada pasal 43 & 44. Penggabungan antara negara/daerah yana satu dengan daerah yang lain dimungkinkan karena dikehendaki rakyatnva. Oleh sebab itu, pada tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan DPR & Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1950 tentang, Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 11 itu, maka negara-negara bagian / daerah otonom seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, & Madura bergabung dengan RI di Yogyakarta. Karena semakin banyaknya negara-negara bagian/daerah yang bergabung dengan RI maka sejak tanggal 22 April 1950, negara RIS hanya tinggal 3 yakni RI sendiri, Negara Sumatra Timur, & Negara Indonesia Timur.
Perdana Menteri RIS, Moh. Hatta mengadakan pertemuan dengan Sukawati (NIT) & Mansur (Sumatra Timur). Mereka sepakat untuk membetuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sesuai dengan usul dari DPR Sumatra Timur, proses pembentukan NKRI tidak melalui penggabungan dengan RI tetapi penggabungan dengan RIS. Setelah itu diadakan konferensi yang dihadiri oleh wakil-wakil RIS, termasuk dari Sumatra Timur & NIT. Melalui konferensi itu akhirnya pada 19 Mei 1950 tercapai persetujuan yang dituangkan dalam Piagam Persetujuan.
Isi pentingnya adalah;
- Kesediaan bersama untuk membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan dari negara RI yang berdasarkan pada Proklamasi 17 Agustus 1945.
- Penyempurnaan Konstitusi RIS, dengan memasukkan bagian-bagian penting dari UUD RI tahun 1945. Untuk ini diserahkan kepada panitia bersama untuk menyusun Rencana UUD Negara Kesatuan.
Panitia bersama juga ditugaskan untuk melaksanakan isi Piagam Persetujuan 19 Mei 1950. Pada 12 Agustus 1950, pihak KNIP RI menyetujui Rancangan UUD itu menjadi UUD Sementara. Kemudian, tanggal 14 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS mengesahkan Rancangan UUD Sementara KNIP, menjadi UUD yang terkenal dengan sebutan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950.
Pada 15 Agustus 1950 diadakan rapat gabungan parlemen (DPR) & Senat RIS. Dalam rapat gabungan ini Presiden Sukarno membacakan Piagam Persetujuan terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu, Presiden Sukarno terus ke Yogyakarta untuk menerima kembali jabatan Presiden Negara Kesatuan dari pejabat Presiden RI, Mr. Asaat. Dengan demikian berakhirlah riwayat hidup negara RIS, dan secara resmi tanggal 17 Agustus 1950 terbentuklah kembali Negara Kesatuan RI. Sukarno kembali sebagai Presiden & Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden RI.
Simpulan Penting;
- Belanda tidak rela begitu saja melepaskan Indonesia sebagai negara merdeka.
- Berbagai upaya dilakukan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia.
- Untuk memecahkan masalah hubungan Indonesia Belanda, bangsa Indonesia menggunakan dua cara yakni diplomasi & konfrontasi.
- Kesabaran dan kegigihan bangsa Indonesia akhirnya memperoleh hasil dengan diakuinya kemerdekaan Indonesia oleh Belanda.
Demikianlah ulasan mengenai “Mengevaluasi Perjuangan Bangsa: Antara Perang & Damai", yang pada kesempatan ini dapat dibahas. Semoga ulasan di atas dapat bermanfaat bagi para pengunjung ataupun pembaca. Cukup sekian, kurang/lebihnya mohon maaf & sampai jumpa.
*Rajinlah belajar, demi Bangsa & Negara, serta jagalah kesehatanmu!!!
SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER
0 Response to "Mengevaluasi Perjuangan Bangsa: Antara Perang & Damai"
Post a Comment
Tata Tertib Berkomentar di Blog ReadyyGo :
1. Kalimat atau Kata-kata Tidak Mengandung Unsur (SARA).
2. Berkomentar Sesuai dengan Artikel Postingan.
3. Dilarang Keras Promosi Apapun Bentuk & Jenisnya.
4. Link Aktif atau Mati, Tidak Dipublikasikan & Dianggap SPAM.
5. Ingat Semua Komentar Dimoderasi.
6. Anda dapat request artikel lewat kolom komentar ini.
Terimakasih Atas Pengertiannya.